MANAJEMEN BENCANA
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Dosen Pengampu
Dr. Ns. Andi Subandi, S. Kep., M. Kes.
Disusun Oleh
Kelas 3D dan 3E
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat-Nya yang
selama ini kita dapatkan, yang memberi hikmah dan yang paling bermanfaat bagi
seluruh umat manusia, oleh karenanya kami dapat menyelesaikan laporan pada mata
kuliah “Manajemen Bencana” dengan judul “MANAJEMEN KEBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN” . Ada pula maksud dan tujuan dari penyusunan laporan ini adalah untuk
menambah wawasan mengenai pengertian,tujuan dan manfaat serta manajemen dari
karhutla. Selain itu laporan ini juga bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan oleh dosen pada mata kuliah Manajemen Bencana yakni Dr. Ns. Andi
Subandi, S. Kep., M. Kes.
Dalam proses penyusunan tugas ini kami menjumpai berbagai hambatan, namun
berkat dukungan materil maupun nonmateriil dari berbagai pihak, akhirnya kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan cukup baik, maka pada kesempatan ini kami
menyampaikan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak
terkait yang telah membantu terselesaikannya tugas ini.Tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kami mengharapkan segala saran dan kritik yang
membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi perbaikan pada tugas
selanjutnya. Harapan kami semoga tugas ini memberikan ilmu dan manfaat, khususnya
bagi kami dan para pembaca sekalian.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1
Sementara itu, laporan CIFOR (2003) menyebutkan bahwa kebakaran hutan
gambut merupakan penyumbang pencemaran kabut asap yang terbesar.
Disebutkan pada laporan tersebut, Riau sebagai salah satu provinsi di Sumatera
menyumbang pencemaran kabut asap terbesar yang menyebar hingga
Singapura, daratan utama Malaysia, dan Sumatera, dengan Luas lahan gambut
di Riau sekitar 3,9 juta hektar yang telah banyak beralih fungsi menjadi
perkebunan. Tahun ini pun Pemerintah Singapura dan Malaysia merasa
terganggu dengan kabut asap yang menyelimuti beberapa wilayah di negara
tersebut. Mereka melayangkan protes terhadap Pemerintah Indonesia terkait
kabut asap. Menyikapi kondisi asap yang semakin tidak terkendali dan
pernyataan protes negara lain, Presiden Indonesia memerintahkan BNPB
melakukan operasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan (karlahut) di Provinsi
Riau.
Bencana kabut asap diharapkan tidak terulang setiap tahun. Penanggulangan
karhutla dilakukan melalui operasi udara, darat, dan penegakan hukum,
melibatkan BNPB, TNI/Polri, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, serta
dukungan dari pihak swasta dan masyarakat. Namun, keberhasilan tersebut akan
sia-sia apabila tidak ada upaya serius dari Pemerintah Provinsi Riau dalam
perumusan kebijakan yang ketat mengenai tata kelola dan pemanfaatan hutan
dan lahan di wilayahnya. Di samping itu, perlu ada penegakan hukum khususnya
bagi para pelaku pembakaran hutan dan lahan secara luas. Menurut CIFOR
(2013), berdasarkan kajian lapangan, hipotesis yang dapat diambil dari bencana
asap ini dilatarbelakangi oleh proses pengembangan dan pengelolaan
perkebunan. Pembagian luas wilayah yang terbakar berada pada lahan gambut,
dan ini merupakan pola khas pengelolaan perkebunan di wilayah kebakaran. Di
samping itu, kondisi cuaca menjadi faktor yang memperburuk kebakaran hutan
dan lahan pada periode ini.
2
4. Bagaimana management Saat Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan?
5. Bagaimana management pasca Becana Kebakaran Hutan dan Lahan?
1.3 Tujuan
Pada permasalahan yang telah dikemukakan,maka tujuan yang ingin dicapai
ialah :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan definisi kebakaran hutan dan lahan
2. Untuk mengetahui tujuan dan manfaat Manajemen Bencana.
3. Untuk mengetahui management pada Pra-Bencana,Saat Bencana dan Pasca
Bencana pada kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia.
4. Untuk lebih memberikan wawasan kepada masyarakat tentang pentingnya
merawat hutan.
5. Sebagai pedoman untuk semua orang agar dapat menjaga dan melindungi
hutan.
1.4 Manfaat
1. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan wujud implementasi dari ilmu yang telah dipelajari
selama proses belajar serta apabila dikaji lebih jauh dapat digunakan untuk
mengetahui prediksi luasan dari kebakaran hutan dan luasan area yang
terancam terkena kabut asap di Indonesia.
2. Bagi Masyarakat
Adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
masyarakat agar mengetahui daerah yang berpotensi terjadi kebakaran hutan
sehingga dapat lebih berhati-hati ketika berada di kawasan hutan tersebut.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan perbandingan dan referensi
pada penelitian selanjutnya.
4. Bagi pembaca
Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman mengenai
manajemen bencana kebakaran Hutan dan lahan.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Berdasarkan tipe, kebakaran hutan dan lahan dikelompokkan menjadi 3 tipe.
Kebakaran bawah (ground fire) adalah kebakaran pada bagian bawah
permukaan tepatnya pada lapisan organik. Kebakaran permukaan (surface fire)
yaitu kebakaran yang terjadi di permukaan yang membakar seresah, semak
belukar, pancang, dan limbah pembalakan. Kebakaran tajuk (crown fire) adalah
kebakaran yang terjadi pada pucuk-pucuk pohon.
Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu
kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan
adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan dan keduanya bisa terjadi
baik disengaja maupun tanpa sengaja (Hatta, 2008).
Menurut Darwiati dan Tuheteru (2010) di Indonesia, kebakaran hutan dan
lahan hampir 99% diakibatkan oleh kegiatan manusia baik disengaja maupun
tidak (unsur kelalaian). Diantara angka persentase tersebut, kegiatan konversi
lahan menyumbang 34%, peladangan liar 25%, pertanian 17%, kecemburuan
sosial 14%, proyek transmigrasi 8%; sedangkan hanya 1% yang disebabkan
oleh alam. Faktor lain yang menjadi penyebab semakin hebatnya kebakaran
hutan dan lahan sehingga menjadi pemicu kebakaran adalah iklim yang ekstrim,
sumber energi berupa kayu, deposit batubara dan gambut.
Penyebab terjadinya karhutla, berdasarkan laporan Satgas Karhutla Sumsel
2016 diidentifikasi sebagai berikut, Pertama, metode pembukaan lahan pertanian
yang masih mengandalkan metode pembakaran. Kedua, penelantaran lahan-
lahan, terutama kawasan gambut, lahan tidak diolah dan tidak dijaga. Ketiga,
tingginya suhu akibat kemarau panjang, Keempat, keringnya rawa-rawa,
terutama rawa gambut, baik akibat tindakan yang disengaja atau tidak. Kelima,
praktek illegal loging yang masih banyak ditemukan.
Dilihat dari sudut pandang ketahanan nasional, terjadinya karhutla merupakan
ancaman bagi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Hal tersebut terlihat dari tinjauan konsep Astagatra khususnya gatra
ekonomi. Adanya karhutla mempunyai korelasi dengan pemanfaatan lahan yang
ada, ataupun karena ketidakmampuan mengatasi masalah lahan mereka.
Aktifitas ekonomi tidak bisa berjalan baik dan sikap mental juga rendah. Disisi
5
lain tekanan dari negara luar juga semakin kuat, terutama dengan mengangkat
isu lingkungan hidup dan kabut asap. Dampak dari hal tersebut menjadikan
diplomasi Indonesia negatif, yang pada akhirnya memberikan kontribusi negatif
pada rendahnya ketahanan nasional.
6
c. Dari sisi masyarakat bermanfaat mengurangi resiko terhadap kebakaran
hutan melalui tahap penanggulanag bencana yang dilakukan oleh seluruh
petugas atau pihak terkait serta meningkatkan upaya perlindungan dalam
membantu masyarakat mengurangi dampak buruk yang diakibatkan
kebakaran hutan dan lahan.
a) Dukungan Masyarakat
b) Dukungan Sistem
c) Analisis SWOT Daerah Bencana
Sasaran advokasi ini nantinya akan memanfaatkan lintas sektor yaitu
seperti Kementrian kehutanan,TNI,Kementrian Dalam Negeri, Tenaga
Kesehatan, Lembaga Usaha.
7
2. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat adalah menitokberatkan dan memfokuskan
tingkat kemampuan masyarakat atau dengan kata lain adalah personal skill
masyarakat , dimana dengan memanfaatkan media, seminar, kegiatan
pelatihan, dan membuat satuan tugas . Harapannya adalah agar masyarakat
mampu dan bisa mengatasi bencana yang sewaktu-waktu akan terjadi kapan
saja dan dimana saja.
Pemberdayaan ini tidak luput dari melakukan kemitraan (Kerja Sama),
khususnya di bidang kesehatan. Kerja sama yang dimaksud adalah
masyarakat saling mendukung dan membantu menyelesaikan permasalahan
yang mungkin akan terjadi saat becana ini terjadi. Oleh karena itu, ada tiga
hal utama yang harus diperhatikan yaitu :
3. Upaya Komperehensif
Sarana dan Prasarana
SATGAS (Satuan Tugas)
Posko Gawat Darurat
SDMK
SDM
Carter (2008) menjelaskan bahwa dalam kegiatan manajemen
pengelolaan bencana, aspek pra bencana harus betul-betul diperhatikan
dengan serius. Ia membagi menjadi tiga aktifitas yaitu preventif, mitigasi, dan
kesiapsiagaan/preparedness.
8
A. Aspek Preventif
Berdasarkan data dari masing-masing satgas karhutla di provinsi prioritas,
pada konteks terjadinya peristiwa karhutla, kegiatan preventif yang sudah
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Sosialisasi kepada masyarakat, perusahaan dan seluruh pihak terkait
yang berpotensi terjadinya karhutla. Bisa menggunakan media luar
(baliho, spanduk, poster dan sebagainya), bisa dengan pendekatan
kelembagaan dengan memanfaatkan jejaring perangkat pemerintahan di
daerah terutama aparat Desa, Babinsa, dan sebagainya, bisa dengan
menggunakan media massa baik cetak maupun online.
b. Edukasi dan Penyuluhan. Aktifitas ini adalah melakukan upaya
penanaman pengetahuan pada masyarakat secara intensif, bukan hanya
sosialisasi tetapi juga melakukan pemberdayaan kepada masyarakat
sehingga ikut terlibat dan bertanggungjawab agar tidak terjadi karhutla.
Bentuk kegiatannya adalah himbauan langsung ke masyarakat dalam
forum-forum formal maupun non formal, melibatkan kelompok tani, karang
taruna dan berbagai unsur lainnya.
c. Penyelidikan, penindakan dan penegakan hukum. Penyelidikan dilakukan
dengan melibatkan unsur pemerintah desa, SKPD, Pemerintah
Kabupaten, Kepolisian hingga Kehakiman. Fungsi kehakiman lebih
kepada melakukan eksekusi terhadap kasus-kasus yang diperkarakan.
d. Melakukan sayembara bagi pihak-pihak yang bisa menangkap pelaku
pembakar lahan. Bagi siapa saja yang bisa menangkap pihak pembakar,
diiming-imingi hadiah tertentu. Hal ini dilakukan karena memang indikasi
kebakaran lahan adalah perbuatan pihak-pihak yang tidak
bertanggunjawab, karena itu perlu pula pancingan ke publik untuk
menggalang partisipasinya.
e. Publikasi/Opini melalui media massa. Selain sosialisasi dan tindakan lain,
satgas dengan menggandeng berbagai pihak terkait terus melakukan
upaya publikasi tentang bahaya tindakan membakar lahan. Pihak
akademisi didorong untuk senantiasa menyuarakan hal ini, baik dalam
9
bentuk menulis di media massa cetak ataupun di media elektronik.
Penggalangan opini melalui media massa dilakukan untuk mendorong
agar gagasan tidak membakar lahan bisa menyebar ke semua lapisan.
Sekaligus juga ini menjadi shock therapy bagi pihak-pihak yang tidak
serius dalam melakukan antisipasi karhutla.
f. Pembuatan sekat kanal (canal blocking). Cara ini dilakukan atas
kenyataan bahwa terjadinya karhutla karena keringnya lahan-lahan
gambut dan mineral di musim kemarau. Agar lahan tidak kering, maka
kanal-kanal yang selama ini sudah dibangun terutama di lokasi
perusahaan, dibuat sekat kanal agar air tidak mengalir ke tempat lain,
tetapi terbendung oleh sekat sehingga lahan tetap basah.
g. Inovasi teknologi. Inovasi teknologi, dikhususkan pada penciptaan
teknologi tertentu untuk mendukung upaya pencegahan karhutla. Hal ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa yang dihadapi saat karhutla adalah
kondisi lahan, cuaca, api dan prilaku manusia. Teknologi akan sangat
mendukung dan menunjang terutama proses pencegahan agar tidak
terjadi karhutla.
B. Aspek Mitigasi
Sejak 2015 hingga sekarang, beberapa tindakan mitigasi yang dilakukan
adalah :
a. Pendataan dan pencatatan. Hal mendasar yang harus disiapkan secara
detail adalah pendataan luasan lahan yang rentan dalam terjadinya
karhutla serta daerah-daerah yang terdampak. Ini dimaksudkan untuk
mengetahui sebaran dan potensi resiko bencana, sehingga bisa dilakukan
upaya-upaya meminimalisir dampak yang terjadi. Dalam prosesnya,
pendataan ini dilakukan melalui kerjasama dengan berbagai pihak seperti,
Badan Restorasi Gambut (BRG), Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD),
Perusahaan, LSM, Lembaga Konsorsium, dan SKPD.
b. Patroli Rutin. Aktifitas patroli rutin merupakan tindakan yang dilakukan
oleh satgas terhadap lokasi-lokasi yang memang disinyalir memiliki
potensi terjadinya karhutla. Patroli ini dilakukan secara bersama-sama,
10
baik unsur satgas maupun masyarakat. Patroli menjadi intens dilakukan
terutama pada saat musim kemarau sebagai langkah antisipasi luasan
dampak jika terjadi karhutla. Dalam pelaksanaan patroli, upaya dilakukan
dengan sarana prasarana yang ada,
baik sepeda motor, mobil patroli, jalan kaki, drone, maupun helikopter.
C. Kesiapsiagaan (Preparedness)
a. Menetapkan SK Gubernur tentang penetapan Satgas
b. Pelaksanaan rapat-rapat rutin satgas guna melaksanakan pembagian
tugas antar masing-masing anggota satgas. Rapat-rapat ini umumnya
membahas soal kesiapsiagaan antisipasi api di musim kemarau
c. Melakukan upaya sinkronisasi program kerja satgas dengan lembaga lain
yang ada dalam kesatuan satgas
d. Pelaksanaan rapat koordinasi dengan unsur lain di luar satgas seperti
dengan unsur pemerintahan kabupaten/kota, perusahaan, kelompok
masyarakat, TRGD dan BRG, membahas tentang peran serta semua
pihak dalam menangani ancaman bencana karhutla yang akan terjadi
ataupun yang sedang berlangsung
e. Koordinasi dengan Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) dan Badan
Restorasi Gambut (BRG)
f. Pembentukan posko-posko penanganan karhutla. Jumlah posko
disesuaikan dengan luasan wilayah yang ada.
g. Pembangunan sumursumur bor sebagai sumber air untuk pemadaman
api
h. Pelengkapan sarana prasarana mengatasi karhutla
11
b. Belum adanya penerapan hukum atau sanksi tegas terhada pelaku
pembakaran hutan, sehingga para pelaku merasa aman terhadpat aksi
yang dilakukan.
c. Serta belum adanya sinkronisasi, kooordinasi, dan integrasi dari
stakeholder yang berkepentingan dalam melakukan kegiatan
pencegahan.
Dalam menanggulangi bencana kebakaran hutan dan lahan pada tahap
pra bencana sudah mempersiapkan dan tim pengendali kebakaran hutan
dan lahan. Tujuannya adalah untuk mencegah dan menanggulangi
bencana kebakaran hutan dan lahan. Dengan adanya tim pengendali ini
mereka dapat memantau dan mengawasi hutan dan lahan tersebut dari
orang-orang tidak bertanggung jawab yang ingin membakar hutan dan
lahan. Tim pengendali itu nantinya dalam mencegah ataupun
mengantisipasi kemungkinan terjadinya suatu bencana akan diberikan
sebuah pelatihan dasar dan pengetahuan tentang bagaimana cara dalam
menghadapi bencana kebakaran hutan dan lahan tersebut. Tim
pengendali ini terdiri dari kelompok masyarakat, karena keterlibatan dari
masyarakat dalam penanggulangan bencana sangat penting,
masyarakatlah yang di jadikan sebagai ujung tombak pemerintah dalam
menghadapi bencana kebakaran hutan dan lahan (Fitria, 2016).
Maksudnya adalah apabila nanti ada kemungkinan terjadinya suatu
bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di daerah-daerah terpencil
dan lokasinya sangat jauh maka masyarakat yang berada di sekitar lokasi
kebakaran itulah yang dapat langsung bergerak untuk meminimalisir
terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut agar tidak menyebar secara
luas dan mengurangi dampak negatif dari kebakaran hutan dan lahan. Selain
sebagai tim pengendali, tim ini juga diharapkan dapat memberikan sosialisasi
langsung kepada masyarakat tentang larangan untuk membakar hutan dan
lahan dengan alasan apapun.
12
b. Pembuatan sekat kuning di area yang rawan akan kebakaran.
c. Melakukan penyuluhan kepada masyarakat tentang kebakaran hutan
d. Mengukur luasan area/lahan rawan kebakaran.
e. Membuat peta area/lahan rawan kebakaran (Irwandi, Jumani, & Ismail,
2016).
13
daerah-daerah yang tidak terdapat di titik rawan kebakaran nantinya
sewaktu-waktu dapat mengalami kebakaran hutan dan lahan juga.
Sehingga dibutuhkan lah sistem informasi kebakaran hutan dan
lahan untuk selalu memberikan informasi yang cepat, terpadu dan
akurat mengenai daerah yang ada dititik rawan bencana ataupun yang
tidak ada di dalam titik rawan bencana. Hal itu dapat dilakukan
dengan cara menganalisis keadaan kondisi dari lingkungan daerah
tersebut.
d. Melakukan pemantauan cuaca dan kondisi udara
Pemantuan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana keadaan
cuaca sebelum terjadinya ancaman bencana kebakaran hutan. Seperti
contohnya apabila keadaan cuaca di Kabupaten Kotawaringin Barat
menjadi panas dan kondisi udara menjadi tidak stabil.
14
partisipasi/peran serta masyarakat lokal dalam pencegahan kebakaran hutan
dan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu dorongan dan rangsangan,
insentif, kesempatan, kemampuan, bimbingan.
15
kelompok MPA.Dalam pembentukan anggota kelompok MPA dapat dilakukan
dengan musyawarah mufakat oleh masyarakat desa dalam memilih ketua,
sekretaris, dan bendahara kelompok.. Adapun syarat-syarat anggota kelompok
Masyarakat Peduli Api adalah sebagai berikut:
Penduduk desa yang tinggal menetap dan terkena langsung dampak
bencana kebakaran
Penduduk dewasa berusia 17-50 tahun dan dapat menyesuaikan dengan
kondisi yang ada
Sehat secara jasmani dan rohani.
Dapat bekerja sama dalam kelompok dan kelompok yang lain
Diutamakan berasal dari warga yang pernah atau terlibat kegiatan dalam
regu kebakaran sejenis.
16
Pembuatan rambu bahaya kebakaran, dapat dilakukan dengan membuat
papan peringatan, pembuatan leaflet, spanduk, poster
17
saat musim kemarau, berukuran lebar 2 - 4 m, kedalaman 1 - 2 m dan panjang
bervariasi antara 5 meter hingga puluhan meter jika dilakukan secara bersama-
sama (tidak milik perorangan). Kolam-kolam ini letaknya tidak jauh dari
pemukiman dan dekat dari sungai, sehingga saat musim hujan kolam-kolam ini
akan berisikan air hujan ataupun luapan air sungai di sekitarnya. Pada saat
musim hujan akan terjadi banjir dan beje-beje akan tergenang oleh air luapan
dari sungai di sekitarnya serta terisi oleh ikan- ikan alami. Saat musim kemarau
air akan surut tetapi beje masih tergenang oleh air dan berisi ikan, sehingga
pada saat musim kemarau masyarakat mulai memanen dan membersihkan
kembali beje-bejenya dari lumpur ataupun membuat kembali beje-beje yang
baru. Beje-beje semacam ini selain berfunsgsi untuk memerangkap ikan alami,
ternyata juga dapat berfungsi sebagai sekat bakar. Hal demikian terlihat dari foto
dalam Box 18,dimana kondisi hutan di sekitar beje masih tampak hijau tidak
terbakar (Adinugroho, W. C, dkk, 2005).
F. Tanggul di sekitar lahan gambut
Cara lain untuk mencegah larinya air dari lahan gambut, agar gambut tidak
terbakar, adalah dengan membangun tanggul di sekitarnya. Keberadaan tanggul
ini diusahakan tidak jauh dari sungai dan dibuat (membentuk gundukan) dari
tanah mineral yang diambil dari sungai. Untuk mempertahankan
keberadaan/tinggi muka air di lahan gambut, terutama pada musim kemarau,
maka air dapat dipompakan dari sungai atau reservoir air lainnya (seperti
danau/rawa) kedalam hamparan lahan gambut yang akan kita lindungi dari
bahaya api. Kemudian, tinggi muka air di lahan gambut ini dapat dikendalikan
dengan membuat saluran pembuangan/ drainase (berupa parit kecil atau pipa
PVC) dan diarahkan ke tempat lain yang letaknya lebih rendah. Bahan-bahan
yang diperlukan dalam konstruksi dam dengan sistem pompa semacam ini
adalah: Pompa dan Pipa PVC.
18
2.4 Saat Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
1. Respon Awal Kejadian
BNPB sebagai koordinator penanganan kebakaran hutan dan lahan tingkat
nasional, melaksanakan tugas sebagai berikut: a. Melaporkan kepada Presiden
setelah adanya notifikasi kejadian awal yang dampak kebakarannya signifikan
secara nasional; b. Segera mengkoordinasikan/ membangun komunikasi dengan
instansi utama dan pendukung di tingkat nasional dan di tingkat daerah untuk
menetapkan langkah operasi pemadaman; c. Melakukan kaji cepat situasi dan
penilaian dampak serta menganalisa untuk menentukan tindakan penanganan
yang tepat guna memenuhi permintaan kebutuhan pengerahan sumberdaya; d.
Menganalisa semua permintaan kebutuhan sumberdaya yang masuk sebelum
menetapkan prioritas utama penanganan darurat; e. Mengaktifkan Pusdalops
BNPB sebagai Pusat Pengendali Kebakaran Hutan dan Lahan Nasional
(Pusdalkarhut Nas); f. Memastikan keamanan dan keselamatan semua personil
yang bertugas dalam operasi penanganan darurat ini (membuat rencana
pengamanan operasi).
2. Operasi Pemadaman
a Pemadaman Darat
Pengerahan Personil (BPBD, Manggala Agni, Dinas Damkar, MPA,
TNI-POLRI, Instansi/mitra kerja terkait dan Kelompok Masyarakat
Terlatih);
Koordinasi dan Komando;
Penyampaian data melalui Pusdalops;
Komando dilaksanakan oleh Incident Commander).
b Pemadaman Udara Pemadaman Udara merupakan pedukung dari
pemadaman darat.
Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC), operasi hujan buatan;
Melakukan pemboman air;
Melakukan penipisan awan dengan mikrosprayer
19
Pelaksanaan pemadaman dilakukan dengan mengerahkan semua tenaga
dan peralatan yang ada. Prosedur yang dapat dilaksanakan,yaitu:
a. Monitoring
Adanya informasi yang lengkap tentang bahaya kebakaran
(termasuk didalamnya lokasi kebakaran, sumber air) yang diterima oleh
POSKO Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. POSKO kemudian
memobilisasi satuan penanggulangan kebakaran hutan sesuai kebutuhan.
b. Persiapan
Persiapan pemadaman kebakaran harus dilakukan secermat
mungkin. Persiapan yang kurang akan menimbulkan kesulitan setelah
berada di lapangan, bahkan dapat menimbulkan bahaya bagi orang yang
terlibat dalam pemadaman kebakaran tersebut. Persiapan sebelum ke
lokasi, meliputi pembagian personil dalam kelompok serta penyediaan alat
transportasi, alat pemadam kebakaran, P3K (Pertolongan Pertama Pada
Kecelakaan), alat komunikasi, dan peta lokasi. Persiapan di lokasi,
dilakukan penyebaran masyarakat di tiap kelompok pengendali
kebakaran. Pengarahan singkat tugas masingmasing kelompok dan
diberikan peralatan pada tiap kelompok dimana minimal terdapat dua alat
komunikasi pada tiap kelompok dan minimal satu orang menguasai lokasi.
Pendirian POSKO dekat lokasi kebakaran untuk menyediakan konsumsi,
transportasi dan pelayanan kesehatan darurat/kecelakaan.
c. Pengaturan strategi pemadaman kebakaran
Pemadaman kebakaran dapat dilakukan dengan penyemprotan air
ketempat kebakaran yang terjadi, pembuatan sekat bakar tidak permanen
di depan arah pergerakan api, pembakaran terkendali mulai dari jalur
sekat bakar untuk melawan pembakaran yang berbalik.
Makin bagus response time petugas pemadam kebakaran maka
akan makin bagus efektifitas operasi pemadamannya sehingga kebakaran
bisa dipadamkan dalam waktu singkat dan kerugian harta benda maupun
jiwa yang lebih besar bisa dihindari. Dilihat dari teori perkembangan api,
20
waktu sepuluh menit pertama proses pembakaran adalah waktu terbaik
untuk melakukan operasi pemadaman kebakaran.
d. Pelaksanaan upaya pemadaman kebakaran
Upaya pemadaman dilaksanakan secara terus menerus sampai api
dapat dikuasai dan dipadamkan dengan tuntas. Tiap perkembangan yang
terjadi selama upaya pemadaman harus dilaporkan ke POSKO
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Setelah api padam tetap
dilakukan pengawasan untuk mencegah kemungkinan terjadinya
kebakaran kembali
Kegiatan Pasca Kebakaran hutan dan lahan yang harus dilakukan meliputi:
Pengukuran langsung areal yang terbakar.
Overlay hasil pengukuran pada sebuah peta.
Perhitungan kerugian/taksasi dampak ekonomi dan ekologi kejadian
kebakaran hutan.
Pelaporan kejadian kebakaran hutan pada Dinas Kehutanan
21
Pengecekan ulang areal yang terbakar.
Perumusan kegiatan rehabilitasi areal yang terbakar.
Koordinasi ulang mengenai sistem pengawasan areal yang terbakar, guna
mengurangi persentase terjadinya kebaran hutan di areal yang sama atau
di dekat areal tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan dan observasi lapang, pihak Dinas
Kehutanan sebaiknya lebih menekankan pada wujud nyata dari hasil pengukuran
dan pelaporan kejadian kebakaran, yaitu kegiatan penanaman
kembali/rehabilitasi pada areal bekas terbakar, sehingga kejadian kebakaran di
areal yang sama dapat segera diantisipasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, sudah saatnya pengendalian kebakaran
hutan dan lahan ditangani secara terencana, menyeluruh, terpadu dan
berkelanjutan. Dengan kata lain, bahwa pengendalian kebakaran hutan dan
lahan tidak hanya tertuju pada pemadaman saat kebakaran hutan musim
kemarau, tetapi hal-hal lain yang bersifat pencegahan harus direncanakan dan
dilakukan berkelanjutan baik pada musim kemarau maupun pada musim
penghujan.
2.5.1. Tindakan pasca kebakaran
A. Rehabilitas
Sebelum dilakukan tindakan rehabilitasi di lahan bekas terbakar perlu
dilakukan survei untuk mengetahui hal-hal yang berpengaruh terhadap
keberhasilan tindakan rehabilitasi (topografi, penutupan vegetasi, kondisi
genangan, kondisi tanah gambut, potensi permudaan dan bahan tanaman serta
potensi sumber daya manusia) dan eksplorasi hambatan-hambatan yang
kemungkinan terjadi. Melalui survei ini dapat ditentukan tindakan silvikultur yang
tepat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan rehabilitasi:
22
B. Upaya yuridikasi
23
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
24
3.2 SARAN
25
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, A. (2008). Community based fire management as an effort to solve the REDD
risk. Tekno Forest Plantation, 1(1), 11–22 (in Indonesian with English
Abstract)
Wo, K. (2019). Manajemen Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) Guna
Peningkatan Ekonomi Kerakyatan. Jurnal Studi Sosial Dan Politik
Irwandi , Jumani dan Ismail B.2016. Upaya Penanggulangan Kebakaran Hutan Dan
Lahan Di Desa Purwajaya Kecamatan Loa Janan Kabupaten KutaiKertanegara
Kalimantan Timur. Jurnal Agrifor Volume Xv Nomor 2. Hal 209-210
26
Triutomo, Sugeng. 2013. Rencana Kontinjensi Nasional Menghadapi Ancaman
Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan. Jakarta : Badan
Penanggulangan Bencana.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Wasis, Basuki. 2003. Dampak Kebakaran Hutan Dan Lahan Terhadap Kerusakan
Tanah. Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. IX No. 2 : 79-86.
27