Anda di halaman 1dari 35

PROPOSAL SKRIPSI

PENGARUH GEOMETRIK JALAN RAYA TERHADAP KECELAKAAN


LALULINTAS

(Studi Kasus Ruas Jalan Meulaboh - Tapaktuan, Babahrot, Aceh Barat


Daya)

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Teknik Sipil Pada Fakultas Teknik

Universitas Malikussaleh

Disusun oleh,

MIRA ANJANI

170110055

JURUSAN TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS MALIKUSSALEH

2021
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Jalan raya merupakan akses utama yang menghubungkan antara wilayah
satu dengan wilayah lainnya. Berdasarkan UU Nomor 38 Tahun 2004, jalan
merupakan prasarana yang ditujukan untuk transportasi darat, termasuk bagian
jalan, berbagai bangunan serta pelengkapan untuk lalulintas, yang berada di atas
permukaan tanah serta di bawah permukaan tanah, terkecuali untuk jalan kereta
api, jalan lori serta jalan kabel.
Jalan luar kota merupakan salah satu dari sistem jaringan jalan yang
didesain menggunakan kecepatan rencana yang tinggi dan memiliki perencanaan
geometrik yang baik sehingga pengguna jalan dapat sampai ke daerah tujuan
dengan cepat dan nyaman. Kondisi jalan luar kota yang baik dapat meningkatkan
pertumbuhan suatu wilayah karena di pengaruhi oleh aksebilitas transportasi yang
tinggi.
Salah satu jalan yang memiliki ciri-ciri seperti yang di atas adalah ruas
jalan Meulaboh – Tapaktuan, Babahrot, Aceh Barat Daya yang merupakan salah
satu jalur penghubung kota Nagan Raya dengan Aceh Barat Daya dan merupakan
jalan aksebilitas yang tinggi dengan kondisi rawan terjadi kecelakaan. Kondisi ini
dibuktikan dengan banyaknya terjadi kecelakaan di setiap tahunnya. Berdasarkan
pengamatan tentang besarnya jumlah kecelakaan yang ada di Indonesia
keselamatan jalan harus dipandang secara luas dari semua aspek perencanaan,
pekerjaan pembuatan suatu jalan.
Kecelakaan lalulintas dijalan raya pada dekade 10 tahun terakhir sangat
memprihatinkan. Hampir setiap bulan di ruas jalan Meulaboh – Tapaktuan,
Babahrot, Aceh Barat Daya terjadi kecelakaan, mulai dari korban yang luka
ringan hingga kehilangan nyawa.
Jumlah kecelakaan lalulintas dijalan raya yang berakibat fatal di Indonesia
berkisar 1.239 insiden dengan korban meninggal 261 orang dalam satu minggu
yaitu sejak tanggal 1 maret 2021 hingga 7 maret 2021 yang dikutip dari halaman

1
2

INDOZONE.ID, disimpulkan bahwa dari jumlah di atas menunjukkan bahwa


sekurang-kurangnya 37 jiwa melayang setiap harinya dijalan raya.
Berdasarkan alasan tersebut maka perlu adanya suatu studi penelitian
sebagai upaya pemecah masalah mengenai kecelakaan dan untuk mengetahui
lebih jauh hubungan geometrik dan kecelakaan beserta karakteristiknya yang
terjadi di Indonesia khususnya untuk kasus dijalan Meulaboh – Tapaktuan,
Babahrot, Aceh Barat Daya.

1. 2 Lokasi Penelitian
Gambar denah lokasi survey juga dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu jalan Meulaboh – Tapaktuan,
Babahrot, Aceh Barat Daya, tepatnya didesa Pantee Cermin, Kec.Babahrot,
Kab.Aceh Barat Daya.

Sumber : Google Maps,2021

1. 3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada maka dapat dikemukakan beberapa
permasalahan yang ada yaitu :
1. Bagaimana mengetahui daerah rawan kecelakaan (Black spot) diruas jalan
Meulaboh – Tapaktuan, Babahrot, Aceh Barat Daya ?
2. Bagaimana hubungan antara kondisi geometrik jalan terhadap tingkat
kecelakaan di ruas jalan Meulaboh – Tapaktuan, Babahrot, Aceh Barat
Daya ?
3

1. 4 Tujuan Penelitian
Dari penelitian ini penulis ingin mendapatkan beberapa tujuan yaitu
diantaranya :
1. Untuk mengetahui daerah rawan kecelakaan (Block Spot) di ruas jalan
Meulaboh – Tapaktuan, Babahrot, Aceh Barat Daya;
2. Untuk mengetahui adakah hubungan antara kondisi geometrik jalan
dengan terjadinya kecelakaan dilihat dari sei analisis jari-jari tikungan dan
hubungan antara nilai jari-jari tikungan, derajat kelingkungan dan jarak
pandang.

1. 5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah ilmu
pengetahuan, khususnya tentang pengaruh signifikan besarnya tingkat kecelakaan
dari segi geometrik.

1. 6 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian


Ruang lingkup permasalahan pada penelitian ini perlu diberi batasan
dikarenakan adanya keterbasan waktu, tenaga serta biaya, adapun pembatasan
penelitian pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ruas jalan yang di teliti adalah jalan Meulaboh – Tapaktuan, Babahrot,


Aceh Barat Daya;
2. Masalah kecelakaan menjadi kajian studi yaitu kecelakaan yang terjadi di
ruas jalan Meulaboh – Tapaktuan, Babahrot, Aceh Barat Daya;
3. Penelitian ini hanya sebatas pada faktor geometrik yaitu jari-jari tikungan,
derajat kelengkungan, jarak pandang, dan daerah kebebasan samping. serta
volume lalulintas dan kapasitas jalan.
4. Metode perhitungan menggunakan Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Raya (TPGJAK) 1997 dan RDE – 10 Perencanaan Geometrik Jalan
2005.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Defenisi Jalan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 Jalan merupakan


prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukan bagi lalulintas,yang berada
pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, dibawah permukaan tanah
dan/atau air,serta di atas permukaan air, kecuali kreta api, jalan lori, dan jalan
kabel.

Jalan antar kota merupakan jalan yang menghubungkan simpul jasa


distribusi dengan ciri-ciri tanpa perkembangan yang terus menerus pada sisi
manapun ttermasuk desa,rawa,hutan,meskipun mungkin terdapat perkembangan
permanen, misalnya rumah makan, pabrik atau perkampungan (TPGJAK,1997).

2. 2 Angka Kecelakaan Lalulintas


Bedasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas
dan Angkutan jalan, pengertian kecelakaan lalulintas adaah suatu peristiwa dijalan
yang tidak diduga dan tidak sengaja melibatkan kendaran dengan atau tanpa
pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta
benda.
Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan
Angkutan jalan pada pasal 229, karakteristik kecelakan lalulintas dibagi menjadi
(tiga) golongan, diantaranya :
a. Kecelakan lalulintas ringan, yaitu kecelakaan yang mengkibatkan kerusakan
kendaraan dan/atau barang;
b. Kecelakaan lalulintas sedang, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka
ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang;
c. Kecelakaan lalulintas berat, yaitu kecelakaan yang mengakibatkan Korban
meninggal dunia atau luka berat.
5

Angka kecelakaan (accident rate) digunakan untuk membandingkan suatu


seri dari bagian jalan yang mempunyai aliran relatif seragam. Menurut Jf.
Soandrijanie L dan Ria Lilis A.P, (2008) dalam mainolo, (2017) angka kecelakaan
tersebut dihitung dengan menggunakan persamaan :
AR = (2.1)

Dengan :
AR = Angka kecelakaan total per kilometer setiap tahun.
A = Jumlah total dari kecelakaan yang terjadi setiap tahun.
L = Panjang dari bagian jalan yang dikontrol dalam kilometer.

Perhitungan tingkat kecelakaan untuk ruas jalan, menggukan rumus :


. .
TK = (2.2)

Dengan :
TK = Tingkat kecelakaan ,100 JPKP
A = Jumlah total kecelakaan
LHRT = Volume lalulintas harian rata-rata tahunan
T = Waktu periode pengamatan
L = Panjang ruas jalan (km)

2. 3 Daerah Rawan Kecelakaan


Daerah rawan kecelakaan (black spot) adalah daerah yang sering terjadi
kecelakaan dengan jumlah angka kecelakaan lalulintas yang tinggi,resiko dan
kecelakaan tinggi pada suatu ruas jalan (Bolla, M.E., et.al., Waepani, 1999).
Kecelakaan dapat di identifikasi pada lokasi-lokasi tertentu pada ruas jalan (black
spot), pada ruas jalan tertentu (black site) ataupun pada wilayah tertentu (black
area).untuk mengetahui tingkat kerawanan pada suatu lokasi (black spot) maka
dapat dilakukan perhitungan dengan cara mengklasifikasi kelas kecelakaan
dengan suatu angka tertentu yang di sebut Equivalent Accident Number (EAN).
6

Berdasarkan EAN dapat dibuat prioritas penanganan kecelakaan untuk


suatu lokasi tertentu (black spot) pada suatu ruas jalan tertentu. Identifikasi daerah
rawan kecelakaan berdasarkan EAN, (Soemitro,2005) menggunakan skala :
- Meninggal dunia (MD) = 12
- Luka Berat (LB) =6
- Luka Ringan (LR) =3

Sehinggga menggunakan persamaan sebagai berikut :

EAN = 12MD + 6LB + 3LR (2.3)

Suatu kawasan di sebut kawasan rawan kecelakaan (black spot) jika nilai
EAN lebih besar dibandingkan nilai EAN kristis, yang dapat di buktikan dengan
persamaan sebagai berikut :
,
EANC = EANr + − (0,5 − 𝑚) (2.4)


EANr =

Sumber : (TPGJAK,1997)

Dengan :
EANC = Nilai EAN kritis
EANr = Nilai EAN rata-rata
m = Jumlah kecelakaan perjumlah kendaraan
R = Jumlah segmen jalan.

2. 4 Faktor Penyebab Kecelakaan


Ada beberapa faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalulintas, sebagai
contoh antara manusia dengan kendaraan misalnya berkendara dengan kecepatan
tinggi tanpa menghiraukan rambu-rambu lalulintas kemudian menabrak mobil
sehingga kendaraan mengalami kecelakaan.
Menurut Elly (2006), Beberapa kendala yang harus diperhatikan guna
tercapainya transportasi yang diinginkan adalah tercampurnya penggunaan jalan
7

dan tata guna lahan disekitarnya (mixed use) sehingga menciptakan adanya
lallulintas campuran (mixed traffic). Dengan adanya faktor mixed use dan mixed
traffic tersebut mengakibatkan peningkatan jumlah kecelakaan lalulintas, dan
tentunya juga bertambahnya jumlah kemacetan. Desain geometrik yang tidak
memenuhi syarat (dijalan yang sudah ada) sangat berpotensi menimbulkan
kecelakaan,misalnya tikungan terlalu tajam, kondisi lapis perkerasan yang tidak
memenuhi syarat (permukaan perkerasan yang terlalu licin) sehingga
menimbulkan kecelakaan. Pelanggaran peraturan lalulintas (rambu, marka,
sinyal) maupun pelanggaran teknis/operasi yang dilakukan oleh pengemudi sangat
sering menyebabkan kecelakaan.
Menurut Warpani P.(2002 : 108-117) Ada beberapa faktor utama
penyebab terjadinya kecelakaan, dapat di kelompokan menjadi empat faktor yaitu
:
1. Faktor manuasia;
2. Faktor kendaraan;
3. Faktor jalan;
4. Faktor lingkungan.

2.4.1 Faktor manusia


Menurut Mudjiastuti (2005), faktor manusia dibagi menjadi dua golongan
yaitu pengemudi, termasuk pengemudi kendaraan yang tidak bermotor dan
pejalan kaki,termasuk didalamnya pedagang asongan dan pedagang kaki lima.
Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran rambu-rambu
lalulintas. Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam
kecelakaan, pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar, ketidaktahuan
terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan yang berlaku
dan tidak sedikit pura-pura tidak mengetahui aturan rambu-rambu lalulintas.
Karakteristik pemakaian jalan di atas, tidak dapat diabaikan dalam suatu
perencanaan geometrik, sehingga rancangan harus sangat memperhatikan hal ini
terutama pada saat merencanakan detailing dari suatu komponen dan road
furniture dari suatu ruas jalan.
8

2.4.2 Faktor kendaraan


Selain faktor manuasia kendaraan juga dapat menjadi faktor penyebab
kecelakaan apabila tidak dapat dikendalikan atau lebih tepatnya diperhatikan
sebagaimana mestinya yaitu sebagai akibat kondisi teknis yang tidak layak jalan
ataupun penggunaannya tidak sesuai ketentuan.
a. Rem blong, kerusakan mesin, ban pecah merupakan kondisi kendaraan yang
tidak layak digunakan untuk melakukan perjalanan. Kemudi tidak baik, as
atau kopel lepas, lampu mati khususnya pada malam hari, slip dan kondisi
kerusakan lain sebagainya.
b. Over load atau kelebihan muatan adalah merupakan penggunaan kendaraan
yang tidak sesuai ketentuan tertib muatan berkendara.

c. lampu kendaraan yang memiliki dua tujuan yaitu agar pengemudi dapat
melihat kondisi jalan didepannya dan untuk menunjukkkan kendaraan
kepada pengamat dari segala penjuru tanpa menyilaukan.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara otomotif telah melakukan


perubahan fisik rancangan kendaran, termasuk pula penambahan lampu
kendaraanyang meningkatkan kualitas penglihatan pengemudi.

2.4.3 Faktor jalan


Hubungan antara lebar jalan, kelengkungan dan jarak pandang semuanya
memberikan efek besar terjadinya kecelakaan. Umumnya jika memperlebar
alinyemen jalan yang tadinya sempit dan alinyemennya tidak baik akan dapat
mengurangi kecelakaan bila kecepatan tetap sama setelah perbaikan jalan. Akan
tetapi, kecepatan biasanya semakin besar karena adanya rasa aman, sehingga
jumlah kecelakaan pun meningkat. Dari pertimbangan keselamatan, sebaiknya
dilakukan penilaian kondisi kecepatan yang mungkin terjadi setelah setiap
jenis perbaikan jalan dan mengecek lebar jalur, jarak pandang dan permukaan
jalan semuanya memuaskan untuk menaikkankecepatan yang diperkirakan.
Pemilihan bahan untuk lapisan jalan yang sesuai dengan kebutuhan lalu
lintas dan menghindari kecelakaan juga sangat penting dibanding pemilihan
untuk tujuan – tujuan konstruksi. Tempat – tempat yang mempunyai permukaan
9

dengan bagian tepi yang rendah koefisien gayanya beberapa kali lipat akan
mudah mengalami kecelakaan selip dibanding lokasi – lokasi lain yang sejenis
yang mempunyai nilai – nilai yang tinggi. Hal ini penting bila pengereman atau
pembelokan sering terjadi, misalnya pada bundaran jalan melengkung dan
persimpangan pada saat mendekati tempat pemberhentian bus, penyeberang dan
pada jalan jalan miring, maka perlu diberi permukaan jalan yang cocok.

2.4.4 Faktor lingkungan

Faktor cuaca yang tidak menguntungkan juga harus dipertimbangkan serta


kondisi jalan yang dapat mempengaruhi kecelakaan lalu lintas, akan tetapi
pengaruhnya belum dapat ditentukan. Bagaimanapun pengemudi dan pejalan kaki
merupakan faktor terbesar dalam kecelakaan lalu lintas. Keadaan sekeliling jalan
yang harus diperhatikan adalah penyeberang jalan, baik manusia atau kadang-
kadang binatang. Lampu penerangan jalan perlu ditangani dengan seksama, baik
jarak penempatannya maupun kekuatan cahayanya.

Karena traffic engineer harus berusaha untuk merubah perilaku


pengemudi dan pejalan kaki, dengan peraturan dan pelaksanaan yang optimum,
sampai dapat mereduksi tindakan–tindakan berbahaya mereka. Para perancang
jalan bertanggung jawab untuk memasukkan sebanyak mungkin bentuk–bentuk
keselamatan dalam rancangannya agar dapat memperkecil jumlah kecelakaan,
sehubungan dengan kekurangan geometrik.

2. 5 Geometrik jalan Raya


Geometrik adalah membangun jalan di atas permukaan tanah baik secara
vertikal maupun horizontal dengan memperkirakan bahwa permukaan tanah
adalah tidak rata. Tujuannya adalah untuk menghasilkan bagian-bagian jalan
memenuhi persyaratan kenyamanan, keamanan serta opsiensi yang optimal.dalam
perancangan geometrik tidak termasuk perancangan tebal perkerasan jalan,
walaupun dimensi dari perkerasan adalah bagian dari perencanaan geometrik
sebagai bagian dari perencanaan jalan seutuhnya.
Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
10

(TPGJAK,1997) geometrik jalan raya terdiri :


1. Alinyemen Horizontal;
2. Alinyemen Vertikal;
3. Koordinasi Alinyemen.

2.5.1 Alinyemen horizontal


Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada bidang horizontal
atau disebut trace jalan (situasi jalan). Alinyemen horizontal terdidri dari garis-
garis lurus yang dihubungkan dengan garis lengkung (tikungan) yang
dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima oleh kendaraan
saat berjalan pada kecepatan rencana (Vr). Garis lengkung tersebut dapat terdiri
dari busur lingkaran ditambah busur peralihan,busur peralihan saja ataupun busur
lingkaran saja (Sukirman S.,1994).
Untuk mempertimbangkan keselamatan pengguna jalan, ditinjau dari segi
kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan yang lurus harus
ditempuh tidak lebih dari 2,5 menit sesuai VR (TPGJAK,1997).

Tabel 2. 1 Panjang Bagian Lurus Maksimum

Panjang Bagian Lurus Maksimum ( m )


Fungsi

Datar Bukit Gunung

Arteri
3.000 2.500 2.000
Kolektor
2.000 1.750 1.500

Sumber : TPGJAK No. 038/TBM/1997

Alinyemen Horizontal terdiri dari beberapa bagian yaitu :

a. Superelevasi

Superelevasi adalah kemiringan melintang di tikungan yang berfungsi


mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan pada saat melewati
tikungan pada kecepatan rencana (Vr). Selain superelevasi juga diperlukan gaya
11

gesek untuk mengimbangi gaya sentrifugal pada tikungan antara permukaan jalan
dengan ban kendaraan.
Besarnya nilai superelevasi dan koefisien gesek pada suatu kecepatan
rencana adalah :

𝑅= (2.6)
( )

Dengan :

e : Superelevasi (%).
fm : Gaya Gesek.
V : Kecepatan Rata-rata (km/jam).

R : Jari-jari Tikungan.
g : gravitasi

b. Derajat kelengkungan
Dalam mendesain alinyemen, ketajaman lengkungan biasanya dinyatakan
dengan istilah sudut kelengkungan (degree of curve), yaitu sudut pusat yang
dibentuk oleh lengkungan sepanjang 100 ft. Sudut kelengkungan berbanding
terbalik dengan jari-jari, dan hubungannya dinyatakan dengan rumus :
25
𝐷= µ
𝑋 360 (2.7)

,
𝐷= (2.8)

Dengan :

D = Derajat Lengkung (⁰)

R = Jari-jari Tikungan (m).


12

Tabel 2. 2 Hubungan Superelevasi (e), Gaya Gesek (f), Jari-jari Tikungan (R),
Derajat Lengkung (D) Pada suatu Kecepatan Rencana (Vr)

Derajat
Kecepatan Superelevasi Jari-jari
Lengkung
Rencana, Vr maksimum, e Gaya Gesek,F Tikungan
maks, D
(km/jam) (%) Min, R (m)
(⁰)
40 0,10 0,106 47 30,48
0,08 51 28,09

50 0,05 0,160 76 18,85


0,08 82 17,47

60 0,10 0,153 112 12,79


0,08 122 11,74

70 0,10 0,147 157 9,12


0,08 170 8,43

80 0,10 0,140 210 6,82


0,08 229 6,25

90 0,10 0,128 280 5,12


0,08 307 4,67

100 0,10 0,115 366 3,91


0,08 404 3,55

110 0,10 0,103 470 3,05


0,08 522 2,74

120 0,10 0,090 597 2,40


0,08 667 2,15
Sumber : Silvia Sukirman, 1997

c. Jari-jari Tikungan (R)


Jari-jari tikungan adalah harga-harga batas dari ketajaman suatu
tikunganuntuk suatu kecepatan rencana Vr.
13

Tabel 2. 3 Panjang Jari- Jari Minimum Tikungan.

VR(km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20


Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15

Sumber : RDE-10 Perencanaan Geometrik Jalan 2005

d. Lengkung peralihan
Lengkung Peralihan adalah lengkung yang buat berbaentuk bulat diantara
bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan dengan jari-jari, yang mempunyai
fungsi untuk mengantisipasi perubahan alinyemen jalan dari bentuk lurus sampai
bagian lengkung jalan dengan jari-jari R, sehingga gaya sentrifugal yang bekerja
pada kendaraan saat berjalan di tikungan dapat berubah secara berangsur- angsur,
baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun saat meninggalkan tikungan.

Tabel 2. 4 Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Pencapaian Superelevasi (Lc)

VR Superelevasi, e (%)
2 4 6 8 10
(km/jam) Ls Lc Ls Lc Ls Lc Ls Lc Ls Lc
20
30
40 10 20 15 25 15 25 25 30 35 40
50 15 25 20 30 20 30 30 40 40 50
60 15 30 20 35 25 40 35 50 50 60
70 20 35 25 40 30 45 40 55 60 70
80 30 55 40 60 45 70 65 90 90 120
90 30 60 40 70 50 80 70 100 10 130
100 35 65 45 80 55 90 80 110 0 145
110 40 75 50 85 60 100 90 120 11 -
120 40 80 55 90 70 110 95 135 0 -

Sumber : RDE-10 Perencanaan Geometrik Jalan 2005


14

Bentuk bagian lengkung dapat berupa :

a. Full Circle (FC)


b. Spiral-Circle-Spiral (SCS)
c. Spiral-Spiral (SS)

2.5.2 Alinyemen vertikal

Alinyemen Vertikal adalah perpotongan bidang vertikal dengan


permukaan perkerasan jalan melalui sumbu jalan atau proyeksi garis sumbu jalan
pada bidang vertikal yang melalui sumbu jalan. Alinyemen Vertikal seringkali
disebut juga sebagai penampang memanjang jalan, terdiri atas bagian landai
vertikal dan bagian lengkung vertikal.

a. Landai vertikal
Landai vertikal harus mempunyai kelandaian maksimum yang bertujuan
agar kendaraan dapat terus bergerak tanpa kehilangan kecepatan yang berarti.
Berikut adalah tabel kelandaian maksimum yang diijinkan (Bina Marga,1997).

Tabel 2. 5 Kelandaian Maksimum Yang Diijinkan

Vr (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 < 40


Kelandaian
maksimum (%) 3 3 4 5 8 9 10 10

Sumber : RDE-10 Perencanaan Geometrik Jalan 2005

Selain kelandaian maksimum, juga perlu dipertimbangkan panjang kritis.


Panjang Kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar
kendaraan dapat mempertahankan kecepatan agar penurunan kecepatan tidak
lebih dari setengah Vr yang lamanya ditetapkan maksimum satu menit.
Tabel 2. 6 Panjang Kritis (meter)

Kecepatan pada awal Kelandaian (%)


tanjakan(km/jam)
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
Sumber : RDE-10 Perencanaan Geometrik Jalan 2005
15

b. Lengkung vertikal
Pada setiap perubahan kelandaian harus disediakan lengkung vertikal,
lengkung vertikal hendaknya merupakan lengkung parabola sederhana. Lengkung
vertikal bertujuan untuk ;
- Meminimalisir goncangan akibat perubahan kelandaian.
- Menyediakan jarak pandang henti untuk Penentuan lengkung Vertikal ;
- Jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal
cembung,maka panjangnya akan ditetapkan dengan menggunakan rumus
sebbagai berikut :
𝟐
𝐿= (2.8)
- Jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal
cekung,maka panjangnya akan ditetapkan dengan menggunakan rumus
sebbagai berikut :
−405
𝐿= (2.9)

- Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus sebagai


berikut :

- L = A.Y
𝟐
𝐿= (2.10)

Dengan :

L = Panjang lengkung vertikal (m).A = Perbedaan Aljabar landai (%).


Y = Faktor Penampilan Kenyamanan, berdasarkan tinggi obyek 10 cm, dan
tinggimata 120 cm.
Jh = Jarak pandang henti (m).

Nilai Y dipengaruhi oleh jarak pandang dimalam hari, kenyamanan dan


penampilan.
16

Tabel 2. 7 Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan (Y)

Kecepatan Rencana (km/jam) Faktor Penampilan Kenyamanan (Y)


40 1,5

40 – 60 3

> 60 8

Sumber : RDE-10 Perencanaan Geometrik Jalan 2005

Berdasarkan kenyamanan dan jarak pandang, panjang lengkung vertikal


minimum dapat ditentukan langsung sesuai dengan table dibawah ini :

Tabel 2. 8 Panjang Minimum Lengkung Vertikal

KecepatanRencana(km/jam) Perbedaan Kelandaian


Panjang Lengkung (m)
Memanjang (%)
< 40 1 20 - 30
40 - 60 0,6 40 - 80
> 60 0,4 80 - 150

Sumber : RDE-10 Perencanaan Geometrik Jalan 2005

Selain landai vertikal dan lengkung vertikal, untuk menampung truk-truk


yang bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari pada
kendaraan lain umumnya, dan agar kendaraan lain dapat mendahului kendaraan
lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan lajur arus
berlawanan, maka perlu disediakan lajur pendakian., menerus dan volume lalu
lintasnya relatif padat. Lebar jalur pendakian sama Lajur pendakian harus
disediakan pada arus jalan yang mempunyai kelandaian besar dengan lebar lajur
rencana dengan jarak minimum antara dua lajur pendakian yaitu 1,5 km.
Penempatan lajur pendakian dengan ketentuan :
- Disediakan untuk ruas jalan arteri atau kolektor
- Apabila panjang kritis lebih besar maka jalan memiliki VLHR > 15.000
smp/hari danpresentase truk > 15%.
17

2.5.3 Koordinasi alinyemen


Agar menghasilakan bentuk jalan yang baik dalam arti memudahkan
pengemudi dalam mengemudikan kendaraannya dengan aman dan nyaman,
bentuk kesatuan dari alinyemen vertikal, alinyemen horizontal dan potongan
melintang jalan diharapkan dapat memberikan kesan atau petunjuk kepada
pengemudi tentang bentuk jalan yang akan dilalui di depannya agar pengemudi
dapat melakukan antisipasi lebih awal.
Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK)
1997 koordinasi alinemen vertikal dan horizontal harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :

a. Alinyemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinemen vertikal dan


secara ideal alinemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi
alinemen vertikal.
b. Tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau
pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan.
c. Lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan.
d. Dua atau lebih Lengkung Vertikal dalam suatu lengkung horizontal harus
dihindarkan. Tikungan yang tajam diantara dua bagian jalan yang lurus
dan panjang harus dihindarkan.

2. 6 Jara Pandang
Jarak pandang adalah jarak yang sangat diperlukan serta yang harus
diperhatikan oleh seorang pengemudi pada saat mengemudikan kendarannya,
sehinnga jika pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan,
pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya tersebut dengan
aman.
Manfaat jarak pandang (Sukirman, 1997:50-51) adalah sebagai berikut ;
a. Menghindari terjadinya tabrakan yang dapat membahayakan pengemudi
dan kendaraan akibat adanya benda yang berukuran cukup besar,
kendaraan yang sedang berhenti, pejalan kaki ataupun hewan pada lajur
18

jalan raya.
b. Memberi kemungkinan (kode) untuk mendahului kendaraan lain yang
bergerak dengan kecepatan lebih rendah dengan menggunakan lajur
disebelahnya.
c. Menambah efisiensi jalan tersebut, sehingga volune pelayanan dapat
dicapai semaksimal mungkin.

2.6.1 Jarak pandangan pada lengkung horizontal


Pada saat mengendarai atau mengemudi pada kecepatan tertentu,
ketersediaan jarak pandang yang baik sangat dibutuhkan apalagi sewaktu
kendaraan menikung atau berbelok. Keadaan ini seringkali terganggu oleh
gedung-gedung (perumahan penduduk), pepohonan maupun perkebunan, tebing
galian dan lain sebagainya. Untuk menjaga keamanan pemakai jalan, panjang dari
sepanjang jarak henti minimum harus terpenuhi sepanjang lengkung horizontal.
Dengan demikian terdapat batas minimum jarak antara sumbu lajur dalam
denganpenghalang (E).
Bila jarak kebebasan pandang sama atau kecil dari lengkung horizontal
(Jh < Lt), maka menggunakan Persamaan sebagai berikut :

𝐸 = 𝑅 {1 − 𝐶𝑂𝑆 } (2.11)

Dengan :

E = Jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (meter).

Ǿ = Setengah sudut pusat lengkung sepanjang Lt.


Jh = Jarak pandang (meter).
Lt = Panjang busur lingkaran.
R = Jari-jari tikungan.

Bila jarak kebebasan pandang lebih besar dari lengkung horizontal (Jh
> Lt),maka menggunakan Persamaan sebagai berikut :

𝐸 = 𝑅 1 − 𝐶𝑂𝑆 . (𝐽 − 𝐿 )𝑠𝑖𝑛 (2.12)


19

Dengan :

E = Jarak dari penghalang ke sumbu lajur sebelah dalam (meter).

Jh = Jarak pandang (meter).


Lt = Panjang busur lingkaran.
R = Jari-jari tikungan.

Jika nilai Jh lebih kecil dari nilai Lt maka nilai ketetapan E dalam
satuan meter menurut Tatacara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
(TPGJAK,1997) dapat dilihat pada Tabel sebagai berikut ini.

Tabel 2. 9 Berisi nilai E dalam satuan meter yang dihitung dengan Persamaan di
atas dengan pembulatan-pembulatan untuk Jh < Lt.

R(m) VR =20 30 40 50 60 80 100 120

Jh= 16 27 40 55 75 120 175 250


5000 1,6
3000 2,6
2000 1,9 3,9
1500 2,6 5,2
1200 1,5 3,2 6,5
1000 1,8 3,8 7,8
800 2,2 4,8 9,7
600 3,0 6,4 13,0
500 3,6 7,6 15,5
400 1,8 4,5 9,5 Rmin=500
300 2,3 6,0 Rmin=350
250 1,5 2,8 7,2
200 1,9 3,5 Rmin=210
175 2,2 4,0

150 2,5 4,7


130 1,5 2,9 5,4
120 1,7 3,1 5,8
110 1,8 3,4 Rmin=115
100 2,0 3,8
90 2,2 4,2
80 2,5 4,7
70 1,5 2,8 Rmin=80
60 1,8 3,3
50 2,3 3,9
40 3,0 Rmin=50
30 Rmin=30
20 1,6
15 2,1
Rmin=15

Sumber : TPGJAK,1997
20

Kemudian jika nilai Jh melebihi dari nilai Lt maka nilai ketetapan E dalam
satuan meter menurut Tatacara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
(TPGJAK, 1997) dapat dilihat pada Tabel 2.10.

Tabel 2. 10 Berisi nilai E dalam satuan meter yang dihitung dengan Persamaan di
atas dengan pembulatan-pembulatan untuk Jh > Lt.

VR =20 30 40 50 60 80 100 120


R(m) Jh= 16 27 40 55 75 120 175 250
6000 1,6
5000 1,9
3000 1,6 3,1
2000 2,5 4,7
1500 1,5 3,3 6,2
1200 2,1 4,1 7,8
1000 2,5 4,9 9,4
800 1,5 3,2 6,1 11,7
600 2,0 4,2 8,2 15,6
500 2,3 5,1 9,8 18,6
400 1,8 2,9 6,4 12,2 Rmin=500
300 1,5 2,4 3,9 8,5 Rmin=350
250 1,8 2,9 4,7 10,1
200 2,2 3,6 5,8 Rmin=210
175 1,5 2,6 4,1 6,7
150 1,7 3,0 4,8 7,8
130 2,0 3,5 5,5 8,9
120 2,2 3,7 6,0 9,7
110 2,4 4,1 6,5 Rmin=115
100 2,6 4,5 7,2
90 1,5 2,9 5,0 7,9
80 1,6 3,2 5,6 8,9
70 1,9 3,7 6,4 Rmin=80
60 2,2 4,3 7,4
50 2,6 5,1 8,8
40 3,3 6,4 Rmin=50
30 4,4 8,4
20 6,4 Rmin=30
15 8,4
Rmin=15

Sumber : TPGJAK,1997

Kemudian jika nilai Jh dan nilai Lt = 50 m maka nilai ketetapan E


dalam satuan meter menurut Tatacara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
21

(TPGJAK, 1997) dapat dilihat pada table berikut ini.

Tabel 2. 11 Berisi nilai E dalam satuan meter yang dihitung dengan Persamaan di
atas dengan pembulatan-pembulatan untuk Jh - Lt = 50 m.

VR =20 30 40 50 60 80 100 120


R(m)
Jh= 16 27 40 55 75 120 175 250
6000 1,8
5000 2,2
3000 2,0 3,6
2000 1,6 3,0 5,5
1500 2,2 4,0 7,3
1200 2,7 5,0 9,1
1000 1,6 3,3 6,0 10,9
800 2,1 4,1 7,5 13,6
600 1,8 2,7 5,5 10,0 18,1
500 2,1 3,3 6,6 12,0 21,7
400 1,7 2,7 4,1 8,2 15,0 Rmin=500
300 2,3 3,5 5,5 10,9 Rmin=350
250 1,7 2,8 4,3 6,5 13,1
200 2,1 3,5 5,3 8,2 Rmin=210
175 2,4 4,0 6,1 9,3
150 1,5 2,9 4,7 7,1 10,8
130 1,8 3,3 5,4 8,1 12,5
120 1,9 3,6 5,8 8,8 13,5
110 2,1 3,9 6,3 9,6 Rmin=115
100 2,3 4,3 7,0 10,5
90 2,6 4,7 7,7 11,7
80 2,9 5,3 8,7 13,1
70 3,3 6,1 9,9 Rmin=80
60 3,9 7,1 11,5
50 4,6 8,5 13,7
40 5,8 10,5 Rmin=50
30 7,6 13,9
20 11,3 Rmin=30
15 14,8
Rmin=15
Sumber : TPGJAK,1997

Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK,


1997)jarak pandang dikelompokan menjadi dua, yaitu:
22

a) Jarak Pandang Henti (Jh).


Jarak pandang henti adalah jarak yang diperlukan oleh setiap mengemudi
dengan minimum untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu
melihat adanya halangan didepannya. Oleh karena itu, setiap titik disepanjang jalan
harus memenuhi jarak pandang henti (Jh).
Jarak pandang henti terdiri dari dua macam jarak yaitu:

1. Jarak Tanggap (Jht).


Jarak tanggap adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti,
sampai saat pengemudi menginjak rem. jarak ini dikenal juga sebagai jarak
PIEV (Perception, Intelection, Emotion and Vilition).

2. Jarak Pengereman (Jhr).


Jarak pengereman adalah jarak yang dibutuhkan oleh pengemudi
untuk menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti.

Jh = 0,694 Vr + 0,004 ±
(2.13)

Dengan :

Vr = Kecepatan rencana (km/jam).


f = Koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal
ditetapkan 0,45

i = Besarnya landai jalan (desimal).


+ = Untuk pendakian.
- = Untuk penurunan.

b. Jarak pandang mendahului (Jd)


Jarak pandang mendahului merupakan jarak yang memungkinkan
kendaraan mendahului kendaraan lain di depannya dengan aman sampai
kendaraan tersebut kembali ke lajur semula. Daerah mendahului ini harus disebar
23

disepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum 30% dari panjang total ruas
jalan tersebut.

2.6.2 Jarak pandang pada lengkung vertikal


Jarak pandang pada lengkung vertikal dibedakan menjadi dua yaitu jarak
pandang pada lengkung vertikal cembung dan lengkung vertikal cekung.
a. Jarak pandang pada lengkung vertikal cembung.

- Jarak pandang berada seluruhnya dalam daerah lengkung vertikal


cembung (S < Lcm).
Rumus jarak pandangan menurut jarak pandangan henti adalah :

Lcm = (2.14)

Sumber : (Sukirman,1997)

Rumus jarak pandangan menurut jarak pandangan henti adalah :

Lcm = (2.15)

Dengan : Sumber : (Sukirman,1997)

Lcm = Panjang lengkung vertikal cembung


(m)
Jh = Jarak pandangan henti (m)
Jd = Jarak pandangan mendahului
(m)
A = Perbedaan aljabar landai (%).

- Jarak pandangan lebih panjang dari panjang lengkung (S > Lcm).


Rumus jarak pandangan lebih panjang dari panjang lengkung (S
> Lcm) menurut jarak pandangan henti adalah :
309
Lcm = 2 Jh - A

(2.16)
Sumber : (Sukirman,1997)
24

Rumus jarak pandangan lebih panjang dari panjang lengkung (S


> Lcm) menurut jarak pandang mendahului adalah :
Lcm = 2 Jd - (2.17)

Sumber : (Sukirman,1997)

Dengan :
Lcm = Panjang lengkung vertikal cembung (m)

Jh = Jarak pandangan henti (m)

Jd = Jarak pandangan mendahului (m)

A = Perbedaan aljabar landai (%)

b. Jarak pandang pada lengkung vertikal cekung (m)

Batas jarak pandangan pada lengkung vertikal cekung ditentukan dari


jangkauan lampu kendaraan pada malam hari. Penyinaran lampu depankendaraan
dapat dikelompokan dua keadaan yaitu :

- Jarak pandangan akibat penyinaraan lampu depan berada dalam daerah


lengkung vertikal (S<Lck).
Rumus jarak pandang pada lengkung vertikal cekung dengan S <
Lck akibat penyinaraan lampu depan adalah :

Lck = ,
(2.18)

Sumber : (Sukirman, 1997)

Dengan :

Lck = Panjang lengkung vertikal cekung (m)


S = Jarak pandangan (m)
A = Perbedaan aljabar (%)

- Jarak pandangan akibat penyinaran lampu depan berada diluar daerah


lengkung vertikal (S>Lck).
25

Rumus jarak pandang pada lengkung vertikal cekung dengan


S>Lck akibat penyinaran lampu depan adalah :
,
Lck = 2 S - (2.19)

Sumber : (Sukirman, 1997)

Dengan :

Lck = Panjang lengkung vertikal cekung (m)


S = Jarak pandangan (m)
A = Perbedaan aljabar (%)

Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK,


1997) Pada jarak pandang vertical juga dibedakan menjadi tiga, yaitu jarak
pandang henti (Jh), jarak pandang mendahului (Jd), dan jarak pandang pada
malam hari.

a. Jarak pandang henti (Jh).


Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap
pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat
adanya halangan didepannya. Oleh Karena itu, setiap titik disepanjang jalan harus
memenuhi jarak pandang henti (Jh).Jarak pandang henti terdiri dari dua elemen
jarak yaitu :

1. Jarak Pengereman (Jhr).


Jarak pengereman adalah jarak yang dibutuhkan oleh
pengemudi untuk menghentikan kendaraannya sejak pengemudi
menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
Jarak pandang henti (dalam satuan meter), dapat di hitung
dengan persamaan sebagai berikut :

Jh = 0,278 V T +

(2.20)

Dengan :
26

V = Kecepatanrata- rata (km/jam)

T = Waktu reaksi, ditetapkan 2,5 detik

f = Koefisien gesekkan antar ban dan muka jalan aspal

Jh = Jarak Pandang Henti (m)

Tabel 2. 12 Jarak Pandang Henti Minimum

Kecepatan Kecepatan Jalan Koefisien Gesek Jarak Pandang


Rencana (Km/Jam) (f) Henti Rencana (m)
(Km/Jam)
30 37 0,4 25-30
40 36 0,375 40-45
50 45 0,35 55-65
60 54 0,33 75-85
70 63 0,31 95-110
80 72 0,3 120-140
100 90 0,28 175-210
120 108 0,28 240-285
Sumber : Bina Marga, 1997

2. Jarak Tanggap(Jht).
Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan
sejak pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus
berhenti, sampai saat pengemudi menginjak rem. jarak ini dikenal juga
sebagai jarak PIE.

b. Jarak Pandang Mendahului (Jd).

Jarak pandang mendahului (Jd) adalah jarak yang memungkinkan suatu


kendaraan mendahului kendaraan lain didepannya dengan aman sampai
kendaraan tersebut kembali ke lajur semula. Daerah mendahului ini harus disebar
disepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum 30% dari panjang total ruas
jalan tersebut.
27

Tabel 2. 13 Jarak Pandang Menyiap Minimum (m)

Kecepatan rencana (km/jam) 80 60 50 40 30 20

Jarak Pandang Menyiap 350 250 200 150 100 70


Minimum (m)

Jarak Pandang Menyiap Standar 550 350 250 200 150 100
(m)

Jarak pandang mendahului Jd (dalam satuan meter) dapat ditentukan dengan :

Jd = d1 + d2 + d3 + d4 (2.21)

Dimana :

t1 = 2,12 + 0,026 . v

a = 2,052 + 0,0036 . v

t2 = 6,56 + 0,048 . v
.
d1 = 0,278 . t1 (v – m + )

d2 = 0,278 .v . t2

d3 = 30 m

d4 = d2

Sumber : (Departemen Pekerjaan Umum, 1997)

Dengan :
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu tanggap.

d2 = Jarak yang ditempuh selama mendahuluui sampai dengan kembali ke lajur


semula (m).
d3 = Jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang dari
28

arah berlawanan setelah proses mendahului selesai 30 - 100 m.


d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan,
yang besarnya diambil sama dengan 2/3.d2 (m).
t1 = Waktu reaksi

a = Percepatan kendaraan

t2 = Waktu kendaraan yang menyiap berada pada lajur kanan

v = Kecepatan kendaraan yang menyiap (km/jam).

m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan disiap


15(km/jam).

Tabel 2. 14 Panjang Jarak Mendahului (Jd) Minimum

Kecepatan Rencana
120 100 80 60 50 40 30 20
(km/jam)

Jd min 800 670 550 350 250 200 150 100

Sumber : Bina Marga, 1997

2. 7 Volume Lalulintas

Volume Lalu Lintas adalah jumlah kendaraan yang lalu lalang pada suatu
titik pada jalur pergerakan dalam suatu periode pengamatan. Volume lalu lintas
dapat dihitung dalam satuan kendaraan persatuan waktu.
Volume lalu lintas yang padat membutuhkan lebar perkerasan jalan yang
lebih lebar sehingga tercipta kenyamanan dan keamanan. Sebaliknya jalan yang
terlalu lebar untuk volume lalu lintas sepi cenderung membahayakan, karena
pengemudi cenderung mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan yang lebih
tinggi, padahal kondisi jalan belum tentu memungkinkan. Di samping itu akan
mengakibatkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang tidak ekonomis.
Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubungan dengan
penentuan jumlah dan lebar lajur yaitu Volume Lalu Lintas Harian Rencana
29

(VLHR) yang dinyatakan dalamsmp/hari.


Karena VLHR merupakan volume lalu lintas dalam satu hari, maka untuk
menghitung volume lalu lintas dalam satu jam perlu dikonversikan.

LHR = (2.22)

VJR = VLHR x K/F (2.23)


Dengan :

VJR = Volume Jam Rencana(smp/jam).


VLHR = Volume Lalu Lintas Harian Rata-rata (smp/hari).
K = Faktor Volume lalu lintas jam sibuk(11%).
F = Faktor variasi tingkat lalu lintas per seperampat jam dalam satu jam

Tabel 2. 15 Angka ekivalen kendaraan

Jenis Kendaraan SM
P
Kendaraan Ringan (LV) 1,00
Kendaraan Berat (HV) 1,30
Sepeda Motor (MC) 0,20
Kendaraan Tak Bermotor (UM) 0,50

Sumber : MKJI 1997

Tabel 2. 16 Ekivalen kendaraan penumpang (EMP) untuk jalan perkotaan tak terbagi
Emp
Arus lalu lintas total MC
Tipe jalan dua arah Lebar Jalur lalu-lintas Wc (m)
Jalan tak (kendaraan/jam) LV HV <6m >6m
terbagi
Dua lajur tak
terbagi 0 1.3 0.50 0.40
> 1800 1.2 0.35 0.25
(2/2 UD)
Empat lajurtak 1,0
0 1.3 0.40
terbagi
> 3700 1.2 0.25
(4/2 UD)

Sumber : MKJI 1997


30

Tabel 2. 17 Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas


Harian Rata-rata

VLHR FAKTOR K (%) FAKTOR F (%)


> 50.000 4-6 0.9 – 1
30.000 – 50.000 6-8 0,8 – 1
10.000 – 30.000 6-8 0,8 – 1
5000 – 10.000 8 – 10 0,6 – 0,8
1000 – 5000 10 – 12 0,6 – 0,8
< 1000 12 – 16 < 0,6

2.7.1 Kecepatan
Kecepatan adalah cepat lambatnya perubahan suatu posisi benda
(kendaraan), kecepatan menunjukkan besaran jarak yang ditempuh kendaraan
dibagi waktu tempuh. Biasanya dinyatakan dalam km/jam. Umumnya kecepatan
yang dipilih pengemudi lebih rendah dari kemampuan kecepatan kendaraan.
Kecepatan yang aman dapat diukur berdasarkan kemampuan untuk menyadari dan
mengatasi situasi yang dapat mengakibatkan kecelakaan.
a. Kecepaan rata-rata diperoleh membagi panjang segmen/fase yang dilalui
suatu jenis kendaraan dengan waktu yang dibutuhkan untuk melewati
segmen tersebut. Kecepatan rata-rata dari suatu kendaraan dapat dihitung
dengan rumus :

V= (2.23)

Dengan :

V = Kecepatan rata- rata kendaraan (m/dt atau dikonversikan menjadi


km/jam)
L = Panjang segmen
T = Waktu tempuh rata-rata (dt)
b. Kecepatan Rencana (Vr)
Kecepatan rencana (Vr) adalah kecepatan yang dipilih sebagai dasar
perencanaan geometrik suatu ruas jalan yang memungkinkan kendaraan -
kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman.
31

Tabel 2. 18 Kecepatan Rencana (Vr), Sesuai Klasifikasi Fungsi dan Medan Jalan

Kecepatan Rencana (Vr) (km/jam)


Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70-120 60-80 40-70
Kolektor 60-90 50-60 30-50
Lokal 40-70 30-50 20-30
Sunber : Bina Marga, 1997

2.7.2 Kapasitas jalan


Kapasitas jalan adalah arus maksimal yang dipertahankan persatuan jam
yang melewati suatu titik di jalan dalam kondisi yang ada (MKJI, 1997).
Kapasitas jalan dipengaruhi oleh kapasitas dasar, lebar jalan, pemisahan arah dan
hambatan samping. Penentuan kapasitas jalan pada jalan luar kota dapat
dihitungdengan rumus:
C = Co x FCw x FCsp x FCsf
(2.24)Sumber :(MKJI, 1997)

Dengan :

C = Kapasitas (smp/jam).
Co = Kapasitas Dasar
(smp/jam).
FCw = Faktor penyesuaian lebarjalan.
FCsp = Faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak
terbagi).
FCsf = Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan.

a. Faktor penyesuaian kapasitas akibat lebar jalur lalu lintas(Fcw).


Faktor penyesuaian akibat lebar jalur lalu lintas tergantung lebar efektif
jalur lalu lintas (Wc), faktor penyesuaian tersebut (Fcw) dapat dilihat dalam
Tabel 2.19 berikut ini :
32

Tabel 2. 19 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Lebar jalur Lalu Lintas (Fcw)
Lebar efektif Jalur Lalu
Tipe Jalan Lintas (Wc), (m) Fcw

Perlajur
3,00 0,91
3,25 0,96
Empat Lajur Terbagi
Enam Lajur Terbagi 3,50 1,00
3,75 1,03
Perlajur
3,00 0,91

Empat Lajur Tak 3,25 0,96


Terbagi 3,50 1,00
3,75 1,03

Total kedua arah


5 0,69
6 0,91
7 1,00
Dua Lajur Tak Terbagi 8 1,08
9 1,15
10 1,21
Sumber : MKJI,1997

b. Kapasitas Dasar(Co).
Kapasitas dasar dipengaruhi oleh tipe alinemen dasar jalan luar kota.

Tabel 2. 20 Kapasitas Dasar Jalan Luar Kota

Kapasitas Dasar Kapasitas Dasar


Kapasitas Dasar Total Kedua Arah Total Kedua Arah
Total Kedua Arah Empat lajur Dua lajur
Empat lajur Terbagi takTerbagi Tak Terbagi
Tipe Jalan (smp/jam/lajur)
(smp/jam/lajur)
(smp/jam/lajur)
Datar 1900 1700 3100
Bukit 1850 1650 3000
Gunung 1800 1600 2900

Sumber : MKJI, 1997


33

c. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping(FCsf).


Faktor penyesuaian akibat hambatan samping didasarkan pada lajur
efektifbahu Ws, dapat dilihat pada Tabel 2.18 berikut ini :

Tabel 2. 21 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Hambatan Samping (FCsf)

Faktor Penyesuaian Akibat Hambatan


Kelas Samping
Hambatan (FCsf)
Tipe Jalan
Lebar Bahu Efektif Ws (m)
Samping ≤ 0,5 1,0 1,5 ≥2
VL 0,99 1,00 1,01 1,03
L 0,96 0,97 0,99 1,01
M 0,93 0,95 0,96 0,99
H 0,90 0,92 0,95 0,97
4/2 D VH 0,88 0,90 0,93 0,96
VL 0,97 0,99 1,00 1,02
L 0,93 0,95 0,97 1,00
M 0,88 0,91 O,94 0,98
2/2UD H 0,84 0,87 0,91 0,95
VH 0,83 0,83 0,88 0,93
4/2UD
Sumber : MKJI, 1997

d. Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisahan Arah(FCsp)


Faktor penyesuaian ini hanya dilakukan pada jalan tak terbagi. Faktor
pemisahan arah untuk jalan dua lajur dua arah (2/2) dan empat lajur dua arah
(4/2) tak terbagidapat dilihat pada tabel 2.22 berikut ini :
Tabel 2. 22 Faktor Penyesuaian Kapasitas Akibat Pemisahan Arah (FCsp)

Pemisahan Arah
SP % - % 50 -50 55 – 45 60 – 40 65 – 35 70 – 30

Dua lajur 2/2 1,00 0,97 0,94 0,91 0,88


FCsp
Empat lajur 4/2 1,00 0,975 0,95 0,925 0,90
Sumber : MKJI, 1997

2.7.3 Tingkat pelayanan jalan


Tingkat pelayanan jalan adalah ukuran dari pengaruh yang membatasi
akibat peningkatan volume. Tolak ukur terbaik untuk melihat tingkat pelayanan
34

pada suatu kondisi lalu lintas arus terganggu adalah kecepatan perjalanan dan
perbandingan antara volume dan kapasitas, yang disebut V/C rasio (Oglesby dan
Hicks, 1998:279). Kondisi mekanisme yang dapat ditolerir untuk menunjukan
kualitas pelayanan yang baik adalah 0,85. Disarankan, agar dalam memenuhi
kapasitas ruas jalan rasio V/c yang dipandang baik adalah 0,5-0,6.

2. 8 Perlengkapan Jalan
Menurut pasal 8 Undang-Undang No. 14 tahun 1992 tentang lalu lintas
dan angkutan jalan, untuk keselamatan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas
sertakemudahan bagi pemakai jalan, jalan perlu dilengkapi dengan :
a. Rambu-rambu.
b. Marka jalan.
c. Alat pemberi isyarat lalu lintas.
d. Alat pengendali dan alat pengaman jalan.
e. Alat pengawasan dan pengamanan jalan.
f. Fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di
jalandan di luar jalan.

2. 9 Perhitungan Angka Kematian Berdasarkan Populasi


Perhitungan angka kematian berdasarkan populasi menggunakan data
kecelakaan lalu-lintas pertahun dan jumlah populasi daerah penelitian. Bahaya
lalu-lintas untuk kehidupan masyarakat dinyatakan sebagai jumlah kematian lalu-
lintas (traffic fatalities) per 100.000 populasi. Angka ini menggambarkan tingkat
kecelakaan untuk semua kawasan. Persamaan yang digunakan adalah :

.
R= (2.26)

Dengan :

R = Angka kematian per 100.000 populasi

B = Jumlah total kematian lalu-lintas dalam setahun

P = Populasi dari daerah

Anda mungkin juga menyukai