Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 13 MODUL 3
SESAK NAPAS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 5

IRMA NOVALIN WANDIK 1610015019


ANNISA SALSABILA 1610015046
RIZKY RAHMATILLAH 1610015051
DEWI TYA CLAUDIA 1610015071
MUHAMMAD SHAIFULLAH 1810015047
RINI WAHIDATUL ULPAH 1810015010
ALDA PUSPA PERTIWI 1810015057
RASHIEKA ZAFIRAH 1810015026
TIA NOVIANDRI 1810015034
MUHAMMAD AIDIL AULIA RAMADHAN 1810015042
AJRIL IHZA FIRDAUS 1810015045
ILDA NOVIYANTI 1810015053
HANNISA NUU ASH SHAMAD 1810015058
NURHAKIKI MUSLIMIN 1810015075

Tutor :
dr. Muhammad Buchori, M.Sc, Sp.A

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkah-Nya kami
selaku kelompok 5 telah menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil pada Blok 13
Modul 3 Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2019. Dalam proses penyusunan
laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Muhammad Buchori, M.Sc, Sp.A selaku Penanggung Jawab B13M3 dan tutor
kelompok 5 yang telah membimbing kami selama menjalani diskusi kelompok kecil
(DKK) I dan diskusi kelompok kecil (DKK) II sehingga materi diskusi dapat
mencapai sasaran pembelajaran yang sesuai.
2. Rekan kelompok 5 yang telah mengkondusifkan suasana diskusi tutorial dan bekerja
sama dalam penyelesaian laporan ini.
3. Dosen dosen yang telah memberikan materi pendukung pada pembahasan sehingga
semakin membantu pemahaman kami terhadap materi ini.
4. Kepada seluruh pihak yang turut membantu penyelesaian laporan ini, baik sarana
dan prasarana kampus yang kami pergunakan.
Kami mengharapkan agar laporan ini dapat berguna bagi penyusun maupun bagi
para pembaca dikemudian hari. Kami memohon maaf apabila dalam penulisan laporan
hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini terdapat kata kata yang kurang berkenan dihati
para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai
pihak. Semoga laporan kami ini dapat mendukung pemahaman pembaca terhadap materi
tersebut.

Samarinda, 14 September 2020


Hormat Kami

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................ii

Daftar Isi ..............................................................................................................................iii

BAB I Pendahuluan.............................................................................................................iv

A. Latar Belakang....................................................................................................iv
B. Tujuan.................................................................................................................iv
C. Manfaat...............................................................................................................iv

BAB II Isi...............................................................................................................................2

A. Skenario...............................................................................................................2
B. Identifikasi Istilah................................................................................................2
C. Identifikasi Masalah.............................................................................................2
D. Analisa Masalah...................................................................................................3
E. Strukturisasi Konsep............................................................................................4
F. Learning Objective...............................................................................................5
G. Sintesis.................................................................................................................6

BAB III Penutup.................................................................................................................29

A. Kesimpulan........................................................................................................29
B. Saran..................................................................................................................29

Daftar Pustaka….................................................................................................................30

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga dada
dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. Penyakit paru kronik
semakin sering menjadi penyebab penyakit jantung, dan sebaliknya, penyakit jantung yang
disertai dekompensasi atau penyakit vascular dapat mengakibatkan perubahan-perubahan
pada struktur dan fungsi paru. Salah satu penyakit paru yang dapat menyebabkan penyakit
jantung adalah PPOK. Salah satu contoh dari kelainan kardiovaskular yang diakibatkan
oleh PPOK adalah Hipertensi pulmonal yang nantinya dapat berkembang menjadi Cor
Pulmonal hingga Gagal Jantung.

Oleh karena kejadian dari PPOK merupakan kejadian yang paling sering terjadi di
Indonesia, serta dapat berkembang menjadi gagal jantung, penting bagi seorang calon
dokter untuk mengetahui dan memahami pengertian dari PPOK itu sendiri (yang sudah
dipelajari di modul sebelumnya) serta kelainan kardiovaskular yang disebabkan oleh PPOK
maupun yang disebabkan hal lainnya.

B. Tujuan

1. Mengetahui patofisiologi terjadinya Hipertensi pulmonal menjadi Cor Pulmonal


sampai Gagal Jantung
2. Mengetahui cara mendiagnosa dan tatalaksana Cor Pulmonale dan Gagal Jantung

C. Manfaat

Setelah melaksanakan DKK 1 dan 2 pada Blok 13 Modul 3 ini seluruh anggota
kelompok bisa mengetahui bagaimana patofisiologi, diagnosis dan tatalaksana cor
pulmonale dan gagal jantung.

1
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

A. SKENARIO
NAFASKU SESAK, KAKIKU BENGKAK
Seorang laki-laki berusia 60 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan sesak napas yang
semakin memberat sejak 2 hari yang lalu. Sesak dialami sejak 1 tahun yang lalu, tetapi satu
bulan terakhir ini semakin parah terutama bila melakukan aktivitas yang berlebihan, namun
berkurang bila beristirahat. Penderita juga merasakan kedua kakinya membengkak.
Kadang-kadang juga timbul batuk, tidak ada demam dan keluhan nyeri dada. Penderita
merupakan perokok berat dan pernah mengalami penyakit paru yang kronis.

Pemeriksaan tanda vital didapatkan terkanan darah 140/90 mmHg, nadi 100x/menit,
pernapasan 26x/menit, suhu 36,5 derajat celcius. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan
perkusi hipersonor, ronkhi, dan wheezing pada kedua lapangan paru serta pembesaran
jantung. Pemeriksaan ekstremitas didapatkan pitting edema pada kedua tungkai. Pada
penderita ini kemudian dilakukan serangkaian pemeriksaan penunjang untuk mengetahui
kelainan yang mendasarinya dan menegakkan diagnosis.

B. Identifikasi Istilah
1. Pitting edema: Turgor kulit lambat kembali ke posisi semula oleh karena edema. Saat
diberi tekanan butuh waktu lama untuk cekungan kembali ke semula

C. Identifikasi Masalah
1. Apa interpretasi pemeriksaan fisik pasien pada skenario? dan mengapa terjadi
pembesaran batas jantung?
2. Apa penyebab terjadinya sesak napas, pitting edema dan mengapa hanya terjadi pada
tungkai, dan mengapa sesak semakin berat setelah berakitivitas dan membaik setelah
istirahat?
3. Apa hubungan gejala pada pasien dengan riwayat perokok berat dan PPOK?
4. Apa suspek pada pasien tersebut?

2
5. Apa pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan untuk menunjang diagnosis pada
pasien tersebut?
6. Bagaimana penatalaksanaan awal terhadap pasien tersebut?

D. Analisa Masalah
1. Hasil pemeriksaan tanda vital:
 TD : 140/90 mmHg (tinggi, normal 120/80 mmHg)  Hipertensi derajat I
 Nadi : 110x/menit (tinggi)  takikardia
 RR : 28x (tinggi)  takipneu
 T : 36,5 derajat celcius  normal

Hasil pemeriksaan fisik :

 Hipersonor : adanya rongga udara yang membesar karena hiperinflasi (misalnya


pada PPOK, Pneumothorax)
 Ronki: terdapat dua jenis (ronki kering dan basah), penyumbatan saluran napas
(oleh proses inflamasi)
 Pembesaran batas jantung terjadi oleh karena adanya hipertrofi, pada perkusi
daerah redup jantung melebihi batas normalnya
 Pitting edema  HPc meningkat, OPc meningkat, permeabilitas vaskuler
meningkat, oleh karena adanya penumpukan cairan di rongga interstisial di
tungkai

2. Sesak akibat sistem respirasi (obstruksi dan retriksi) karena pasukan O 2 turun maka
terjadilah sesak. Pada pemeriksaan fisik bisa dijelaskan karena adanya sumbatan /
penyempitan jalan napas, sehingga usaha untuk mengambil O 2 meningkat,
menyebabkan sesak. Saat aktivitas meningkat, frekuensi napas meningkat, karena
kebutuhan energi juga untuk beraktivitas ketika beristirahat kebutuhan oksigen
menurun, sehingga frekuensi napas juga menurun. Edema: bila pasien diatas 40 thn,
perokok berat mengeluh sesak, tidak sembuh dan progresif (Dx: PPOK), dengan

3
komplikasi cor pulmonale, dengan gejala edema pitting. Pada PPOK terjadi suatu
peristiwa yang dinamakan air trapping yang mengakibatkan ventilasi menurun
sehingga paru harus meningkatkan perfusinya dengan cara vasokontriksi arteriol paru
dan hal ini akan meningkatkan resistensi paru, ventrikel kanan sulit untuk memompa
darah, dan oleh karena itu terjadi hipertrofi dari dinding ventrikel kanan, karena ruang
ventrikel menjadi lebih sempit tekanan menjadi meningkat yang berujung pada
hipertensi pulmonal. Aliran balik pada vena mengakibatkan terjadinya plasma leakage
yang membuat terjadinya edema pada daerah perifer seperti tungkai. Terjadi pula
retensi cairan, retensi Na+ dan H20, merangsang RAA dan menaikkan volume
intravaskuler, cairan di plasma meningkat dan terjadi peningkatan cairan keluar ruang
interstisial.
3. Pada PPOK terjadi hipertensi pulmonal  berisiko pada usia tua dan riwayat perokok
4. Suspek:
 Cor pulmonale kronik
 Gagal jantung (Heart Failure)
5. Pemeriksaan penunjang:
 Foto rontgen dada
 EKG untuk merekam perubahan kelistrikan jantung
 Echocardiogram
6. Berikut penatalaksanaan awal yang diberikan pada pasien tersebut:
 Pemberian bronkodilator
 Kortikosteroid dan vasodilator
 Oksigenasi
 Diuretik
 Hidroklorodiazin

E. Strukturisasi Konsep

4
F. Learning Objective
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi, Etiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis,
Diagnosis, dan Tatalaksana dari Cor Pulmonale.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi, Etiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis,
Diagnosis, dan Tatalaksana dari Gagal Jantung.

G. Belajar Mandiri
Masing–masing anggota diskusi kelompok kecil melakukan belajar secara mandiri
sesuai dengan tujuan belajar yang telah ditentukan pada saat diskusi kelompok kecil.

5
H. Sintesis

Learning Objective 1: COR PULMONAL

a) Definisi
Menurut Buku Ajar Penyakit Dalam FKUI cor pulmonal ialah hipertrofi atau dilatasi
ventrikel kanan akibat hipertensi pulomonal yang disebabkan penyakit parenkim paru
atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri.

b) Etiologi
Menurut Buku Ajar Penyakit Dalam FKUI penggolongan kor pulmonal dibagi menjadi
4 kelompok:
1. Penyakit pembuluh darah paru.
2. Tekanan darah pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis.
3. Penyakit neuromuskular dan dinding dada.
4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk PPOK. Penyakit paru
lainnya dalah penyakit paru interstisial dan gangguan pernafasan saat tidur.

c) Patofisiologi
Beratnya pembesaran ventrikel kanan pada kor pulmona merupakan fungsi pembesaran
dari pengingkatan dalam afterload. Jika resistensi vaskuler paru meningkat dan relatif
tetap, seperti pada penyakit vaskuler atau parenkim paru, peningkatan curah jantung
sebagaimana terjadi pada pengerahan tenaga fisis dapat meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis secara bermakna. Afterload ventrikel kanan secara kronik meningkat jika
volume paru membesar, seperti pada penyakit paru obstruktif menahun, akibat
pemanjangan pembuluh paru dan kopresi kapiler alveolar. Afterload ventrikel kanan
dapat juga menigkat jika volume paru menurun setelah reseksi paru yang luas, juga
pada penyakit paru restriktif dengan pembuluh paru tertekan dan terdistorsi. Afterload
ventrikel kanan meningkat dengan vasokonstriksi pulonan hipoksik yang merupakan
penyebab penting hipertensi pulmonal. Vasokonstriksi hipoksik pada daeerah paru

6
yang terkena penyakit mendistribusi darah ke daerah yang ventilasinya normal.
Peningkatan tekanan arteri pulmonalis menjadi beban bermakna bagi ventrikel kanan
jika penyakit paru bersifat difus atau jika seluruh paru menjadi hipoksik karena
hipoventilasi. Vasokonstriksi hipoksik lebih disebabkan oleh hipoksia alveolar
daripada hipoksia intravaskuler yang diperburuk hiperkarboa, mungkin karena asidosi
yang berhubungan dengannya. Jika hematokrit menjadi sangat meningkat dengan
hipoksemia kronik, peningkatan viskositas darah dapat memperhebat hipertensi
pulmonal. Peningkatan afterload ventrikel kanan yang bertanggung jawab atas kor
pulmonal disebabkan oleh terutama penyakit vaskuler atau parenkim paru. (Harrison,
2016).

Sementara dalam Buku Ajar Penyakit Dalam FKUI merangkum patofisiologi kor
pulmonal berdasarkan penyakit paru kronis yang akan mengakibatkan :
1. Berkurangnya “vascular bed” paru, dapat disebabkan oleh semakin terdesaknya
pembuluh darah oleh paru yang mengembang atau kerusakan paru.
2. Asidosis dan hiperkapnia.
3. Hipoksia alveolar yang akan merangsang vasokonstriksi pembuluh paru.
4. Polisitemia dan hiperviskositas darah..

Keempat kelainan tersebut akan menyebabkan timbulnya hipertensi pulmonal dan


dalam jangka panjang aakan mengakibatkan hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan dan
kemudian berlanjut menjadi gagal jantung kanan.

d) Manifestasi Klinis
Umumnya kor pulmonal dimulai PPOK kemudian PPOK dengan hipertensi pulmonal
dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta gagal jantung kanan.
Dyspnea (sesak nafas) merupakan gejala yang paling sering terjadi, tetapi mungkin
kurang menggambarkan gejala khas dari kor pulmonan sebab sesak nafas umum terjadi
pada pasien penyakit paru. Sesak nafas yang disertai bertambahnya gejala seperti nyeri

7
dada, light headedness, sinkop, edema tungkai mendesak agar dilakukan evaluasi lebih
lanjut.
e) Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang teliti akan didapatkannya ada tidaknya penyakit paru yang
mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas
waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa
pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak
keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru
timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan
atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus, edema
alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal
jantung kanan.
Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya
peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru
(fibrosis penyakit paru atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada
atau angina juga dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia pada
ventrikel kanan atau teregangnya arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya
arteri pulmonalis yang sudah mengalami arteroslerotik atau terdilatasi akibat
hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga ditemukan variasi gejala-gejala
neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan hipoksemia.

2. Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi
Diameter dinding dada yang membesar (barrel chest) , sianosis , jari tabuh.
 Palpasi
Edema tungkai, peningkatan vena jugularis yang menandakan terjadinya gagal
jantung kanan dan ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan.
Hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda
terjadinya overload pada ventrikel kanan. 2

8
 Perkusi
Pada paru bisa terdengar hipersonor pada PPOK, pada keadaan yang berat
bisa menyebabkan asites. 2
 Auskultasi
Pada paru ditemukan wheezing dan rhonki, bisa juga ditemukan bising sistolik
di paru akibat turbulensi aliran pada rekanalisasi pembuluh darah pada chronic
thromboembolic pulmonary hypertension. Terdapatnya murmur pada daerah
pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang
lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai
terdengar dan selain itu juga dapat ditemukan murmur akibat insufisiensi
trikuspid.

3. Pemeriksaan Penunjang
 Radiologi
Pada foto toraks, tampak kelainan paru disertai pembesaran ventrikel kanan,
dilatasi arteri pulmonal, dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali
sering tertutup oleh hiperinflasi paru yang menekan diafragrna sehingga
jantung tampaknya normal.
 EKG
Pada EKG Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.
- Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1
- Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1
- Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF
- Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan
prekordial.
- Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK
karena adanya hiperinflasi.
- Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran
gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan
infark miokard.

9
 Ekokardiografi
Dimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel
kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal gelombang ’a’
hilang menunjukan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan
ekokardiografi sulit terlihat katup pulmonal karena accoustic window sempit
akibat penyakit paru.
 Tes faal paru
Sering ditemukan kelainan tes faal paru (spirometri) dan analisis gas darah.
Ada respons polisistemik terhadap hipoksia kronik. Tes faal paru dapat
menentukan penyebab dasar kelainan paru. Pada analisis gas darah bisa
ditemukan saturasi O2 menurunnya PCO2 biasanya normal. Bila kor
pulmonal disebabkan penyakit vaskular paru, PCO2 biasanya normal. Bila kor
pulmonal akibat hipoventilasi alveolar misalnya karena PPOK menahun
dengan emfisema, PCO2 menigkat.

f) Tatalaksana
Tujuan pengobatan kor pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama dengan
pengobatan kor pulmonal pada umumnya untuk: (1) Mengoptimalkan efisiensi
pertukaran gas; (2) Menurunkan hipertensi pulmonal; (3) Meningkatkan kelangsungan
hidup; (4) Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya
Pengobalan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan hipertensi
pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat dilaksanakan diawali dengan
menghentikan merokok serta tatalaksana lanjut adalah sebagai berikut:

1. Terapi Oksigen
Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat meningkatkan kelangsungan hidup
belum diketahui. Ditemukan 2 hipotesis: (I) Terapi Oksigen mengurangi
vasokonstriksi dan menurunkan resistensi vaskular paru yang kemudian
meningkatkan isi sekuncup ventrikel kanan; (2) Terapi oksigen meningkatkan

10
kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak dan
organ vital lain.
Pemakaian oksigen secara kontinu selama 12 jam (National institute of
Health/NlH, Amerika); 15 jam (British Medical Research Council / MRC dan 24
jam (NIH) meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan pasien tanpa
terapi oksigen.
Indikasi terapi Oksigen (di rumah) adalah: (a) Pa0 2 < 55 mmHg atau Sa02 <88%;
(b) Pa02 55-59 rnmHg disertai salah satu dan: (b. 1) Edema disebabkan gagal
jantung kanan; (b.2) P pulmonal pada EKG: (b.3) Eritrositosis hematokrit> 56%).

2. Vasodilator
Vasodilator (nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa adrenergik, inhibitor
ACE, dan prostaglandin sampai saat ini belum direkomendasikan pemakaiannya
secara rutin. Rubin menemukan pedoman untuk menggunakan vasodilator bila
didapatkan 4 respons hemodinamik yang meliputi: (a) Resistensi vaskular paru
diturunkan minimal 20%; Ib) Curah jantung meningkatkan atau tidak berubah;
(c)Tekanan arteri pulmonal menurunkan atau tidak berubah; (d) Tekanan darah
sistemik tidak berubah secara signifikan. Kemudian harus dievaluasi setelah 4 atau
5 bulan untuk menilai apakah keuntungan hemodinamik di atas masih menetap
atau tidak. Pemakaian sildenafil untuk melebarkan pembuluh darah Paru pada
Priimary Pulmonary Hertensionil, sedang ditunggu hasil penelitian untuk kor
pulmonal lengkap.

3. Digitalis
Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung
kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor
pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri normal, hanya pada pasien kor pulmonal
dengan fungsi ventrikel kiri yang menurunkan digoksin bisa meningkatkan fungsi
ventrikel kanan. Di samping itu pengobatan dengan digitalis menunjukkan
peningkatkan terjadinya komplikasi aritmia.

11
4. Diuretika
Diuretika diberikan bila ada gagal jantung kanan. Pemberian diuretika yang
berlebihan dapat menimbulkan alkolosis metabolik yang bisa memicu peningkatan
hiperkapnia. Di samping itu dengan terapi diuretik dapat terjadi kekurangan cairan
yang mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.

5. Flebotomi
Tindakan flebotomi pada pasien kor pulmonal dengan hematokrit yang tinggi
untuk menurunkan hematokrit sampai dengan nilai 59% hanya merupakan terapi
tambahan pada pasien kor pulmonal dengan gagal jantung kanan akut.

6. Anti Koagulan
Pemberian antikoagulan pada kor pulmonal didasarkan atas kemungkinan
terjadinya tromboemboli akibat pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan
adanya faktor imobilisasi pada pasien.
Di samping terapi di atas pasien kor pulmonal pada PPOK harus mendapat terapi
standar untuk PPOK, komplikasi dan penyakit penyerta. Terapi optimal kor pulmonal
karena PPOK harus di mulai dengan terapi optimal PPOK untuk mencegah atau
memperlambat timbulnya hipertensi pulmonal. Terapi tambahan baru diberikan bila
timbul tanda-tanda gagal jantung kanan.

g) Prognosis
Kor pulmonal bergantung pada patologi yang mendasarinya. Pasien dengan penyakit
pembuluh darah paru atau penyakit paru kronis berkembang menjadi kor pulmonale
prognosisnya memburuk

12
Learning Objective 2: GAGAL JANTUNG

a) Definisi
Gagal jantung adalah sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh
sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang disebabkan oleh kelainan
struktur dan fungsu jantung.
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien harus
memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat
istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istirahat.
Gagal jantung sering juga diklasifikasikan sebagai gagal jantung dengan penurunan
sistolik (fraksi ejeksi) atau dengan gangguan fungsi diastolik (fungsi sistolik atau fraksi
ejeksi normal), yang selanjutnya akan disebut sebagai Heart Failure with Preserved
Ejection Fraction (HFPEF). Selain itu, myocardial remodelling juga akan berlanjut
dan menimbulkan sindroma klinis gagal jantung.
Gagal jantung akut adalah terminologi yang digunaka untuk mendeskripsikan
kejadian atau perubahan yang cepat dari tanda dan gejala gagal jantung. Kondisi ini
mengancam kehidupan dan harus ditangani dengan segera, dan biasanya berujung pada
hospitalisasi. Ada 2 jenis persentasi gagal jantung akut, yaitu gagal jantung akut yang
baru terjadi pertama kali (de novo) dan gagal jantung dekompensasi akut pada gagal
jantung kronis yang sebelumnya stabil. Penyebab tersering dari gagal jantung akut
adalah hipervolum atau hipertensi pada pasien dengan gagal jantung diastolik.

b) Etiologi
Pada gagal jantung ada banyak hal yang dapat membuat pasien menderita gagal
jantung, baik itu penyebab dari jantungnya sendiri maupun ada penyakit lain yang
mendasari, secara lebih rinci dijelaskan pada tabel berikut :

13
c) Patofisiologi
Gagal jantung sistolik didasari oleh suatu beban/penyakit miokard (underlyinng
HD/index of events) yang mengakibatkan remodeling struktural, lalu diperberat oleh
progesivitas beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang disebut
gagal jantung.

14
Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme
kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal (gagal jantung
asimtomatik). Sindrom gagal jantung yang simtomatik akan tampak bila timbul faktor
presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan,
aktivitas berlebihan, emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli paru, hipertensi,
miokarditis, virus, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatik juga
akan tampak kalau terjadi kerusakan miokard akibat progesivitas penyakit yang
mendasarinya (underlying HD).

15
d) Manifestasi klinis

e) Diagnosis

16
1. Elektrokardiogram (EKG)

17
2. Foto Toraks
Rontgen toraks dapat mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat
sesak nafas

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah
perifer lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi
glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan
laindipertimbangkan sesuai tampilan klinis.

4. Peptida Natriuretik
Penggunaan kadar plasma peptidanatriuretik untuk diagnosis, membuat
keputusan merawat atau memulangkan pasien, dan mengidentifikasi pasien
pasien yang berisiko mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik
yang normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang
tinggi dan membuat kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejalagejala
yang dikeluhkan pasien menjadi sangat kecil. Kadar peptidanatriuretik meningkat
sebagai respon peningkatan tekanan dinding ventrikel. Peptida natriuretik
mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan tiba-tiba tekanan dinding
ventrikel tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.

5. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran
klinisnya disertai dugaan sindroma koroner akut kardiak sering. Peningkatan
ringan kadar troponin pada gagal jantung berat atau selama episode
dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard.

6. Ekokardiografi

18
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung
termasuk pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler
imaging (TDI). Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis
gagal jantung dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi tiga
kriteria:
1. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
2. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu (fraksi
ejeksi > 45 - 50%)
3. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri abnormal /
kekakuan diastolik)

19
f) Tatalaksana
Non Farmakologi
1. Manajemen Perawatan Mandiri : Manajemen perawatan mandiri mempunyai
peran dalam keberhasilan pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak
bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup,
morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan
sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala
awal perburukan gagal jantung.

20
2. Ketaatan pasien berobat : Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas,
mortalitas dan kualitas\hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien
yang taat pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi.
3. Pemantauan berat badan mandiri : Pasien harus memantau berat badan rutin
setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus
menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter. Pengurangan berat badan pasien
obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung dipertimbangkan. Malnutrisi
klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung berat. Kaheksia jantung
(cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan angka kelangsungan hidup.Jika
selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari berat badan stabil sebelumnya
tanpa disertai retensi cairan, pasien didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi
pasien harus dihitung dengan hati-hati.
4. Asupan cairan : Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada
pasien dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan
klinis.
5. Latihan fisik : Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal
jantung kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik
dikerjakan di rumah sakit atau di rumah.
6. Aktvitas seksual : Penghambat 5-phosphodiesterase (contoh: sildenafil)
mengurangi tekanan pulmonal tetapi tidak direkomendasikan pada gagal jantung
lanjut dan tidak boleh dikombinasikan dengan preparat nitrat.

Farmakologi
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung tetap
merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung.

21
22
1. Angiotensin – Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) : Kecuali kontraindikasi,
ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas
hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang menyebabkan
perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan
angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan
fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala Kontraindikasi
pemberian ACEI

Kontraindikasi pemberian ACEI :

 Riwayat angioedema
 Stenosis renal bilateral
 Kadar kalium serum > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin > 2,5 mg/dL
 Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI pada gagal jantung


Inisiasi pemberian ACEI :
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 - 2 minggu setelah terapi
ACEI
Naikan dosis secara titrasi :
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 - 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia. Dosis
titrasi dapat dinaikan lebih cepat saat dirawat di rumah sakit.
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi.

23
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali.

2. Penyekat β : Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua


pasien gagal jantung simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian penyekat β :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala ringan sampai berat
 ACEI / ARB (dan antagonis aldosteron jika indikasi) sudah diberikan
 Pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis diuretik, tidak ada
kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat)

Kontraindikasi pemberian penyekat β :

 Asma
 Blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan 3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu
jantung permanen), sinus bradikardia (nadi < 50 x/menit)

Cara pemberian penyekat β pada gagal jantung :


Inisiasi pemberian penyekat β :
 Penyekat β dapat dimulai sebelum pulang dari rumah sakit pada pasien
dekompensasi secara hati-hati. Dosis awal lihat.
Naikan dosis secara titrasi :
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan gagal jantung, hipotensi simtomatik atau
bradikardi (nadi < 50 x/menit)
 Jika tidak ada masalah diatas, gandakan dosis penyekat β sampai dosis target
atau dosis maksimal yang dapat di toleransi.

24
3. Antagonis Aldosteron : Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis
aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi
ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat tanpa hiperkalemia dan
gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosterone mengurangi perawatan rumah
sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Gejala sedang sampai berat
 Dosis optimal penyekat β dan ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB)
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron :
 Konsentrasi serum kalium > 5,0 mmol/L
 Serum kreatinin> 2,5 mg/dL
 Bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium
 Kombinasi ACEI dan ARB

Cara pemberian spironolakton (atau eplerenon) pada gagal jantung :

Inisiasi pemberian spironolakton :

 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.

Naikan dosis secara titrasi :

 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 4 – 8 minggu. Jangan


naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia.
 Periksa kembali fungsi ginjal dan serum elektrolit 1 dan 4 minggu setelah
menaikan dosis
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat di toleransi.

25
4. Angiotensin Receptor Blockers (ARB) : Kecuali kontraindikasi, ARB
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤
40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan penyekat β dosis
optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai
alternative pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka
kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB :
 Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %
 Sebagai pilihan alternatif pada pasien dengan gejala ringan sampai berat
 yang intoleran ACEI
 ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan
hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk
Kontraindikasi pemberian ARB :
 Sama seperti ACEI, kecuali angioedema
 Pasien yang diterapi ACEI dan antagonis aldosteron bersamaan : Monitor
fungsi ginjal dan serum elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACEI

Cara pemberian ARB pada gagal jantung :

Inisiasi pemberian ARB :

 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit.


Naikan dosis secara titrasi :
 Pertimbangkan menaikan dosis secara titrasi setelah 2 – 4 minggu. Jangan
naikan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau hiperkalemia
 Jika tidak ada masalah diatas, dosis dititrasi naik sampai dosis target atau
dosis maksimal yang dapat ditoleransi.
 Periksa fungsi ginjal dan serum elektrolit 3 dan 6 bulan setelah mencapai
dosis target atau yang dapat ditoleransi dan selanjutnya tiap 6 bulan sekali

26
Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung

5. Diuretik : Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda


klinis atau gejala kongesti. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai
status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu
harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.
Cara pemberian diuretik pada gagal jantung :
 Pada saat inisiasi pemberian diuretik periksa fungsi ginjal dan serum
elektrolit.
 Dianjurkan untuk memberikan diuretik pada saat perut kosong.
 Sebagain besar pasien mendapat terapi diuretik loop dibandingkan tiazid
karena efisiensi diuresis dan natriuresis lebih tinggi pada diuretik loop.
Kombinasi keduanya dapat diberikan untuk mengatasi keadaan edema yang
resisten.

Dosis diuretik :

 Mulai dengan dosis kecil dan tingkatkan sampai perbaikan gejala dan tanda
kongesti.

27
 Dosis harus disesuaikan, terutama setelah tercapai berat badan kering (tanpa
retensi cairan),untuk mencegah risiko gangguan ginjal dan dehidrasi. Tujuan
terapi adalah mempertahankan berat badan kering dengan dosis diuretik
minimal.
 Pada pasien rawat jalan, edukasi diberikan agar pasien dapat mengatur dosis
diuretik sesuai kebutuhan berdasarkan pengukuran berat badan harian dan
tanda tanda klinis dari retensi cairan.

g) Komplikasi
Gagal jantung dapat menimbulkan beberapa komplikasi seperti aritmia, kejadian
tromboemboli (KTE), komplikasi saluran cerna, dan pernapasan. Apabila pasien
dengan gagal jantung mengalami suatu pemicu (misalnya infark miokard, aritmia,
disfungsi ginjal) yang kemudian diperkuat dengan berbagai mekanisme miokard, renal,
vaskuler, dan neurohormonal gagal jantung, maka dekompensasi akut gagal jantung
dapat bermanifestasi. Komplikasi dari dekompensasi akut gagal jantung antara lain
kongesti paru, gagal napas, kongesti hati, dan syok kardiogenik

h) Prognosis
Prognosis gagal jantung masih tergolong buruk dan sangat terkait dengan laju kematian
yang lebih tinggi dibandingkan laju kematian sebagian kanker yang umum ditemukan
(misalnya kanker payudara, kanker rahim, kanker kandung kemih, dan kanker prostat).
Data studi klasik Framingham menunjukkan bahwa median kesintasan pada pria dan
wanita dengan gagal jantung masing-masing adalah 1,7 tahun dan 3,2 tahun. Sementara
itu, tak lebih dari 25% pria dan 38% wanita yang mampu bertahan hidup dalam kurun
5 waktu pasca diagnosis gagal jantung.

28
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

PPOK ( Penyakit Paru Obstruktif Kronis ) merupakan salah satu penyakit penyebab
terjadinya cor pulmonale atau disebut Cardiopulmonary disease. Cor Pulmonale adalah
hipertofi atau dilatasi ventrikel kanana kibat hipertensi pulmonal yang disebabkan penyakit
parenkim paru dan atau pembuluh darah paru yang tidak berhubungan dengan kelainan
jantung kiri.

Pada PPOK terjadi hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis yang terjadi secara kronik
sehingga menyebabkan rangsangan kemoreseptor yang kemudian menimbulkan berbagai
regulasi neurohormonal melalui peningkatan aktivitas simpatis. Salah satu perubahan
tersebut adalah terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah paru sehingga pada waktu
yang cukup lama menyebabkan hipertensi pulmoner. Untuk menjaga perfusi jaringan dan
keseimbangan sistem cardiopulmonal akan terjadi berbagai mekanisme adaptasi dan
kompensasi. Ventrikel kanan meningkatkan kerjanya untuk mencukupi sirkulasi ke paru
sehingga terjadi perubahan struktur berupa dilatasi dan hipertropi. Kondisi tersebut disebut
sebagai Cor pulmonal. Sampai mekanisme tersebut berlanjut terus yang akan
mengakibatkan terjadinya kondisi gagal jantung kanan.

B. Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi
kelompok maupun penulisan, oleh karena itu kami sangatmengharapkan kritik dan saran
yang membangundari dosen-dosen yang bertindak sebagai tutor, dosen yang berkompeten
di bidang ini, dari teman-teman angkatan 2018 dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan
laporan ini

29
DAFTAR PUSTAKA

Adi, P.R. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing

Ho KKL, Pinsky JL, Kannel WB, Levy D. The epidemiology of heart failure: The
Framingham Study. J Am Coll Cardiol [Internet]. 1993 Oct;22(4):A6–13. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/0735-1097(93)90455-A

Isselbacher, Kurt J et al. 2000. Harrison’s Principles of Internal Medicine Vol. 3. Jakarta:
EGC

Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. 2016 ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur Heart J
[Internet]. 2016 Jul 14;37(27):2129–200. Available from:
https://academic.oup.com/eurheartj/article-lookup/doi/10.1093/eurheartj/ehw128

Siswanto, Bambang Budi dkk. 2015. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia

Watson RD, Gibbs CR, Lip GY. ABC of heart failure. Clinical features and complications.
BMJ [Internet]. 2000 Jan 22;320(7229):236–9. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10642237

30

Anda mungkin juga menyukai