Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN

MANAJEMEN BENCANA
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Dosen Pengampu
Dr. Ns. Andi Subandi, S. Kep., M. Kes.

Disusun Oleh
Kelas 3D dan 3E

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Prodi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Jambi
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat-Nya yang
selama ini kita dapatkan, yang memberi hikmah dan yang paling bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, oleh karenanya kami dapat menyelesaikan laporan pada mata
kuliah “Manajemen Bencana” dengan judul “MANAJEMEN KEBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN” . Ada pula maksud dan tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk
menambah wawasan mengenai pengertian,tujuan dan manfaat serta manajemen dari
karhutla. Selain itu laporan ini juga bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen pada mata kuliah Manajemen Bencana yakni Dr. Ns. Andi
Subandi, S. Kep., M. Kes.
Dalam proses penyusunan tugas ini kami menjumpai berbagai hambatan, namun
berkat dukungan materil maupun nonmateriil dari berbagai pihak, akhirnya kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan cukup baik, maka pada kesempatan ini kami
menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak
terkait yang telah membantu terselesaikannya tugas ini.Tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan segala saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi perbaikan pada tugas
selanjutnya. Harapan kami semoga tugas ini memberikan ilmu dan manfaat, khususnya
bagi kami dan para pembaca sekalian.

Jambi, 11 Desember 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia merupakan permasalahan
yang rutin terjadi setiap tahun khususnya pada musim kemarau. Karhutla yang
terjadi dalam dua dekade terakhir, khususnya tahun 1997-1998, bukan hanya
merupakan bencana lokal dan nasional, namun juga telah meluas menjadi
bencana regional. Polusi asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan
telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat di beberapa negara di kawasan
Asia Tenggara terutama Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Karakteristik karhutla di Indonesia sangat spesifik karena sebagian besar
berada di lahan gambut yang sangat potensial menimbulkan asap. Kebakaran
lahan dan hutan pada umumnya disebabkan oleh ulah manusia (99%), yaitu
pada saat mereka melakukan penyiapan lahan untuk perladangan, pertanian,
dan perkebunan dengan cara membakar; suatu cara yang mudah, murah, dan
cepat.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur pada:
Pasal 5 ayat (2) Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan
mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannnya, Pasal 7 ayat
(1) Setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib memelihara
kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan.3 Tugas dan tanggung jawab
perusahaan dalam menanggulangi Kebakaran hutan dan lahan yang mana telah
diatur dalam undang-undang nomor 4 tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, pihak perusahaan selaku pemegang izin
dari Kementerian Kehutanan untuk pengelolaan areal perkebunan wajib
bertanggung jawab untuk menjaga dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

1
Sementara itu, laporan CIFOR (2003) menyebutkan bahwa kebakaran hutan
gambut merupakan penyumbang pencemaran kabut asap yang terbesar.
Disebutkan pada laporan tersebut, Riau sebagai salah satu provinsi di Sumatera
menyumbang pencemaran kabut asap terbesar yang menyebar hingga
Singapura, daratan utama Malaysia, dan Sumatera, dengan Luas lahan gambut
di Riau sekitar 3,9 juta hektar yang telah banyak beralih fungsi menjadi
perkebunan. Tahun ini pun Pemerintah Singapura dan Malaysia merasa
terganggu dengan kabut asap yang menyelimuti beberapa wilayah di negara
tersebut. Mereka melayangkan protes terhadap Pemerintah Indonesia terkait
kabut asap. Menyikapi kondisi asap yang semakin tidak terkendali dan
pernyataan protes negara lain, Presiden Indonesia memerintahkan BNPB
melakukan operasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karlahut) di Provinsi
Riau.
Bencana kabut asap diharapkan tidak terulang setiap tahun. Penanggulangan
karhutla dilakukan melalui operasi udara, darat, dan penegakan hukum,
melibatkan BNPB, TNI/Polri, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, serta
dukungan dari pihak swasta dan masyarakat. Namun, keberhasilan tersebut akan
sia-sia apabila tidak ada upaya serius dari Pemerintah Provinsi Riau dalam
perumusan kebijakan yang ketat mengenai tata kelola dan pemanfaatan hutan
dan lahan di wilayahnya. Di samping itu, perlu ada penegakan hukum khususnya
bagi para pelaku pembakaran hutan dan lahan secara luas. Menurut CIFOR
(2013), berdasarkan kajian lapangan, hipotesis yang dapat diambil dari bencana
asap ini dilatarbelakangi oleh proses pengembangan dan pengelolaan
perkebunan. Pembagian luas wilayah yang terbakar berada pada lahan gambut,
dan ini merupakan pola khas pengelolaan perkebunan di wilayah kebakaran. Di
samping itu, kondisi cuaca menjadi faktor yang memperburuk kebakaran hutan
dan lahan pada periode ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Kebakaran Hutan dan Lahan?
2. Apa saja tujuan dan manfaat dari manajemen bencana?
3. Bagaimana management pra-Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan?

2
4. Bagaimana management Saat Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan?
5. Bagaimana management pasca Becana Kebakaran Hutan dan Lahan?

1.3 Tujuan
Pada permasalahan yang telah dikemukakan,maka tujuan yang ingin dicapai
ialah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan definisi kebakaran hutan dan lahan
2. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat Manajemen Bencana.
3. Untuk mengetahui management pada Pra-Bencana,Saat Bencana dan Pasca
Bencana pada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia.
4. Untuk lebih memberikan wawasan kepada masyarakat tentang pentingnya
merawat hutan.
5. Sebagai pedoman untuk semua orang agar dapat menjaga dan melindungi
hutan.

1.4 Manfaat
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan wujud implementasi dari ilmu yang telah dipelajari
selama proses belajar serta apabila dikaji lebih jauh dapat digunakan untuk
mengetahui prediksi luasan dari kebakaran hutan dan luasan area yang
terancam terkena kabut asap di Indonesia.
2. Bagi Masyarakat
Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
masyarakat agar mengetahui daerah yang berpotensi terjadi kebakaran hutan
sehingga dapat lebih berhati-hati ketika berada di kawasan hutan tersebut.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan perbandingan dan referensi
pada penelitian selanjutnya.
4. Bagi pembaca
Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman mengenai
manajemen bencana kebakaran Hutan dan lahan.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kebakaran Hutan dan Lahan


Kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang
sering sekali terjadi dan dianggap penting sehingga menjadi perhatian lokal
maupun global. (Cahyono, dkk, 2015). Kebakaran hutan menurut Surat
Keputusan Menteri Kehutanan No.195/ Kpts-II/1996 didefinisikan sebagai
keadaan di mana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan
dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungannya
(Rasyid, 2014). Berdasarkan sumber penyebabnya, kebakaran hutan dapat
dikelompokkan menjadi 2, yaitu kebakaran hutan yang terjadi secara alami dan
kebakaran hutan yang terjadi akibat ulah manusia.
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 12 (2009), pengertian
kebakaran hutan adalah suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga
mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan
kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.
Kebakaran pada kajian ini adalah kegiatan yang menyebabkan adanya api
dan atau asap pada suatu kawasan baik disengaja, seperti membakar hasil
tebasan pada pembukaan lahan baru atau bukan pembukaan lahan baru,
maupun tidak disengaja, seperti karena percikan api dari lahan yang
bersebelahan atau karena hal lain (seperti membuang puntung rokok secara
sembarangan).
Lahan (land) merupakan suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua
komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifaat siklis yang berada di
atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk,
relief, hidrologi, tumbuhan, dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh
aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang yang kesemuanya berpengaruh
terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa
mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; Vink, 1975; dan FAO, 1976).

4
Berdasarkan tipe, kebakaran hutan dan lahan dikelompokkan menjadi 3 tipe.
Kebakaran bawah (ground fire) adalah kebakaran pada bagian bawah
permukaan tepatnya pada lapisan organik. Kebakaran permukaan (surface fire)
yaitu kebakaran yang terjadi di permukaan yang membakar seresah, semak
belukar, pancang, dan limbah pembalakan. Kebakaran tajuk (crown fire) adalah
kebakaran yang terjadi pada pucuk-pucuk pohon.
Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu
kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan
adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan dan keduanya bisa terjadi
baik disengaja maupun tanpa sengaja (Hatta, 2008).
Menurut Darwiati dan Tuheteru (2010) di Indonesia, kebakaran hutan dan
lahan hampir 99% diakibatkan oleh kegiatan manusia baik disengaja maupun
tidak (unsur kelalaian). Diantara angka persentase tersebut, kegiatan konversi
lahan menyumbang 34%, peladangan liar 25%, pertanian 17%, kecemburuan
sosial 14%, proyek transmigrasi 8%; sedangkan hanya 1% yang disebabkan
oleh alam. Faktor lain yang menjadi penyebab semakin hebatnya kebakaran
hutan dan lahan sehingga menjadi pemicu kebakaran adalah iklim yang ekstrim,
sumber energi berupa kayu, deposit batubara dan gambut.
Penyebab terjadinya karhutla, berdasarkan laporan Satgas Karhutla Sumsel
2016 diidentifikasi sebagai berikut, Pertama, metode pembukaan lahan pertanian
yang masih mengandalkan metode pembakaran. Kedua, penelantaran lahan-
lahan, terutama kawasan gambut, lahan tidak diolah dan tidak dijaga. Ketiga,
tingginya suhu akibat kemarau panjang, Keempat, keringnya rawa-rawa,
terutama rawa gambut, baik akibat tindakan yang disengaja atau tidak. Kelima,
praktek illegal loging yang masih banyak ditemukan.
Dilihat dari sudut pandang ketahanan nasional, terjadinya karhutla merupakan
ancaman bagi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Hal tersebut terlihat dari tinjauan konsep Astagatra khususnya gatra
ekonomi. Adanya karhutla mempunyai korelasi dengan pemanfaatan lahan yang
ada, ataupun karena ketidakmampuan mengatasi masalah lahan mereka.
Aktifitas ekonomi tidak bisa berjalan baik dan sikap mental juga rendah. Disisi

5
lain tekanan dari negara luar juga semakin kuat, terutama dengan mengangkat
isu lingkungan hidup dan kabut asap. Dampak dari hal tersebut menjadikan
diplomasi Indonesia negatif, yang pada akhirnya memberikan kontribusi negatif
pada rendahnya ketahanan nasional.

2.2 Tujuan dan Manfat dari Manajemen Bencana


1. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian kebakaran hutan dan lahan
b. Untuk mengetahui penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan
c. Mengetahui cara pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan
lahan
Adapun tujuan manajemen bencana secara umum sebagai berikut:
a. Untuk mencegah dan membatasi jumlah korban manusia serta kerusakan
harta benda dan lingkungan hidup. 
b. Untuk menghilangkan kesengsaraan dan kesulitan dalam kehidupan dan
penghidupan korban.
c. Untuk mengembalikan korban bencana dari daerah penampungan/
pengungsian ke daerah asal bila memungkinkan atau merelokasi ke
daerah baru yang layak huni dan aman. 
d. Untuk mengembalikan fungsi fasilitas umum utama, seperti komunikasi/
transportasi, air minum, listrik, dan telepon, termasuk mengembalikan
kehidupan ekonomi dan sosial daerah yang terkena bencana.
e. Untuk mengurangi kerusakan dan kerugian lebih lanjut. 
f. Untuk meletakkan dasar-dasar yang diperlukan guna pelaksanaan
kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dalam konteks pembangunan.
2. Manfaat
a. Sebagai bahan pembelajaran dan sebagai bahan informasi guna
nemambah wawasan dan menerapkan ilmu yang telah didapat selama
kuliah.
b. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah atau pihak terkait untuk
mengembangkan program Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan
dan Lahan.

6
c. Dari sisi masyarakat bermanfaat mengurangi resiko terhadap kebakaran
hutan melalui tahap penanggulanag bencana yang dilakukan oleh seluruh
petugas atau pihak terkait serta meningkatkan upaya perlindungan dalam
membantu masyarakat mengurangi dampak buruk yang diakibatkan
kebakaran hutan dan lahan.

2.3 Pra-Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan


Dalam fase pra bencana kebakaran hutan dan lahan ini mencakupi kegiatan
seperti mitigasi, kesiapsagaan dan peringatan dini. Mitigasi Bencana (Mitigation)
adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana baik
melalui pembangunan fisik, maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan
menghadapi ancaman bencana. Kesiapsiagaan (Preparedness) adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bancana melalui
pengorganisasian dan langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Peringatan
Dini (Early Warning) adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan
sesegera mungkin pada masyarakat mengenai kemungkinan terjadinya bencana
pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang atau upaya untuk memberikan
tanda peringatan bahwa bencana kemungkinan akan segera terjadi. Berikut
startegi dan langkah dalam fase pra bencana kebakaran hutan dan lahan :
1. Advokasi
Meningkatkan alokasi sumber daya untuk daerah yang sering terjadi
bencana yang nantinya akan dibantu oleh sebuah kebijakan yang menjadi
payung teduh atau landasan hukum, sehingga memudahkan dalam
melakukan action ataupun tindakan. Advokasi ini harus dibantu oleh 3 unsur
yang sangat penting, yaitu :

a) Dukungan Masyarakat
b) Dukungan Sistem
c) Analisis SWOT Daerah Bencana
Sasaran advokasi ini nantinya akan memanfaatkan lintas sektor yaitu
seperti Kementrian kehutanan,TNI,Kementrian Dalam Negeri, Tenaga
Kesehatan, Lembaga Usaha.

7
2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah menitokberatkan dan memfokuskan
tingkat kemampuan masyarakat atau dengan kata lain adalah personal skill
masyarakat , dimana dengan memanfaatkan media, seminar, kegiatan
pelatihan, dan membuat satuan tugas . Harapannya adalah agar masyarakat
mampu dan bisa mengatasi bencana yang sewaktu-waktu akan terjadi kapan
saja dan dimana saja.
Pemberdayaan ini tidak luput dari melakukan kemitraan (Kerja Sama),
khususnya di bidang kesehatan. Kerja sama yang dimaksud adalah
masyarakat saling mendukung dan membantu menyelesaikan permasalahan
yang mungkin akan terjadi saat becana ini terjadi. Oleh karena itu, ada tiga
hal utama yang harus diperhatikan yaitu :

1) Kerja sama antar kelompok, organisasi dan individu


2) Membuat sebuah tujuan yang jelas, sehingga mekanisme dan objek
sasarannya jelas
3) Membagi resiko dan keuntungan (input dan outputnya)
Dimana pada intinya konsep pemberdayaan ini adalah seluruh pihak yang
terlibat harus bekerjasama dan mau melepaskan kepentingan masing-masing
dan membangun kepentingan bersama.

3. Upaya Komperehensif
 Sarana dan Prasarana
 SATGAS (Satuan Tugas)
 Posko Gawat Darurat
 SDMK
 SDM
Carter (2008) menjelaskan bahwa dalam kegiatan manajemen
pengelolaan bencana, aspek pra bencana harus betul-betul diperhatikan
dengan serius. Ia membagi menjadi tiga aktifitas yaitu preventif, mitigasi, dan
kesiapsiagaan/preparedness.

8
A. Aspek Preventif
Berdasarkan data dari masing-masing satgas karhutla di provinsi prioritas,
pada konteks terjadinya peristiwa karhutla, kegiatan preventif yang sudah
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Sosialisasi kepada masyarakat, perusahaan dan seluruh pihak terkait
yang berpotensi terjadinya karhutla. Bisa menggunakan media luar
(baliho, spanduk, poster dan sebagainya), bisa dengan pendekatan
kelembagaan dengan memanfaatkan jejaring perangkat pemerintahan di
daerah terutama aparat Desa, Babinsa, dan sebagainya, bisa dengan
menggunakan media massa baik cetak maupun online.
b. Edukasi dan Penyuluhan. Aktifitas ini adalah melakukan upaya
penanaman pengetahuan pada masyarakat secara intensif, bukan hanya
sosialisasi tetapi juga melakukan pemberdayaan kepada masyarakat
sehingga ikut terlibat dan bertanggungjawab agar tidak terjadi karhutla.
Bentuk kegiatannya adalah himbauan langsung ke masyarakat dalam
forum-forum formal maupun non formal, melibatkan kelompok tani, karang
taruna dan berbagai unsur lainnya.
c. Penyelidikan, penindakan dan penegakan hukum. Penyelidikan dilakukan
dengan melibatkan unsur pemerintah desa, SKPD, Pemerintah
Kabupaten, Kepolisian hingga Kehakiman. Fungsi kehakiman lebih
kepada melakukan eksekusi terhadap kasus-kasus yang diperkarakan.
d. Melakukan sayembara bagi pihak-pihak yang bisa menangkap pelaku
pembakar lahan. Bagi siapa saja yang bisa menangkap pihak pembakar,
diiming-imingi hadiah tertentu. Hal ini dilakukan karena memang indikasi
kebakaran lahan adalah perbuatan pihak-pihak yang tidak
bertanggunjawab, karena itu perlu pula pancingan ke publik untuk
menggalang partisipasinya.
e. Publikasi/Opini melalui media massa. Selain sosialisasi dan tindakan lain,
satgas dengan menggandeng berbagai pihak terkait terus melakukan
upaya publikasi tentang bahaya tindakan membakar lahan. Pihak
akademisi didorong untuk senantiasa menyuarakan hal ini, baik dalam

9
bentuk menulis di media massa cetak ataupun di media elektronik.
Penggalangan opini melalui media massa dilakukan untuk mendorong
agar gagasan tidak membakar lahan bisa menyebar ke semua lapisan.
Sekaligus juga ini menjadi shock therapy bagi pihak-pihak yang tidak
serius dalam melakukan antisipasi karhutla.
f. Pembuatan sekat kanal (canal blocking). Cara ini dilakukan atas
kenyataan bahwa terjadinya karhutla karena keringnya lahan-lahan
gambut dan mineral di musim kemarau. Agar lahan tidak kering, maka
kanal-kanal yang selama ini sudah dibangun terutama di lokasi
perusahaan, dibuat sekat kanal agar air tidak mengalir ke tempat lain,
tetapi terbendung oleh sekat sehingga lahan tetap basah.
g. Inovasi teknologi. Inovasi teknologi, dikhususkan pada penciptaan
teknologi tertentu untuk mendukung upaya pencegahan karhutla. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa yang dihadapi saat karhutla adalah
kondisi lahan, cuaca, api dan prilaku manusia. Teknologi akan sangat
mendukung dan menunjang terutama proses pencegahan agar tidak
terjadi karhutla.
B. Aspek Mitigasi
Sejak 2015 hingga sekarang, beberapa tindakan mitigasi yang dilakukan
adalah :
a. Pendataan dan pencatatan. Hal mendasar yang harus disiapkan secara
detail adalah pendataan luasan lahan yang rentan dalam terjadinya
karhutla serta daerah-daerah yang terdampak. Ini dimaksudkan untuk
mengetahui sebaran dan potensi resiko bencana, sehingga bisa dilakukan
upaya-upaya meminimalisir dampak yang terjadi. Dalam prosesnya,
pendataan ini dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak seperti,
Badan Restorasi Gambut (BRG), Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD),
Perusahaan, LSM, Lembaga Konsorsium, dan SKPD.
b. Patroli Rutin. Aktifitas patroli rutin merupakan tindakan yang dilakukan
oleh satgas terhadap lokasi-lokasi yang memang disinyalir memiliki
potensi terjadinya karhutla. Patroli ini dilakukan secara bersama-sama,

10
baik unsur satgas maupun masyarakat. Patroli menjadi intens dilakukan
terutama pada saat musim kemarau sebagai langkah antisipasi luasan
dampak jika terjadi karhutla. Dalam pelaksanaan patroli, upaya dilakukan
dengan sarana prasarana yang ada,
baik sepeda motor, mobil patroli, jalan kaki, drone, maupun helikopter.
C. Kesiapsiagaan (Preparedness)
a. Menetapkan SK Gubernur tentang penetapan Satgas
b. Pelaksanaan rapat-rapat rutin satgas guna melaksanakan pembagian
tugas antar masing-masing anggota satgas. Rapat-rapat ini umumnya
membahas soal kesiapsiagaan antisipasi api di musim kemarau
c. Melakukan upaya sinkronisasi program kerja satgas dengan lembaga lain
yang ada dalam kesatuan satgas
d. Pelaksanaan rapat koordinasi dengan unsur lain di luar satgas seperti
dengan unsur pemerintahan kabupaten/kota, perusahaan, kelompok
masyarakat, TRGD dan BRG, membahas tentang peran serta semua
pihak dalam menangani ancaman bencana karhutla yang akan terjadi
ataupun yang sedang berlangsung
e. Koordinasi dengan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) dan Badan
Restorasi Gambut (BRG)
f. Pembentukan posko-posko penanganan karhutla. Jumlah posko
disesuaikan dengan luasan wilayah yang ada.
g. Pembangunan sumursumur bor sebagai sumber air untuk pemadaman
api
h. Pelengkapan sarana prasarana mengatasi karhutla

Menurut (Akbar, 2008), pada umumnya dalam melakukan pengendalian


kebakaran hutan dan lahan terdapat masalah-masalah yang akan timbul yaitu
a. Kegiatan pencegahan melalui Apel siaga, penyuluhan, kampanye
kebakaran, serta menimbulkan kepedulian masyarakat untuk tidak
menggunakan api dalam melakukan pembukaan lahan.

11
b. Belum adanya penerapan hukum atau sanksi tegas terhada pelaku
pembakaran hutan, sehingga para pelaku merasa aman terhadpat aksi
yang dilakukan.
c. Serta belum adanya sinkronisasi, kooordinasi, dan integrasi dari
stakeholder yang berkepentingan dalam melakukan kegiatan
pencegahan.
Dalam menanggulangi bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahap
pra bencana sudah mempersiapkan dan tim pengendali kebakaran hutan
dan lahan. Tujuannya adalah untuk mencegah dan menanggulangi
bencana kebakaran hutan dan lahan. Dengan adanya tim pengendali ini
mereka dapat memantau dan mengawasi hutan dan lahan tersebut dari
orang-orang tidak bertanggung jawab yang ingin membakar hutan dan
lahan. Tim pengendali itu nantinya dalam mencegah ataupun
mengantisipasi kemungkinan terjadinya suatu bencana akan diberikan
sebuah pelatihan dasar dan pengetahuan tentang bagaimana cara dalam
menghadapi bencana kebakaran hutan dan lahan tersebut. Tim
pengendali ini terdiri dari kelompok masyarakat, karena keterlibatan dari
masyarakat dalam penanggulangan bencana sangat penting,
masyarakatlah yang di jadikan sebagai ujung tombak pemerintah dalam
menghadapi bencana kebakaran hutan dan lahan (Fitria, 2016).
Maksudnya adalah apabila nanti ada kemungkinan terjadinya suatu
bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di daerah-daerah terpencil
dan lokasinya sangat jauh maka masyarakat yang berada di sekitar lokasi
kebakaran itulah yang dapat langsung bergerak untuk meminimalisir
terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut agar tidak menyebar secara
luas dan mengurangi dampak negatif dari kebakaran hutan dan lahan. Selain
sebagai tim pengendali, tim ini juga diharapkan dapat memberikan sosialisasi
langsung kepada masyarakat tentang larangan untuk membakar hutan dan
lahan dengan alasan apapun.

Pencegahan kebakaran hutan dapat dilakukan dengan :


a. Pembentukan satuan petugas pemadam kebakaran.

12
b. Pembuatan sekat kuning di area yang rawan akan kebakaran.
c. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang kebakaran hutan
d. Mengukur luasan area/lahan rawan kebakaran.
e. Membuat peta area/lahan rawan kebakaran (Irwandi, Jumani, & Ismail,
2016).

Kegiatan yang BPBD dalam melakukan penanggulangan bencana


kebakaran hutan dan lahan juga memiliki beberapa kegiatan-kegiatan
lainnya seperti :
a. Membuat tempat penampungan air
BPBD melakukan pemberdayaan masyarakat, agar masyarakat tersebut
bisa membuat tempat penampungan air di daerah dekat titik-titik rawan
kebakaran hutan dan lahan . Dengan adanya tempat penampungan air
tersebut harapannya adalah apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan
maka dapat diminimalisir dengan memadamkan kebakaran tersebut
dari tempat penampungan air yang sudah disediakan.
b. Melakukan pemetaan daerah rawan kebakaran
Dengan melakukan pemetaan di daerah yang rawan kebakaran
diharapkan agar masyarakat lebih fokus dan mengetahui titik mana saja
yang sering terjadi kebakaran sesuai dengan kondisi yang ada di
lapangan. Hasil pemetaan nantinya akan dibuat sedetail mungkin agar
lebih memudahkan masyarakat ataupun instansi untuk lebih
waspada terhadap titik rawan kebakaran tersebut dan hasil dari
pemetaan dapat juga digunakan sebagai pedoman oleh berbagai
instansi dalam menjalankan kegiatannya di setiap unit kawasan atau
daerah.
c. Menyediakan sistem informasi kebakaran hutan yang cepat, terpadu dan
akurat
Dengan menyediakan sistem informasi kebakaran hutan maka akan
dapat membantu pihak yang terkait ataupun masyarakat dalam
rangka mengantisipasi daerah-daerah yang tidak terdapat di dalam
titik-titik rawan bencana. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa

13
daerah-daerah yang tidak terdapat di titik rawan kebakaran nantinya
sewaktu-waktu dapat mengalami kebakaran hutan dan lahan juga.
Sehingga dibutuhkan lah sistem informasi kebakaran hutan dan
lahan untuk selalu memberikan informasi yang cepat, terpadu dan
akurat mengenai daerah yang ada dititik rawan bencana ataupun yang
tidak ada di dalam titik rawan bencana. Hal itu dapat dilakukan
dengan cara menganalisis keadaan kondisi dari lingkungan daerah
tersebut.
d. Melakukan pemantauan cuaca dan kondisi udara
Pemantuan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana keadaan
cuaca sebelum terjadinya ancaman bencana kebakaran hutan. Seperti
contohnya apabila keadaan cuaca di Kabupaten Kotawaringin Barat
menjadi panas dan kondisi udara menjadi tidak stabil.

Kegiatan pra bencana selain itu juga dapat dilakukan dengan :

1. Sosialisasi Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran

Sosialisasi pencegahan kebakaran hutan merupakan kegiatan awal yang


paling penting dalam pengendalian kebakaran dan merupakan pekerjaan yang
harus dilakukan secara terus-menerus. Sosialisasibpencegahan kebakaran
merupakan cara yang lebih ekonomis untuk mengurangi kerusakan dan kerugian
yang ditimbulkan oleh kebakaran, tanpa harus menggunakan peralatan yang
mahal (Adinugroho, W. C, dkk, 2005). Manajemen kebakaran berbasiskan
masyarakat akan lebih baik diarahkan untuk kegiatan pencegahan daripada
usaha pemadaman kebakaran. Sosialisasi ini dilakukan pada musim penghujan
dikarenakan pada musim penghujan resiko terjadinya kebakaran rendah.
Sosialisasi dilakukan dengan memberikan informasi mengenai kebakaran
serta upaya-upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran. Harapan dari
kegiatan ini adalah masyarakat memiliki pengetahuan terkait kebakaran serta
upaya-upaya pencegahan dan terbentuk kesiapsiagaan masyarakat ketika terjadi
kebakaran. Selain itu diharapkan masyarakat juga dapat berpartisipasi secara
aktif dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran.Peningkatan

14
partisipasi/peran serta masyarakat lokal dalam pencegahan kebakaran hutan
dan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu dorongan dan rangsangan,
insentif, kesempatan, kemampuan, bimbingan.

Faktor-faktor di atas dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :


1. Pemberian insentif Dengan adanya insentif maka masyarakat akan memperoleh
manfaat dari partisipasi aktif mereka dalam mencegah dan menanggulangi
terjadinya kebakaran yaitu bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka.
Insentif dapat diberikan dalam bentuk pengembangan produk-produk alternatif
yang dapat dihasilkan masyarakat (misal: produk kerajinan rotan, pembuatan
briket arang dan kompos) serta pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi yang
ramah lingkungan (misal: budidaya ikan dalam kolam “beje” dengan
menggunakan parit/ kanal yang ditabat dan sekaligus berfungsi sebagai sekat
bakar).
2. Rangsangan dan Dorongan Adanya rangsangan dan dorongan akan semakin
menggugah emosi dan perasaan mereka untuk terlibat dalam pencegahan dan
pengendalian kebakaran. (Adinugroho, W. C, dkk, 2005).

Kegiatan sosialisasi pencegahan dan pengendalian kebakaran ini selanjutnya


diikuti dengan pembentukan kelompok masyarakat peduli api, penyiapan sarana
dan prasarana penunjang dan pembuatan sekat bakar.

A. Pembentukan kelompok masyarakat peduli api


Pencegahan dan pengendalian kebakaran berbasis masyarakat memerlukan
struktur kelembagaan yang wajib ada pada setiap desa. Kelembagaan yang
dimaksud adalah kelompok masyarakat peduli api (MPA) yang berada pada
tingkat desa. Di Kabupaten Banyuasin setiap desa memiliki kelompok
masyarakat peduli api yang biasa disebut dengan Kelompok Manggala Agni,
terdiri dari 25 orang di setiap desa. Kelompok masyarakat peduli api terdiri atas
ketukelompok yang berada langsung di bawah Kepala Desa, dan bertanggung
jawab untuk mengelola anggota kelompok. Jika lahan masyarakat berdekatan
dengan areal konsesi, pemegang konsesi harus mengkoordinasikan kegiatan
pencegahan dan penanggulangan kebakaran dengan Kepala Desa dan ketua

15
kelompok MPA.Dalam pembentukan anggota kelompok MPA dapat dilakukan
dengan musyawarah mufakat oleh masyarakat desa dalam memilih ketua,
sekretaris, dan bendahara kelompok.. Adapun syarat-syarat anggota kelompok
Masyarakat Peduli Api adalah sebagai berikut:
 Penduduk desa yang tinggal menetap dan terkena langsung dampak
bencana kebakaran
 Penduduk dewasa berusia 17-50 tahun dan dapat menyesuaikan dengan
kondisi yang ada
 Sehat secara jasmani dan rohani.
 Dapat bekerja sama dalam kelompok dan kelompok yang lain
 Diutamakan berasal dari warga yang pernah atau terlibat kegiatan dalam
regu kebakaran sejenis.

Efektivitas kelompok masyarakat peduli api dalam mencegah dan menangani


api, maka diperlukan kegiatan pelatihan yang dilakukan secara rutin untuk
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam tindakan pengendalian
kebakaran. Kegiatan ini paling tidak dilakukan setahun sekali sebelum pada saat
musim penghujan berakhir atau pada saat awal musim kemarau.

B. Penyiapan Sarana dan Prasarana Penunjang


Pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran harus
didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai, diantaranya:
 Posko (selain untuk kegiatan pemantauan, keberadaan posko juga dapat
berfungsi sebagai Klinik darurat, menyediakan sarana penanggulangan
korban kebakaran)
 Jaringan jalan, akses yang baik dapat membantu dalam melakukan
kegiatan patrol dan pemadaman jika terjadi kebakaran.
 Alat komunikasi, misalkan berupa HT sangat diperlukan agar peringatan
dini dapat segera dilakukan.
 Teropong
 Alat transportasi

16
 Pembuatan rambu bahaya kebakaran, dapat dilakukan dengan membuat
papan peringatan, pembuatan leaflet, spanduk, poster

C. Pembuatan sekat bakar


Upaya memanipulasi bahan bakar dapat dilakukan dengan melakukan
pengelolaan bahan bakar, salah satunya yaitu dengan memotong atau
mengurangi jumlah bahan bakar. Pembuatan sekat bakar bertujuan untuk
membagi hamparan bahan bakar yang luas menjadi beberapa bagian/fragmen,
sehingga bila terjadi kebakaran api tidak melanda seluruh hamparan bahan
bakar atau tanaman (Adinugroho, W. C, dkk, 2005).Sekat bakar dibedakan atas:
(1) Sekat bakar alami, seperti: jalur vegetasi hidup yang tahan api, jurang, sungai
dan sebagainya, atau (2)Sekat bakar buatan, yaitu yang sengaja dibuat oleh
manusia seperti: menanam tanaman tahan api, jalan, kolam memanjang, parit-
parit yang disekat, waduk dan lain-lain. Kedua jenis sekat bakar di atas berguna
untuk memisahkan bahan bakar dan mengendalikan/mencegah penyebaran api
dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
D. Penanaman dengan vegetasi tahan api
Pada pertanian di lahan gambut, pembuatan sekat bakar dapat dilakukan
dengan menanam berbagai jenis vegetasi tahan api, misalnya Pisang, Pinang,
Pepaya dan sebagainya. Vegetasi ini ditanam dalam beberapa jalur mengelilingi
lahan. Selain berfungsi sebagai sekat bakar, maka pohon Pisang, Pinang atau
Pepaya itu sendiri dapat memberi tambahan nilai ekonomis bagi petaninya. Tapi
perlu diingat bahwa daundaun kering yang rontok dari tanaman-tanaman ini
dapat berpotensi pula untuk menyebarkan api ketempat lain jika diterbangkan
angin. Untuk mengatasinya maka daun-daun kering dari tanaman ini harus
dihilangkan/dibersihkan dengan cara mengubur di dalam tanah atau dijadikan
kompos seperti telah diuraikan sebelumnya (Adinugroho, W. C, dkk, 2005).
E. Pembuatan kolam-kolam memanjang/beje
Beje merupakan sebuah kolam yang dibuat oleh masyarakat (umumnya oleh
Suku Dayak) di pedalaman hutan Kalimantan Tengah untuk menangkap
(memerangkap) ikan [lihat Box 18]. Kolam-kolam beje ini umumnya dibangun

17
saat musim kemarau, berukuran lebar 2 - 4 m, kedalaman 1 - 2 m dan panjang
bervariasi antara 5 meter hingga puluhan meter jika dilakukan secara bersama-
sama (tidak milik perorangan). Kolam-kolam ini letaknya tidak jauh dari
pemukiman dan dekat dari sungai, sehingga saat musim hujan kolam-kolam ini
akan berisikan air hujan ataupun luapan air sungai di sekitarnya. Pada saat
musim hujan akan terjadi banjir dan beje-beje akan tergenang oleh air luapan
dari sungai di sekitarnya serta terisi oleh ikan- ikan alami. Saat musim kemarau
air akan surut tetapi beje masih tergenang oleh air dan berisi ikan, sehingga
pada saat musim kemarau masyarakat mulai memanen dan membersihkan
kembali beje-bejenya dari lumpur ataupun membuat kembali beje-beje yang
baru. Beje-beje semacam ini selain berfunsgsi untuk memerangkap ikan alami,
ternyata juga dapat berfungsi sebagai sekat bakar. Hal demikian terlihat dari foto
dalam Box 18,dimana kondisi hutan di sekitar beje masih tampak hijau tidak
terbakar (Adinugroho, W. C, dkk, 2005).
F. Tanggul di sekitar lahan gambut
Cara lain untuk mencegah larinya air dari lahan gambut, agar gambut tidak
terbakar, adalah dengan membangun tanggul di sekitarnya. Keberadaan tanggul
ini diusahakan tidak jauh dari sungai dan dibuat (membentuk gundukan) dari
tanah mineral yang diambil dari sungai. Untuk mempertahankan
keberadaan/tinggi muka air di lahan gambut, terutama pada musim kemarau,
maka air dapat dipompakan dari sungai atau reservoir air lainnya (seperti
danau/rawa) kedalam hamparan lahan gambut yang akan kita lindungi dari
bahaya api. Kemudian, tinggi muka air di lahan gambut ini dapat dikendalikan
dengan membuat saluran pembuangan/ drainase (berupa parit kecil atau pipa
PVC) dan diarahkan ke tempat lain yang letaknya lebih rendah. Bahan-bahan
yang diperlukan dalam konstruksi dam dengan sistem pompa semacam ini
adalah: Pompa dan Pipa PVC.

18
2.4 Saat Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
1. Respon Awal Kejadian
BNPB sebagai koordinator penanganan kebakaran hutan dan lahan tingkat
nasional, melaksanakan tugas sebagai berikut: a. Melaporkan kepada Presiden
setelah adanya notifikasi kejadian awal yang dampak kebakarannya signifikan
secara nasional; b. Segera mengkoordinasikan/ membangun komunikasi dengan
instansi utama dan pendukung di tingkat nasional dan di tingkat daerah untuk
menetapkan langkah operasi pemadaman; c. Melakukan kaji cepat situasi dan
penilaian dampak serta menganalisa untuk menentukan tindakan penanganan
yang tepat guna memenuhi permintaan kebutuhan pengerahan sumberdaya; d.
Menganalisa semua permintaan kebutuhan sumberdaya yang masuk sebelum
menetapkan prioritas utama penanganan darurat; e. Mengaktifkan Pusdalops
BNPB sebagai Pusat Pengendali Kebakaran Hutan dan Lahan Nasional
(Pusdalkarhut Nas); f. Memastikan keamanan dan keselamatan semua personil
yang bertugas dalam operasi penanganan darurat ini (membuat rencana
pengamanan operasi).
2. Operasi Pemadaman
a Pemadaman Darat
 Pengerahan Personil (BPBD, Manggala Agni, Dinas Damkar, MPA,
TNI-POLRI, Instansi/mitra kerja terkait dan Kelompok Masyarakat
Terlatih);
 Koordinasi dan Komando;
 Penyampaian data melalui Pusdalops;
 Komando dilaksanakan oleh Incident Commander).
b Pemadaman Udara Pemadaman Udara merupakan pedukung dari
pemadaman darat.
 Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), operasi hujan buatan;
 Melakukan pemboman air;
 Melakukan penipisan awan dengan mikrosprayer

19
Pelaksanaan pemadaman dilakukan dengan mengerahkan semua tenaga
dan peralatan yang ada. Prosedur yang dapat dilaksanakan,yaitu:

a. Monitoring
Adanya informasi yang lengkap tentang bahaya kebakaran
(termasuk didalamnya lokasi kebakaran, sumber air) yang diterima oleh
POSKO Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. POSKO kemudian
memobilisasi satuan penanggulangan kebakaran hutan sesuai kebutuhan.
b. Persiapan
Persiapan pemadaman kebakaran harus dilakukan secermat
mungkin. Persiapan yang kurang akan menimbulkan kesulitan setelah
berada di lapangan, bahkan dapat menimbulkan bahaya bagi orang yang
terlibat dalam pemadaman kebakaran tersebut. Persiapan sebelum ke
lokasi, meliputi pembagian personil dalam kelompok serta penyediaan alat
transportasi, alat pemadam kebakaran, P3K (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan), alat komunikasi, dan peta lokasi. Persiapan di lokasi,
dilakukan penyebaran masyarakat di tiap kelompok pengendali
kebakaran. Pengarahan singkat tugas masingmasing kelompok dan
diberikan peralatan pada tiap kelompok dimana minimal terdapat dua alat
komunikasi pada tiap kelompok dan minimal satu orang menguasai lokasi.
Pendirian POSKO dekat lokasi kebakaran untuk menyediakan konsumsi,
transportasi dan pelayanan kesehatan darurat/kecelakaan.
c. Pengaturan strategi pemadaman kebakaran
Pemadaman kebakaran dapat dilakukan dengan penyemprotan air
ketempat kebakaran yang terjadi, pembuatan sekat bakar tidak permanen
di depan arah pergerakan api, pembakaran terkendali mulai dari jalur
sekat bakar untuk melawan pembakaran yang berbalik.
Makin bagus response time petugas pemadam kebakaran maka
akan makin bagus efektifitas operasi pemadamannya sehingga kebakaran
bisa dipadamkan dalam waktu singkat dan kerugian harta benda maupun
jiwa yang lebih besar bisa dihindari. Dilihat dari teori perkembangan api,

20
waktu sepuluh menit pertama proses pembakaran adalah waktu terbaik
untuk melakukan operasi pemadaman kebakaran.
d. Pelaksanaan upaya pemadaman kebakaran
Upaya pemadaman dilaksanakan secara terus menerus sampai api
dapat dikuasai dan dipadamkan dengan tuntas. Tiap perkembangan yang
terjadi selama upaya pemadaman harus dilaporkan ke POSKO
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Setelah api padam tetap
dilakukan pengawasan untuk mencegah kemungkinan terjadinya
kebakaran kembali

2.5 Pasca Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan


Aspek koordinasi merupakan inti dalam sebuah manajemen. Koordinasi
berkaitan dengan proses menggerakkan dan mengimbangi setiap anggota tim
pada sebuah organisasi berdasarkan bidang kerja yang diberikan kepada
mereka sehingga bisa mencapai tujuan organisasi secara keseluruhan (Branch,
2002;54).
Beberapa strategi dan langkah dalam fase pasca bencana kebakaran hutan
dan lahan :
 Identifikasi: areal bekas terbakar, penyebab kebakaran, luas kebakaran,
tipe vegetasi terbakar, pengaruh terhadap lingkungan/ ekosistem dan
informasi untuk mendukung penegakan hukum.
 Monitoring dan pemeriksaan lokasi terbakar.
 Penegakan hukum (Ditjen Penegakan Hukum KLHK, POLRI dan
Kejaksaan).
 Pelaporan.

Kegiatan Pasca Kebakaran hutan dan lahan yang harus dilakukan meliputi:
 Pengukuran langsung areal yang terbakar.
 Overlay hasil pengukuran pada sebuah peta.
 Perhitungan kerugian/taksasi dampak ekonomi dan ekologi kejadian
kebakaran hutan.
 Pelaporan kejadian kebakaran hutan pada Dinas Kehutanan

21
 Pengecekan ulang areal yang terbakar.
 Perumusan kegiatan rehabilitasi areal yang terbakar.
 Koordinasi ulang mengenai sistem pengawasan areal yang terbakar, guna
mengurangi persentase terjadinya kebaran hutan di areal yang sama atau
di dekat areal tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi lapang, pihak Dinas
Kehutanan sebaiknya lebih menekankan pada wujud nyata dari hasil pengukuran
dan pelaporan kejadian kebakaran, yaitu kegiatan penanaman
kembali/rehabilitasi pada areal bekas terbakar, sehingga kejadian kebakaran di
areal yang sama dapat segera diantisipasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, sudah saatnya pengendalian kebakaran
hutan dan lahan ditangani secara terencana, menyeluruh, terpadu dan
berkelanjutan. Dengan kata lain, bahwa pengendalian kebakaran hutan dan
lahan tidak hanya tertuju pada pemadaman saat kebakaran hutan musim
kemarau, tetapi hal-hal lain yang bersifat pencegahan harus direncanakan dan
dilakukan berkelanjutan baik pada musim kemarau maupun pada musim
penghujan.
2.5.1. Tindakan pasca kebakaran
A. Rehabilitas
Sebelum dilakukan tindakan rehabilitasi di lahan bekas terbakar perlu
dilakukan survei untuk mengetahui hal-hal yang berpengaruh terhadap
keberhasilan tindakan rehabilitasi (topografi, penutupan vegetasi, kondisi
genangan, kondisi tanah gambut, potensi permudaan dan bahan tanaman serta
potensi sumber daya manusia) dan eksplorasi hambatan-hambatan yang
kemungkinan terjadi. Melalui survei ini dapat ditentukan tindakan silvikultur yang
tepat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan rehabilitasi:

1. Hindari tanaman eksotik;


2. Sesuaikan sistem penanaman dengan kondisi lahan dan tanaman;
3. Libatkan masyarakat

22
B. Upaya yuridikasi

Investigasi pasca kejadian kebakaran harus segera dilakukan untuk mengetahui


siapa penyebab kejadian kebakaran, bagaimana prosesnya dan berapa besar kerugian
yang diakibatkan dan selanjutnya melakukan upaya yuridikasi untuk menuntut si pelaku
ke muka pengadilan. Dalam upaya yuridikasi ini perlu koordinasi yang terkait antara
polisi, penyidik pegawai negeri sipil, LSM, dan para ahli. Para ahli kebakaran, tanah dan
lingkungan dapat mendukung upaya penyidikan dalam pengumpulan bukti-bukti serta
hasil-hasil analisa yang dapat mengungkapkan bahwa kebakaran yang terjadi berasal
dari penggunaan api yang ceroboh atau kebakaran tersebut dilakukan secara sengaja
untuk tujuan tertentu.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kebakaran hutan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang


sering sekali terjadi dan dianggap penting sehingga menjadi perhatian lokal
maupun global. Berdasarkan tipe, kebakaran hutan dan lahan dikelompokkan
menjadi 3 tipe. Kebakaran bawah (ground fire) adalah kebakaran pada bagian
bawah permukaan tepatnya pada lapisan organik. Kebakaran permukaan
(surface fire) yaitu kebakaran yang terjadi di permukaan yang membakar seresah,
semak belukar, pancang, dan limbah pembalakan. Kebakaran tajuk (crown fire)
adalah kebakaran yang terjadi pada pucuk-pucuk pohon. Sedangkan kebakaran
lahan adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan dan keduanya bisa
terjadi baik disengaja maupun tanpa sengaja. Penyebab terjadinya karhutla yaitu ;
Pertama, metode pembukaan lahan pertanian yang masih mengandalkan metode
pembakaran. Kedua, penelantaran lahan-lahan, terutama kawasan gambut, lahan
tidak diolah dan tidak dijaga. Ketiga, tingginya suhu akibat kemarau panjang,
Keempat, keringnya rawa-rawa, terutama rawa gambut, baik akibat tindakan yang
disengaja atau tidak. Kelima, praktek illegal loging yang masih banyak ditemukan.

Terjadinya karhutla merupakan ancaman bagi seluruh aspek kehidupan


bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut khususnya terjadi pada
sektor ekonomi. Adanya karhutla mempunyai korelasi dengan pemanfaatan lahan
yang ada, ataupun karena ketidakmampuan mengatasi masalah lahan mereka.
Aktifitas ekonomi tidak bisa berjalan baik dan sikap mental juga rendah. Disisi lain
tekanan dari negara luar juga semakin kuat, terutama dengan mengangkat isu
lingkungan hidup dan kabut asap. Dampak dari hal tersebut menjadikan diplomasi
Indonesia negatif, yang pada akhirnya memberikan kontribusi negatif pada
rendahnya ketahanan nasional.

24
3.2 SARAN

Berbagai upaya dalam menangangi kebakaran hutan dan lahan sudah


dilakukan pemerintah Indonesia baik itu dari segi pencegahan maupun
penanggulangannya. Upaya teersebut sebagian besar menyentuh sumber
penyebab asap kabut yaitu kebakaran hutan dan lahan. Namun sebagian besar
upaya yang dilakukan masih upaya tanggap darurat dan pasca bencana seperti
pemadaman api, pengobatan pada korban dll. Sedangkan untuk upaya yang
bersifat preventif seperti melakukan sosialisasi atau penyuluhan tentang bahaya
kebakaran hutan masih perlu ditingkatkan lagi. Dari aspek lingkungan, upaya
pelestarian lingkungan termasuk salah satunya menjaga sektor kehutanan perlu
terus ditindaklanjuti dalam program khusus. Sedangkan dari aspek hukum,
penguatan dari segi regulasi dan penerapan sangsi yang tegas terhadap pelanggar
lingkungan perlu terus ditegakkan. Penguatan peran kelembagaan tingkat
kabupaten/kota juga perlu menjadi perhatian, pemerintah provinsi diharapkan turut
serta mengoordinasikan agar upaya penanganan asbut bisa sinergis antar daerah.

25
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, A. (2008). Community based fire management as an effort to solve the REDD
risk. Tekno Forest Plantation, 1(1), 11–22 (in Indonesian with English
Abstract)

Cahyono, S. Andy, Sofyan P. Warsito, Wahyu Andayani, dan Dwidjono H. Darwanto.


2015. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Indonesia
dan Implikasi Kebijakannya. Jurnal Sylva Lestari, Vol. 3, No. 1. Hal : 103 –
112.

Rasyid, Fachmi. 2014. Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Jurnal


Lingkar Widyaiswara, Edisi 1, No. 4. Hal : 47 – 59

Pasaribu,Sahat M dan Supena Priyatno.2008. Memahami Penyebab Kebakaran Hutan


Dan Lahan Serta Upaya Penanggulangannya: Kasus Di Provinsi Kalimantan
Barat,Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian, Edisi 1,Hal :1- 2

Sinaga, Agree Hutam, Deni Elfiati, Delvian.2015.Aktivitas Mikroorganisme Tanah Pada


Tanah Bekas Kebakaran Hutan Di Kabupaten Samosir (Soil Microorganism
Activity on Soil in Forest Fire Samosir Regency).jurnal Peronema Forestry
Science. Edisi 1,Hal : 1-7

Kunto Arief Wibowo.2019,Manajemen Penanganan Kebekaran Hutan dan Lahan


(Karhutla) Guna Peningkatan Ekonomi Kerakyatan, Jurnal Studi Sosial dan
Politik, Vol.3, No.1, Hal : 69-83.

Wo, K. (2019). Manajemen Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Guna
Peningkatan Ekonomi Kerakyatan. Jurnal Studi Sosial Dan Politik

Irwandi , Jumani dan Ismail B.2016. Upaya Penanggulangan Kebakaran Hutan Dan
Lahan Di Desa Purwajaya Kecamatan Loa Janan Kabupaten KutaiKertanegara
Kalimantan Timur. Jurnal Agrifor Volume Xv Nomor 2. Hal 209-210

26
Triutomo, Sugeng. 2013. Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Ancaman
Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan. Jakarta : Badan
Penanggulangan Bencana.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.

Wasis, Basuki. 2003. Dampak Kebakaran Hutan Dan Lahan Terhadap Kerusakan
Tanah. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 2 : 79-86.

27

Anda mungkin juga menyukai