Anda di halaman 1dari 15

Kaidah ke-16: Tentang Firqah (Kelompok)

Hambatan terbesar di jalan Dakwah

Sesungguhnya resiko yang paling besar di jalan dakwah bagi para Da’I adalah bercampuraduknya
pemahaman dan tenggelamnya kebenaran di depan nash-nash yang saling dipertentangkan, tafsiran
yang diperselisihkan, dan pemahaman-pemahaman yang saling kontradiksi, maka seorang Muslim
berada diantara dua firqah yang membinasakan dan menyelamatkan, antara uzlah dan interaksi,
antara fitnah untuk men yendiri dan fitnah yang mendesaknya segera untuk melakukan
penyerangan dan pembalasan, antara amal fardi dan amal jama’I, centang perenang pemahaman
berefek pada centang perenang amal dan system kerja dakwah itu sendiri. Agar dapat keluar dari
kesemerawutan pemahaman maka saya mengajukan kaidah ini untuk direnungkan oleh pembaca
budiman.

Sesungguhnya seseorang yang menganalisa sejarah umat ini akan mendapatkan dua kondisi yang
telah dilewati oleh umat ini, 

Pertama : kondisi perjuangan dan kondisi kemapanan, ketika umat ini menghadapi musuh-
musuhnya secara bersama-sama atau bergelirya, dan selalu keluar dari kancah peperangan sebagai
pemenang, sedangkan musuhnya menjadi pecundang yang hancur.

Kedua : kondisi terserang dan terceraiberai. Keadaan ini adalah kondisi dimana benteng-benteng
umat runtuh dari dalam, kekalahan umat terjadi karena generasinya telah mengahncurkan
bangunannya baik secara internal maupun eksternal. Rasulullah SAW telah mengisaratkan ancaman
bahaya ini, dan menjadikannya sebagai salah satu faktor yang mnceraiberaikan kesatuan umat dan
bangunannya. Dari Tsauban RA berkata, bersabda Rasulullah SAW : 

”  ،‫ وأعطيت الكنزين األحمر واألبيض‬،‫ وإن أمتي سيبلغ ملكها ما ُزوي لي منها‬،‫إن هللا زوى لي األرض فرأيت مشارقها ومغاربها‬
‫ يا‬:‫ وإن ربي قال‬،‫ وأن ال يُسلط عليهم عدواً من سوى أنفسهم فيستبيح بيضتهم‬،‫وإن سألت ربي ألمتي أن ال يهلكها ِب َس َن ٍة عامة‬
،‫ وأن ال أسلط عليهم عدواً من سوى أنفسهم‬،‫ وإني أعطيتك ألمتك أن ال أهلكهم ِب َس َن ٍة عامة‬،‫ إني إذا قضيت قضا ًء فإنه ال يرد‬، ‫محمد‬
( ” ً ‫ ويسبي بعضهم بعضا‬،ً‫ ولو اجتمع عليهم من بأقطارهاـ أو قال من بين أقطارهاـ حتى يكون بعضهم يُهلك بعضا‬، ‫يستبيح بيضتهم‬
‫ ” وسألته أن ال يلبسنا شيعا ً فمنعنيها‬:‫ وفي رواية ابن حبان‬.)”( ).
ً ‫ وأن ال يلبسهم شيعا‬،‫ أن ال يسلط على أمتي جوعا ً فيهلكهم به عامة‬:ً‫ ” وإني سألت هللا عز وجل ثالثا‬:‫وعند ابن ماجة رواية أتم‬
‫ ولن أجمع‬،‫ وإني لن أسلط على أمتك جوعا ً فيهلكهم فيه‬،‫قضيت قضا ًء فال مرد له‬ ُ ‫ إذا‬: ‫ وإنه قيل لي‬،‫ويذيق بعضهم بأس بعض‬
.‫ وإذا وضع السيف في أمتي فلن يرفع عنهم إلى يوم القيامة‬.ً ‫عليهم من بين أقطارها حتى يُفني بعضهم بعضا ً ويقتل بعضهم بعضا‬
‫ وإن بين يدي الساعة‬،‫ وستلحق قبائل من أمتي بالمشركين‬.‫ وستعبد قبائل من أمتي األوائل‬.‫وإن مما أتخوف على أمتي أئمة مضلين‬
‫ ولن تزال طائفة من أمتي على الحق منصورين ال يضرهم من خالفهم حتى يأتي‬،‫دجالين كذابين قريبا ً من ثالثين كلهم يزعم أنه نبي‬
‫) (”أمر هللا عز وجل‬.

“Sesungguhnya Allah membentangkan untukku bumi ini, sehingga aku dapt melihat dari ujung timur
hingga ujung Barat, dan sesungguhnya ummatku akan sampai kekuasaaanya sejauh apa yang aku
lihat saat itu, dan aku diberikan dua gudang penyimpanan harta, yang satu berwarna merah yang
lainnya berwarna putih, maka aku memohon kepada Tuhanku agar umatku tidak dibinasakan 

Tentang firqoh ( kelompok )

Firqah yang dijelaskan secara rinci dalm hadits tersebut diatas merupakan musibah yang paling besar
menimpa umat ini, karena umat menjadi beberapa kelompok dan agama menjadi beberapa ajaran
dan keyakinan. Sunnah telah banyak menyingkap kondisi kedepan umat ini baik dari prespektif
pemberitaan, peringatan, penjelasan penyakit umat dan obatnya, Allah memuliakan Nabi-NYA
dengan membuka tabir kegaiban yang dapat menambah kehati-hatian dan kewaspadaan bagi umat.
Tatkala hadits tersebut di atas menjelaskan secara global tidak terperinci berdasarkan peristiwa dan
rentang waktu, maka saya telah melihat dalam kilasan sejarah dan realitas kehidupan manusia, agar
ada perubahan pengaturannya di satu sisi, dan memahami kebaikan-kebaikannya di sisi yang lain.

Saya juga mendapatkan beberapa hadits yang menjelaskan tentang firqah, fitnah, uzlah dan
Jama’ah. Hadits yang paling lengkap cakupannya terkait dengan masalah ini adalah hadits yang telah
ditakhrij oleh Bukhari dan Muslim dari Khudzaifah ibnul Yaman RA berkata :

‫ إنا كنا في جاهلية‬،‫ يا رسول هللا‬:‫ فقلت‬،‫ وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يُدركني‬، ‫كان الناس يسألون رسول هللا صلى عن الخير‬
َ ‫ وفيه‬،‫ نعم‬:‫ وهل بعد ذلك من خير؟ قال‬: ‫ قلت‬،‫ نعم‬:‫ فهل بعد هذا الخير من شر؟ قال‬،‫وشر فجاءنا هللا بهذا الخير‬
‫وما‬:‫ قلت‬.‫دخن‬
‫ دعاة على أبواب جهنم من‬،‫ نعم‬: ‫ فهل بعد ذلك الخير من شر؟ قال‬: ‫ قلت‬،‫ تعرف منهم وتنكر‬،‫ قوم يهدن بغير هديي‬: ‫دخنه قال‬
‫ فما تأمرني إن أدركني ذلك؟‬:‫ قلت‬،‫ ويتكلمون بألسنتنا‬،‫ هم من جلدتنا‬: ‫ قال‬،‫ صفهم لنا‬، ‫ يا رسول هللا‬: ‫ قلت‬.‫أجابهم إليها قذفوه فيها‬
‫ ولو أن تعض بأصل‬،‫ فاعتزل تلك الفرق كلها‬: ‫ فإن لم يكن لهم جماعة وال إمام؟ قال‬: ‫ قلت‬.‫ تلزم جماعة المسلمين وإمامهم‬:‫قال‬
‫شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك‬

“Banyak orang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya
kepadanya tentang keburukan, khawatir keburukan itu akan menimpa diriku. Aku berkata : “Ya
Rasulallah. Sesungguhnya kami pernah berada dalam kejahiliyahan dan keburukan, lalu Allah
mendatangkan kepada kami kebaikan, apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?”. Beliau
menjawab : “Ya”, aku berkata : “apakah setelah itu ada kebaikan lagi?”. Belia menjawab : “ya, tetapi
ada kabut penghalang, “apa kabut penghalangnya?”, beliau bersabda : “suatu kaum mencari
petunjuk selain petunjukku, engkau kenal sebagiam mereka dan engkau ingkari”. Aku berkata lagi :
“Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan lagi?”, beliau menjawab : “ya, terdapat [ada masa
itu para Da’I di depan pntu-pntu neraka Jahannam, siapa yang memenuhi ajakan mereka, maka
mereka akan melemparkannya ke dalamnya”. Aku berkata : “Ya Rasulallah, jelaskanlah cirri-
cirimereka kapada kami!”. Beliau bersabda : “mereka berasal dari darah daging kita, berbicara
dengan bahasa kita”. Aku berkata : “apa yang engkau perinthakan kepadaku jika aku mendapatkan
keadaan seperti itu?”. Beliau bersabda : “engkau haris menjalin komitmen dengan Jamaah kaum
Muslimin dan imam mereka”, aku berkata lagi : “jika tidaka ditemukan jamaah dan Imammnya?”.
Beliau bersabda : “menghindarlah dari semua firqah itu walaupun anda menggigit akar pohon,
samapai ajal menemuimu dan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”.

Dalam pengertian yang sama secara terperinci juga tertuang dalam hadits lain. Dari Abu Amir
Abdullah bin Luhay berkata : “kami pernah menunaikan haji bersama Muawiyah bin Abi Sufyan,
tatkla kami sampai di Mekkahmenjelang shlat dzhuhur Ia berkata, seseungguhnya Rasulullah SAW
bersabda : 

‫ وإنه سيخرج‬. ‫ وهي الجماعة‬،‫إن أهل الكتاب افترقوا في دينهم على اثنتين وسبعين ملة ـ يعني في األهواء ـ كلها في النار إال واحدة‬
‫ وهللا يا معشر العرب‬، ‫ ال يبقى منه عرق وال مفصل إال دخله‬،‫في أمتي أقوام تجارى بهم تلك األهواء كما يتجارى ال َكلَبُ بصاحبه‬
‫لئن لم تقوموا بما جاء به نبيكم لغيركم من الناس أحرى أن ال يقوم به‬

“Sesungguhnya Ahli kitab telah berpecahbelah dalam agama mereka menjadi 72 sekte – yang
bertumpu pada hawanafsu – seluruhnya masuk neraka kecuali satu, yaitu al-jamaah. Sesungguhnya
akan muncul di kalangan umatku golongan yang mengiringi hawanafsu tersebut, seperti virus yang
merasuki seseorang, tidak ada pori-pori dan persendian yang tersisa melainkan akan dimasukinya.
Demi Allah wahai masyarakat Arab jika kalian tidak menegakan apa yang telah didatangkan oleh
Nabi kalian, maka akan ada kelompok manusia lainnya yang ingin merubah kalian agar kalian tidak
menegakannya”. (HR Abu Daud dan Turmudzji / Hadits Hasan-Shahih)

Dalam pengertian yang sama terdapat hadits dari Abu Hurairah RA berkata, bersabda Rasulullah
SAW :

‫ وتفترق أمتي على ثالث‬،‫ وتفرقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة‬،‫افترقت اليهود على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة‬
‫وسبعين فرقة‬

Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, Umat Nasrani juga terpecah menjadi 71 atau
72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. (HR Abu Daud dan Turmudzi / Hadits
hasan-sahih)

Hadits ini menguatkan hadits-hadits sebelumnya dan memberikan pelajaran berupa peringatan
ancaman perpecahan dan perselisihan yang menimpa umat, apalagi bila sebuah kelompok muncul
karena perbedaan akidah dan ushul, masing-masing kelompok melahirkan doktrin dan ajaran, keluar
dari garis umat yang satu, terputus dari ikatan generasi awal umat ini. Tidak termasuk kelompok itu
perbedaan dalm maslah furu dan diversifikasi ijtihad, juga tidak termasuk di dalmnya mazhab-
mazhab fiqih, selama para tokohnya menggunakan dalil dan tetap memiliki keyakinan yang kuat
terhadap ushul (aqidah).

Tidak dapat dikatakan dan tidak seyogyanya dikatakan bahwa Mazhab yang empat dan selain
mereka berada dalam kebenaran dan yang memusuhi mereka berada dalam kebatilan, mreka
selamat dan selain mereka binasa. Yang tepat mengenai hal ini adalah apa yang telah dinyatakan
oleh Al-Baghdady dalam kitabnya “Al-Firaq bainal Firaq” : “Sesungguhnya umat Islam sepakat untuk
menetapkan bahwa ala mini sesuatu yang baru (hawadits) dan mengesakan Penciptanya, sifatnya,
keadilannya, hikmahnya dan menegasikan sesuatu yang menyerupainya, juga menetapkan kenabian
dan risalah Muhammad SAW kepada seluruh manusia, meneguhkan syariatnyam bahwasanya apa
yang telah didtangkan nolehnya dalah kebenaran, Al-qur’an sebagai sumber hokum-hukum syariah,
bahwasanya ka’bah adalah kiblat yang wajib menghadapnya ketika shalat, maka siapa saja yang
menyatakan hal ini dan tidak mengarah pada bid’ah yang bertendensi kekufuran maka Ia adalah
seorang Sunni yang berakidah tauhid”.

Imam Ibnu Taimiyah berkata : “Siapa saja yang di daln hatinya menyatakan Iman kepada rasul dan
apa yang dibawa olehnya, meskipun keliru pada sebagian penafsirannya sehingga melahirkan
berbagai bid’ah pada dasarnya tidak menjadi kafir, sedangkan Khawarij adalah mereka yang paling
nyata bid’ahnya, memerangi dan mengkafirkan umat, padahal para sahabat Nabi belum pernah
mengkafirkan mereka, baik kepada Ali bin Abi Thalib dan kepada yang lainnya, para sahabat hanya
menetapkan mereka sebagai umat Islam yang zalim”.

Kemudian Ibnu taimiyah menambahkan : “Barang siapa yang mengatakan bahwa 72 golongan
seluruhnya kufur keluar dari agama, maka orang tersebut telah menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah
serta ijma’ sahabat, bahkan ijma’ Imam empat mazhab dan Imam mazhab lainnya”.

Dalam akidah Thahawiyah dan syarahnya dikatakan : “Kami menamakan ahli kiblat kita kaum muslim
dan mu’min sepanjang mereka mengakui apa-apa yang didatangkan oleh Nabi SAW, dan
membenarkan apa-apa yang disabdakannya, kemudian penulis syarah mengatakan : “yang dimaksud
dengan ahli kiblat kita adalah siapa saja yang mengaku muslim dan menghadap kiblat, walaupun
mereka masih tergolong pengikut waha nafsu dan ahli maksiat. 

Sedangkan Ibnu Hajar mengartikan ‫والدعاة على أبواب جهنم‬adalah orang yang brambisi meraih kekuasaan
seperti Khawarij dan sejenisnya. Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah dan kelompok sejenisnya adalah
golongan yang melampaui batas dalam menta’wil, maksimal para ulama menggolongkan mereka
sebagai ahli bid’ah belum keluar dari agama, mereka tidak mengatakan : ‫إنهم من أهل النار‬, mereka ahli
neraka, kecuali golongan Syiah Ghulaat, yang terang-terangan menghalalkan yang diharamkan, atau
menyembah Ali atau Qadyani (Ahmadiyah) yang mengakui adanya nabi setelah nabi Muhammad,
atau y menjadikan selain Al-Qur’an sebagai kitab suci, atau mengingkari hal-hal yang telah menjadi
maklum dalm ajaran agama.

Tujuan mazhab-mazhab sesat yang menghancurkan pilar-pilar iman dan merobolhkan struktur
bangunan Islam, meluluhlantakkan pondasinya, tanpa tedeng aling-aling melakukan pengingkaran
dan mengajak manusia kepadanya, menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang
dihalalkannya, menganulir hukum-hukum Al-Qur’an dan Sunnah, memerangi secara keji orang-orang
yang beriman, menuduh orang beriman dengan tuduhan jumud dan fatalis, menjadikan kejumudan
dan fatalisme sebagai landasan penolakan terhadap Islam baik secara global maupun terperinci,
mengagungkan sesuatu yang dihinakan Allah dan menghinkan sesuatau yang diagungkan Allah,
seperti Al-Aswad Al-‘Ansy si pendusta yang mengkalim dirinya Nabi disebut sebagai tokoh
kebangkitan dan reformasi, dan Qaramitah, Hasysyasyin, Sikh, dan pengikut Bek dianggap sebagai
grakan progressif dan liberalis (gerakan kemajuan dan pembebasan)

Ini gambaran mazhab di masa lampau, sedangkan yang terbaru seperti Saba’iyah, Qaramitah,
Ismailiyah adalah kelompok sesat yang menumbuhkan benih-benih kerusakan di muka bumi, dan
mencerabut Islam dari akarnya, mengakui ketuhanan manusia selain Allah. Kemudian juga muncul
gerkan babiyah, Qadyaniyah dan Bahaa’iyah, masing-masing kelompok ini memiliki kitab suci selain
Al-Qur’an dan mengakui adanya Nabi setelah Muhammad. Lalu muncul kelompok penentang yang
tidak meyakini agama seperti Komunis dan Freemasoonry dan berbagai mazhab dan lembaga yang
menginduk kepadanya.

Yang sangat bewrbahaya dari mereka adalah bahwa sebagaian mereka menjadi pemimpin politik
dan pemikiran.maka apa yang didisyaratkan oleh Khudzaifah dalam hadits yang dibawanya
menggambarkan dua kondisi :

Kondisi Pertama : Baik tapi ada kabut penghalang (‫ )خير وفيه دخن‬, yaitu kondisi dimana banyak orang
yang mengambil petunjuk selain petunjukku. Para analis sejarah Ilam melihat bahwa fase ini secara
kondisional berbeda dengan fase sbelum dan sesudahnya. Islam pada awalnya dianggap aneh di
Mekkah, kemudian kebaikannya meluas dan semakin berkibar panjiny pada puncak fase nubuwwah
dan Khilafah Rasyidah, kemudian terjadilah fitnah, tampuk kepemimpinan dikuasai oleh Ban I
Umayyah, kedaulatan negara mulai mapan, wilayah-wilayah taklukan terbuka lebar, Islam pun
tersebar, prinsip-prinsip politik bernegara terbangun di atas spirit Islam, dan hukum-hukum
syariatnya teraplikasi. Semua ini adalah kebaikan, tapi masih diliputi oleh kabut penghalang, kabut
yang gelap dan berwarna kehitam-hitaman. Abu Ubaidah berkata : Tak ubahnya hati yang tidak
bersih warnanya karena terkena polusi noda hitam.
Kebaikan pada fase itu ditandai dengan umat yang kembali bersatu, semangat jihad yang
berkesinambungan, mengacu kepada hukum syariat dalam berbagai persoalan kehidupan,
sedangkan kabut yang menyelimuti kebaikan ini adalah kebijakan menghentikan prinsip-prinsip
syuro, otoriter dan berlebihan dalam penggunaan harta, umat ditimpa kezaliman dan pertumpahan
darah karena mazahab dan keyakinan, seperti inilah kondisi umat Islam pada saat itu, baik tapi
berkabut, sampai tegaknya daulah Islam berbarengan dengan tegaknya negara sekuler dan semi
sekuler, sebelumnya hukum-hukum Islam mendominasi meskipun kemunkaran tetap ada, tetapi
tidak menshibghah masyarakat, dan amar ma’ruf nahy munkar mulai memainkan perannya di
masyarakat.

Kondisi kedua : Di negeri mereka yang berbeda satu dengan yang lainnya, umat Islam mulai
memasuki fase baru yang didominasi oleh tsaqafah barat dan moralitasnya, dan mulai tersebar
gelombang ateisme, lembaga-lemabag negara “diperangi’, wawasan dirubah. Pemahaman
kehidupan dirombak. Pelopor dan penyeru perubahan ini berasal dari internal umat yang berbicara
dengan bahasanya dan berafiliasi dengannya, mereka terbagi dalam berbagai kelompok, partai dan
aliran ideologi yang beraneka macam. Inilah yang diisaratkan oleh Hadits Khudzaifah : ‫فهل بعد ذلك الخير‬
‫من شر؟‬, apakah setelah kebaikan in akan ada keburukan?, lalu Rasulullah menjawab : “Ya, para
penyeru di atas pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang menam but seruannya Ia akan dilemparkan
olehnya ke dalamnya”, lalu Khudzaifah berkata : “ya Rasulallah jelaskanlah kepada kami ciri-ciri
mereka?”. Beliau bersabda : “Mereka berasla dari kita sendiri dan berbicara dengan bahasa kita”.
Ibnu Hajar menafsirkan : “dari kaum kita, yaitu bangsa arab”, inilah yang kemudian memunculkan
faham nasionalisme yang tersebar di dunia Islam. Yang mengangkat isu ras dan bahasa sebagai
landasan bekumpul dan berafiliasi.

Sampailah persoalan faham ini pada banyak negeri yang pada akhirnya merambah ke seluruh lapisan
masyarakat, dengan satu klaim bahwa masyarakat berhak menentukan jalannya sendiri, maka
muncullah istilah bangsa-bangsa dan aspirasi bangsa, dari sinilah dilancarkan pukulan terhadap nilai-
nilai Islam. Ini merupakan fitnah yang paling dahsyat, karena para penyeru kebatilan dapat
berlindung dibalik keinginan dan kehendak masyarakat. Barangkali fitnha ini tergolong fitnah
DAHMA seperti yang dilansir dalam sebuah hadits riwayat Abu Daud tentang empat macam fitnah
yang diprediksi oleh Rasulullah dalam sabdanya : 

‫ ثم‬، ً‫ يصبح الرجل فيها مؤمنا ً ويمسي كافرا‬، ‫ فإذا قيل انقضت تمادت‬،‫ثم فتنة الدهيماء ال تدع أحداً من هذه األمة إال لطمته لطمة‬
‫ وفسطاط نفاق ال إيمان فيه‬،‫ فسطاط إيمان ال نفاق فيه‬: ‫يصير الناس إلى فسطاطين‬

“Kemudian terjadi fitnah DAHMA………………………………, di pagi hari seseorang menjadi muslim di sore
harinya menjadi kafir, lalu manusia digiring ke dua jalan, jalan keimanan yang bersih dari unsur
kemunafikan dan jalan kemunafikan yang kosong dari keimanan”.

Sesungguhnya telah berjalin berkelindan hawanafsu dan para pemujanya, sebgaimana yang terpapar
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muawiyah RA : “Mereka mengikuti hawa nafsu seperti virus
yang merasuki seseorang, tidak ada pori-pori dan persendian yang tersisa pasti akan dimasukinya”.
Berkata Imam as-Syatiby : “Pengertian hadits ini adalah bahwasanya Rasulullah memberitahukan
apa yang akan terjadi pada umatnya yang cenderung kepada hawanafsu yang terbagi menjadi
beberapa firqah, ada firqah yang telah dirasuki sepenuhnya hati mereka dengan hawanafsu,
sehingga sukar diharapkan dapat berpisah dan taubat darinya, karena virusnya telah menyebar ke
seluruh anggota tubuh dan jaringan peredaran darah, bila seperti itu kondisinya maka akan
mengalami resistensi penyembuhan dan tidak obat apapun tidak ada manfaatnya.

Adapun mengenai jumlah firqah dan aliran sebagaiman telah disebutkan pada hadits di atas. Imam
Al-Baghdady (429 H. – 1038 M) di dalam kitabnya “Al-Firaq” Ia berkata : “Mengenai 72 golongan
dalam hadits tersebut adalah 20 sekte Rafidah, 20 sekte Khawarij, 20 sekte Qadariyah, 20 sekte
Murji’ah, 30 Najariyah, Bakriyah, Dharariyah, Jahmiyah, Karaamiyah, seluruhnya menjadi 72
golongan.

Tetapi penghitungan itu tidak akurat, dengan sebab beberapa hal berikut :

Pertama : Bercampuraduknya antara firqah yang keluar dari islam dan yang masih masuk di
dalamnya.

Kedua : Ia hanya menyebutkan firqah yang Ia ketahui pada zamannya, sebab setelah wafatnya al-
Baghdady banyak firqah-firqah baru bermunculan.Oleh karena itu seyogyanya para pensyarah dan
mufassir tidak perlu menguraikan golongan apa saja yang 72 itu.

Ketiga : Ia menyebutkan lebih dari 90 firqah tapi dia mengatakan inilah ke 72 firqah itu.

SIKAP MUSLIM TERHADAP FIRQAH-FIRQAH

Sikap Muslim terhadap firqah-firqah yang ada bisa positif bisa pula negative, sikap yang negative bila
seorang Muslim menjauhi dirinya (uzlah) dari firqah-firqah yang menyesatkan sehingga dirinya tidak
tertimpa “penyakit” seperti mereka, karena berinteraksi dengan mereka seperti berinteraksi dengan
ahli neraka dan para penyerunya. Sedangkan sikap positifnya adalah mencari jamaah kaum muslimin
dan berkomitmen dengannya.

Yang dimaksud dengan uzlah bukanlah uzlah keluar dari masyarakat pergi ke gurun sahara atau
lereng gunung, karena uzlah seperti itu akan memberikan peluang bagi pemuja hawanafsu untuk
menyebarkan dan mempublikasikan ajarannya di tengah-tengah masyarakat, dan menanamkan
doktrin dan kepemimpinannya. Hal itu justru semakin membuat kebenaran dan orang-orang yang
memperjuangkannya semakin terpuruk. Tetapi juga harus diperhatikan munculnya kesalahan baru
mengasumsi kebaikan pada kondisi yang secara jelas kontra produktif, karena setiap kondisi
menuntut sikap sesuai dengan kadarnya, dan tidak melontarkan pernyataan kecuali pada konteks
yang releven dan proporsional, seperti kita mengambil pemahaman uzlah pada umat terdahulu
sebagai sebuah kenikmatan dalan setiap kondisi dan situasi, seperti menyebutkan bahwa Ibnu Umar,
Saad bin Abi Waqqash, dan Abu Bakrah telah beruzlah dari fitnah. Perbuatan para sahabat tersebut
kemudian menjadi dalil yang digunakan untuk meninggalkan masyarakat. Karena itu kita dapati
Imam Bukhori menyusun bab khusus tentang hal ini, Ia berkata : “Berbaur dengan arab badui ketika
terjadi fitnah : berimigrasi ke kawasan arab badui ketika terjadi fitnah”. Ibnul Aqwa’ pernah ditanya
oleh Al-hajjaj : “Hai Ibnul Aqwa’ apakah engkau telah murtad tinggal di perkampungan badui?”, Ia
menjawab : “Tidak, tetapi aku mendapat izin dari Rasulullah untuk tinggal di perkampungan badui
ini”. Ibnu Hajar menjelaskan : “Tinggal di perkampungan arab badui, terjadi ketika kaum Muhajirin
pindah dari negeri tempat hijrahnya ke perkampungan badui dan menetap di sana, sehingga tidak
lagi disebut Muhajir tapi Badui, padahal hal itu diharamkan kecuali mendapat ijin syar’I”. Jadi pada
dasarnya melarang orang yang telah berhijrah untuk uzlah ke pedalaman, sahara atau berbaur
dengan arab Badui.

Sesungguhnya bila kita memperhatikan hikmah di balik pelarangan orang yang berhijrah
meninggalkan tempat hijrahnya dengan berlari ke pedalaman (Badui), maka kita telah mendapatkan
bahwa hijrah disyariatkan untuk membela Islam dan umatnya dan untuk melindungi masarakat dari
kekufuran dan kemunafikan, sebab bila seorang muslim meninggalkan begitu saja para pembuat
fitnah maka berarti Ia menaruh saham pada kemunkaran tersebut dan membantu ajarannya. Ibnu
Hajar berkata : “dilarangnya mengungsi ke pedalaman arab badui pada saat bergejolaknya fitnah,
sama saja dengan menjadikan pejuang kebenaran menjadi pecundang”.

Meskipun umat terdahulu gemar beruzlah, tetapi hal itu hanya dimaksudkan untuk mengurangi
pergaulan, tidak melampaui batas dalam memanjakan kebiasaan-kebiasaan yang melalaikan,
berlebihan dalam bercengkram dan hal-hal yang mubah. Imam sulaiman Al-Khithaby berkata : “Kami
tidak menghendaki uzlah dipahami dengan meninggalkan manusia dalam kontek berjamaah, karena
hal itu berarti mengabaikan hak-hak mereka dalam beribadah,menyebarkan salam dan
membalasnya, dan hak-hak mereka lainnya yang harus dipenuhi, merancang berbagai aturan dan
tradisi yang baik. Yang kami maksudkan dengan uzlah adalah meninggalkan persahabatan yang
berlebihan dan tidak menambahkannya dan meniadakan hubungan yang tidak terlalu diperlukan”.

Keterkaitan uzlah dengan bentuk fitnah : Terdapat permasalahan yang perlu dijelaskan sebelum
selesai membahas tema uzlah ini, yaitu mengenai pembatasan bentuk fitnah yang mendorong untuk
meninggalkan masarakat dan menjauhinya serta tidak terlibat dengan berbagai kegiatannya, atau
bahkan mendorong bertahan dan melakukan perlawanan dan konfrontasi terhadap fitnah tersebut.

FITNAH BERLOMBA KEKUASAAN

Rasulullah telah mengisaratkan terjadinya fitnah dan penyebarannya, sehingga tidak ada satu
negeripun yang terbebas darinya, sebagaimana Imam Bukhari meriwayatkan dari Usamah bin Zaid
berkata : 

‫أشرف النبي‬r ‫ فني ألرى الفتن تقع خالل بيوتكم كموقع القطر‬:‫ قال‬،‫ ال‬:‫ هل ترون ما أرى؟ قالوا‬: ‫على أطم من آطام المدينة فقال‬

“……………………………….., apakah kalian melihat apa yang aku lihat?, para sahabat menjawab : Tidak!.
Beliau bersabda : “sesungguhnya aku melihat fitnah telah menimpa rumah-rumah kalian seperti
jatuhnya air hujan”.

Peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan RA adalah fitnah pertama dalam sejarah Islam, yang
memercikan api peperangan antara kubu Ali bin abi Thalib dab Aisyah RA, kemudian meletus pula
peperangan Shiffin. Para sahabat berbeda pendapat siapa nyang lebih benar dalam konflik tersebut,
meskipun demikian mayoritas sahabat berpendapat bahwa Ali bin Abi Thaliblah yang memeiliki
kewenangan (otoritas), sedangkan Muawiyah seorang Mujtahid yang keliru namun berhak
mendapatkan satu pahala, kemudian fitnah berikutnya terjadi setelah itu, yang dipicu oleh
persaingan pemerintahan dan kekuasaan. Sebagaimana diisaratkan dalam sebuah Hadits yang
dikeluarkan oleh Imam Bukhori dari Usaid bin Hudair :

‫أن رجالً أتى النبي‬r، ‫ فاصبروا حتى تلقوني‬، ‫ إنكم سترون بعدي أثرة‬: ‫ قال‬،‫فقال يا رسول هللا استعملت فالنا ً ولم تستعملني‬
“Bahwasanya ada seseorang datang kepada Nabi lalu berkata : “Ya! Rasulallah, engkau telah
mengangkat si fulan sebagai pejabat, tapi mengapai engkau tidak mengangkatku”, lalu beliau
bersabda : “sesungguhnya kalian akan melihat pergolakan setelahku, bersabarlah kalian sampai
kalian bertemu denganku”.

Sesungguhnya sebagian besar Khalifah Abbasiyah dan penguasa Mamalik dan penguasa lainnya naik
ke tampuk kekuasaan melewati sebuah pergolakan, Semua ini adalah isarat kenabian, meskipun
begitu berbagai fitnah yang ada tidak mengeluarkan masarakat dari Islam, dan hukum-hukum
syariah yang bersumber dari kitab dan sunnah tetap dilaksanakan. Berkaitan dengan hali ini kita juga
dapat mengambil pelajaran dari hadits yang ditakhrij oleh Imam Bukhari, dari Abu Hurairah RA
berkata, Rasulullah SAW bersabda :

‫ فمن‬،‫ من تشرف لها تستشرفه‬،‫ والماشي فيها خير من الساعي‬،‫ والقائم فيها خير من الماشي‬،‫ستكون فتن القاعدة فيها خير من القائم‬
‫وجد فيها ملجأ أو معاذاً فليعذ به‬

“Akan terjadi fitnah dimana yang duduk lebih baik dari yang berdiri, yang berdiri lebih baik dari yang
berjalan, yang berjalan lebih baik dari yang berlari, barangsiapa yang membimbingnya maka Ia akan
terus membutuhkan bimbingannya, dan barangsiapa yang di saat fitnah tersebut mendapatkan jalan
keluar atau tempat berlindung maka hendaklah Ia berlindung padanya”.

Dalam Hadits riwayat Muslim disebutkan : 

‫ يا‬:‫ فقال‬:‫ قال‬،‫ ومن كانت له أرض فليلحق بأرضه‬،‫ ومن كان له غنم فليلحق بغنمه‬،‫فإذا نزلت أو وقعت فمن كان له إبل فليلحق بإبله‬
‫ اللهم هل‬،‫ ثم لينج إن استطاع النجاه‬،‫ يعمد إلى سيفه فيدق على حده بحجر‬: ‫رسول هللا إن لم يكن له إبل وال غنم وال أرض؟ قال‬
‫ فضربني‬،‫ أو إحدى الفئتين‬،‫ يا رسول هللا أرأيت إن أكرهت حتى يُن َطلَقَ بي إلى أحد الصفين‬: ‫بلغت؟ اللهم هل بلغت؟ فقال رجل‬
‫ يبوء بإثمه وإثمك ويكون من أصحاب النار‬: ‫ أويجيء سهم فيقتلني؟قال‬،‫رجل بسيفه‬

“Maka apabila terjadi fitnah tersebut, hendaknya yang memiliki onta agar 

Hal ini menjadi titik tolang pandangan Ibnu hajar bahwa perselisihan dalam mencari menuntut
kekuasaan tidak diketahui mana pelaku kebenaran dan mana pelaku kebatilan. Kemudian Ibnu Hajar
menukil pendapat Imam At-Thabary yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dikatakan fitnah itu
adalah bencana, mengingkari kemungkaran adalh wajib bagi yang mampu menghadapinya, barang
siapa yang membantu pelaku kebenaran maka ia benar, dan barangsiapa yang melakukan kesalahan
maka Ia salah, sesunggahnya persoalan yang paling pelik adalah keadaan dimana terdapat larangan
berperang di dalamnya.

Adapun dari Hadits yang diriwayatkan oleh Abu bakrah kita mengetahui bahwa lari dari fitnah ketika
terjadi dua kubu umat islam yang saling berseteru, dimana antara hak dan batil menjadi samara atau
tidak dapat diketahui siapa pelaku kebnaran dan siapa pelaku kebatilan.

Pengertian seperti ini juga datang dari Abu Barzah Al-Aslamy, sebagaimana ditakhrij oleh Imam
Bukhori dari Abul Minhal berkata : “Tatkala Ibnu Zayyad dan Marwan bergabung dengan pasukan
Ibnu zubair di Mekkah, dan bergabung pula para Hafidz Qur’an di Basrah, aku pergi bersama Ayahku
menemui Abu Barzah al-Aslamy, kami masuk ke rumahnya pada saat itu beliau sedang duduk-duduk,
kamipun langsung duduk di dekatnya.laluAyahku mengawali pembicaraan seraya berkata : “Wahai
abu Barzah tidakkah engkau melihat apa yang terjadi pada sekumpulan manusia?. Maka kalimat
pertama yang aku dengar darinya adalah : “Sesungguhnya aku berserah diri kepada Allah tentang
kemarahanku kepada orang-orang Quraisy, sesungguhnya kalian wahai bangsa Arab tengah berada
dalam satu situasi yang kalian ketahui sendiri, penuh dengan kehinaan, ketidakberdayaan dan
kesesatan, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan kalian dengan Islam dan dengan datangnya
Nabi Muhammad SAW, sehingga sampai kepada apa yang kalian lihat sekarang ini, inilah dunia yang
telah kalian rusak diantar kalian sendiri. Demi Allah yang di Syam mereka berperang hanya untuk
dunia, yang ada di tengah-tengah kalian juga berperang hanya untuk dunia dan yang di Mekkah juga
berperang untuk dunia”.

Dari penjelasan tersebur di atas bahwa abu Barzah RA memandang boleh menghindari fitnah,
karena tidak didapati pelaku kebenarannya. Sedangkan Ibnu Umar RA telah menempuh jalan ini
(uzlah) ketika terjadi perselisihan antara Abdul malik bin Marwan dan Ibnu Zubair. Imam Bukhari
meriwayatkan dari Said bin Jabir Ia berkata : Abdullah bin Umar berkunjung kepada kami, kami
berharap Ia membawa cerita yang baik, tiba-tiba seseorang mendahului kami seraya berkata :
“Wahai Abu Abdurrahman ceritakanlah kepad kami peperangan fitnah?, sedangkan Allah
berfirman : ‫وقاتلوهم حتى ال تكون فتنة‬, dan perangilah mereka sampai tidak terjadi fitnah”. Ibnu Umar
berkata : “Apakah engkau tahu apa yang dimaksud dengan fitnah?, sesunghnya dahulu nabi
Muhammad SAW senantiasa memerangi kaum Musyrik, sedangkan masuk ke dalam agama mereka
adalah fitnah, bukan seperti kalian memerangi Abdul Malik.

Dalam riwayat lain : “Orang yang terkena fitnah dari agamanya (Murtad) maka Ia dibunuh atau
diberikan sanksi yang setimpal, sehingga umat Islam tetap utuh terjaga, dan tidak terjadi lagi fitnah”,
atau tidak adalagi fitnah dari seorang kafir terhadap seorang Mu’min.

Ditakhrij oleh Imam Bukhori dari Ibnu Umar RA tatkala datang kepadanya dua orang yang hendak
memerangi Ibnu Zubair, lalu keduanya berkata : “Sesungguhnya orang-orang telah berngkat, dan
engkau hai Ibnu Umar sahabat Rasulullah!, apa yang manghalangimu untuk tidak ikut keluar
berperang?”. Ibnu Umar menjawab : “Yang menghalangiku adalah Allah yang telah mengharamkan
darah saudaraku”, “Bukankah Allah berfirman : ‫“وقاتلوهم حتى ال تكون فتنة‬, sanggahnya. Kemudian Ibnu
Umar menjelaskan : “Kita berperang sampai tidak terjadi fitnah, agama menjadi seluruhnya
kepunyaan Allah, sednagkan kalian berperang agar supaya tidak terjadi fitnah, dan agama menjadi
kepunyaan selain Allah”.

Dari beberapa riwayat tersebut di atas, kita dapat mengenali dua macam fitnah. Harus ada focus
perhatian terhadap fitnah besar yang merusak agama dan mengancam keimanan, fitnah seperti ini
tidak ada kompromi bersamanya.

FITNAH DALAM PENGERTIAN KUFUR

Yaitu fitnah yang sasarannya untuk menjatuhkan Islam dan akidahnya, ini merupakan fitnah yang
paling berbahaya, tidak boleh seorang Mu’min bersikap kompromi denganny dan membiarkannya,
Inilah fitnah yang dimaksudkan Allah dalam firman-NYA :
193. Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya
semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.

Imam Ar-Razy berkata dalam tafsirnya : “yang dimaksud dengan fitnah apda ayat tersebut adalah
kemusyrikan dan kekufuran, fitnah yang dilakukan oleh orang-orang kafir adalah bahwasanya
mereka memukul dan menyakiti shabat-sahabat Nabi di Mekkah, sehingg mereka pergi ke Habasyah,
kemudian meruka terus menerus teraniaya, sehingga akhirnya mereka hijrah ke Madinah. Adapun
tujuan mereka dengan fitnah tersebut adalah agar kamu muslimin meninggalkan agama mereka dan
kembali menjadi orang-orang kafir. Maka diturnkanlah oleh Allah ayat tersebut di atas, yang
mengandung pengertian : “perangilah mereka sampai kalian menang terhadap merka, dan mereka
tidak akan memfitnah kalian terhadap agama kalain, sehingga kalian tidak jatuh kepada Syirik.

Fitnah semacam ini lebih keji dari pada peperangan, karena kerusakan di muka bumi akan
mengakibatkan kezhaliman dan peperangan. Imam Ar-Razy berkata : “Sesungguhnya kekufuran itu
lebih berbahaya dari peperangan, karena kekufuran itu merupakan dosa yang pelakunya berhak
mendapatkan siksa selama-lamanya, sedangkan peperangan tidak seperti itu, kekufuran dapat
mengelauarkan seseorang dari agamanya, sedangkan peperangan tidak demikian”.

Oleh karena itu Al-Qur’an menegaskan satu keadaan dimana fitnah telah berakhir adalah
kemapanan urusan agama dan keberlangsungannya, sebagaimana firman Allah Ta’alaa : ‫ويكون الدين هلل‬,
ini merupakan satu tujuan yang sanagt mulia dimana jihad tidak akan berhenti bila fitnah belum
berakhir. Imam Ar-Razy berkata : “Tidak ada perantara antara syirik dengan agama seluruhnya milik
Allah, maka dengan pengertian lain dapat dikatakan : ‫فقاتلوهم حتى يزول الكفر ويثبت اإلسالم‬. “perangilah
mereka sampai hilangnya kekufuran dan tegaknya Islam”.

Fitnah semacam ini telah terjadi, hingga akhirnya umat Islam dalam kebanyakan negeri mereka
memilih sistem dan perundang-undangan yang tidak ada hubungannya dengan nilai-nilai Islam,
bahkan bertentangan 180 derajat, didirikannya berbagai lembaga kehidupan di atas prinsip-prinsip
yang menyesatkan. Sementara sebagaian kaum Atheis dan sekulermencengkran dengan kekuasaan
dan doktrinnya, maka sebagian komunitas umat mulai terjungkirbalikkan akidahnya dan mulai
murtad secara perlahan, dan oleh merekalah Isalam mulai dijauhkan dari berbagai institusi
kehidupan dan memaklumatkan perang terhadap setiap muslim, karena itu apa yang telah
dikhatirkan oleh Nabi SAW telah menjadi kenyataan di sebagian negeri-negeri kaum Muslimin,
sebagaimana sabda beliau :

‫ال ترجعوا بعدي كفاراً يضرب بعضكم رقاب بعض‬

“Setelah aku tiada janganlah kalian kembali menjadi kafir dimana sebagian memukul tengkuk
sebagian yang lain” (HR. Bukhari – Muslim)

Fitnah semacam ini harus dihadapi oleh seorang Muslim, tidak boleh mencari selamat dari kejahatan
fitnah tersebut dengan mengungsu ke atas gunung atau ke dalam gua, dan tidak boleh
menyebabkannya keluar dari masyarakat dan beri’tikaf di Masjid. Adapun sikap positif dalam
menghadapi fitnah ini adalah mencari jama’ah orang-orang yang beriman, komunitas yang eksis di
atas kebenaran, yang telah memberikan buah kesungguhan dan konsistensi keberpihakan (afiliasi) (
‫)صادق االنتماء‬, hal merupakan satu-satunya pilihan bagi seorang Mu’min, sebagaimna sabda Nabi
kepada Khudzaifah : (‫)تلزم جماعة المسلمين وإمامهم‬, “engkau harus menjalinkomitmen dengan Jamaah
kaum Muslimin dan Imam mereka”.

Imam Ibnu Hajar berkata : “perintah komitmen terhadap jamaah diantaranya terdapat dalam hadits
yang diriwayatkan Imam Tirmidzi” :
‫ فإن من فارق الجماعة قيد شبر فقد خلع ربقة اإلسالم‬،‫ السمع والطاعة والجهاد والهجرة والجماعة‬:‫وأنا آمركم بخمس أمرني هللا بهن‬
‫من علقه‬. 

“Aku perintahkan kalian lima perkara sebagiman yang telah Allah perinthakan kepadaku, yaitu :
mendengar, taat, jihad, hijrah, dan jamaah, karena sesungguhnya siapa yang memisahkan diri dari
jama’ah walaupun sejengkal maka Ia telah melepaskan ikatan Islam dari kerongkongannya” (HR.
Tirmidzi) 

Dalam khutbahnya yang cukup masyhur Umar bin Khattab berkata :

‫ وهو من االثنين أبعد‬،‫ فإن الشيطان مع الواحد‬،‫فإن عليكم بالجماعة وإياكم والفرقة‬

“Sesungguhnya kalian harus berjamaah, hindarilah oleh kalian perpecahan, karena syaitan bersama
satu orang dan menjauh dari dua orang” 

Mengkin anda bertanya-tanya tentang keberadaan jamaah tersebut, barangkali sekilas seseorang
langsung berfikir bahwa jamaah seperti itu tidak ada di tengah masyarakat sekarang ini, sebagai
jawabnnya adalah Hadits riwayat Imam Bukhary, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

‫ ال يضرهم من خذلهم وال من خالفهم حتى يأتيهم أمر هللا وهم على ذلك وفي رواية أخرى‬، ‫ال يزال من أمتي أمة قائمة بأمر هللا‬
)‫( حتى يأتي أمر هللا وهم ظاهرون على الناس‬.

“Akan senantiasa ada dari kalangan umatku umat yang menegakkan perintah Allah, tidak
membahayakan mereka siapapun yang menghinakan dan menentangnya, sehingga datang
ketetapan Allah dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu”. Dalam riwayat yang lain : “sehingga
datang ketetapan Allah dan mereka telah berhasil menguasai manusia”

Dalam riwayat Al-Mughirah bin Syu’bah RA :

‫لن يزال قو ّم من أمتي ظاهرين على الناس حتى يأتيهم أمر هللا وهم ظاهرون‬

“Tidak akan berhenti satu kaum dari umatku yang berhasil mengausai manusia sehingga datang
ketetapan Allah dan mereka meraih kemenangan” 

Riwayat hadits seperti ini cukup banyak, redaksinya hampir sama, secara umum memberikan
argumentasi bahwa umat ini tidak kosong dari satu komunitas yang menegakkan perintah Allah,
sesuai dengan apa yang didatangkan oleh Nabi Muhammad SAW, melalui komunitas inilah Allah
menjaga wahyu-NYA, dan mewujudkan tegaknya hujjah terhadap makhluk dan menghilangkan
segala penghalang, serta menerang jalan hidayah dan petunjuk. Ibnu Hazm berkata : “jelaslah,
bahwa komunitas manusia di setiap masa tidak boleh kosong dari para penyeru (proklamator)
kebenaran”. 

Pada saat yang sama banyak kelompok yang lepas dari agama Allah, baik bentuknya berupa
penyimpangan kepada hawa nafsu yang menyesatkan dan prinsip-prinsip yang menyimpang,
begitulah keadaan para penentang yang menipu daya jamaah orang-orang yang beriman, maupun
berupa kesibukan hidup dalam mencari kesenangan yang semu dan mencari refreshing dengan
menceburkan diri ke dalam kubang kemaksiatan. Begitulah keadaan mayoritaskomunitas manusia
yang tidak pernah berpikir untuk kebaikan diri mereka sendiri. Begitulah pula bahwasanya jama’ah
orang-orang beriman selalu berada di tengah-tengah para penentangnya.
Sesungguhnya Jama’ah orang beriman akan keluar sebagai pemenang dalam menghadapi orang-
orang yang memusuhinya, menghinanya dan merendahkannya, jama’ah tersebut diperkuat dengan
pertolongan Allah di mana para musuhnya tidak dapat memberikan mudharat sedikitpun. Arti dari
sabda nabi : ( ‫ )وهم ظاهرون‬sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar adalah mereka yang menang,
sednagkan kaitannya dengan kata-kata “Dzhahirun” juga bisa diartikan mereka tidak tenggelam
tetapi menjadi terkenal (masyhur). Ibnu Hajar berkata : “pengertian yang pertama lebih tepat”
Tetapi tampaknya yang kedua juga lebih tepat, bahwasanya kemenangan yang dimaksud adalah
eksisnya popularitas (kemasyhuran) dan kesinambungan dan ajeg di atas kebenaran. Pengertian ini
dikuatkan oleh Hadits yang ditakhrij oleh Imam Bukhary :

‫ أو حتى يأتي أمر هللا‬،‫ولن يزال أمر هذه األمة مستقيما ً حتى تقوم الساعة‬

“Urusan umat ini akan tetap terus berlangsung (istiqomah) hingga datang hari kiamat atau sampai
datangnya keputusan Allah” 

Keistiqomahan yang dimaksud tidak harus dengan penguasaan kekuatan materi, tetapi istiqomah
akan terus berlangsung, walaupun jama’ah dalm kondisi lemah dan tertekan.

Semoga kecenderungan Ibnu Hajar pada pengertian kemenangan seperti apa yang dilihatnya pada
kemnangan sebagian pejuang kebenaran (Ahlul Haq) pada satu wilayah atau distrik sejak zaman Nabi
hingga zamannya. Seandainya beliau hidup di zaman belakangan ini, maka Ia akan melihat bagaimna
Ahlul Haq dikalahkan oleh Ahlul Bathil, akan tetapi ahlul haq tetap eksis di atas kebanaran, mereka
teguh di jalannya, dikenal dengannya, kekuatan hawa nafsu tidak dapat mencabut fikrah mereka,
tidak memudaratkan mereka apapun yang merke hadapi berupa kesulitan dan berbagai penganiyaan
dan berbagai stigma dan tuduhan, bahkan perjuangan mereka terus berlangsung dan manusia
melihat mereka tetap tegak di atas perintah Allah SWT. Imam Nawawi berkata : 

‫ال يزالون على الحق حتى تقبضهم هذه الريح اللينة قرب القيامة‬

“Mereka akan terus berada di atas kebenaran sampai ruh mereka tercabut menjelang kiamat” 

Sesungguhnya Rasulullah SAW dan para sahabatnya eksis di tengah-tengah masyarakat kota Mekkah
yang musyrik, meskipun mereke mendapatkan penganiyaan dan pengusiran, begitulah keadaan
jama’ah yang beriman tetap tegak di atas ketetapan Allah SWT, tetap eksis walaupun belum
memiliki kekuassan sosial-politik.

PENETAPAN JAMAAH, APAKAH HANYA SATU SAJA?

Tidak ada perbedaan pendapat bahwasanya jamaah kaum muslimin di masa nabi SAW dan di masa
Khluafa ar- Rasyidin merupakan golongan mayoritas umat ini yang berhukum dengan syariat Allah.
Pada masa itu umat menjadi kuat dan Islam memiliki kedaulatan penuh, akan tetapi kemudian
ikatan umat yang satu itu mulai tercerai, munculah berbagai jamaah, bahkan sebagian ulama
mengkaitkan dengan kekhususan nash yang menyinggung tentang ‫(فئة‬golongan), meskipun waktu itu
ummat Islam masih tergolong ‫خير قرونها‬, (terbaik pada masanya).

Imam Ahmad, Ali bin Al-Madiny dan Abu Abdullah al-Hakim berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan nash tersebut adalah mereka ahlul Hadits, sebagaima yang telah dinukil oleh Al-Hakin dari
Imam Ahmad yang mengatakan : “Kalau bukan ahlul Hadits aku tidak tahu siapa mereka itu”. Lalu Al-
Hakim berkomentar : “Alangkah bagusnya Ahmad bin Hambal dalam menafsirkan hadits
tentang ‫(الطائفة المنصورة‬kelompok yang ditolong) yang senantiasan dijauhkan dari mereka kehinaan
hingga hari kiamat, mereka adalah ahlul hadits”. 

Meskipun para ahli Hadits memainkan perna yang sangat besar dalam berkhidmat kepada sunnah
nabawiyah, akan tetapi kita tidak dapat mengatakan bahwa kelompok ini akan terus ada hingga hari
kiamat. Sesungguhnya telah terhenti kontribusi dan ijtihad meraka dalam ulumul Hadits, kecuali
hanya segelintir orang saja, sejak beberpa ratus tahun. Pada dasarnya nash hadits mengisratkan
kesinambungan mereka (istimrar) dan terus tersisa kelompok mereka hingga menjelang kiamat.

Adapun Imam Muhammad Abduh telah mengambil sikap dan pandangan yang jauh tentang hadits
“al-Firaq” seraya berkata : “Sesungguhnya hadits ini mengajarkan kita bahwa umat di dalam tubuh
umat telah terpecah menjadi berbagai kelompok, yang selamat hanya satu, Adapun penentuan
“Firqah Najiyah”, kelompok yang selamat, yaitu mereka yang mengikuti apa yang ada pada Nabi dan
para sahabatnya, belum jelas bagiku hingga sekarang, karena masing-masing kelompok mengikuti
Nabi dengan risalahnya dan menjadikan kelompoknya mangikuti apayang ada pada nabi para
sahabatnya” 

Dalam Hal ini Syeikh Rasid Ridha berbeda pendapat dengan gurunya, dan menganggap gurunya telah
terpengaruh oleh pandangan-pandangan filsafat dan Ilmu kalam, dan obsesinya untuk menyatukan
kaum muslimin, beliau kurang menelaah kitab-kitab Hadits, kemudian Rasyid Ridha menanggapi
pendapat gurunya dengan menegaskan bahwa ahli Hadits dan ulama Atsar yang mengacu kepada
salafussaleh itulah yang dimaksud dengan kelompok yang selamat, cukup banyak jumlahnya pada
generasi awal tetapi sedikita pada generasi belakangan ini, mereka tidak mungkin mengikuti ulama
ahli kalam yang bid’ah atau para muqallid dalam masalah furu’iyyah. 

Pengarang kitab “Zaadul Muslim” berpendapat bahwa kelompok yang dimaksud adalah mereka para
Mujahid di Palestina, dan hal ini sesuai dengan zaman di mana pengarng kitab tersebut hidup”.
Imam Nawawy lwbih umum pendapatnya, Ia berkata : “Sesdungguhnya kelompok yang beraneka
ragam di kalangan kaum mu’minin adalah mereka yang pemberani, pasukan perang, ahli Hadits,
kaum zuhud yang aktif melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan banak lagi keompok kebajikan
lainnya, mereka tidak harus berkumpul tetapi mereka tersebar berserakan di permukaan bumi”. 

Secara dzahir aku melihat bahwa beberapa pendapat tersebut di atas sangat dibatasi oleh zaman
yang mengemukakannya. Pada zaman Imam Ahmad para ahli hadits adalah mereka yang mengusung
sunnah dan yang membentenginya dari filsafat Yunani dan India dan dari kelompok-kelompok
kebatinan lainnya, mereka menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh dalam mengumpulkan
hadits dan menyusunnya dan memilah antar hadits shahih dan tidak shahih. Akan tetapi peran para
ahli hadits tersebut nyaris terhenti bersamaan dengan munculnya kitab-kitab hadits yang tersusun
dalm bab-bab, musnad, index, biografi perawi dan pembawanya dan sejarah ilmu hadits, dan taqlid
mulai mendominasi pada zaman-zaman belakangan, sebagaimana hal yang sama terjadi pada aspek-
aspek pengetahuan islam yang lainnya.

Tidak bisa kita mengatakan bahwa kelompok ahli hadits adalah kelompok yang eksis hingga Allah
mendatangkan keputusannya atau hingga menjelang kiamat. Ada juga yang mengatakan
bahwasanya kelompok sufi adalah kelompok yang eksis, sesungguhnya pendapat seperti itu sesuai
dengan zaman dimana kelompok sufi memang sedang eksis di masyarakat, sebagaiman kelompok ini
memiliki peranan penting pada masa perang salib, juga di benua Afrika ketika menghadapi
paganisme dan peradaban barat, dan ikatan serta padepokan-padepokan sufi menjadi basis titik
tolak. Bertolak darinyalah Islam masuk ke jantung Afrika.

Bila dikatakan bahwasanya Mujahid Palestina di mana mereka telah menghadapi tentara Inggris dan
Yahudi adalah kelompok yang dimaksud, hal itu bisa saja ketika Syeikh Syanqity telah menulis kitab
“Zaadul Muslim”, maka mereka tergolong kelompok yang dimaksud tersebut. Juga dapat dikatakan
bahwa kelompok yang dimaksud bukan hanya di Palestina saja saat itu, tetapi siapa saja yang
mengusung panji jihad di jalan Allah di negeri yang lainnya.

Solusi dari silang pendapat tersbut di atas adalah dengan mencari keanekaragaman kelompok baik
dari latar belakang kapasitas, kapabilitas, momentum dan ketokohan. Apa yang dikatakan oleh Imam
Nawawy mendekati solusi tersebut, beliau menghindari pendefinisisan kelompok yang dimaksud
dari unsur zaman.

Bila kita mulai masuk pada kalkulasi kondisi umat ini, sejak beberap kurun waktu umat ini telah
mengalami keterbelakangan wawasan, pemikiran, perundang-undangan dan ketentuan hukum
Islam, dan dalam hal ini umat terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, kelompok yang memerangi
Islam, dan menyokong pihak-pihak yang memeranginya dengan berbagai pemikiran yang
menyimpang. Kedua, kelompok yang gigih mengusung Islam dan menuntut penerapan hukum sesuai
dengan al-Qur’an as-sunnah dalam kehidupan umat. Ketiga, kelompok yang mengerahkan
kesungguhannya hanya untuk mata pencaharian, bisnis dan pemenuhan hajat, kelompok ini tidak
perduli dengan pertarungan antara yang haq dan yang bathil, kecuali ada hubungannya dengan
kepentingan bisnis mereka.

Kita bisa saja mengatakn bahwa kelompok yang dimaksud adalah mereka yang mengusung Islam
menyerukan untuk memberlakukan hukum syariat, kelompok ini bisa beragam bentuknya, tetapi
tujuan dan sasarannya sama, kelompok ini tidaka kan sampai kepada tujuan yang diinginkan keuali
dengan intensitas ilmu tenatng hukum-hukum syariat, akidah Islam dan perundang-unadangannya
dab bagaiman mendakwahkannya. Sebuah Jama’ah tidak dapat disebut jamaah yang sesungguhnya
bila tidak ada loyalitas, sikap mendengar dan taat serta komitmen di antara para pendukungnya.

Ilmu syariat adalah salah satu syarat, sedangkan loyalitas dan komitmen adalah sifat yang melekat
pada sebuah jama’ah, sebagaimana tertuang dalam sebuah hadits yang ditakhrij oleh Imam
Bukhary :

‫ ال يضرهم من خالفهم حتى‬،‫ ولن تزال هذه األمة قائمة على أمر ربها‬،‫ وإنما أنا قاسم وهللا يعطي‬،‫من يرد هللا به خيراً يفقهه في الدين‬
‫يأتي أمر هللا‬

“Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan, maka Allah akan menjadikannya faqih
(mendalam) dalam agamanya, aku hanya mendistribusikannya sedangkan Allah yang memberinya,
sepanjang umat ini tegak di atas perintah Allah, maka tidak akan membahayakan mereka orang yang
menentangnya sehingga datang keputusan Allah”. 

Dalam riwayat yang lain disebutkan :

‫ولن يزال أمر هذه األمة مستقيما ً حتى تقوم الساعة أو حتى يأتي أمر هللا‬
“Tidak akan berhenti urusan umat ini, tetap istiqomah sampai datang hari kiamat atau sampai
datang keputusan Allah”. 

Imam al-Karmany memmahami kata-kata “istiqomah” dalam riwayat ini dengan pengertian
“tafaqquh”, karena hal itu adalah sesuatu yang sangat mendasar, dari sinilah keterkaitan hadits-
hadits smakna lainnya. Imam Bukhary telah mencantumkan satu bab dalam kitabnya dengan
sebutan :

‫ وما أمر النبي‬، ً ‫باب وكذلك جعلناكم أمة وسطا‬r‫من لزوم الجماعة وهم أهل العل‬

“Bab demikianlah kami jadikan kalian umat pertengahan, dan apa yang diperintahkan Nabi untuk
komitmen dengan jamaah dan ahli ilmu”. Ibnu Hajar berkata : “ yang dimaksud oleh Imam Bukhory
adalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yaitu ahli ilmu syar’I, selain mereka walupun dinisbahkan kepada
ilmu hanyalah nisbah majazy bukan hakiki”. 

Sedangkan kalangan awam tidak akan masuk kelompok ini. Kecuali jika mereka berinteraksi dengan
Islam dan hukum-hukumnya, dan ikut terlibat dalam pertarungan un tuk memenangkan Al-Haq dan
para pengikutnya. Bila ada yang mengatakan apa yang dimaksud dengan sabda Nabi “ ‫فعليكم بالسواد‬
‫األعظم”؟‬, hendaknya kalian bersama kelompok yang terbesar, apakah maksudnya kalangan mayoritas
manusia (Jumhurunnaas), atau sekelompok manusia dan kalangan khususnya.

Al-Imam As-Syatiby menjawab hal ini dalam kitabnya “Al-I’tisham”, beliau berkata : Diriwayatkan
oleh Abu Nu’aim dari Muhammad Al-Qasim at-Thusy Ia berkata : aku mendengar Ishaq bin
Rahawiyah mengutip hadits Rasulullah SAW : 

‫ فإذا رأيتم االختالف فعليكم بالسواد األعظم‬،‫إن هللا لم يكن ليجمع أمة محمد على ضاللة‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan ummat Muhammad dalam kesesatan, bila kalian
berselisih maka hendakalah bergabung dengan kelompok mayoritas”, lalu seorang bertanya
kepadanya : “Hai Abu Ya’qub!, siapakah kelompok mayoritas itu?”, “Muhammad bin Aslam dan
sahabtnya serta para pengikutnya” jawabnya tegas. Ibnu Mubarak juga pernah ditanya oleh
sseorang tentang hal yang sama, beliau menjawab : “Abu Hamzah as-sukry. Kemudian Ishaq
berkata : “seandainya orang-orang bodoh ditanya tentang kelompok mayoritas, mereka pasti
menjawab : “kebanyakan manusia”, mereka tidak mengetahui bahwa Jama’ah harus tahu dan
konsisten dengan sunnah nabi dan metodenya, apa yang ada bersamanya dan yang mengikutinya
adalah jama’ah”. 

Pandangan Ishaq bin Rahawiyah mencerminkan pemahaman yang mendalam terhadap peran
Jama’ah Musllimah dan Thaifah Dzahirah yang telah menikmati tingkat kesadaran penguasaan
syariat Islam dan sunnah Nabi SAW, juga penguasaan wawasan, sosial dan politik. Umat Islam tidak
dapat keluar dari kondisi “buih” masyarkat yang menang dan sukses kecuali melalui jama’ah yang
beriman dan kelompok yang komitmen dengan apa yang ada pada Nabi dan para sahabatnya.

Anda mungkin juga menyukai