Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 13 MODUL 3

SESAK NAFAS DAN EDEMA TUNGKAI

Nisya Mukti 1610015044


Mifta Huljannah 1610015064
Indras Panca Kusuma N 1610015067
Gresya Elizabet M 1610015074
Ernawati 1810015008
Aqilah Zuhratunnisa 1810015016
Jessica Paskalisa Korin 1810015024
M. Ridho Bagus Pratama 1810015036
Nur Syamsu Alam 1810015038
Aulia Pawestri 1810015039
Putri Marwah 1810015049
Felicia Aurellie Vita 1810015055
Arya Tarakanatha Nurmadana 1810015056
Sulfah Ramadani 1810015072

Disusun Oleh : Kelompok 4

Tutor :
Dr. dr. Nataniel Tandirogang, M. Si
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena terselesaikannya
laporan DKK (Diskusi Kelompok Kecil) mengenai Sesak Nafas dan Edema Tungkai.
Laporan ini dibuat sesuai dengan gambaran jalannya proses DKK kami, lengkap dengan
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban yang disepakati oleh kelompok kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu kami dalam
proses pembuatan laporan DKK ini. Pertama, kami berterima kasih kepada Dr. dr. Nataniel
Tandirogang, M. Si selaku tutor kami yang telah dengan sabar menuntun kami selama proses
DKK. Terima kasih pula kami ucapkan atas kerja sama rekan sekelompok di Kelompok 4.
Tidak lupa juga kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
mencari informasi maupun membuat laporan DKK.
Akhir kata, kami sadar bahwa kesempurnaan tidak ada pada manusia. Oleh sebab itu,
kami mohon kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga
laporan ini bermanfaat bagi pembaca, baik sebagai referensi atau perkembangan
pengetahuan.

Hormat Kami,

Kelompok 4

3
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. i


Daftar Isi .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Tujuan dan Manfaat................................................................................... 1
BAB II ISI
2.1. Skenario .................................................................................................... 3
2.2. Step 1 ........................................................................................................ 3
2.3. Step 2 ........................................................................................................ 3
2.4. Step 3 ........................................................................................................ 4
2.5. Step 4 ........................................................................................................ 6
2.6. Step 5 ........................................................................................................ 7
2.7. Step 6 ........................................................................................................ 7
2.8. Step 7 ........................................................................................................ 8
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................... 35
3.2. Saran ......................................................................................................... 35
Daftar Pustaka .................................................................................................. 36

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga dada
dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. Penyakit paru kronik
semakin sering menjadi penyebab penyakit jantung, dan sebaliknya, penyakit jantung
yang disertai dekompensasi atau penyakit vascular dapat mengakibatkan perubahan-
perubahan pada struktur dan fungsi paru. Salah satu penyakit paru yang dapat
menyebabkan penyakit jantung adalah PPOK. Salah satu contoh dari kelainan
kardiovaskular yang diakibatkan oleh PPOK adalah Hipertensi pulmonal yang nantinya
dapat berkembang menjadi Cor Pulmonal hingga Gagal Jantung.

Oleh karena kejadian dari PPOK merupakan kejadian yang paling sering terjadi di
Indonesia, serta dapat berkembang menjadi gagal jantung, penting bagi seorang calon
dokter untuk mengetahui dan memahami pengertian dari PPOK itu sendiri (yang sudah
dipelajari di modul sebelumnya) serta kelainan kardiovaskular yang disebabkan oleh
PPOK maupun yang disebabkan hal lainnya.

1.2 Tujuan

Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu mengetahui dan


memahami Cor Pulmonale dan Gagal Jantung serta perbedaan antara penyakit tersebut.

1.3 Manfaat

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaaat bagi semua pihak
khususnya untuk mahasiswa dan mahasiswi kedokteran dalam menambah wawasan dan
pengetahuan mengenai Cor Pulmonale dan Gagal Jantung.

5
BAB II

PEMBAHASAN

Skenario:

NAFASKU SESAK, BADAN DAN KAKIKU BENGKAK

Seorang laki-laki Tn. S berusia 65 tahun dibawa ke IGD rumah sakit dengan keluhan
sesak napas yang semakin memberat dalam beberapa hari terakhir. Sesak dirasakan sejak 1
tahun yang lalu yang timbul saat aktivitas yang berlebihan, tetapi dalam satu bulan terakhir
ini sesak semakin memberat bahkan timbul saat aktivitas yang ringan. Pasien juga
mengeluhkan terdapat bengkak pada kedua kakinya dan perut membesar. Kadang- kadang
juga timbul batuk dan terdapat keluhan nyeri dada. Penderita merupakan perokok berat sejak
usia muda dan sudah pernah didiagnosis dengan penyakit paru kronis. Pemeriksaan tanda
vital didapatkan didapatkan tekanan darah 140/90 mmHg, nadi 110 x/menit, pernapasan 32
x/menit, suhu 36,50C. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan perkusi hipersonor, ronkhi dan
wheezing pada kedua lapangan paru serta pembesaran batas jantung. Pemeriksaan perkusi
abdomen didapatkan shifting dullness positif. Pemeriksaan ekstremitas didapatkan pitting
edema pada kedua tungkai. Pada penderita ini kemudian dilakukan serangkaian pemeriksaan
penunjang untuk mengetahui kelainan yang mendasarinya dan menegakkan diagnosis.

2.1 Identifikasi Istilah Sulit

 Shifting dullnes : sebuah pemeriksaan untuk memeriksa adanya asites (cairan berlebih
dalam abdomen) dengan posisi terlentang lalu memiringkan pasien dan diperkusi pada
abdomen. Asites disebabkan adanya kelainan di hati dan kebocoran jantung
 Hipersonor : hasil pemeriksaan perkusi yang menandakan adanya udara berlebih pada
paru (pleura) karena hiperinflasi biasa ditemukan pada pasien ppok dan
pneumothoraks.
 Edem pitting : turgor kulit lambat kembali semula saat diregangkan. Ada 4 level
tingkatan. Apabila ditekan muncul cekungan.

6
2.2 Identifikasi Masalah

1. Kenapa saat penderita melakukan aktivitas berlebih ,sesak nafas penderita


bertambah ?
2. Kenapa sesak napas memberat padahal aktivitas ringan dan kenapa timbul edem
tungkai serta perut yang membesar ?
3. Apakah ada hubungan keluhan penderita dengan riwayat merokok sejak muda dan
diagnosis penyakit paru (ppok) ?
4. Apa interpretasi hasil pemeriksaan dokter dan mengapa bisa didapatkan wheezing,
hiper sonor, ronki, dan pembesaran batas jantung ?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis ?
6. Apa diagnosis sementara dan bagaimana tatalaksanannya ?

2.3 Analisa Masalah

1. Dengan kondisi pasien sekarang (riwayat diagnosis ppok) pemasukan oksigen sedikit,
tubuh membuthkan energi yang besar untuk melakukan pertukaran o2 dan co2,
kemampuan pasien menurun sehingga walaupun aktivitas yang ringan juga dapat
membuat pasien sesak napas karena sifat ppok progresif irreversible, kebanyakan
permasalhan ditemukan karena sulitnya ekspirasi. Karena adanya sumbatan pada
arteri pulmonal, jantung akan bekerja lebih keras dan berdampak merusak otot
jantung terjadi pembesaran otot jantung, terjadi hipertrofi pada jantung sehingga
menyebabkan gangguan pada ventrikel jantung.
2. Pada ppok akan terjadi hipertensi pulmonary yang akan berlajut menyebabkan cor
pulmonal sehingga menyebabkan gagal jantung ( karena hipertrofi ) dan pembesaran
hati yang akan menyebabkan bertambahnya cairan pada abdomen, sebagian darah
yang ada d vena cava tidak masuk kembali ke jantung, kareana adanya gaya gravitasi
darah dapat berkumpul d tungkai dan apbila terlalu banyak dapat menyebabkan edem
tungkai.
3. Ada, asap rokok bisa mengakibatkan perubahan pada sel mucus dan silia yang
menyebabkan penumpukan mucus yang kental, banyaknya microorganism yang
berkembang di mucus menyebabkan perubahan pada mucus menjadi purulent.
4. Interpretasi : hipertensi, suhu normal, RR tinggi(hiperventilasi)
 Ronki karena ada penumpukan cairan pada alveolus

7
 Wheezing (riwayat ppok) adanya hambatan di saluran nafas
 Pembesaran batas jantung karena hipertrofi
 Shifting dullnes dilakukan karena adanya asites pada abdomen
 Pemeriksaan pitting edem pada tungkai
5. Foto rontgen dada , EKG, pemeriksaan katerisasi jantung, biopsy jaringan paru.
6. Diagnosis S: cor pulmonal dan gagal jantung (terdapat ronki, edem ekstremitas dan
sesak nafas)
Tatalaksana : terapi oksigen untuk mengurangi vasokonstriksi, diuretic diberikan
apabila gagal jantung pada ventrikel kanan, diberikan penurun tekanan darah.

2.4 Strukturisasi Konsep

8
2.5 Learning Objectives

Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, factor resiko,


patogenesis, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana,
prognosis dan komplikasi:

a. Cor Pulmonal
b. Gagal Jantung

2.6 Belajar Mandiri

Pada tahapan ini, masing-masing anggota diskusi melakukan proses belajar mandiri
berdasarkan learning objective yang telah di tentukan sebelumnya untuk mengetahui lebih
dalam terhadap materi yang akan dibahas pada diskusi kelompok kecil (DKK) 2.

2.7 Sintesis

LO 1. Cor Pulmonal

A. Definisi
Cor Pulmonale adalah hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan akibat hipertensi
pulmonal yang disebabkan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh darah paru
yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung kiri.

B. Etiologi
a. Penyakit pembuluh darah paru
b. Tekanan darah pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma,
granuloma atau fibrosis.
c. Penyakit neuromuscular dan dinding dada.
d. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk PPOK.
e. Penyakit paru lain adalah penyakit paru interstisial dan gangguan pernapasan saat
tidur. PPOK merupakan penyebab utama insufisiensi respirasi kronik dank or
pulmonal, diperkirakan 80-90% kasus.

C. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, cor pulmonale diperkirakan berkontribusi 6-7% dari
seluruh penyakit jantung pada dewasa. Penyebab tersering adalah penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Dilaporkan bahwa mortalitas pada pasien PPOK yang

9
disertai cor pulmonale lebih tinggi dibandingkan penderita PPOK saja. Cor pulmonale
juga dilaporkan berkontribusi pada 10-30% rawat inap terkait gagal jantung di
Amerika Serikat.

D. Faktor Risiko

Penyakit Parenkim Paru Penyakit Pembuluh Darah Paru


 PPOK  Tromboembolisme paru berulang
 Fibrosis interstisial paru difus  Hipertensi pulmonal primer
 Pneumokoniosis  Arteritis pulmo ekstensif
 Fibrosis kistik  Obstruksi vascular diinduksi obat, toksin,
 Bronkhiektasis atau radiasi
 Mikroembolisme paru ekstensif
Gangguan yang Mempengaruhi Pergerakan Dada Gangguan yang Menginduksi konstriksi Arteri
 Kyfoskoliosis  Asidosis metabolik
 Obesitas yang nyata  Hipoksemia
 Penyakit neuromuskular  Obstruksi jalan napas besar
 Hipoventilasi alveolar idiopatik

E. Patogenesis dan Patofisiologi


Patogenesis PAH (Pulmonal-Arteri Hipertensi) merupakan kombinasi
mekanisme patologis, molekular, predisposisi genetik yang mendasarinya serta faktor
risiko yang akan menyebabkan PAH. Awalnya, diduga bahwa PAH terjadi sekunder
dari vasokonstriksi ekstensif arteri pulmonal kecil. Kini diketahui bahwa walaupun
vasokonstriksi terlibat, namun proliferasi vaskular pulmonal dan remodelling juga
merupakan kunci dan mekanisme patogenesis yang lebih penting. Karakteristik
histopatologis PAH adalah obstruksi arteri pulmonal kecil yang dideskripsikan
sebagai lesi plexogenic. Obstruksi ini merupakan hasil dari disfungsi sel endotel, sel
otot polos, dan fibroblas yang menyebabkan proliferasi. Vasokonstriksi, remodelling
dinding pembuluh darah, dan trombosis in situ juga dapat menyebabkan disfungsi sel
ini. Tonus vaskular pulmonal dimodulasi oleh aktivitas yang seimbang antara
endothelium-derived vaso-mediators, terutama nitric oxide dan prostasiklin (keduanya
merupakan vasodilator dan antiproliferatif) serta endothelin-1 dan thromboxane A2
(keduanya vasokonstriktor dan sitokin proliferatif). Disfungsi sel endotel arteri
pulmonal menghasilkan nitric oxide dan prostasiklin yang lebih sedikit dan
menghasilkan endothelin-1 dan tromboxan A2 yang berlebih. Juga ditemukan
trombosis in situ dengan rekanalisasi. Lesi ini bukan emboli dan kemungkinan

10
disebabkan oleh aktivitas endotel abnormal, aktivasi trombosit abnormal dan keadaan
hiperkoagulabel.
Stroke volume/alirandarah ke ventrikel kanan, seperti juga ventrikel kiri,
dipengaruhi oleh preload, kontraktilitas dan afterload. Oleh karena dinding ventrikel
kanan relatif tipis, maka perubahan mendadak pada aliran darah balik vena (inspirasi
(meningkat)dan ekspirasi (menurun) dapat terjadi dengan sedikit perubahan pada
tekanan ventrikel kanan transmural, namun kemampuan ventrikel kanan untuk
meningkatkan tekanan sistolik adalah terbatas. Normalnya, afterload ventrikel kanan
yangberkaitan erat dengan tekanan arteri pulmonal adalah rendah. Tekanan arteri
pulmonal secara normal akan meningkat ringan ketika aliran darah terlokalisir secara
tidak sengaja di dada pada permulaan latihan/olahraga, berbaring, saat suhu dingin,
kondisi gelisah atau nyeri. Secara normal pada kondisi istirahat,dibutuhkan tekanan 5
cmH2O (tekanan arteri pulmonal 15 cmH2O dan atrium kiri 10 cmH2O) untuk
mendorong output jantung 5 L/ml melewati paru. Sedang pada kondisi aktivitas fisik
berat seperti saat olahraga, hanya dibutuhkan peningkatan tekananyang ringan untuk
mengalirkan 25 L/min melewati jaringan vaskular kapiler.
Derajat pembesaran ventrikel kanan pada cor pulmonale ditentukan oleh
peningkatan afterload. Saat resistensi vaskular pulmonal meningkat secara permanen,
seperti pada kelainan vaskular pulmonal atau penyakit paru parenkimal yang berat,
maka peningkatan output jantung seperti pada aktivitas fisik, dan meningkatkan
tekanan arteri pulmonal secara bermakna. Sebagai respons terhadap peningkatan
resistensi vaskular pulmonal (PVR) maka ventrikel kanan secara bertahap mengalami
hipertrofi dan dilatasi (cor pulmonale). Terjadi peningkatan volume end diastolic
yaitu pre-load untuk mempertahankan jumlah stroke normal terhadap penurunan
fraksi ejeksi ventrikular kanan. Indeks kerja stroke ventrikel kanan dapat tetap normal
selama aktivitas fisik dan didukung oleh kerja tekanan yang lebih besar dan
peningkatan output ventrikel kanan. Pembesaran ventrikel kanan dapat semakin
meningkat ketika paru mengalami hiperinflasi, seperti pada Chronic Obstructive
Pulmonary Disease (COPD) yang disebabkan oleh kompresi kapiler arteriol dan
perluasan pembuluh pulmonal. Afterload ventrikel kanan juga dapat meningkat ketika
volume paru berkurang setelah terjadi reseksi pulmonal ekstensif, seperti pada
penyakit paru restriktif dimana pembuluh pulmonal terkompresi dan terdistorsi.
Afterload ventrikel kanan meningkat juga pada vasokonstriksi pulmonal hipoksik
yang disebabkan oleh hipoksia atau asidosis, yang merupakan penyebab penting

11
hipertensi pulmonal. Adanya Hipoxic pulmonary vasoconstriction (HPV) ditandai
dengan peningkatan PVR dan pulmonary arterial pressure (PAP). Vasokonstriksi ini
terlokalisir pada arteri pre kapiler kecil. Hipertensi pulmonal ditemukan umumnya
pada pasien dengan hipoksemia kronik (PaO2< 55-60 mmHg). Hipoksia alveolar
kronik menyebabkan remodelling pulmonary vascular bed (hipertrofi muskular media
arteri pulmonal kecil, arteriol pulmonal dan fibrosis intima) dibandingkan dengan
yang ditemukan pada peningkatan PVR yang disebabkan karena tinggal di ketinggian.
Remodelling ini menyebabkan peningkatan PVR dan hipertensi pulmonal. Faktor
fungsionalnya lainnya harus diperhatikan seperti asidosis hiperkapnia dan
hiperviskositas yang disebabkan oleh polisitemia namun perannya lebih kecil
dibandingkan dengan hipoksia alveolar. Peningkatan afterload ventrikel kanan
merupakanpenyebabutamacor pulmonale yang pada dasarnya disebabkan oleh
penyakit vaskular pulmonal atau penyakit parenkim paru.

F. Manifestasi Klinis
Tingkat klinis kor pulmonal diimulai PPOK kemudian PPOK dengan
hipertensi pulmonal dan akhirnya menjadi PPOK dengan hipertensi pulmonal serta
gagal jantung kanan. Dyspnea (sesak nafas) merupakan gejala yang paling sering
terjadi, tetapi mungkin kurang membantu karena sesak nafas umum pada semua
pasien paru. Sesak nafas yang disertai bertambahnya gejala seperti nyeri dada, light
headedness, sinkope, edema tungkai mendesak agar dilakukan evaluasi lebih lanjut.
Pada pemeriksaan fisik, yang sering ditemukan pada hipertensi pulmonal
adalah pembesaran ventrikel kanan, pengerasan suara paru pada bunyi jantung kedua,
murmur regurgitasi trikuspidalis, s4 bergeser ke kanan yang mungkin tertutupi oleh
adanya penyakit parenkim paru. Hipertensi pulmonal yang berat dapat menyebabkan
asites dan edema perifer. Beberapa pasien COPD berat dapat mengalami edema
perifer tanpa adanya kegagalan jantung kanan, Penyebabnya belum diketahui secara
jelas tetapi nampaknya lebih sering terjadi pada pasien dengan hiperkapnia. Hal ini
memberi kesan bahwa peningkatan tekanan CO2 sebagian bertanggung jawab
terhadap retensi Na. Hipoksia sendiri dapat menimbulkan vasokonstriksi ginjal,
sehingga mengurangi ekskresi Na urin dan hal ini juga menyebabkan edema.

G. Diagnosis

Diagnosis cor pulmonal pada PPOK ditegakkan dengan menemukan tanda


PPOK (asidosis dan hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah),
hipertensi pulmonal, hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan.
 PPOK. Adanya PPOK dapat diduga / ditegakkan dengan pemeriksaan klinis
(ananmesis dan pemeriksaan jasmani), laboratorium, foto torak, tes faal paru.

12
 Asidosis dan hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah (Kelainan
ini dapat dikenal terutama dengan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan klinis)
 Hipertensi pulmonal
Tanda hipertensi pulmonal bisa didapatkan dan pemeriksaan klinis, elektrokardiogiafi
dengan P pulmonale dengan deviasi aksis ke kanan dan hipertropi ventrikel kanan,
foro toraks terdapat pelebaran daerah cabang paru di hilus, ekokardiografi dengan
ditemukan hipertrofi ventrikel kanan (RV) dani kateterisasi jantung.
 Hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan
Dengan pemeriksaan foto toraks, elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi,
Radionuclide ventriculography, thalium imaging: CTscan dan Magnettic Resonance
imaging (MR1.
 Gagal jantung kanan
Ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, biasanya dengan adanya peningkatan tekanan
vena jugularis, hepatomegali, asites maupun edema tungkai.

H. Diagnosis Banding

 Atrial myxoma
 Blood disorders that are associated with increased blood viscosity
 Chronic thromboembolic pulmonary hypertension
 Congestive (biventricular) heart failure
 Constrictive pericarditis
 High-output heart failure
 Infiltrative cardiomyopathies
 Interstitial lung disease (ILD)
 Obstructive sleep apnea (OSA)
 Primary pulmonic stenosis
 Pulmonary hypertension
 Right heart failure due to congenital heart diseases
 Right heart failure due to right ventricular infarction
 Ventricular septal defect

13
I. Tatalaksana
Tujuan tatalaksana pada cor pulmonal adalah untuk mengefisiensikan proses
pertukaran gas, menurunkan hipertensi pulmonal, meningkatkan kelangsungan hidup,
dan mengobati penyakit yang mendasari serta komplikasinya.

a. Terapi Oksigen

Mekanisme pemberian terapi oksigen untuk meningkatkan kelangsungan


hidup masih diteliti lebih lanjut. Namun terdapat dua hipotesis yaitu:

1) Terapi oksigen dapat mengurangi vasokonstriksi pembuluh darah dan menurunkan


resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan isi curah jantung ventrikel
kanan
2) Terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri dan meningkatkan hantaran ke
jantung, otak, dan organ vital lainnya

Pemakaian oksigen kontinyu selama 12 jam (NIH,Amerika), 15 jam (British


Medical Research), dan 24 jam (NIH) dapat meningkatkan kelangsungan hidup
dibandingkan dengan tanpa terapi oksigen. Adapun beberapa indikasi terapi Oksigen
di rumah yaitu bila PaO2 ≤55 mmHg atau SaO2 ≤88%. disertai salah satu dari edema
disebabkan gagal jantung kanan, P pulmonal pada EKG, eritrositosis Hct >56%.

b. Vasodilator

Penggunaan vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis


alfa adrenergik, inhibitor ACE, dan prostagalndin. Tapi sampai saat ini masih belum
direkomendasikan pemakaiannya secara rutin.

c. Digitalis

Pemberian digitalis pada pasien cor pulmonal hanya jika disertai dengan gagal
jantung kiri. Hal ini dikarenakan pemberian digitalis tidak terbukti meningkatkan
fungsi ventrikel kanan pada pasien dengan cor pulmonal dengan ventrikel kiri normal.
Tetapi pada pasien dengan penurunan fungsi ventrikel kiri, bila diberi digitalis
(digoksin) maka akan dapat meningkatkan fungsi ventrikel kanan.

14
Selain itu, pemberian digitalis pada pasien cor pulmonal dekompensata harus
dilakukan dengan hati-hati karena mudah timbul intoksikasi digitalis. Miokard yang
telah mengalami hipoksia lama akan lebih peka terhadap keracunan digitalis yang
kemudian dapat menyebabkan komplikasi aritmia.

d. Diuretik

Diuretik sangat perlu diberikan kepada pasien yang menunjukkan gejala-gejala


gagal jantung kanan dengan kongesti hati, edema dan asites. Namun harus tetap
memperhatikan dosis serta efek samping dari diuretik yang diberikan karena dapat
menyebabkan alkalosis metabolik, hipokalemi, penurunan preload, dan lain-lain.

e. Flebotomi

Tindakan flebotomi dilakukan untuk menruunkan hematocrit pasien cor


pulmonal jika didapatkan tanda-tanda polisitemia

f. Antikoagulan

Pemberian antikoagulan diberikan bila terdapat tromboemboli akibat


pembesaran dan disfungsi ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.
Selain terapi di atas, pasien cor pulmonal juga harus mendapatkan terapi standar
untuk penyakit yang mendasarinya agar mencegah komplikasi yang akan terjadi.

J. Prognosis
Prognosis cor pulmonale bergantung pada variabel pada patologi yang
mendasari. Perkembangan cor pulmonale akibat penyakit paru primer biasanya
menunjukkan prognosis yang lebih buruk.

K. Komplikasi
Komplikasi cor pulmonale meliputi sinkop, hipoksia, edema pedal, dan
kongesti hati pasif.

15
LO 2. Gagal Jantung

A. Definisi
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal saat
istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak kelelahan); tanda retensi cairan
(kongesti paru atau edema pergelangan kaki); adanya bukti objektif dari gangguan
struktur atau fungsi jantung saat istrahat.

B. Etiologi
Pada usia muda gagal jantung akut lebih sering disebabkan oleh kardiomiopati
dilatasi, aritmia, penyakit jantung kongenital, penyakit jantung katup dan
miokarditis.Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimtomatik. Gejala klinis
dapat muncul karena adanya faktor prepitasi yang menyebabkan peningkatan kerja
jantung dan peningkatan kebutuhan oksigen, seperti infeksi, aritmia, kerja fisik,
cairan, lingkungan, emosi yang berlebihan, infark miokard, emboli paru, anemia,
tirotoksikosis, kehamilan, hipertensi, miokardtis, dan endokarditis infektif. Beberpa
faktor risiko yang berperan terhadap kejadian gagal jantung antara lain adalah tekanan
darah yang tinggi, penyakit arteri koroner, serangan jantung, diabetes, konsumsi
beberapa obat diabetes, sleep apnea, defek jantung kongenital, penyakit katup jantung,
virus, konsumsi alkohol, rokok, obesitas, serta irama jantung yang tidak reguler.

C. Epidemiologi
Data global mengungkap bahwa prevalensi gagal jantung telah meningkat
dalam beberapa dekade terakhir. Hal tersebut diduga berkaitan dengan peningkatan
kesadaran masyarakat dan angka diagnosis gagal jantung, pertambahan jumlah
populasi lansia, peningkatan insidens gagal jantung, serta perbaikan tata laksana
penyakit kardiovaskuler dan layanan kesehatan secara umum. Insidens gagal jantung
bervariasi antara 1-32 kasus per 1000 orang-tahun. Rentang estimasi insidens yang
lebar tersebut sangat dipengaruhi oleh karakteristik populasi yang diteliti dan kriteria
diagnosis yang dipakai. Sebagai contoh,  Bahrami et al memperkirakan bahwa
insidens gagal jantung antara tahun 2000-2002 pada populasi kulit hitam, Hispanik,
Kaukasian, dan Tiongkok-Amerika berdasarkan kriteria MESA (Multi Ethnic Study of
Atherosclerosis) masing-masing sebesar 4,6; 3,5; 2,4; dan 1,0 per 1000 orang-tahun.

D. Faktor Risiko
Ada beberapa penyebab pemicu gagal jantung, antara lain:

1. Emboli paru. Emboli paru dapat berasal dari peningkatan lebih lanjut tekanan arteri
pulmonalis, yang sebaliknya dapat mengakibatkan atau memperkuat kegagalan
ventrikel

16
2. Infeksi. Pasien dengan bendungan pembuluh darah paru juga lebih rentan terhadap
infeksi paru, infeksi apapun dapat memicu terjadinya gagal jantung.
3. Anemia. Pada keadaan anemia, kebutuhan oksigen jaringan yang melakukan
metabolisme hanya dapat dipenuhi dengan meningkatkan curah jantung.
4. Tirotoksikosis dan kehamilan. Seperti pada anemia dan demam, pada tirotoksikosis
dan kehamilan, perfusi jaringan yang memadai membutuhkan peningkatan jantung.
5. Aritmia. Pada pasien dengan penyakit jantung terkompensasi, aritmia merupakan
penyebab pemicu gagal jantung yang paling sering.
6. Reumatik dan bentuk miokarditis lainnya. Demam reumatik akut dan sejumlah proses
infeksi atau peradangan lain yang mengenai miokard dapat mengganggu fungsi
miokard pada pasien dengan atau tanpa penyakit jantung sebelumnya.
7. Endokarditis infektif. Kerusakan katup tambahan, anemia, demam, dan miokarditis
yang seringkali muncul sebagai akibat endokarditis infektif dapat, sendiri, atau
bersama sama, memicu gagal jantung
8. Beban fisis, makanan, cairan, lingkungan dan emosional yang berlebihan.
9. Hipertensi sistemik. Peningkatan tekanan arteri yang cepat dapat menyebabkan
dekompensasi jantung.
10. Infark miokard.

E. Patofisiologi dan Patogenesis

Gagal jantung merupakan kelainan yang bersifat progresif, proses terjadinya gagal
jantung dimulai setelah timbulnya suatu peristiwa yang menyebabkan kerusakan pada otot
jantung, terjadi pengurangan miosit yang berfungsi dalam jumlah besar atau menyebabkan
gangguan pada kemampuan miokard untuk membentuk suatu gaya yang menyebabkan
jantung tidak dapat berkontraksi dengan normal. Proses terjadinya peristiwa yang
menginisiasi proses terjadinya gagal jantung dapat terjadi tiba-tiba seperti pada infark
miokard, dapat terjadi perlahan dan tersembunyi seperti pada kasus-kasus peningkatan
tekanan hemodinamik pada hipertensi dan stenosis katup ataupun kelebihan cairan, atau dapat
juga bersifat herediter seperti pada kasus-kasus kardiomiopati yang bersifat genetik. Namun
apapun prosesnya, hal yang menjadi kesamaan dari semua proses-proses tersebut ialah
keseluruhan peristiwa-peristiwa tersebut mempunyai pola yang sama yakni menyebabkan
penurunan pada kapasitas pemompaan jantung. Pada mayoritas kasus pasien tetap tidak
bergejala ataupun dapat mempunyai gejala minimal setelah penurunan awal kapasitas

17
pemompaan jantung atau dapat menimbulkan gejala hanya setelah disfungsi yang terjadi
timbul untuk waktu yang lama.

Walaupun alasan yang tepat untuk menjelaskan mengapa pasien-pasien dengan


disfungsi ventrikel kiri dapat tetap asimptomatik belum diketahui dengan pasti, namun satu
penjelasan potensial adalah bahwa sejumlah mekanisme kompensasi menjadi aktif jika terjadi
cedera pada jantung atau disfungsi ventrikel kiri untuk menjaga dan mengatur fungsi
ventrikel kiri selama periode bulan hingga tahun. Berbagai mekanisme kompensasi yang
telah diketahui hingga saat ini adalah (1). Aktivasi renin-angiotensin-aldosteron system
(RAAS) serta sistem saraf adrenergik, yang bertanggung jawab untuk menjaga curah jantung
melalui retensi garam dan air, dan (2). Peningkatan kontraktilitas miokard. Disamping itu
terjadi aktivasi sejumlah molekul yang bersifat vasodilator, yakni atrial dan brain natriuretic
peptide (ANP dan BNP), prostaglandin (PGE2 dan PGI), dan nitric oxide yang mengimbangi
vasokonstriksi vaskular perifer yang berlebihan. Latar belakang genetik, jenis kelamin, usia,
maupun lingkungan turut berperan dalam mempengaruhi mekanisme kompensasi ini.
Mekanisme kompensasi berperan dalam menjaga fungsi ventrikel kiri dalam rentang
fisiologis/homeostasis sedemikian rupa sehingga kapasitas fungsional pada pasien dapat
terjaga/preserved atau hanya menurun sedikit. Oleh karena itu pasien dapat dalam kondisi
asimptomatik atau dapat memberi gejala yang ringan selama periode beberapa tahun. Namun
pada satu titik pasien kemudian akhirnya menunjukkan gejala – gejala yang jelas, timbulnya
kondisi ini kemudian turut menyebabkan peningkatan tingkat morbiditas dan mortalitas pada
pasien – pasien gagal jantung.

Mekanisme pasti yang bertanggung jawab dalam terjadinya masa peralihan tersebut
belum diketahui. Proses peralihan ke kondisi gagal jantung yang bergejala yang diiringi
dengan terjadinya peningkatan aktivasi neurohormonal, sistem adrenergik dan sitokin yang
menyebabkan berbagai perubahan adaptif pada miokardium dikenal dengan proses
remodelling ventrikel kiri.

Dibalik pemahaman mengenai patogenesis dari gagal jantung dengan rEF pemahaman
mengenai mekanisme –mekanisme yang terjadi pada proses terjadinya gagal jantung dengan
pEF masih terus berkembang. Walaupun disfungsi diastolik diyakini sebagai satu – satunya
mekanisme yang bertanggung jawab dalam perkembangan gagal jantung dengan fraksi ejeksi
yang masih terpelihara, berbagai studi menunjukkan bahwa mekanisme tambahan yang
terjadi diluar jantung juga merupakan hal yang penting seperti peningkatan kekakuan

18
pembuluh darah dan gangguan pada fungsi ginjal. Ada dua model patofisiologi mengenai
gagal jantung :

1. Model Hemodinamik
Pemahaan patofisiologi mengenai gagal jantung menggunakan model
hemodinamik merupakan paradigma lama. Model hemodinamik berdasar pada
pemahaman bahwa jantung diibaratkan suatu pompa (Panggabean, 2010). Jantung
memiliki kemampuan meningkatkan aliran darah setara dengan kebutuhan tubuh
seperti pada konsidi latihan dimana terjadi peningkatan frekuensi jantung, isi
sekuncup, atau keduanya. Peningkatan pre load menyebabkan peningkatan
kontraktilitas, namun proses latihan serta volume yang berlebihan tidak akan
menyebakan peningkatan kontraktilitas lebih lanjut (fase plateau) yang kemudian
diikuti penurunan pada kekuatan kontraksi. Frank dan starling mengilustrasikan
keadaan ini dengan studi hemodinamik dan terminologi hukum Starling pada jantung
(Braunwald, 2011).
Model hemodinamik ini merupakan salah satu hal yang berperan dalam
terjadinya remodelling dari ventrikel. Hemodinamik yang abnormal menyebabkan
remodeling, yang kemudian menyebabkan abnormalitas hemodinamik lebih lanjut.
Proses primer serta perubahan yang terjadi akibat mekanisme kompensasi pada
geometri dan performa bervariasi tergantung dari tipe gagal jantung. Contoh klasik
ialah kondisi peningkatan tekanan berlebihan pada hipertensi dan stenosis katup
menyebabkan hipertrofi pada ventrikel yang terkait, meningkatkan kekakuan
miokardium dan membatasi isi sekuncup terkait dengan massa dari ventrikel kiri.
Kondisi-kondisi dimana terjadi kelebihan volume seperti pada regurgitasi mitral
umumnya menyebabkan dilatasi ventrikel, peningkatan tekanan akhir diastolik dan
menurunkan fungsi sistolik. Kondisi yang mempengaruhi kontraktilitas seperti infark
miokard ataupun miopati primer menyebabkan terjadinya kelebihan tekanan serta
volume. Penurunan fungsi sistolik menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolik
ventrikel, dan menyebabkan dilatasi ventrikel juga peningkatan massa ventrikel. Hasil
akhir dari proses remodeling patologis ini ialah penurunan curah jantung, sesak nafas
dan edema yang timbul pada pasien gagal jantung terkait dengan peningkatan tekanan
pengisian yang terjadi secara kronis (Braunwald, 2011).

2. Model Neurohormonal

19
Model neurohormonal merupakan paradigma baru yang membantu dalam
pemahaman patofisiologi gagal jantung. Gagal jantung saat ini dianggap sebagai suatu
penyakit sistemik yang melibatkan berbagai proses neurohormonal sehingga blokade
proses neurohormonal ini merupakan bagian dalam tatalaksana gagal jantung dan
diharapkan dapat mencegah progresifitas dari gagal jantung (Panggabean, 2010).

Proses neurohormonal pada gagal jantung mempunyai peranan besar dalam


mempengaruhi outcome terapi pada pasien-pasien gagal jantung terutama gagal
jantung sistolik. Penurunan curah jantung pada gagal jantung menyebabkan aktivasi
simpatis yang dimediasi baroresptor yang terletak di ventrikel kiri, sinus karotikus,
dan arkus aorta dengan konsekuensi hilangnya efek inhibisi oleh tonus parasimpatis di
susunan saraf pusat, sehingga terjadi peningkatan tonus simpatis dan pelepasan AVP
oleh hipofisis. AVP (atau dengan nama lain anti diuretic hormone/ADH) adalah
vasokonstriktor kuat yang meningkatkan permeabilitas dari duktus koligentes di
ginjal, menyebabkan reabsorbsi air. Sistem saraf pusat juga mengaktivasi jalur
simpatis eferen yang menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer dan otot
skelet (Braunwald, 2011).

Stimulasi simpatis di ginjal menyebabkan pelepasan renin yang kemudian


mengakibatkan peningkatan kadar angiotensin (AT) II dan aldosterone yang
bersirkulasi. Aktivasi dari renin-angiotensin-aldosterone memicu retensi garam dan
air dan menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh darah perifer, hipertrofi miosit,
kematian sel miosit, dan fibrosis miokardium. Walaupun mekanisme neurohormonal
ini merupakan mekanisme adaptasi jangka pendek yang bertujuan untuk
mempertahankan tekanan darah sehingga perfusi ke organ – organ vital tetap terjaga
namun mekanisme neurohormonal ini diyakini turut berkontribusi terhadap perubahan
pada jantung dan sirkulasi serta retensi garam dan air yang berlebihan pada gagal
jantung tahap lanjut (Braunwald, 2011).

20
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada gagal jantung dapat beragam sesuai dengan
penyebabnya. Jika gagal jantung disebabkan oleh penyakit tertentu, maka manifestasi
yang muncul juga dapat bersama dengan penyakit yang mendasarinya. Namun, secara
umum tanda dan gejala dari gagal jantung dapat dikelompokkan seperti tabel berikut:

21
22
H. Diagnosis
1. Hasil Anamnesis (Subjektif)
 Keluhan : Sesak pada saat beraktivitas (dsypneud’effort), gangguan nafas pada
perubahan posisi (ortopneu), sesak napas malam hari (paroxysmal nocturnal
dsypneu).
 Keluhan tambahan :Lemas, mual, muntah, dan gangguan mental pada orangtua.
 Faktor resiko : Hipertensi, dyslipidemia, obesitas, merokok, diabetes mellitus,
riwayat gangguan jantung sebelumnya, riwayat infark miokard

2. Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sementara


 Pem. Fisik : Peningkatan tekanan vena jugular, frekuensi pernafasan
meningkat, kardiomegali, gangguan bunyi jantung (gallop), ronki pada
pemeriksaan paru, hepatomegali, asites, edema perifer.
 Pem. Penunjang : X-Ray thorax untuk menilai kardiomegali dan melihat
gambaran edema paru, EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi,
perubahan gelombang T, dan gambaran abnormal lain), darah perifer lengkap.

3. Penegakkan Diagnosis
 Framingham Criteria

Framingham Criteria adalah suatu kriteria yang digunakan untuk


mendiagnosis gagal jantung. Dalam kriteria ini, suatu skor positif didapatkan
apabila ada 2 kriteria mayor yang positif atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor
yang positif.

 Kriteria Mayor
- Paroxysmal Nocturnal Dyspnea / Orthopnea
- Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari sebagai respons dari pengobatan
- Distensi vena jugularis
- Rhonchi / Rales
- Acute pulmonary edema
- Hepatojugular Reflux
- S Gallop
- Kardiomegali
-

23
 Kriteria Minor
- Edema Tungkai
- Dispnea saat beraktifitas
- Hepatomegali
- Batuk Nokturnal
- Efusi Pleura
- Takikardi (>120 bpm)
 NYHA juga mengklasifikasikan gagal jantung berdasarkan keparahan
symptom dan berat aktifitas untuk memprovokasi symptom
a) Kelas 1 : Tidak ada batasan dalam aktifitas fisik
b) Kelas 2 : Sedikit batasan dalam aktifitas fisik, dimana aktifitas fisik biasa
menghasilkan kelelahan, palpitasi, atau dispnea. Pasien nyaman saat
istirahat.
c) Kelas 3 : Batas aktifitas fisik mulai kelihatan, dimana sedikit aktifitas fisik
mengakibakan kelelahan, palpitasi, atau dispnea. Pasien nyaman saat
istirahat.
d) Kelas 4 : Ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas fisik tanpa kelainan
dan juga adanya symptom gagal jantung saat istirahat, dengan
bertambahnya ketidanyamanan saat ada aktifitas fisik.
 ACCF / AHA mengkomplemen klasifikasi NYHA dengan menggunakan
system staging tentang progresi dari penyakit.
a) Level A : Dalam risiko tinggi untuk gagal jantung tanpa adanya kelaina
structural jantung atau symptom gagal jantung
b) Level B : Adanya kelainan struktur jantung tanpa adanya symptom gagal
jantung.
c) Level C : Adanya kelainan struktur jantung dengan adanya symptom
gagal jantung.
d) Level D : Kegagalan jantung refraktorik yang membutuhkan intervensi
terspesialisasi.
 Juga bisa dilakukan pemeriksaan EKG (Elektrokardiografi), Ekocardiografi,
serta pemeriksaan konsentrasi plasma dari natriuretic peptide (NP) dapat
dilakukan untuk mendiagnosis gagal jantung. Berikut adalah konsentrasi
normal dari natriuretic peptide:

24
 Normal : Type B natriuretic peptide (BNP) : <35pg/mL, N-terminal pro-BNP
(NT-ProBNP) : <125pg/mL, dan mid-regional pro A-type natriuretic peptide
(MR-proANP) : <120 pmol/L)

Harus diperhatikan bahwa pemeriksaan NP direkomendasikan untuk


menyingkirkan diagnosis gagal jantung dan bukan untuk memastikan diagnosis
HF. EKG abnormal meningkatkan kemungkinan diagnosis gagal jantung, tetapi
memiliki spesifitas rendah. Pemeriksaan yang direkomendasikan ialah EKG,
karena langsung dapat mengetahui volume chamber, fungsi ventricular systolic
dan diastolic, ketebalan dinding, fungsi katup, dan jika ada hipertensi pulmoner.

I. Diagnosis Banding

 Cirrhosis
 Community-Acquired pneumonia (CAP)
 Emphysema
 Goodpasture syndrome
 Idiopathic pulmonary fibrosis (IPF)
 Interstitial (Nonidiopathic) Pulmonary fibrosis
 Myocardial infarction
 Nephrotic syndrome
 Neurogenic pulmonary edema
 Pneumothorax imaging
 Pulmonary embolism (PE)
 Respiratory failure
 Venous insufficiency
 Viral pneumonia
J. Tatalaksana
Tatalaksana farmakologik dari gagal jantung yaitu :
 Diuretik
Pemeberian diuretik seperti furosemide untuk mengurangi edema dengan
menurunkan volume darah dan tekanan vena.
 ACE Inhibitor (Angiotensin converting enzyme inhibitor)

25
Pemberian ACE inhibitor seperti Captopril menginhibisi konversi dari
angiotensin 1 ke angiotensin 2, sehingga mengurangi sekresi aldosterone.
 Beta Blocker
Pemberian Beta Blocker seperti Carvedilol dan Metoprolol menginhibisi
aktivasi saraf simpatis dan aktivasi alpha1-adrenergic vasokonstriktor.
 Antagonis Aldosterone / Mineralocorticoid antagonis (MRA)
Pemberian MRA seperti Eplerenone memblok secara selektif aldosterone di
reseptor mineralocorticoid ginjal.
 I(f) Inhibitor
Pemberian I(f) Inhibitor seperti Ivabradine memblok hyperpolarization
activated cyclic nucleotide-gated(HCN) channel yang bertanggung jawab
terhadap tegangan i(f), atau funny dari cardiac pacemaker , yang mergulasi HR
tanpa efek pada repolarisasi ventrikel atau kontraktilitas miokard.

K. Prognosis
Prognosisnya cukup buruk, dengan sekitar 50% memiliki harapan hidup rata-
rata kurang dari lima tahun. Bagi mereka yang mengalami gagal jantung stadium
lanjut, hampir 90% meninggal dalam satu tahun.

L. Komplikasi

 Fibrilasi Atrium.
Terjadi pada sekitar sepertiga (kisaran 10-50%) pasien dengan gagal
jantung kronis dan dapat menunjukkan penyebab atau konsekuensi gagal jantung.
Onset fibrilasi atrium dengan respons ventrikel yang cepat dapat memicu gagal
jantung, terutama pada pasien dengan disfungsi ventrikel yang sudah ada
sebelumnya.

 Aritmia ventrikel
Aritmia ventrikel ganas sering terjadi pada gagal jantung stadium akhir.
Misalnya, takikardia ventrikel monomorfik berkelanjutan terjadi pada hingga
10% pasien dengan gagal jantung lanjut yang dirujuk untuk transplantasi jantung.
Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik, aritmia ini sering memiliki
mekanisme masuk kembali di jaringan miokard yang terluka. Episode takikardia

26
ventrikel yang berkelanjutan menunjukkan risiko tinggi untuk aritmia ventrikel
berulang dan kematian jantung mendadak.

 Stroke dan Tromboemboli


Gagal jantung kongestif merupakan predisposisi stroke dan tromboemboli,
dengan perkiraan kejadian tahunan secara keseluruhan sekitar 2%. Faktor-faktor
yang berkontribusi terhadap peningkatan risiko tromboemboli pada pasien dengan
gagal jantung termasuk curah jantung yang rendah (dengan stasis relatif darah di
ruang jantung yang berdilatasi), kelainan gerakan dinding regional (termasuk
pembentukan aneurisma ventrikel kiri), dan fibrilasi atrium terkait. Meskipun
prevalensi fibrilasi atrium dalam beberapa penelitian observasi sebelumnya
adalah antara 12% dan 36% —yang mungkin menjadi penyebab beberapa
kejadian tromboemboli— pasien dengan gagal jantung kronis yang tetap dalam
ritme sinus juga berisiko tinggi terkena stroke dan tromboemboli vena. Pasien
dengan gagal jantung dan insufisiensi vena kronis juga berkontribusi pada
peningkatan risiko trombosis, termasuk trombosis vena dalam dan emboli paru.

27
DAFTAR PUSTAKA
Braunwald E. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL editors. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 18th ed. McGraw-Hill:New York. 2011;hal 1902-1904.

Garrison DM, Memon J. Cor Pulmonale.. In: StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2019.

Ghanie, A. (2014). Gagal Jantung Kronik. Dlm: S. Setiati, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
(Vol. I, hal. 1148-1153). Jakarta: Interna Publisher.

Harun, S., & Wijaya, I. P. (2014). Cor Pulmonal Kronik. Dlm: S. Setiati, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (Vol. I, hal. 1251-1253). Jakarta: Interna Publishing.

Levine DJ. Diagnosis and Management of Pulmonary Arterial Hypertension : Implications


for Respiratory Care. Respiratory Care 2006;51(4):368-81.

Leong D. Cor Pulmonale Overview. Medscape, 2017.


https://emedicine.medscape.com/article/154062-overview#a1

Manurung, D., & Muhadi. (2014). Gagal Jantung Akut. Dlm: S. Setiati, Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam (Vol. I, hal. 1136-1147). Jakarta: Interna Publishing.

Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, Arnett DK, Blaha MJ, Cushman M, et al. Heart Disease
and Stroke Statistics—2016 Update. Circulation [Internet]. 2016 Jan 26;133(4).

Panggabean MM. Gagal jantung. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M SS,
ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Pusat penerbitan ilmu penyakit
dalam; 2010:1583-1584.

PERKI. (2015). Pedoman Praktik Klinis dan Clinical Pathway Penyakit Jantung dan
Pembuluh Darah.

Piotr, P. (2016, Juli 14). Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure. European Heart Journal, 37(27), 2129-2200.

Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. 2016 ESC
Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure. Eur
Heart J [Internet]. 2016 Jul 14;37(27):2129–200.

28
29

Anda mungkin juga menyukai