Anda di halaman 1dari 25

Kasus 3

Seorang laki-laki berusia 48 tahun dibawa ke unit gawat darurat dengan


keluhan nyeri perut kiri bawah. Pasien juga mengeluhkan adanya benjolan yang
membengkak.

STEP 1

Keluhan Utama : Nyeri perut kiri bawah dan ada benjolan yang
membengkak

STEP 2

STEP 3

1. Tumor Kolorektal
Tumor kolorektal dapat dibagi dalam dua kelompok yakni polip
kolon dan kanker kolon (Sudoyo, 2009).
Polip adalah tonjolan di atas permukaan mukosa. Polip kolon dapat
dibagi dalam tiga tipe yakni neoplasma epitelium, nonneoplasma dan
submukosa. Makna klinis yang penting dari polip ada dua yakni pertama
kemungkinan mengalami transformasi menjadi kanker kolorektal dan
kedua dengan tindakan pengangkatan polip, kanker dapat dicegah
(Sudoyo, 2009).

A. Etiologi dan Patogenesis


Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks
antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik
mendominasi yang lainnya pada kasus sindrom herediter seperti
Familial Adenomatous Polyposis (FAP) dan Hereditary
Nonpolyposis Colorectal Cancer (HNPC), kanker kolorektal yang
sporadis muncul setelah melewati rentang masa yang lebih panjang
sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan
genetik yang berkembang menjadi kanker. Kedua jenis kanker
kolorektal (herediter vs sporadis) tidak muncul secara mendadak
melainkan melalui proses yang dapat diidentifikasi pada mukosa
kolon( seperti displasia adenoma) (Sudoyo, 2009).
1. Pengaruh Lingkungan
Sejumlah bukti menunjukan bahwa lingkungan berperan
penting pada kejadian kanker kolorektal. Risiko kanker
kolorektal meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari
wilayah yang insidensnya tinggi. Hal ini menambah bukti
bahwa faktor lingkungan seperti perbedaan pola makanan
berpengaruh pada karsinogenesis (Sudoyo, 2009).
Kandungan dari makronutrien dan mikronutrien
berhubungan dengan kanker kolorektal. Penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa lemak hewani, terutama dari
sumber daging merah, berpengaruh pada kejadian kanker
kolorektal. Penelitian pada binatang yang diberikan diet lemak
tinggi meningkatkan proliferasi kolonosit dan pembentukan
tumor (Sudoyo, 2009).
Transformasi sel tampaknya melalui peningkatan
konsentrasi empedu dalam kolon dan ini telah diketahui
sebagai promotor kanker lagipula pada masyarakat dengan
konsumsi serat rendah disertai dengan insiden kanker kolon
yang tinggi. Kebiasaan minum alkohol meningkatkan 2 sampai
3 kali lipat kejadian kanker kolon. Sebaliknya masyarakat yang
mengonsumsi ikan laut memiliki insidens kanker kolorektal
yang rendah. Diet folat yang tinggi berhubungan dengan
penurunan risiko kanker kolorektal. Meskipun antioksidan
seperti vitamin A, E dan C dianggap dapat menurunkan risiko
kanker, namun sebuah penelitian membuktikan penurunan
insidens polip pada kelompok yang mendapat suplemen
vitamin tersebut (Sudoyo, 2009).
2. Faktor Genetik
Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan
kolorektal diantaranya sindroma poliposis. Namun demikian
sindroma poliposis hanya terhitung <1% dari semua kanker
kolorektal. selain itu terdapat Hereditary Non-polyposis
Colorectal Cancer (HNPCC atau Sindroma Lynch) sebesar 2-
3% dari kanker kolorektal terjadi sebagai akibat kerusakan
genetik pada lokus yang mengontrol pertumbuhan sel.
Perubahan kolonosit normal menjadi jaringan adenomatosa dan
akhirnya karsinoma kolon melibatkan sejumlah mutassi yang
mempercepat pertumbuhan sel. Terdapat dua mekanisme yang
menimbulkan instabilitas genom dan berujung pada kanker
kolorektal yakni: 1) Instabilitas kromosom (Cromosomal
instability atau CIN); 2). Instabilitas mikrosatelit (Microsatelit
instability atau MIN) (Sudoyo, 2009).
Umumnya sel kanker kolon melalui mekanisme CIN yang
melibatkan penyebaran material genetik yang tak berimbang
kepada sel anak sehingga timbulnya aneuploidi. Instabilitas
mikrosatelit (MIN) disebabkan oleh hilangnya aktivitas
perbaikan ketidakcocokan atau mismatch repair (MMR) dan
merupakan mekanisme terbentuknya kanker pada HNPCC
(Sudoyo, 2009).
3. Instabilitas kromosom
Instabilitas kromosom (CIN) yang merupakan hasil
perubahan-perubahan besar pada kromosom seperti translokasi,
amplifikasi, delesi dan berbagai bentuk kehilangan alel lainnya
dosertai dengan hilangnya heterozigositas (LOH) pada DNA
yang berdekatan dengan lokasi kelainan-kelainan tersebut.
Awal kejadian karsinoma kolorektal yang melibatkan mutasi
somati terjadi pada gen adenomatous polyposis (APC).
Kelainan pada APC yang sporadis maupun yang familial
seperti familial adenomatous polyposis (FAP). Gen APC
mengatur kematian sel dann mutasi pada gen ini menyebabkan
pengobatan proliferasi yang selanjutnya berkembang menjadi
adenoma. Mutasi pada protoonkogen selular K-ras yang
biasanya terjadi pada adenoma kolon yang berukuran besar
akan menyebabkan gangguan pertumbuhan sel yang tidak
normal (Sudoyo, 2009).
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan
akibat dari mutasi gen supresor p53. Dalma keadaan normal
gen protein p53 akan menghambat proliferasi sel yang
mengalami kerusakan DNA. Mutasi gen p53 menyebabkan sel
dengan kerusakan DNA tetap dapat mengalami replikasi yang
menghasilkan sel-sel dengan kerusakna DNA yang lebih parah.
Replikasi sel-sel dengan kehilangan sejumlah segmen pada
kromosom yang berisi beberapa alel (misal loss of
heterozygosity). Hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen
supresor tumor yang lain seperti DCC (deleted in colon) yang
merupakan tahap akhir dari transformasi ke arah keganasan.
Seringkalo sel-sel ini punya kemampuan untuk menginvasi dan
bermetastasis yang merupakan titik awal keganasan.
Karsinogenesis kolon tidak selalu membutuhkan semua jenis
mutasi tersebut di ats dan tampaknya masih ada kerusakan
genetik lain yang berperan namun belum ditemukan sampai
saat ini. Bagaimanapun juga model mutasi yang dijelaskan di
atas dapat menjadi landasan kerangka konsep untul memahami
proses karsinogen karsinoma kolorektal (Sudoyo, 2009).
4. Instabilitas mikrosatelit dan HNPCC
Instabilitas mikrosatelit (MIN) dimana terjadi peningkatan
risiko terjadinya mutasi-mutasi noktah (point mutationt) yang
mempengaruhi satu atau lebih pasangan basa DNA secara acak
sepanjang genom (Sudoyo, 2009).
Berbeda dengan karsinoma kolorektal yang sporadis,
HNPCC disebabkan oleh instalbilitas mikrosatelit dimana
terjadi mutasi pada gen MMR (Mismartch repair) yang
berfungsi memperbaiki gangguan replikasi DNA sehingga
mengakibatkan pembentukan kankker. Protein yang dihasilkan
oleh gen MMR dapat mendeteksi dan memperbaiki gangguan
replikasi DNA pada sel (fase pasca mitosis). Sel-sel yang
kehilangan kemampuan untuk memperbaiki ketidakcocokan
(MMR) ini tampaknya masih memerlukan mutasi sebelum
mengalami karsinogenesis oleh karena semua sel kolon
mempunyai satu gen yang lengkap maka mutasi somatik kedua
diperlukan sebelum fungsi MMR hilang. Mekanisme second
hit ini yang menjelaskan tidak munculnya poliposis pada
HNPCC. Sekarang ini 5 gen MMR telah diidentifikasi yaitu: h
MSH2, h PMS1, h PMS2 dan h MSH6 (Sudoyo, 2009).
HNPCC dapat dibedakan dari karsinoma kolorektal
sporadis biasanya muncul pada usia lebih muda (±40 th), risiko
mendapat tumor sinkronous lebih tinggi (18% vs 6%), letak
tumor sebelah kanan (60%-80% vs 25%), HNPCC dibagi
dalam 2 varian yaitu: Sindroma Lynch I dan II. Sindroma
Lynvh I terisolir, karsinoma kolorektal muncul awal sedangkan
sindroma Lynch II, mukosal bersamaan dengan karsinoma
ditempat lain (misalnya endometrium, ovarium, traktus
urinarius, lambung dan usus halus) (Sudoyo, 2009).
B. Gambaran Klinis
1. Keluhan dan Tanda
Kebanyakan kasus karsinoma kolorektal didiagnosis pada
usia sekitar 50 tahun dan umumnya sudah memasuki stadium
lanjut sehingga prognosisnya juga buruk. Keluhan yang paling
sering dirasakan pasien diantaranya: perubahan pola buang air
besar, perdarahan per anus (hematoskezia) dan konstipasi
(Sudoyo, 2009).
Kanker kolorektal umumnya berkembang lamban, keluhan
dan tanda-tanda fisik timbul sebagai bagian dari komplikasi
seperti obstruksi, serta perdarahan akibat invasi lokal, dan
kakeksia. Obstruksi kolon biasanya terjadi di kolon
transversum. Kolon descenden dan kolon sigmoid karena
ukuran lumennya lebih kecil daripada bagian kolon yang lebih
proksimal (Sudoyo, 2009).
Obstruksi parsial awalnya ditandai dengan nyeri abdomen.
Namun bila obstruksi total terjadi akan menyebabkan nausea,
muntah, distensi dan obstipasi (Sudoyo, 2009).
Kanker kolorektal dapat berdarah sebagai bagian dari tumor
yang rapuh dan mengalami ulserasi. Meskipun perdarahan
umumnya tersamar namun hematoskezia timbul paada sebagian
kasus. Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai
hematoskezia atau darah dalam feses tetapi tumor yang
proksimal sering disertai dengan anemia defisiensi besi
(Sudoyo, 2009).
Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria,
infeksi saluran kemih berulang dan obstruksi uretra. Akut
abdomen dapat terjadi jika tumor tersebut menimbulkan
perforasi. Kadang timbul fistula antara kolon dengan lambung
atau usus halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi
tumor ke lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis
jauh ke hati dapat menimbulkan nyeri perut, ikterus dan
hipertensi portal (Sudoyo, 2009).
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma
kolon memberikan hasil normal. Perdarahan intermitten dan
polip yang besar dapat dideteksi melalui darah samar feses atau
anemia defisiensi besi (Sudoyo, 2009).
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu
mendeteksi 50% polip kolon dengan spesifisitas 85%. Bagian
rektosigmoid sering sulit untuk divisualisai meskipun bila
dibaca oleh ahli radiologi senior. Oleh karena itu pemeriksaan
rektosigmoidoskopi masih diperlukan. Bilamana ada lesi yang
mencurigakan pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk
biopsi. Pemeriksaan lumen barium teknik kontras ganda
merupakan alternatif lain untuk kolonoskopi namun
pemeriksaan ini sering tak bisa mendeteksi lesi berukuran
kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa bagian
kolon dibalik striktur yang tak terjangkau dengan pemriksaan
kolonoskopi (Sudoyo, 2009).
3. Kolonoskopi
Kolonoskopi merupajan cara pemeriksaan mukosa kolon
yang sangat akurat dan dapat sekaligus melakukan biopsi pda
lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang lengkap
dapat mencapai >95% pasien. Rasa tidak nyaman yang timbul
sangat tergantung pada operator untuk itu sedikit obat
penenang intravena akan sangat membantu meskipun ada
risiko perforasi dan perdarahan, tetapi kejadian seperti ini
kurang dari 0,5%. Kolonoskopi dengan enema barium,
diindikasikan terutama untuk mendeteksi lesi kecil seperti
adenoma (Sudoyo, 2009).
D. Penatalaksanaan
1. Kemoprevensi
Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS) termasuk aspirin
dianggap berrhubungan dengan penurunan mortalitas
karsinoma kolorektal. beberapa OAINS seperti sulindac dan
celecoxib telah terbukti secara efektif menurunkan insidens
berulangnya adenoma pada pasien dengan FAP. Data
epidemiologi menunjukan adanya penurunan risiko kanker
dikalangan pemakai OAINS namun bukti yang mendukung
manfaat pemberian aspirin dan OAINS lainnya untuk
mencegah karsinoma kolorektal sporadik masih lemah
(Sudoyo, 2009).
2. Endoskopi dan operasi
Umumnya polip adenomatous dapat diangkat dengan
tindakan polipektomi. Bila ukuran <5mm makan pengangkatan
cukup di biopsi aatau dengan elektrokoagulasi bipolar.
Disamping polipektomi, karsinoma kolorektal dapat diatasi
dengan operasi. Indikasi untuk hemikolektomi adalah tumor di
caecum, kolon asenden, dan kolon transversum. Lesi di
fleksura lienalis dan kolon desenden di atsi dengan
hemikolektomi kiri (Sudoyo, 2009).
Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat
dengan tindakan LAR (Low Anterior Resection). Angka
mortalits akibat operasi sekitar 5% tetapi bila operasi
dikerjakan secara emergensi maka angka mortalitas menjadi
lebih tinggi. Reseksi metastasis di hati dapat memberikan 25-
35% rata-rata masa bebas tumor (Sudoyo, 2009).
3. Terapi ajuvan
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan
mengalami rekurensi. Kemoterapi ajuvan diberikan untuk
menurunkan tingkat rekurensi karsinoma kolorektal setelah
operasi. Irinotecan (CPT 11) inhibitor topoisomer dapat
memperpanjang masa harapan hidup. Oxaliplatin analog
platinum juga memperbaiki respon setelah diberikan 5FU dan
leucovorin. Manajemen karsinoma kolorektal yang non-
reseksibel (Sudoyo, 2009).
 Nd-YAG foto koagulasi laser
 Self expanding metal endoluminal stent (Sudoyo,
2009).
2. Karsinoma Testis
Tumor testis berasal dari sel germinal atau jaringan stroma
testis. Lebih dari 90% berasal dari sel germinal. Tumor ini
mempunyai derajat keganasan tinggi, tetapi dapat sembuh bila
diberi penanganan adekuat. Tumor ini mempunyai pertanda
tumor sejati yang berharga sekali untuk diagnosis, rencana
terapi, dan kontrol (Sjamsuhidajat, 2010).
Tumor testis sel germinal merupakan tumor yang agak
jarang ditemukan dan meliputi kurang lebih1% dari keganasan
lelaki. Kebanyakan ditemukan pada usia antara 20-36 tahun
(Sjamsuhidajat, 2010).
A. Etiologi
Faktor penyebab karsinoma testis tidak jelas. Faktor
genetik, virus atau penyebab infeksi lain, atau trauma testis
tidak memengaruhi terjadinya tumor ini. Penderita
kriptorkismus atau bekas kriptorkismus mempunyai risiko
lebih tinggi untuk tumor testis ganas. Walaupun
pembedahan kriptorkismus pada usia muda mengurangi
insidens tumor testis sedikit, risiko terjadinya tumor tetap
tinggi. Rupanya kriptorkismus merupakan suatu ekspresi
disgenesia gonad yang berhubungan dengan transformasi
ganas (Sjamsuhidajat, 2010).
Penggunaan hormon dietilstilbestrol, yang terkenal
sebagai DES, oleh ibu pada kehamilan dini meningkatkan
risiko tumor maligna pada alat kelamin bayi pada usia
dewasa muda, yang berarti karsinoma testis untuk janin
lelaki (Sjamsuhidajat, 2010).
B. Gambaran klinis
Gambaran khas tumor testis ialah benjolan di dalam
skrotum yang tidak nyeri dan tidak diafan. Biasanya tumor
terbatas di dalam testis sehingga mudah dibedakan dari
epididimis pada palpasi yang dilakukan dengan telunjuk
dan ibu jari (Sjamsuhidajat, 2010).
Gejala dan tanda lain, seperti nyeri pinggang,
kembung perut, dispneu atau batuk, dan ginekomastia
menunjukan pada metastasis yang luas. Metastasis
paraaorta sering luas dan besar sekali, menyebabkan perut
menjadi kembung dan besar sekali, kadang tanpa nyeri
pinggang. Metastasis du paru kadang tertabur luas dan
cepat menjadi besar sehingga sesak napas. Gonadotropin
yang mungkin disekresi oleh sel tumor dapat menyebabkan
ginekomastia. Kadang keadaan umum merosot cepat
dengan penurunan berat badan (Sjamsuhidajat, 2010).
C. Pemeriksaan penunjang
Transiluminasi, ultrasonografi, dan pemeriksaan
endapan kemih sangat berguna untuk membedakan tumor
dari kelainan lain. Kadang tumor testis disertai hidrokel.
Oleh karena itum ultrasonografi sangat berguna
(Sjamsuhidajat, 2010).
Pemeriksaan petanda tumor sangat berguna, yaitu
beta-human chorionic gonadotropin (beta-HCG), alfa-
fetoprotein (AFP), dan laktat dehidrogenase (LDH). Foto
paru dibuat untuk diagnosis metastasis paru (Sjamsuhidajat,
2010).
Diagnosis ditentukan dengan pemeriksaan
histologik sediaan biopsi. Setiap benjolan testis yang tidak
menyurut hilang setelah pengobatan adekuat dalam waktu
dua minggu harus dicurigai dan dibiopsi. Biopsi harus
dilakukan dari testis yang didekati melalui sayatan inguinal.
Testis diinspeksi dan dibuat biopsi insisi setelah funikulus
ditutup dengan jepitan klem untuk mencegah penyebaran
limfogen atau hematogen. Sekali-kali tidak boleh diadakan
biopsi langsung melalui kulit skrotum karena bahaya
pencemaran luka bedah dengan sel tumor dengan
implantasi lokal atau penyebaran ke regio inguinal. Bila
ternyata ganas, dilakukan orkidektomi yang disusul
denganpemeriksaan luas untuk menentukan jenis tumor,
derajat keganasan, dan luasnya penyebaran. Untuk
menentukan luas penyebaran limfogen biasanya dilakukan
diseksi kelenjar limfe retroperitoneal secara transabdomen,
suatu operasi yang menuntut pengalaman khusus
(Sjamsuhidajat, 2010).
D. Tatalaksana
Seminoma merupakan tumor ganas yang cukup
sensitif terhadap penyinaran dan kemoterapi. Pemilihan
terapi didasarkan derajat penyebaran setelah orkidektomi
dan pemeriksaan lengkap, termasuk keterangan histologik
kelenjar limfe retroperitoneal (Sjamsuhidajat, 2010).
Penderita dengan stadium I, IIA dan IIB, setelah
orkidektomi diradiasi pada regio paraaorta dan regio
panggul ipsilateral. Karena kurang lebih separuh penderita
dengan stadium IIC mendapat kekambuhan dengan terapi
penyinaran. Kepada penderita stadium III diberikan skema
kemoterapi dengan skema yang berlaku untuk penderita
nonseminoma (Sjamsuhidajat, 2010).
Bila penanganan bedah sempurna serta kemoterapi
dan penyinaran dilakukan lengkap, prognosis baik sekali.
Penderita tumor nonseminoma stadium 1 tidak
membutuhkan terapi tambahan setelah pembedahan.
Penderita stadium IIA dapat diobservasi saja, kadang
diberikan kemoterapi dua seri. Pada stadium IIB
biasanyanya diberikan empat seri kemoterapi. Penderita
stadium IIC dan III diberikan kemoterapi yang terdiri atas
sisplatin, bleomisin.dan vinblastin. Bila respons tidak
sempurna, diberikan seri tambahan dengan sediaan
kemoterapi lain. Bila masih terdapat sisa jaringan di regio
retroperitoneal, dilakukan laparotomi eksplorasi. Pada
kebanyakan penderita ternyata hanya ditemukan jaringan
nekrotik tau jaringan matur. Jaringan matur merupakan
jaringan yang berdiferensiasi baik dan tidak bersifat ganas
lagi. Prognosis umumnya memuaskan, kecuali bila terjadi
banyak metastasis ke paru-paru atau bila terdapat
kekambuhan disertai tingginya kadar marker tumor
(Sjamsuhidajat, 2010).
3. Hernia inguinalis
A. Etiologi
Hernia inguinalis dapat terjadi karena anomali
kongenital atau didapat. Hernia dapat dijumpai pada segala
usia, dan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan.
Berbagai faktor penyebab berperan pada pembentukan
pintu masuk hernia di anulus internus yang cukup lebar
sehingga dapat dilalui oleh kantong dan isi hernia. Selain
itu, diperlukan pula faktor yang dapat mendorong isi hernia
melewati pintu yang sudah terbuka cukup lebar itu
(Sjamsuhidajat, 2010).

Proses turunnya testis mengikuti prosesus


vaginalis, pada neonatus kurang lebih 90% prosesus
vaginalis tetap terbuka, sedangkan pada bayi umur satu
tahun sekitar 30% prosesus vaginalis belum tertutup.
Tapi kejadian hernia inguinalis lateralis pada anak
usia ini hanya beberapa persen. Umumnya disimpulkan
bahwa adanya prosesus vaginalis yang patent bukan
merupakan penyebab tunggal terjadinya hernia
inguinalis lateralis, tetapi diperlukan faktor lain, seperti
anulus inguinalis yang cukup besar (Sjamsuhidajat,
2010).
Sebagian besar tipe hernia inguinalis adalah
hernia inguinalis lateralis, dan laki-laki lebih sering
terkena dari pada perempuan (9:1), hernia dapat terjadi
pada waktu lahir dan dapat terlihat pada usia berapa
pun. Insidensi pada bayi populasi umum 1% dan pada
bayi-bayi prematur dapat mendekati 5 %, hernia
inguinal dilaporkan kurang lebih 30% kasus terjadi
pada bayi laki-laki dengan berat badan 1000 gr atau
kurang (Sjamsuhidajat, 2010).
Pada orang yang sehat, ada tiga mekanisme
yang dapat mencegah terjadinya hernia inguinalis,
yaitu kanalis inguinalis yang berjalan miring, adanya
struktur muskulus oblikus internus abdominis yang
menutup anulus inguinalis internus ketika berkontraksi
dan adanya fasia transversa yang kuat yang menutupi
trigonum Hasselbach yang umumnya hampir tidak
berotot. Gangguan pada mekanisme ini dapat
menyebabkan terjadinya hernia inguinalis lateralis.
(Sjamsuhidajat, 2010).
Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya hernia inguinalis lateralis, antara lain:
kelemahan aponeurosis dan fasia tranversalis,
prosesus vaginalis yang terbuka (baik kongenital
maupun didapat), tekanan intra abdomen yang
meninggi secara kronik, hipertrofi prostat, konstipasi,
dan asites, kelemahan otot dinding perut karena usia,
defisiensi otot, dan hancurnya jaringan penyambung
oleh karena merokok, penuaan atau penyakit sistemik.
(Sjamsuhidajat, 2010)

B. Klasifikasi Hernia Inguinalis

Hernia inguinalis indirek, disebut juga hernia


inguinalis lateralis, karena keluar dari rongga
peritoneum melalui annulus inguinalis internus yang
terletak lateral dari pembuluh epigastrika inferior,
kemudian hernia masuk kedalam kanalis inguinalis,
dan jika cukup panjang, menonjol keluar dari
annulus inguinalis ekternus. Apabial hernia inguinalis
lateralis berlanjut, tonjolan akan sampai ke skrotum,
ini disebut hernia skrotalis. Kantong hernia berada
dalam muskulus kremaster terlatak anteromedial
terhadap vas deferen dan struktur lain dalam
funikulus spermatikus. Pada anak hernia inguinalis
lateralis disebabkan oleh kelainan bawaan berupa
tidak menutupnya prosesus vaginalis peritoneum
sebagai akibat proses penurunan testis ke skrotum
(Sjamsuhidajat, 2010).
Hernia inguinalis indirek (lateralis) merupakan
bentuk hernia yang paling sering ditemukan dan diduga
mempunyai penyebab kongenital (Sjamsuhidajat, 2010).
Hernia inguinalis lateralis adalah hernia yang
melalui anulus inguinalis internus yang terletak di
sebelah lateral vasa epigastric inferior, menyusuri
kanalis inguinalis dan keluar dari rongga perut
melalui anulus inguinalis eksternus (Sjamsuhidajat,
2010).
Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal
pada fetus. Pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi
desensus testis melalui kanal tersebut. Penurunan testis
tersebut akan menarik peritonium ke daerah
skrotum sehingga terjadi penonjolan peritoneum
yang disebut prosesus vaginalis peritonei. Pada bayi
yang sudah lahir, umumnya prosesus ini sudah
mengalami obliterasi sehingga isi rongga perut tidak
dapat melalui kanalis tersebut. Namun dalam beberapa
hal, sering kali kanalis ini tidak menutup. Karena
testis kiri turun lebih dahulu maka kanalis kanan
lebih sering terbuka. Dalam keadaan normal kanalis
yang terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan
(Sjamsuhidajat, 2010)
Bila prosesus terbuka terus (karena tidak
mengalami obliterasi), akan timbul hernia inguinalis
kongenital. Pada orang tua, kanalis tersebut telah
menutup namun karena lokus minoris resistensie maka
pada keadaan yang menyebabkan peninggian tekanan
intra abdominal meningkat, kanal tersebut dapat
terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis
akuisita (Sjamsuhidajat, 2010).
Hernia inguinalis direk, disebut juga hernia
inguinalis medialis, menonjol langsung kedepan
melalui segitiga Hesselbach, daerah yang dibatasi
ligamentum inguinal dibagian inferior, pembuluh
epigastrika inferior dibagian lateral dan tepi otot rektus
dibagian medial. Dasar segitiga hasselbach dibentuk
oleh fasia transversal yang diperkuat oleh serat
aponeurisis m.tranversus abdominis yang kadang-
kadang tidak sempurna sehingga daerah ini
potensial untuk menjadi lemah. Hernia medialis,
karena tidak keluar melalui kanalis inguinalis dan
tidak keskrotum, umumnya tidak disertai strangulasi
karena cincin hernia longgar (Sjamsuhidajat, 2010).
Hernia inguinalis direk terjadi sekitar 15% dari
semua hernia inguinalis. Kantong hernia inguinalis
direk menonjol langsung ke anterior melalui dinding
posterior kanalis inguinais medial terhadap arteria, dan
vena epigastrika inferior, karena adanya tendo
conjunctivus (tendo gabungan insersio musculus
obliquus internus abdominis dan musculus
transversus abdominis) yang kuat, hernia ini biasanya
hanya merupakan penonjolan biasa, oleh karena itu
leher kantong hernia lebar (Sjamsuhidajat, 2010).
Hernia inguinalis direk jarang pada
perempuan, dan sebagian besar bersifat bersifat
bilateral. Hernia ini merupakan penyakit pada laki-laki
tua dengan kelemahan otot dinding abdomen
(Sjamsuhidajat, 2010)

C. Embriologi dan Patogenesis

Mayoritas hernia inguinalis pada anak adalah


hernia inguinalis lateralis akibat dari prosesus
vaginalis yang patent. Pada janin gonad mulai
berkembang selama 5 minggu kehamilan, ketika sel
benih primordial berpindah dari kantung telur (yolk
sac) ke rigi gonad. Gubernakulum ligamentosa
terbentuk dan turun pada salah satu sisi abdomen pada
kutub inferior gonad dan melekat pada permukaan
dalam lipatan labium-skrotum. Selama perjalanan
turun, gubernakulum melalui dinding anterior
abdomen pada tempat cincin inguinalis interna dan
kanalis inguinalis. Prosesus vaginalis merupakan
penonjolan di vertikulum peritoneum yang terbentuk
tepat sebelah ventral gubernakulum dan berherniasi
melalui dinding abdomen dengan gubernakulum
kedalam kanalis inguinalis. Testis yang pada mulanya
terletak didalam rigi urogenital di retroperitoneum,
turun ke daerah cincin dalam pada sekitar umur
kehamilan 28 minggu. Penurunan testis melalui kanalis
inguinalis diatur oleh hormon androgen dan faktor
mekanis (meningkatkan tekanan abdomen), testis turun
kedalam skrotum pada umur kehamilan 29 minggu.
Setiap testis turun melalui kanalis inguinalis eksterna
ke prosesus vaginalis (Sjamsuhidajat, 2010).

Ovarium juga turun kedalam pelvis dari rigi


urogenital tetapi tidak keluar dari rongga abdomen.
Bagian kranial gubernakulum berdiferensiasi menjadi
ligamentum ovarii, dan bagian inferior gubernakulum
menjadi ligamentum teres uteri, yang masuk melalui
cincin dalam, ke dalam labia mayor, prosesus vaginalis
pada anak wanita meluas kedalam labia mayor
melalui kanalis inguinalis, yang juga dikenal sebagai
kanal nuck (Sjamsuhidajat, 2010).
Selama beberapa minggu terakhir kahamilan
atau segera setelah, lapisan prosesus vaginalis secara
normal berfusi bersama dan berobliterasi masuk ke
dalam saluran inguinal di sekitar cincin interna.
Kegagalan obliterasi mengakibatkan berbagai anomali
inguinal. Kegagalan total obliterasi akan
menghasilkan hernia inguinalis total. Obliterasi distal
dengan bagian distal patensi akan menghasilkan hernia
inguinalis lateralis (Sjamsuhidajat, 2010).
Gambar 1. Hernia dan Hidroke

D. Manifestasi Klinis

Hernia inguinalis lateralis biasanya terlihat


sebagai benjolan pada daerah inguinal dan meluas ke
depan atau ke dalam skrotum. Kadang-kadang, anak
akan datang dengan bengkak skrotum tanpa benjolan
sebelumnya pada daerah inguinal. Orang tuanya
biasanya sebagai orang pertama yang melihat
benjolan ini, yang mungkin muncul hanya saat
menangis atau mengejan. Selama tidur atau apabila
pada keadaan istirahat atau santai, hernia menghilang
spontan tanpa adanya benjolan atau pembesaran
skrotum. Riwayat bengkak pada pangkal paha, labia,
atau skrotum berulang-ulang yang hilang secara spontan
adalah tanda klasik untuk hernia inguinalis lateralis
(Sjamsuhidajat, 2010).
Pemeriksaan fisik akan menunjukkan benjolan
inguinal pada setinggi cincin interna atau eksterna
atau pembengkakan skrotum yang ukurannya dapat
berkurang atau berfluktuasi. Cara klasik memeriksa
hernia inguinalis orang dewasa dengan menempatkan
jari telunjuk pada kanalis inguinalis, yang sebenarnya
pada bayi tidak perlu dilakukan, dan ternyata bisa
menyebabkan perasaan tidak enak. Hal ini karena
cincin interna dan eksterna pada dan anak paralel.
Hernia inguinalis lateralis dapat diketahui dengan
meletakkan bayi tidur telentang dengan kaki lurus
dan tangan diatas kepala. Posisi. Posisi ini dapat
menyebabkan bayi menangis menangis, dan dapat
meningkatkan tekanan intra abdomen dan akan
memperlihatkan benjolan di tuberkulum pubis (cincin
eksterna) atau pembengkakan di dalam skrotum. Anak
yang lebih tua dapat diperiksa dengan berdiri, yang
juga akan meningkatkan tekanan intra abdomen dan
memperlihatkan hernia tersebut. Testis yang retraksi
sering terjadi pada bayi dan anak-anak daan bisa
menyerupai hernia inguinalis dengan benjolan di atas
cincin eksterna. Karena itu sangat penting meraba testis
sebelum meraba benjolan inguinal. Hal ini akan
memungkinkan diferensiasi antara keduanya dan
menghindari tindakan bedah yang tidak perlu
(Sjamsuhidajat, 2010).
Pada diagnosa yang sulit, pemeriksaan rektum
bisa membantu membedakan kelainan pangkal paha
akut, pemeriksa awalnya memeriksa cincin interna
pada sisi yang tidak terlihat dan kemudian dapat
mengusapkan jari telunjuk atau jari kelima ke cincin
interna pada daerah yang terlibat. Pada kasus dengan
hernia inguinalis lateralis organ dalam abdomen bisa
di palpasi secara menyeluruh melalui cincin interna.
Cara ini sangat mebantu dalam membedakan hernia
inkarserasi dengan hidrokel tali akut atau kelainan
linguinal lain seperti adenitis inguinalis
(Sjamsuhidajat, 2010).
Kadang sulit membedakan hernia inguinalis
total dengan hidrokel murni. Dua keadaan ini biasanya
dapat di bedakan dengan anamnesis yang cermat. Pada
bayi dengan hernia inguinalis total pembengkakan
skrotum bervariasi selam satu hari, biasanya cukup
besar apabila bayi menangis atau mengejan, dan
menghilang atau kembali menjadi kecil selama
relaksasi. Hidrokel murni tidak berubah besarnya
selam sehari tetapi bisa secara bertahap menghilang
selama usia tahun pertama. Hidrokel dan hernia
inguinalis total ini keduanya tembus pandang dan
mungkin sulit dibedakan satu sama lain karena
kadang-kadang hernia inguinalis total tidak dapat
berkurang secara manual karena penyempitan di dalam
kanalis inguinalis kecil. Pada keadaan ini, anamnesis
sangat di perlukan untuk melakukan operasi. Pada
beberapa keadaan anak dengan hernia inguinalis,
benjolan inguinal atau pembengkakan skrotum
mungkin tidak ada pada saat pemeriksaan fisik, dan
satu-satunya temuan mungkin penebalan funikulus
spermatikus dengan disertai tanda ”sutra”. Tanda
sutra ini di dapat dengan meraba funikulus
spermatikus di atas tuberkulum pubis. Dua lapisan
peritoneum yang melekat satu sama lain akan terasa
seperti sutra. Tanda sutra yang di temukan, serta
anamnesis yang baik dapat membantu mendiagnosis
hernia ingunalis. Kadang-kadang, kandung kemih yang
penuh akan mengoklusi cincin inguinal eksterna
sehingga henia tidak dapat ditunjukkan. Pengosongan
kandung kencing mungkin membantu pada keadaan ini
(Sjamsuhidajat, 2010).
Sejumlah keadaan disertai dengan kenaikan
risiko terjadinya hernia inguinalis lateralis.
Meningkatnya insiden hernia inguinalis lateralis terlihat
pada keluarga dengan riwayat keluarga positif hernia
inguinalis lateralis, kistik fibrosis, dislokasi pinggul
kongenital, testis tidak turun, kelamin tidak jelas
(Sjamsuhidajat, 2010).
Bayi wanita dengan hernia inguinalis
lateralis seharusnya dicurigai menderita feminisasi
testikuler, karena lebih dari 50% penderita
dengan feminisasi testikuler akan menderita hernia
inguinalis. Sebaliknya, insiden feminisasi testikuler
pada wanita sulit ditentukan tetapi ada sekitar 1%.
Diagnosis feminisasi testikuler dapat di buat pada saat
operasi dengan mengenali kelainan gonad dalam
kantung hernia atau dengan melakukan pemeriksaan
rektum, dengan meraba uterus. Pada bayi wanita
normal, uterus dengan mudah diraba sebagai struktur
linea mediana yang terpisah di bawa simfisis pubis
pada pemeriksaan rektum (Sjamsuhidajat, 2010).

E. Tatalaksana

Terapi pililihan untuk hernia inguinalis


lateralis adalah operasi, karena hernia inguinalis
lateralis tidak bisa sembuh secara spontan. Operasi
ini harus segera dilakukan secera elektif setelah
diagnosis di tentukan, karena akan beresiko tinggi
terjadinya inkarserata di kemudian hari setelah
terutama selama tahun pertama kehidupan. Perbaikan
elektif hernia inguinalis lateralis dapat dilakukan pada
penderita rawat jalan (Sjamsuhidajat, 2010).
Ada kontroversi tentang kapan dilakukan
eksplorasi pangkal paha kontralateral pada bayi dan
anak dengan hernia inguinalis lateralis unilateral.
Insiden prosesus vaginalis yang terbuka sekitar 60%
pada bayi 2 bulan dan sekitar 40% pada umur 2 tahun.
Prosesus vaginalis yang terbuka di temukan pada 30%
populasi umum. Setelah perbaikan hernia unilateral
pada anak, hernia kontralateral menjadi 30% kasus.
Jika perbaikan unilateral pada sisi kiri, peluang
terjadinya hernia sisi kanan 40%, kemungkinan karena
penurunan testis pada sisi kanan lebih lambat. Resiko
terjadinya inkarserata lebih tinggi pada anak umur 1
tahun tahun, biasanya terjadi pada umur 6 bulan
(Sjamsuhidajat, 2010).
Berdasarkan data ini, kebanyakan ahli bedah
anak menganjurkan eksplorasi inguinal bilateral pada
semua anak laki-laki kurang dari 1 tahun, anak wanita
dengan umur kurang dari 2 tahun. Anak laki-laki dan
wanita yang datang dengan hernia inguinalis sisi kiri
beresiko terjadi hernia kontralateral dan harus
dilakukan eksplorasi sisi kanan (Sjamsuhidajat, 2010).
Manual reduction hernia inguinalis lateralis
yang terinkarserasi dapat dilakukan setelah bayi
tenang, bayi dalam posisi trendelenburg, dengan
menggunakan kantong es diletakkan pada posisi yang
terserang. Ini di kontraindikasikan pada inkarserasi
yang lebih dari 12 jam atau adanya buang air besar
bercanpur darah (stool) (Sjamsuhidajat, 2010).
Pembedahan efektif untuk hernia inguinalis
lateralis di anjurkan pada saat kondisi anak dalam
keadaan baik, dan koreksi pada sisi asimptomatis
sering dilakukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun,
terutama pada perempuan (Sjamsuhidajat, 2010).
Pada herniotomi dilakukan pembebasan
kantong hernia sampai ke lehernya, kantong dibuka
dan isi hernia dibebaskan kalau ada perlekatan
kemudian direposisi. Kantong diajahit-ikat setinggi
mungkin lalu dipotong (Sjamsuhidajat, 2010).
Pada herniaplastik dilakukan tindakan
memperkecil anulus inguinalis internus dan
memperkuat dinding belakang kanalis inguinalis
(Sjamsuhidajat, 2010).
Strangulasi di tangani dengan nasogastric
suction, rehisdrasi, perbaikan defisiensi elektrolit, dan
operasi dapat di lakukan setelah kondisi pasien stabil.

F. Komplikasi

Komplikasi hernia inguinalis lateralis


bergantung pada keadaan yang dialami oleh isi hernia.
Isi hernia dapat tertahan dalam kantong hernia
inguinalis lateralis, pada hernia ireponibel: ini dapat
terjadi kalau isi hernia terlalu besar, misalnya terdiri
atas omentum, organ ekstraperitoneal atau merupakan
hernia akreta. Di sini tidak timbul gejala klinis kecuali
benjolan. Dapat pula terjadi isi hernia tercekik oleh
cincin hernia sehingga terjadi hernia strangulata/
inkarserasi yang menimbulkan gejala obstruksi usus
yang sederhana. Bila cincin hernia sempit, kurang
elastis, atau lebih kaku seperti pada hernia hernia
femoralis dan hernia obturatoria, lebih sering terjadi
jepitan parsial (Sjamsuhidajat, 2010).
Jepitan cincin hernia inguinalis lateralis akan
menyebabkan gangguan perfusi jaringan isi hernia.
Pada permulaan terjadi bendungan vena sehingga
terjadi udem organ atau struktur di dalam hernia dan
transudasi ke dalam kantong hernia. Timbulnya
udem menyebabkan jepitan pada cincin hernia
makin bertambah sehingga akhirnya peredaran darah
jaringan terganggu. Isi hernia menjadi nekrosis dan
kantong hernia akan berisi transudant berupa cairan
serosanguinus. Kalau isi hernia terdiri usus, dapat
terjadi perforasi yang akhirnya dapat menimbulkan
abses lokal, fistel, atau peritonitis jika terjadi hubungan
dengan rongga perut. (Wim de Jong, 2004). Akibat
penyumbatan usus terjadi aliran balik berupa muntah-
muntah sampai dehidrasi dan shock dengan berbagai
macam akibat lain (Sjamsuhidajat, 2010)
Hernia inkarserata inai dapat terjadi apabila isi
kantong hernia tidak dapat kembali lagi ke rongga
abdomen. Organ yang terinkarserasi biasanya usus,
yang ditandai dengan gejala obstruksi usus, yang
disertai muntah, perut kembung, konstipasi, dan
terlihat adanya batas udara-air pada saat foto polos
abdomen. Setiap anak dengan gejala obstruksi usus
yang tidak jelas sebabnya harus dicurigai hernia
inkarseta. Pada anak wanita organ yang sering
terinkarserasi adalah ovarium. Apabila aliran darah ke
dalam organ berkurang, terjadilah hernia strangulasi,
yang menjadi indikasi pasti untuk operasi
(Sjamsuhidajat, 2010).

G. Prognosis

Prognosis hernia inguinalis lateralis pada bayi


dan anak sangat baik. Insiden terjadinya komplikasi
pada anak hanya sekitar 2%. Insiden infeksi pascah
bedah mendekati 1%, dan recurent kurang dari 1%.
Meningkatnya insiden recurrent ditemukan bila ada
riwayat inkarserata atau strangulasi (Sjamsuhidajat,
2010).

Daftar Pustaka

Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de


Jong. Ed. Jakarta: EGC

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima. Jakarta: Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai