Anda di halaman 1dari 8

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Non-Farmakologis
Dukungan dan edukasi merupakan hal sangat kritis saat seorang pasien
didiagnosia sebagai penderita penyakit Parkinson. Pasien harus mengerti bahwa
penyakit Parkinson merupakan penyakit kronik progresif, dengan tingkat
progresifitas yang berbeda-beda pada setiap orang, dan telah banyak pendekatan
yang dilakukan untuk memperingan gejala. Adanya group pendukung yang
berisikan pasien penderita Parkinson tahap lanjut, akan lebih membantu penderita
yang baru saja didiagnosa sebagai penderita penyakit Parkinson. Pasien harus
diberikan nasehat mengenai latihan, termasul stretching, strengthening, fitness
kardiovaskular, dan latihan keseimbangan, walaupun hanya dalam waktu singkat.
Studi jangka pendek menyatakan bahwa hal ini dapat meningkatkan kemampuan
penderita dalam melakukan aktifitas sehari-hari, kecepatan berjalan dan
keseimbangan.
Penatalaksanaan Farmakologis
Dengan ditegakkannya diagnosis penyakit Parkinson, tidaklah semata-
mata memulai terapi dengan pemberian obat-obatan. Terapi farmakologis
dibenarkan jika pasien telah merasa terganggu dengan gejala-gejala yang ada, atau
jika mulai timbul kecacatan; keinginan dan pilihan pasien merupakan hal yang
mendasar dalam membuat keputusan untuk dimulainya terapi farmakologis.
Jika pasien membutuhkan terapi untuk mengatasi gejala motorik, maka
obat paling tepat yang digunakan untuk memulai terapi adalah levodopa, agonis
dopamine, antikolinergik, amantadine dan selektif monoamine oxidase B (MAO-
B) inhibitors. Kecuali untuk dilakukannya perbandingan pada individu dengan
pemakaian agonis dopamine dan levodopa, dalam hal ini tidak terdapat perbedaan
yang kuat mengenai keunggulan 2 obat tersebut, namun pengalaman secara klinik
menunjukkan bahwa obat-obat dopaminergik lebih poten dibandingkan
antikolinergik, amantadine dan selektif monoamine oxidase B (MAO-B)
inhibitors. Dengan adanya alasan inilah obat-obat dopaminergik digunakan
sebagai terapi inisial. Guidelines dari “the American Academy of Neurology” dan
evidence-based menurut“Movement Disorder Society” menyatakan bahwa terapi

1
inisial dengan menggunakan levodopa atau agonis dopamine, memiliki alasan
yang dapat diterima.
Levodopa
Levodopa merupakan precursor dopamine, diyakini merupakan obat
antiparkinsonian yang paling efektif. Dalam percobaan yang membandingkan
efektifitas levodopa dan agonis domain, yang dilakukan secara random,
menunjukkan peningkatan ADL dan motorik sebanyak 40-50% dengan
penggunaan levodopa. Levodopa dalam penggunaannya dikombinasikan dengan
peripheral decarboxylase inhibitor seperti carbidopa, untuk mengurangi terjadinya
dekarboksilasi levodopa, sebelum mencapai otak. Tersedia dalam bentuk
immediate-release dan controlled-release. Carbidopa plus levodopa
dikombinasikan dengan catechol O-methyltransferase inhibitor, entacapone,
merupakan satu preparat lain, yang di produksi untuk menciptakan suatu prolong
aksi, dengan mencegah terjadinya metilasi.
Banyak alasan yang mendasari terjadinya kegagalan terapi dengan
menggunakan levodopa, termasuk di dalamnya; penggunaan yang tidak sesuai
index respons seperti tremor, dosis yang tidak adekuat, durasi terapi yang tidak
adekuat, dan interaksi obat (mis; penggunaan levodopa bersamaan dengan
metoclopramide, atau risperidone). Percobaan dengan levodopa harus digunakan
selama 3 bulan, dengan peningkatan dosis bertahap, setidaknya 1000 mg per hari
(bentuk immediate-release) atau sampai dosis limitasi yang menampakkan efek
merugikan sebelum pasien tidak memiliki respon lagi terhadap pengobatan
dengan levodopa. Karena kegagalan terapi terhadap dosis terapi levodopa hanya
dicapai sebanyak kurang dari 10% pasien yang secara patologi terbukti menderita
penyakit Parkinson, maka kegagalan yang timbul diduga merupakan suatu
kemungkinan dari adanya kerusakan lain yang mengindikasikan tidak adanya
terapi farmakologis ataupun terapi pembedahan yang menguntungkan.
Agonis Dopamin
Meskipun agonis dopamine kurang efektif dibandingkan dengan levodopa,
obat-obatan ini merupakan obat first-line alternative dalam terapi penyakit
Parkinson. Bermacam-macam agonis dopamine memiliki efektifitas yang hampir
mirip. Salah satu keuntungan yang potensial dari obat ini dibandingkan dengan

2
levodopa ialah rendahnya resiko untuk terjadinya diskinesia dan fluktuasi fungsi
motorik sebagai efek terapi, dalam 1 hingga 5 tahun pengobatan, khususnya pada
pasien yang mendapatkan agonis dopamine sebagai pengobatan tunggal. Namun
bagaimanapun, sering dibutuhkan penggunaan kombinasi dari agonis dopamine
dan levodopa selama beberapa tahun setelah diagnosis ditegakkan, untuk
mengontrol gejala-gejala lanjutan. Agonis dopamine dihindari pemakaiannya pada
pasien dengan demensia, karena kecenderungan obat ini dalam menimbulkan
halusinasi.
Obat-obat agonis dopamine yang lama dikenal, seperti bromokriptine dan
pergolide, merupakan derivate ergot yang jarang menimbulkan fibrosis
retroperitoneal, pleural dan pericardial. Baru-baru ini dilaporkan mengenai
hubungan antara penggunaan pergolide dengan terjadinya penebalan dan disfungsi
katup-katup jantung. Hasil echocardiografi pada pasien dengan penggunaan
pergolide jangka panjang menunjukkan adanya penyakit restriktif valvular dengan
resiko 2 sampai 4 kali lipat lebih besar dibandingkan pasien penyakit Parkinson
yang tidak mendapat terapi dengan pergolide. Dengan adanya peristiwa ini, agonis
dopamine tidak diberikan yang berasal dari derivate ergot; seperti pramipexole
dan ropinirole.
Obat-obatan Lainnya
Secara umum, antikolinergik tidak digunakan sebagai pengobatan dalam
penyakit Parkinson, dikarenakan efeknya yang merugikan. Namun begitu, obat-
obatan golongan ini kadang ditambahkan jika gejala tremor dirasa sangat
mengganggu dan tidak responsive dengan pengobatan lain, meskipun
sesungguhnya, fakta di lapangan menunjukkan kekurang-efektifan obat ini dalam
mengurangi tremor. Obat golongan antikolinergik merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan demensia dan biasanya dihindari penggunaannya pada pasien yang
berusia lebih dari 70 tahun. MAO inhibitor dan amantadine memiliki beberapa
efek yang merugikan dan membutuhkan peningkatan titrasi sedikit demi sedikit
untuk mencapai dosis terapetik. Namun Karen efek dari obat-obatan ini cenderung
lemah, maka obat ini tidak digunakan sebagai obat tunggal dalam pengobatan.

3
Terapi Pembedahan
Thalamotomy dan thalamic stimulation–deep brains timulation (DBS)
dengan implantasi elektoda–dapat merupakan terapi yang mujarab dalam
mengatasi tremor pada penyakit Parkinson, ketika sudah tidak ada lagi respon
dengan pengobatan non-surgikal. Pallidotomy, pallidal deep brain stimulation
dapat mengatasi gejala-gejala penyakit Parkinson pada pasien yang responnya
terhadap medikasi antiparkinsonism mengalami komplikasi dengan adanya
fluktuasi fungsi motorik yang memburuk dan diskinesia. Karena indikasi dari
terapi surgical pada tahap dini penyakit tidak ditemui dank arena tindakan yang
cukup beresiko serta membutuhkan biaya yang mahal, maka terapi pembedahan
ini tidak mempunyai peran pada awal penyakit Parkinson.

Terapi Neuroprotektif
Saat ini, belum ditemukan bukti yang mendukung bahwa pemberian
neuroprotektif sebagai terapi memiliki efektifitas. Namun begitu, percobaan klinik
menyatakan bahwa selektif MAO-B inhibitor, agonis dopamine dan coenzyme
Q10 mungkin dapat memperlambat progresivitas penyakit. Masih banyak data
yang dibutuhkan untuk menjelaskan efektifitas neuroprotektif dalam terapi
penyakit Parkinson.

Nutt John G, Wooten G. Frederick. Diagnosis and Initial Management of


Parkinson’s Disease. The New England Journal of Medicine, 2005

4
Gangguan Fungsional
Ya Tidak

Terapi simptomatis Tremor dominan Terapi neuroprotektif

- Antioksidan
Ya Tidak - Agonis Dopamine /
pramipeksol

-Antikolinergik
- Pramipeksol
Usia < 60 thn Usia > 60 thn

- Agonis dopamine / pramipeksol Levodopa


- Agonis dopamine + ledopa dosis
rendah
- Optional dosis levodopa

Respon terhadap pengobatan

Baik Tidak respon Wearing off Diskinesia

Pertahankan Tingkatkan - COMT-1 - Kurangi dosis levodopa


dosis rendah dosis - Agonis dopamine - Tingkatkan dosis agonis
+ Levodopa kombinasi dopamine
+ Levodopa - Ganti dengan agonis
- Antikolinergik dopamine
- Tindakan pembedahan

Skema 1. Algoritma penatalaksanaan penyakit Parkinson. (dikutip


dari : Diagnosis dan tatalaksana penyakit syaraf)

Dewanto, Goerge. Diagnosis dan tatalaksana penyakit syaraf. EGC : Jakarta.


2009.

5
Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke poliklinik neurologi dengan keluhan tangan


gemetaran pada kedua tangan sejak 6 bulan yang lalu, awalnya
gemetaran ini lebih dulu timbul pada tangan kanan kemudian tangan
kiri. Pasien mengaku gemetaran tersebut timbul tiba-tiba. Setiap kali
tanggannya bergetar lamanya ± 15 menit kemudian gemetaran hilang
sekitar ±1 jam. Tidak ada pengaruh aktivitas atau istirahat. Pasien juga
merasakan kekakuan jika kepalan tangannya bergetar tersebut
digerakkan seperti ada tahanan.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Ada riwayat penyakit hipertensi,

Riwayat Penyakit keluarga :


Keluarga tidak ada yang menderita penyakit sepeti ini
Keluarga memiliki riwayat hipertensi
Keluarga memiliki riwayat DM

Riwayat Pribadi dan sosial :


 Pasien memiliki satu orang istri dan lima orang anak. Saat ini
tinggal bersama anak perempuannya yang terakhir di berok.
 Pasien tidak merokok dan tidak minum kopi
Terapi

 Levazid 3x1 tab

 THP 4x1tab

 Asam Folat 2x1 tab

 Amlodipin 1x10 tab

 Betahistine 2x1 tab

6
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Seorang pasien laki-laki umur 84 tahun, datang ke poliklinik syaraf dengan


keluhan gemetar pada kedua tangan sejak 6 bulan yang lalu. Mula – mula pasien
mengalami gemetaran pada tangan kanan secara tiba – tiba, kemudian gemetaran
pada tangan sebelah kiri. Namun. Gemetar tidak berpengaruh saat aktivitas
maupun saat istirahat. Pasien mengaku gemetaran selama ±15 menit kemudian
menghilang selama ±1 jam lalu bergetar kembali dan seterusnya. Pasien mengaku
bisa melakukan aktivitas sendiri dirumah.

Berdasarkan pembahasan teori tentang Parkinsonisme yang menyebutkan


kumpulan dari beberapa gejala parkinson yang disertai dengan penyakit penyerta
seperti hipertensi, maka kasus di atas tergolong parkinsonisme karena dalam
pemeriksaan fisik terdapat beberapa gejala parkinson seperti resting tremor,
rigiditas, bradikinesia, postural instability dan disertai dengan penyakit penyerta
yaitu riwayat hipertensi.

Dalam kasus di atas yang menjadi acuan sebagai penggolongan ke arah


parkinsonisme adalah penyakit yang pernah diderita yaitu riwayat hipertensi, dan
bisa juga efek dari pemakaian obat – obatan yang dapat menghambat reseptor
dopamin di korpus striatum atau yang menurunkan produksi dopamin di korpus
striatum.

Pada pasien ini, dalam menegakkan diagnosis selain dengan diagnosis dan
pemeriksaan fisik serta pemeriksaan neurologis, dapat di evaluasi perkembangan
penyakitnya dengan skala Hoehr and Yahr. Menurut skala Hoehr and Yahr,
pasien termasuk skala 3.

7
8

Anda mungkin juga menyukai