Anda di halaman 1dari 9

EUTHANASIA

1. Pengertian

Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak

menyakitkan, ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk

meringankan penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya. Kata eutanasia

berasal dari bahasa Yunani yaitu "eu" (= baik) and "thanatos" (maut, kematian) yang

apabila digabungkan berarti "kematian yang baik". Hippokrates pertama kali

menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah Hippokrates" yang ditulis pada masa

400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat

yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh

diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan

2. Klasifikasi

1. Dilihat dari orang yang membuat keputusan euthanasia dibagi menjadi:

 Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang

sakit.Misalnya gangguan atau penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan

kematian segera, dimana keadaan diperburuk oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak

 Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak

keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.

 Assisted Suicide, tindakan ini bersifat individual yang pada keadaan tertentu

dan alasan tertentu menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.

 Tindakan yang langsung menginduksi kematian dengan alasan

meringankan penderitaan tanpa izin individu bersangkutan dan pihak yang punya hak

untuk mewakili. Hal ini sebenarnya merupakan pembunuhan, tetapi agak berbeda

pengertiannya karena tindakan ini dilakukan atas dasar belas kasihan.


2. Menurut

 Euthanasia aktif, yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga 

kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya,

memberi tablet sianida atau menyuntikkan zat-zat berbahaya ke tubuh pasien.

 Euthanasia pasif, yaitu dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)

memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak

memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan

atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan

kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak

langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya

untuk bertahan hidup.

 Autoeuthanasia, yaitu seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk

menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau

mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil

(pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia atas

permintaas sendiri (APS).

3. Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya

 Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja

yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau

mengakhiri hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian

suatu senyawa yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu

contoh senyawa mematikan tersebut adalah tablet sianida.

 Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia)

digolongkan sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak

secara tegas dan dengan sadar untuk menerima perawatan medis meskipun mengetahui

bahwa penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan


tersebut diajukan secara resmi dengan membuat sebuah “codicil” (pernyataan tertulis

tangan). Eutanasia non agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas

permintaan pasien yang bersangkutan.

4. Ada empat metode euthanasia:

 Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar menginginkan
kematian.

 Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk menyetujui
karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai contoh dari kasus ini
adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman untuk pasien yang berada di
dalam keadaan vegetatif (koma).

 Euthanasia tidak sukarela: ini terjadi ketika pasien yang sedang sekarat dapat
ditanyakan persetujuan, namun hal ini tidak dilakukan. Kasus serupa dapat terjadi
ketika permintaan untuk melanjutkan perawatan ditolak.

 Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk euthanasia.
Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan wacana untuk
membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan, namun tidak harus hadir
dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat dalam euthanasia tipe ini, biasanya
disebut sebagai ‘bunuh diri atas pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini
pernah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian.

3. Pendapat Ahli

 Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy

killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis

sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.

 Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti

“mati baik”. Di dalam bukunya seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan

arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Euthanasia Studi Grup dari KNMG

Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: “Euthanasia adalah perbuatan dengan

sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau
sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien,

dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri”.

4.    Aspek Hukum Euthanasia di Indonesia

Di Indonesia belum ada peraturan perundangan yang secara jelas mengatur tentang

euthanasia.namun demikian ada ketentuan pasal pasal dalam kitab undang-undang hukum

pidana (KUHP) dimana euthanasia ini di atur secara tersirat,yaitu:pasal 304,pasal 306,dan

pasal 344 KUHP.

Pasal 304 KUHP

Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam

kesengsaraan,sedang ia wajib memberikan kehidupan,perawatan atau pemeliharaan pada

orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian,dihukum

penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ratus ribu

rupiah.

Catatan.

Isi pasal di atas mirip dengan tindakan euthanasia pasif dimana ancaman pidananya lebih

tinggi apabila orang yang dibiarkan itu akhirnya meninggal dunia seperti yang diatur dalam

pasal 306 KUHP ayat 2.

Pasal 304 dan pasal 306 KUHP merupakan ketentuan yang di atur dalam bab XV KUHP

tentang meninggalkan orang yang perlu ditolong.

Pasal 306 KUHP

Kalau salah satu perbuatan yang diterangkan dalam pasal 304 mengakibatkan orang

mati,sitersalah itu dihukum penjarapaling lama 9 tahun.

Pasal 344 KUHP


Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,yang

disebutnya dengannya dengan nyata dan bersungguh sungguh,dihukum penjara paling lama

12 tahun.

Catatan

Pasal 344 KUHP ini isinya mirip dengan tindkan euthanasia aktif,karena ada tindakan

menghilangkan nyawa orang lain.

Dalam kaitannya baik dengan euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan terdapat

ketentuan dalam pasal pasal berikut.

Pasal 388 KUHP

“Barang siapa dengan sengaja nyawa orang lain,dihukum karena makar mati,dengan penjara

paling lama 15 tahun”.

Pasal 340 KUHP

Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang

lain,dihukum,karena pembunuhan yang direncanakan,dengan hukuman mati atau penjara

seumur hidup atau penjara sementara paling lama 20 tahun

Pasal 359 KUHP

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang lain dihukum penjara paling lama

5 tahun atau kurungan paling lama 1 tahun

Pasal 345 KUHP


Barang siapa dengan sengaja mengasut orang lain untuk bunuh diri,membantunya dalam

perbuatan itu,atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,dihukum penjara selama

lamanya 4 tahun. Kepustakaan menyebutkan adanya 2 pendapat mengenai hubungan dokter

dengan pasien dalam kaitannya dengan permasalahan mengenai nyawa.pendapat pertama

yang di dukung oleh Van Hamel Noyon Langemayer, Simon, Pompe, dan Hazewinkel

Suringa, yang menyatakan bahwa :

Niat yang secara sadar tanpa tujuan tertentu untuk membunuh atau mengakibatkan derita

bukan merupakan tujuan dari tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter.

Pendapat kedua yang didukung oleh Rang de Doeldeert Hart dan Fonsdekker yang

mengatakan bahwa oleh karenanya maka justru persetujuan dari orang dirawat yang dipakai

sebagai ukuran apakah suatu perbuatan itu bertentangan atau tidak.menurut pendapat kedua

bertujuan pasien merupakan satu satunya alas an pembenar bagi tidak dipindananya seorang

dokter (Koeswadjie,1996)

Dari apa yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan bahwa KUHP,tidak dapat

sertamerta diterapkan terhadap kasus di bidang kedokteran-kesehatan.

Baik dalam pasal 304,306 maupun pasal 344 KUHP tidak disebutkan pern keluarga.apabila

keluarga yang menghendaki tindakan euthanasia, maka doter harus mempunyai bukti berupa

sebuah pernyataan tertulis yang disertai tanda tangan dan saksi dari pihak keluarga apabila

keluarga betul-betul menghendaki tindakan itu misalnya karena alasan ekonomi dan lain lain.

Pada pasal 344 pengakhiran kehidupan harus atas permintaan penderita.apabila tindakan itu

dilakukan atas permintaan orang lain, misalnya keluarga, maka tindakan keluarga tersebut

maka sama dengan pembunuhan.

Namun demikian apabila hal itu dilakukan dengan alasan daya paksa,maka hal tersebut dapat

dimanfaatkan berdasarkan pasal48 KUHP, yang berbunyi:barang siapa yang melakukan


perbuatan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tak dapat dihindari tidak boleh

dihukum.saat ini kasus euthanasia masih merupakan suatu dilemma, karena di Indonesia hak

untuk mati masih belum ada.

5. Eutanasia di berbagai Negara

1. Amerika
Eutanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di Amerika. Saat ini satu-
satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya secara eksplisit mengizinkan pasien
terminal ( pasien yang tidak mungkin lagi disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara
bagian Oregon, yang pada tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya eutanasia
dengan memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with Dignity Act)
[8]. Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri berbantuan, bukan euthanasia.
Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat, dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas
boleh minta bantuan untuk bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam
bulan dan keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara lisan
(dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis (dihadiri dua saksi
dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan keluarga dengan pasien). Dokter
kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan prognosis serta memastikan bahwa
pasien dalam mengambil keputusan itu tidak berada dalam keadaan gangguan mental.Hukum
juga mengatur secara tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut
tidak boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi kesehatan, jiwa
maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan,
sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja
nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah
studi terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999.
Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu Poling Gallup (Gallup Poll)
menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya eutanasi
2. Belanda
Pada tanggal 10 April 2001 Belanda menerbitkan undang-undang yang mengizinkan
eutanasia, undang-undang ini dinyatakan efektif berlaku sejak tanggal 1 April 2002 , yang
menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia.
Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk
mengakhiri penderitaannya.
Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal
euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.
Sebuah karangan berjudul "The Slippery Slope of Dutch Euthanasia" dalam majalah Human
Life International Special Report Nomor 67, November 1998, halaman 3 melaporkan bahwa
sejak tahun 1994 setiap dokter di Belanda dimungkinkan melakukan eutanasia dan tidak akan
dituntut di pengadilan asalkan mengikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan. Prosedur
tersebut adalah mengadakan konsultasi dengan rekan sejawat (tidak harus seorang spesialis)
dan membuat laporan dengan menjawab sekitar 50 pertanyaan.
Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum mengatur kewajiban para dokter untuk
melapor semua kasus eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan
menilai betul tidaknya prosedurnya. Pada tahun 2002, sebuah konvensi yang berusia 20 tahun
telah dikodifikasi oleh undang-undang belanda, dimana seorang dokter yang melakukan
eutanasia pada suatu kasus tertentu tidak akan dihukum

3. Belgia
Parlemen Belgia telah melegalisasi tindakan eutanasia pada akhir September 2002.
Para pendukung eutanasia menyatakan bahwa ribuan tindakan eutanasia setiap tahunnya telah
dilakukan sejak dilegalisasikannya tindakan eutanasia dinegara ini, namun mereka juga
mengkritik sulitnya prosedur pelaksanaan eutanasia ini sehingga timbul suatu kesan adaya
upaya untuk menciptakan "birokrasi kematian".
Belgia kini menjadi negara ketiga yang melegalisasi eutanasia ( setelah Belanda dan
negara bagian Oregon di Amerika ).
Senator Philippe Mahoux, dari partai sosialis yang merupakan salah satu penyusun
rancangan undang-undang tersebut menyatakan bahwa seorang pasien yang menderita secara
jasmani dan psikologis adalah merupakan orang yang memiliki hak penuh untuk memutuskan
kelangsungan hidupnya dan penentuan saat-saat akhir hidupnya
4. Inggris
Pada tanggal 5 November 2006, Kolese Kebidanan dan Kandungan Britania Raya
(Britain's Royal College of Obstetricians and Gynaecologists) mengajukan sebuah proposal
kepada Dewan Bioetik Nuffield (Nuffield Council on Bioethics) agar dipertimbangkannya
izin untuk melakukan eutanasia terhadap bayi-bayi yang lahir cacat (disabled newborns).
Proposal tersebut bukanlah ditujukan untuk melegalisasi eutanasia di Inggris melainkan
semata guna memohon dipertimbangkannya secara saksama dari sisi faktor "kemungkinan
hidup si bayi" sebagai suatu legitimasi praktek kedokteran.
Namun hingga saat ini eutanasia masih merupakan suatu tindakan melawan hukum di
kerajaan Inggris demikian juga di Eropa (selain daripada Belanda).
Demikian pula kebijakan resmi dari Asosiasi Kedokteran Inggris (British Medical
Association-BMA) yang secara tegas menentang eutanasia dalam bentuk apapun juga

5. Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka eutanasia adalah sesuatu perbuatan yang
melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan yang ada yaitu
pada Pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menyatakan bahwa ”Barang siapa
menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”. Juga
demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP yang
juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik dalam perbuatan eutanasia. Dengan
demikian, secara formal hukum yang berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan
tindakan eutanasia oleh siapa pun.
Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid Anfasal Moeloek
dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah Tempo Selasa 5 Oktober 2004
menyatakan bahwa : Eutanasia atau "pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum
dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
"Euthanasia hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar
hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP

Anda mungkin juga menyukai