Anda di halaman 1dari 9

BAB I

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI

1.1 Epidemiologi Glaukoma


Glaukoma adalah suatu penyakit yang terjadi akibat adanya kerusakan pada saraf mata
dimana terdapat penyempitan lapangan pandang sehingga menyebabkan hilangnya fungsi pada
penglihatan. Adapun faktor utama yang dapat menyebabkan terjadinya galukoma yaitu
peningkatan tekanan pada bola mata. Secara global, 10 tahun terakhir ini kasus penderita
glaukoma meningkat seiring bertambahnya populasi penduduk. Penderita penyakit glaukoma
mencapai 60,5 juta jiwa pada tahun 2010. Pada tahun 2020, kasus penderita Glaukoma di Dunia
diperkirakan mencapai 76 juta jiwa dan di tahun 2040 diperkirakan penderita glaukoma
mencapai 111,8 juta (Tham et al., 2014). Pada kasus glaukoma di Amerika Serikat, orang yang
berkulit hitam yang menderita glaukoma primer sudut terbuka atau POAG prevalensinya lebih
tinggi dari orang yang berkulit putih. Sedangkan untuk kasus glaukoma primer sudut tertutup
banyak terjadi pada daerah Asia Timur (Tham et al., 2014).
Menurut Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2007, prevalensi penderita glaukoma sebesar
0,46%, tertinggi di Provinsi DKI Jakarta dengan presentase 1,85%, selanjutnya ada pada Provinsi
Aceh yaitu 1,28%, Kepulauan Riau 1,26%, Sulawesi tengah 1,21%, Sumatera Barat 1,14% dan
yang terendah yaitu di Provinsi Riau 0,04% (Kemenkes RI, 2019). Menurut Jakarta Urban Eye
Health Study pada tahun 2008, presentase penderita glaukoma primer sudut tertutup mencapai
1,89% dan glaukoma primier sudut terbuka mencapai 0,48%. Pasien yang memiliki riwayat
penyakit Glaukoma perlu pengobatan yang di monitoring terus menerus. Penderita yang
mengalami glaucoma gejalanya sering tidak disadari atau biasanya gejala dari penyakit glakoma
sama dengan gejala dari penyakit lainnya (Kemenkes RI, 2015).
1.2 Etiologi Glaukoma
Glaukoma merupakan suatu penyakit mata yang disebabkan karena terjadinya kerusakan
sarah optik yang diikuti oleh gangguan pada lapang data yang khas. Hal ini diakibatkan karena
tekanan bola mata yang tinggi yang disebabkan oleh hambatan dari pengeluaran cairan bola mata
atau humour aquous. Adapun penyebab lain dari kerusakan saraf optik yaitu, gangguan suplai
darah ke serat saraf optik dan terdapat masalah pada saraf optiknya sendiri (Kemenkes RI, 2015).
Salah satu Faktor resiko yang terjadinya pada glaukoma yaitu adanya progresifitas penyakit yang
dapat menimbulkan kebutaan. Selain itu faktor resiko lain yang dapat menyebabkan terjadinya
glaukoma seperti ras, jenis kelamin, usia,terdapat penyakit yang dapat mempengaruhi
penglihatan dan adanya riwayat penyakit glaukoma dari keluarga (Aniyani et al., 2016).

BAB II
GEJALA DAN TANDA

Adapun beberapa gejala yang terjadi pada penderita Glaukoma yaitu:


1. Glaukoma primer
Penyebab terjadinya glaukoma primer masih belum diketahui. Namun, terdapat 2 jenis
glaukoma primer yaitu glaukoma sudut tertutup dan galukoma sudut terbuka, yang disebut juga
sebagai glaukoma simpleks atau kronik (Ilyas S, 2003).
 Glaukoma primer sudut tertutup
Gejala awal dari glaukoma primer sudut tertutup atau glaukoma akut sudut tertutup yaitu,
penutupan yang tiba-tiba dan terjadinya peningkatan TIO (tekanan intra okuler) yang berjalan
cepat. Sehingga terjadi nyeri mata yang berat, mata merah, penglihatan yang kabur, bila tidak
segera ditangani akan terjadinya kebutaan disertai nyeri yang hebat (Khaw et al, 2004).
 Glaukoma primer sudut terbuka
Pasien yang menderita Glaukoma primer sudut terbuka atau galukoma kronik sudut terbuka
biasanya tidak menimbulkan gejala awal sampai terjadinya kerusakan penglihatan yang berat.
Sehingga glaukoma primer sudut terbuka dijuluki sebagai pencuri penglihatan (Khaw et al,
2004).
2. Glaukoma sekunder
Kasus glaukoma sekunder terjadinya karena adanya peradangan pada mata, perubahan
pembuluh darah dan trauma (Ilyas S, 2003).
3. Glaukoma Kongenital
Gejala yang terjadi pada penderita glaukoma kongential biasanya sudah terlihat pada bulan 1
atau sebelum berumur 1 tahun. Pada penderita Glaukoma kongenital kelainan yang dirasakan
terdapat pada kedua mata. Pada penderita bayi yang menderita glaukoma kongenital akan
merasakan silau dan sakit, bayi akan menghindari sinar sehingga selalu menyembunyikan kepala
dan matanya (Ilyas S, 2000).
BAB III
DATA LABORATORIUM

Glaukoma merupakan salah satu penyebab utama kebutaan permanen di dunia. Glaukoma
sering tidak didiagnosis sampai bertahun-tahun setelah timbulnya penyakit tersebut (Hohenstein-
Blaul et al., 2017). Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan untuk
memeriksa glaukoma, diantaranya pemeriksaan tekanan bola mata, evaluasi struktur mata,
pemeriksaan luas lapangan pandang, pemeriksaan sudut bilik mata, serta pemeriksaan ketebalan
kornea mata (Kemenkes RI, 2019).
1. Pemeriksaan Tekanan Bola Mata
Tekanan intraokular (TIO) adalah tekanan yang dihasilkan oleh isi bola mata terhadap dinding
bola mata (Rasyidah dan Setyandriana, 2011). TIO dapat diukur dengan menggunakan
tonometri. TIO yang tinggi adalah faktor risiko glaukoma yang paling umum. Tingkat tekanan
normal secara statistik kurang dari 21 mmHg (Hohenstein-Blaul et al., 2017).
2. Evaluasi Struktur Mata
Oftalmoskopi digunakan untuk menentukan adanya kerusakan saraf optik berdasarkan
penilaian bentuk saraf optic. Rasio cekungan diskus (C/D) digunakan untuk mencatat ukuran
diskus otipus pada penderita glaukoma. Indikator adanya glaukoma adalah rasio C/D yang
lebih besar dari 0,5 atau adanya asimetris yang bermakna antara kedua mata (Jafar, 2017).
3. Pemeriksaan Luas Lapangan Pandang
Lapang pandangan adalah luas ruang penglihatan dalam tiga dimensi pada satu mata mata
sebelahnya tertutup (Tasman, 1997). Pemeriksaan lapang pandang dilakukan dengan alat
perimeter. Penderita glaukoma mengalami kehilangan lapang pandang perifer (James dkk.,
2006).
4. Pemeriksaan Sudut Bilik Mata
Pemeriksaan diawali dengan pemberian tetes anastesi pada mata pasien, kemudian diperiksa
dengan menggunakan lensa kontak gonioskopi yang ditempelkan pada mata (Kemenkes RI,
2019). Lensa gonioskopi untuk melihat struktur anatomi dan morfologi sudut mata depan
yang tampak melalui pantulan. Sudut bilik mata depan terbuka apabila dengan pemeriksaan
gonioskopi anyaman trabekular posterior terbuka seluas 360º dan tertutup bila anyaman
trabekular posterior tidak terlihat ≥1 kuadran (90º) (Zulkarnain dkk., 2014).
5. Pemeriksaan Ketebalan Kornea Mata
Pengukuran ketebalan kornea mata penting dilakukan karena ketebalan kornea mata dapat
mempengaruhi penghitungan tekanan bola mata (Kemenkes RI, 2019). Pengukuran dilakukan
dengan Pakimetri untuk mengukur rata- rata ketebalan kornea, ketebalan kornea normal
berkisar 530-545 μm (Olver and Cassidy, 2005).

BAB IV
STAGE/KLASIFIKASI/JENIS PENYAKIT

Secara umum, glaukoma dapat diklasifikasikan menjadi glaukoma primer dan glaukoma
sekunder (Kemenkes RI, 2019).
4.1. Glaukoma Primer
Glaukoma primer adalah penyakit glaukoma yang tidak berhubungan dengan kelainan
mata lainnya atau sistemik. Glaukoma primer tidak diketahui penyebabnya jumlah penderitanya
terbanyak secara global. Glaukoma primer terbagi menjadi giaukoma primer sudut terbuka dan
glaukoma primer sudut tertutup (Kemenkes RI, 2019).
a. Glaukoma primer sudut terbuka
Glaukoma primer sudut terbuka telah menyebabkan kebutaan bilateral pada lebih dari
tiga juta orang di dunia. Glaukoma primer sudut terbuka dikarakteristikkan sebagai
neuropati optik yang progresif lambat dengan pola khas kerusakan nervus optikus dan
kehilangan lapangan pandang (Ilahi dan Vera, 2018). Ciri dari glaukoma jenis ini adalah
mata depan tampak normal tetapi terdapat penyumbatan pada aliran keluar cairan bola
mata. Penyumbatan tersebutlah yang mengakibatkan peningkatan tekanan pada bola mata
(Kemenkes RI, 2019).
b. Glaukoma primer sudut tertutup
Glaukoma primer sudut tertutup adalah penyebab umum kebutaan. Glaukoma primer
sudut tertutup ditandai dengan peningkatan tekanan intraokular sebagai akibat dari
penyumbatan trabecular meshwork (Sun et al., 2017). Ciri dari glaukoma jenis ini adalah
sudut bilik mata depan yang sempit sehingga menghambat cairan keluar dari bola mata.
Glaukoma jenis ini dapat bersifat akut dengan gejala nyeri pada daerah mata, sakit
kepala, mata merah, peningkatan tekanan bola mata secara tiba-tiba, penurunan
penglihatan secara tajam, dan terkadang disertai mual muntah (Kemenkes RI, 2019).
4.2. Glaukoma Sekunder
Glaukoma sekunder merupakan jenis glaukoma yang penyebabnya sudah diketahui
(Rachmawati, 2014). Glaukoma sekunder adalah penyakit glaukoma yang berhubungan dengan
kelainan atau penyakit pada mata atau sistemik lain. Glaukoma dapat terjadi karena penyakit
mata lain seperti pada penderita peradangan mata yang berulang, komplikasi dari penyakit
katarak, trauma atau benturan benda tumpul pada mata, selain itu dapat disebabkan komplikasi
pada penderita diabetes dan hipertensi atau akibat penggunaan obat golongan kortikosteroid
dalam jangka panjang tanpa pengawasan dokter (Kemenkes RI, 2019). Penyebab glaukoma
sekunder lainnya meliputi induksi obat seperti steroid atau karena kelainan di dalam bola mata
seperti kelainan lensa, katarak imatur, katarak hipermatur, dislokasi lensa, uveitis anterior,
trauma, hifema dan inkarserasi iris (Rachmawati, 2014).
4.3. Glaukoma Jenis Lain
Selain glaukoma primer dan sekunder, terdapat juga glaukoma kongenital, normotensi, dan
absolut. Glaukoma kongenital adalah glaukoma yang terjadi pada bayi baru lahir yang biasanya
disebabkan karena kegagalan fungsi sistem ekskresi bilik mata depan. Glaukoma normotensi
(normal tension glaukoma) merupakan kondisi dimana terjadi kerusakan saraf pusat mata
meskipun tekanan pada bola mata masih dalam rentang normal. Sedangkan glaukoma absolut
merupakan hasil akhir dari suatu glaukoma yang tidak terkontrol dengan ciri mengerasnya bola
mata dan berkurangnya penglihatan sampai dengan nol. Kondisi ini dapat disertai nyeri atau
tanpa nyeri. Glaukoma absolut biasanya terjadi 1-2 tahun setelah pertama kali menderita
glaukoma jika tidak adanya penanganan (Kemenkes RI, 2019).

BAB V
PANDUAN TERAPI
5.1 Terapi Farmakologi
1. Analog Prostagladin
Mekanisme kerja obat golongan analog prostaglandin yaitu menurunkan IOP (intraocular
pressure) dengan meningkatkan aliran keluar (outflow) akuos humor melalui jalur uveoskleral.
Terdapat dua mekanisme yang terjadi yaitu relaksasi otot siliaris dan dilatasi atau pelebaran
ruang antar-otot siliaris (Tobing, 2014). Obat-obatan yang tergolongan analog prostaglandin
seperti latanoprost, bimatoprost dan unoproston (Kolko, 2015).
2. Antagonis ß-reseptor
Mekanisme kerja obat golongan Beta bloker yaitu dapat menurunkan tekanan intraokular
dengan cara mengurangi produksi humor akuos. Penggunaan topikal beta bloker pada mata
efektif mengurangi tekanan intraokuler terutama pada glaukoma sudut terbuka, dan dapat
mengurangi laju produksi cairan bola mata (BPOM RI, 2015). Obat-obatan yang tergolong Beta
bloker yaitu timolol, carteolol, levobunolol dan betaxolol. Timolol merupakan pilihan awal untuk
pengurangan IOP (intraocular pressure) yang dapat bekerja secara langsung pada epitel siliaris
untuk memblok transport aktif atau ultrafiltrasi. Dosis penggunaan timolol larutan 0,5 % dua kali
sehari dengan waktu kerja lebih dari 7 jam. Beta bloker akan menurunkan IOP sekitar 26%
sampai 27% dari baseline (Tobing, 2014 ; EGC, 2014 ; Kolko, 2015; Lusthaus and Goldberg,
2019).
3. Inhibitor Karbonik Anhidrase
Mekanisme kerja obat golongan Inhibitor Karbonik Anhidrase adalah dengan menghambat
karbonik anhidrase II dalam badan siliar sehingga dapat menurunkan sekresi cairan akous dan
menurunkan tekanan intra okular. Obat jenis Inhibitor Karbonik Anhidrase dapat diberikan
memalui mata dengan tetes mata, oral serta injeksi. Adapun obat-obatan golongan inhibitor
karbonik anhidrase meliputi dorzolamide, brinzolamide, asetozolamid, metozolamid dan
diklorpenamid (EGC, 2014; JGS, 2006).
4. Nonselektif agonis adrenergic
Mekanisme kerja obat golongan nonselektif agonis adrenergic dengan menstimulasi reseptor
adrenergic sehingga dapat meningkatkan aliran keluar trabecular dan menurunkan produksi
akuous humor. Contoh dari obat nonselektif agonis adrenergic adalah epinefrin, dipiverin,
apraklonidin dan brimonidin (EGC, 2014; JGS, 2006).
5. Kolinergik
Mekanisme kerja obat golongan kolinergik yaitu meningkatkan aliran keluar akuos melalui
trabekula dengan menimbulkan kontraksi badan siliar yang mengakibatkan penarikan tapis sklera
dan penguatan clamp trabekula. Hal tersebut membuat terjadinya kontriksi pupil, menstimulasi
otot siliari, dan meningkatkan aliran aqueous humor sehingga menurunkan tekanan pada
intraokular. Obat-obatan golongan kolinergik seperti pilokarpin, karbakol, demekarium bromida
dan ekotiofat iodide (Tobing, 2014).
5.2 Terapi Non Farmakologi
1. Terapi Laser
Terapi laser pada pasien glaukoma dilakukan apabila obat tetes mata tidak menghentikan
kerusakan penglihatan. Terdapat dua jenis terapi laser yang dapat dilakukan yaitu Argon Laser
Trabeculoplasty (ALT) dan Selective laser trabeculoplasty (SLT). Argon Laser Trabeculoplasty
(ALT) dilakukan untuk pasien dengan glaukoma sudut terbuka primer, dapat dijadikan sebagai
tambahan terapi. Selective laser trabeculoplasty (SLT) merupakan terapi untuk mengurangi
tekanan intraokular pada pasien glaukoma yang dapat diulangi beberapa kali jika diperlukan
dengan sedikit efek samping. Selective laser trabeculoplasty (SLT) menggunakan energi yang
lebih rendah dibandingkan dengan ALT. Tindakan laser SLT dapat diulang beberapa kali, namun
kemungkinan tidak menurunkan tekanan intraokular sebanyak yang pertama, dan laser berulang
yang berkelanjutan pada akhirnya tidak akan efektif. Sebagai alternatif, obat glaukoma dapat
digunakan jika efeknya penurunan tekanan intraokular hilang seiring waktu (Ekici et al., 2016 ;
Lusthaus dan Goldberg, 2019).
2. Bedah Trabekulektomi
Pada pasien glaukoma tindakan bedah yang dianjurkan untuk memperbaiki kondisi glaukoma
yaitu trabekulektomi. Bedah trabekulektomi dilakukan jika terapi farmakologik gagal mencapai
IOP (intraocular pressure) yang diinginkan atau dapat menimbulkan efek samping yang tidak
dapat ditoleransi oleh pasien. Trabekulektomi bertujuan untuk menurunkan tekanan intra okular
dengan membuat saluran humor akuos baru dari bilik mata depan menuju lapisan
subkonjungtiva. Tindakan pembedahan yang dilakukan hanya dapat menyelamatkan sisa
penglihatan yang ada dan tidak dapat memperbaiki pandangan (Wirayudha dkk., 2019 ; Lusthaus
dan Goldberg, 2019).

BAB VI
LUARAN TERAPI

Luaran terapi glaukoma difokuskan pada tujuan terapi glaukoma yaitu penurunan tekanan
intraocular sehingga mampu memperlambat pemburukan pengelihatan (Wells et al., 2015).
Keberhasilan luaran terapi glaukoma membutuhkan identifikasi regimen yang efektif, monitoring
terapi, dan kepatuhan pasien. Berikut hal yang perlu diperhatikan dalam evaluasi luaran terapi
glaukoma yaitu :
1. Monitoring terapi untuk glaukoma sudut terbuka dilakukan secara individual. Respon
tekanan intraokular) awalnya dilihat setiap 4-6 minggu, dan setiap 3-4 bulan setelah tekanan
intraokular diterima, dan pengamatan lebih sering jika dilakukan penggantian terapi. Lapang
pandang dan perubahan optik disk dimonitoring setahun sekali.
2. Pasien perlu dimonitor untuk hilangnya kontrol tekanan intraokular (takifilaksis), terutama
dengan β-bloker atau apraklonidin. Pengobatan dapat dihentikan sementara untuk monitor
manfaat.
3. Tidak ada target tekanan intraokular yang spesifik karena hubungan antara tekanan
intraokular dan kerusakan saraf optikal adalah sedikit dengan pengurangan 25-30%.
4. Target IOP dalam penatalaksanaan IOP

(EGC, 2014 ; Wells et al., 2015)

BAB VII
PERHATIAN KHUSUS PADA TERAPI OBAT

7.1 Obat Pilihan Pertama


1. Golongan obat analog prostaglandin memerlukan perhatian khusus terhadap pasien
hiperemia konjungtiva, uveitis, edema makula sistoid, herpes keratitis, serta komplikasi
pada operasi intraokular
2. Golongan obat antagonis ß-reseptor memerlukan perhatian khusus terhadap pasien
dengan penyakit obstruktif paru-paru berat, asma bronkial, bronkospasme, gagal jantung,
diabetes, sinus brandikardia, serta ibu hamil.
3. Golongan obat inhibitor karbonik anhidrase seperti brinzolamin dan dorzolami
dikontraindikasikan terhadap pasien dengan jumlah sel endothelial kornea rendah yang
dapat meningkatkan resiko edema pada kornea. Asetozolamin, metozolamin, dan
diklorpenamid memerlukan perhatian khusus karena dapat menurunkan jumlah natrium
dan kalium dalam darah, pasien dengan kasus penyakit atau disfungsi ginjal dan hati,
Golongan obat ini memerlukan perhatian khusus terhadap ibu hamil karena mempunyai
efek teratogenik pada janin terutama apabila digunakan pada trimester pertama.
4. Golongan selektif agonis α2adrenergik dikontraindikasikan terhadap pasien dengan
pengobatan inhibitor oral monoamine oksigenase, anak-anak, penyakit kardiovaskular,
serta hipertensi
(Sethi et al., 2016; JGS, 2006; EGC, 2014).
7.2 Obat Pilihan Kedua
1. Golongan obat nonselektif agonis adrenergik diperlukan perhatian khusus terhadap pasien
dengan kasus tekanan darah tinggi, penyakit hati, arteriosclerosis, hiperparatiroid dan
diabetes
2. Golongan obat osmotik dikontraindikasikan terhadap pasien gagal ginjal dan jantung
3. Golongan obat osmotik obat kolinergik dikontraindikasikan terhadap pasien dengan
edema makula, dan asma bronkial
(JGS, 2006; EGC, 2014).

Anda mungkin juga menyukai