Anda di halaman 1dari 59

PROPOSAL KARYA TULIS ILMIAH

HUBUNGAN PENGETAHUAN MENGENAI RETINOPATI

DIABETIKUM DENGAN SIKAP TERHADAP PEMERIKSAAN MATA

PADA PASIEN DIABETES MELITUS

(Literature Review)

DEVI FIRDAUS PUSPITASARI

NIM. P17220194060

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIII

KEPERAWATAN LAWANG

2021
HUBUNGAN PENGETAHUAN MENGENAI RETINOPATI

DIABETIKUM DENGAN SIKAP TERHADAP PEMERIKSAAN MATA

PADA PASIEN DIABETES MELITUS

(Literature Review)

Proposal ini disusun sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan tugas mata

kuliah Metode Penulisan Karya Ilmiah di Program Studi Diploma III

Keperawatan di Program Studi Keperawatan Lawang Jurusan Keperawatan

Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang

DEVI FIRDAUS PUSPITASARI

NIM. P17220194060

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIII

KEPERAWATAN LAWANG

2021
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Devi Firdaus Puspitasari

Tempat, tanggal lahir : Pasuruan, 19 Desember 1999

NIM : 2019030354

Institusi : Poltekkes Kemenkes Malang

Menyatakan bahwa Proposal Penelitian ini yang berjudul ”Hubungan

Pengetahuan Mengenai Retinopati Diabetikum Dengan Sikap Terhadap

Pemeriksaan Mata Pada Pasien Diabetes Melitus” adalah bukan karya tulis

ilmiah orang lain baik sebagian atau keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan

yang telah disebutkan sumbernya.

Demikianlah pernyataan ini kami buat dengan sebenar- benarnya dan

apabila pernyataan ini tidak benar, kami bersedia mendapat sanksi akademis.

Malang, 5 Mei 2021

   Yang menyatakan

    Devi Firdaus Puspitasari

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah Literatur Review oleh DEVI FIRDAUS PUSPITASARI

NIM P17220194060 dengan judul “ Hubungan Pengetahuan Mengenai Retinopati

Diabetikum Dengan Sikap Terhadap Pemeriksaan Mata Pada Pasien

Diabetes melitus” ini telah disetujui pada tanggal

Oleh:
Pembimbing Utama

Dra. Mustayah. MKes


NIP. 197610242001122001

Pembimbing Pendamping

Agus Setyo U, A, M Kes


NIP. 196611151986032001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Diploma 3
Keperawatan Lawang

Budiono, S.Kp, M.Kes


NIP. 196907122001121001

iii
LEMBAR PENGESAHAN

Karya tulis ilmiah literatur review ini diajukan oleh

Nama : DEVI FIRDAUS PUSPITASARI

NIM : P17220194060

Program Studi : Diploma III Keperawatan Lawang

Judul : Hubungan Pengetahuan Mengenai Retinopati Diabetikum

Dengan Sikap Terhadap Pemeriksaan Mata Pada Pasien Diabetes melitus

Karya tulis ilmiah literatur review ini telah diuji dan dinilai: Oleh panitia penguji

pada Program Studi D III Keperawatan Lawang

Poltekkes Kemenkes Malang Pada tanggal…………………….

Panitia Penguji
Penguji Ketua Penguji Anggota Penguji Anggota

Dr. Nurul Pudjiastuti, SKep. Ns MKep Agus Setyo U, A, M Kes Dra. Mustayah. MKes
NIP. 197901042002122001 NIP. 197610242001122001 NIP. 196611151986032001

Mengetahui,

Ketua Jurusan Keperawatan


Poltekkes Kemenkes Malang

Imam Subekti, S.Kep, M.Kep, Sp. Kom


NIP. 196512051989121001

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas anugerah dan

hidayahNya yang dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyusun dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan

Pengetahuan Mengenai Retinopati Diabetikum Dengan Sikap Terhadap

Pemeriksaan Mata Pada Pasien Diabetes Melitus”

Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang sudah membantu dan memberi bimbingan dalam

proses penyusunan skripsi ini antara lain:

1. Bapak Budi Susatia, S.KP, M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan

Kemenkes Malang yang telah memberikan sarana dan prasarana kemudahan

dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

2. Bapak Imam Subekti, S.KP, M.Kep, Sp.Kom selaku Ketua Jurusan Politeknik

Kesehatan Kemenkes Malang yang telah memberikan pengarahan dalam

penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

3. Bapak Budiono S.Kep Ns., M.Kes selaku Ketua Program studi D-III

Keperawatan Lawang Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang yang telah

memberikan ijin penelitian dalam Karya Tulis Ilmiah ini.

4. Agus Setyo Utomo, A.Per.Pen, M.Kes selaku pembimbing saya yang telah

membimbing dan menuntun saya dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah

ini.

v
5. Dr.Nurul Pujiastuti, S.Kep,Ners,M.Kes dan Dra.Mustayah, M.Kes selaku

penguji yang turut serta menuntun saya dalam menyelesaikan Karya Tulis

Ilmiah ini.

6. Bapak Ibu dosen dan Staf Tata Usaha Jurusan Keperawatan Malang yang telah

memberikan semangat.

7. Alm. Ibu Sofiya dan Bapak Suyanto yang selalu mendoakan dan memberikan

semangat dan dukungan kepada penulis secara terus menerus. Tidak lelah

mengingatkan untuk semangat belajar dan segera menyelesaikan tugas akhir.

Mendengarkan setiap keluhan dan tangisan penulis. Membangun semangat

serta menjadikan acuan bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tugas akhir

tepat waktu dan tidak lupa yang selalu menemani saya belajar sampai tengah

malam

8. Teman-teman seangkatan khususnya teman satu kelas satu angkatan dan satu

tempat tinggal

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini

masih belum sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan

kritik yang membangun demi kesempurnaan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi

peneliti pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

Malang, 5 Mei 2021

Penulis

vi
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i

SURAT PENYATAAN..................................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI .........................................iv

KATA PENGANTAR ......................................................................................x

DAFTAR ISI .....................................................................................................xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................................... 4

1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 4

1.4 Manfaat Penelitian

1.3.1 Manfaat Teoritis ............................................................................ 5

1.3.1 Manfaat Praktisi ............................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Konsep Dasar Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus............................................................7

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus........................................................7

2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus............................................................8

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus.....................................................9

2.1.5 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus............................................ 11

vii
2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus......................................................... 12

2.1.7 Pencegahan Diabetes Melitus...................................................... 13

2.1.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus............................................... 17

2.1.9 Komplikasi Diabetes Melitus.......................................................20

2. 2 Konsep Dasar Retinopati Diabetikum

2.2.1 Definisi Retinopati Diabetikum................................................... 21

2.2.2 Etiologi dan Patogenesis Retinopati Diabetikum......................... 21

2.2.3 Patofisiologi Retinopati Diabetikum............................................ 23

2.2.4 Gejala Klinis Retinopati Diabetikum........................................... 24

2.2.5 Diagnosis dan Klasifikasi Retinopati Diabetikum....................... 26

2.2.6 Penatalaksanaan Retinopati Diabetikum...................................... 28

2.2.7 Komplikasi Retinopati Diabetikum.............................................. 29

2. 3 Konsep Dasar Pengetahuan

2.3.1 Definisi Pengetahuan................................................................... 32

2.3.2 Faktor yang Mempengaruhi Pengatuhan..................................... 32

2.3.3 Tingkat Pengetahuan.................................................................... 34

2. 4 Konsep Dasar Sikap

2.4.1 Definisi Sikap............................................................................... 36

2.4.2 Komponen Pokok Sikap.............................................................. 36

2.4.3 Tingakatan Sikap......................................................................... 37

2.4.4 Faktor yang Mempengaruhi Sikap............................................... 37

2.4.5 Sifat Sikap.................................................................................... 38

2.4.6 Pengukuran Sikap........................................................................ 38

2. 5 Konsep Dasar Pemeriksaan Mata ....................................................... 39

viii
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Studi Literatur ............................................................................ 42

3.2 Strategi Pencarian Literatur .................................................................... 43

3.2.1 Database Pencarian........................................................................ 38

3.2.2 Kata Kunci..................................................................................... 38

3.2.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi.......................................................... 38

3.2.4 Seleksi Studi dan Penilaian Kualitas.............................................. 38

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................76

ix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus adalah penyakit gangguan metabolik dengan adanya

hiperglikemia kronik dimana terjadi resistensi insulin atau gangguan sekresi yang

menyebabkan komplikasi (Kumar, 2012). Diabetes melitus ini merupakan

masalah kesehatan utama didunia dengan angka kejadian yang terus meningkat

tiap tahunnya dengan angka kejadian mencapai 40-50% penduduk seluruh dunia

dan prognosisnya yang kurang baik terutama komplikasi bagi penglihatan, salah

satunya adalah retinopati diabetikum (Illiyas, 2012). Retinopati diabetikum adalah

komplikasi mikrovaskuler berupa kelainan retina yang paling banyak terjadi pada

40-50% dari penderita diabetes melitus dan merupakan penyebab kebutaan dan

gangguan penglihatan pada usia produktif (Sedani, 2014).

Menurut WHO menyatakan bahwa prevalensi penderita retinopati

diabetikum di dunia diperkirakan mencapai 34,6% (93 juta orang) dan dalam

urutan penyebab kebutaan secara global retinopati diabetikum menempati urutan

ke 4 . Prevalensi retinopati diabetikum di Indonesia mencapai 42,6%, jumlah ini

mengalami peningkatan sebanyak 29,41% dari tahun sebelumnya (Riskesdas,

2013). Kejadian retinopati diabetikum yang berkunjung di poli RS Marsudi

Waluyo per bulan rata-rata mencapai 60 orang.

Retinopati diabetikum telah menjadi kasus klinis mayor bagi para dokter

spesialis mata. Pasien diabetes memiliki risiko 25 kali lebih mudah mengalami

1
2

kebutaan dibanding nondiabetes. Dan apabila telah terjadi kebutaan, pasien akan

mengalami kebutaan permanen dan tidak bisa lagi mengembalikan penglihatannya

(Pandelaki, 2009). Retinopati Diabetikum ditandai oleh kerusakan dan sumbatan

pembuluh-pembuluh darah halus retina. Komplikasi ini terjadi akibat paparan

hiperglikemia pada pembuluh darah retina dalam jangka waktu yang lama (Ilyas,

2013). Dampak jangka panjang dari retinopati diabetikum yang mengalami

kebutaan akan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas penderita yang pada

akhirmya menimbulkan masalah beban sosial di masyarakat. Kurang pengetahuan

dan tidak adanya gejala awal perjalanan penyakit menyebabkan sebagian besar

kasus retinopati diabetikum tidak terdeteksi hingga terjadi kerusakan pembuluh

darah retina dan kebutaan pada mata secara permanen (Pandelaki, 2014)

Pada penelitian HKI menunjukkan pengetahuan pasien diabetes melitus

yang buruk mengenai kesehatan mata berkaitan dengan diabetes melitus.Selain itu

juga menunjukkan pengetahuan mengenai komplikasi pada mata akibat diabetes

melitus hanya diketahui oleh kurang dari 50% (Munoz B, 2008). Pengetahuan

pasien diabetes melitus tentu bukan hanya tanggung jawab pribadi penyandang

diabetes melitus tersebut, tetapi juga petugas kesehatan. Di Jakarta diketahui

kurang dari 50% penyandang diabetes melitus yang tidak pernah diinformasikan

oleh dokternya untuk memeriksakan mata secara rutin. Bahkan alasan utama

pasien diabetes melitus tidak melakukan pemeriksaan mata adalah kurangnya

pengetahuan pasien mengenai perlunya pemeriksaan tersebut, sedangkan masalah

ekonomi hanya diutarakan 13,6% pasien. Selain kurangnya promosi dan edukasi

mengenai retinopati diabetikum oleh para petugas kesehatan di pelayanan primer

(Adriono et al.,2011)
3

Faktor - faktor yang mempengaruhi pengetahuan salah satunya yaitu

pendidikan, pengalaman, dan status ekonomi (Notoatmodjo, 2010). Seseorang

setelah mengetahui sesuatu objek, lalu mengorganisasikan dan

menginterprestasikan berbagai macam informasi yang ia terima, dan setelah

tahu, proses selanjutnya mereka kemudian bersikap terhadap objek tersebut.

Faktor pembentukan sikap sendiri salah satunya yaitu dipengaruhi oleh

pengetahuan. Pengetahuan seseorang berhubungan dengan sikap terhadap

sesuatu objek, dengan pengetahuan yang baik, akan membentuk sikap yang

mendukung pula dan diharapkan dapat terwujud dalam tindakan nyata untuk

pemeriksaan mata (Azwar, 2013)

Terlepas dari statistik yang mengkhawatirkan, penelitian menunjukkan

bahwa setidaknya 90% kasus baru bisa dikurangi jika ada perawatan yang tepat,

waspada dan pemantauan terhadap mata (Doshi et al., 2016). Kehilangan

penglihatan utama karena retinopati diabetikum sangat dapat dicegah dengan

pemeriksaan rutin dan intervensi tepat waktu pada tahap awal (Franklin & Rajan,

2013). Maka dari itu dibutuhkan sikap yang mendukung terhadap pemeriksaan

mata agar kasus baru bisa dikurangi dan mencegah komplikasi yang tidak

diinginkan

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang

“Hubungan Pengetahuan Mengenai Retinopati Diabetikum Dengan Sikap

Terhadap Pemeriksaan Mata Pada Pasien Diabetes Melitus”.


4

1.2 Rumusan Masalah

“Apakah ada hubungan pengetahuan mengenai retinopati diabetikum dengan

sikap terhadap pemeriksaan mata pada pasien diabetes melitus di poli Penyakit

Dalam RS Marsudi Waluyo Singosari Malang?”

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan mengenai retinopati

diabetikum dengan sikap terhadap pemeriksaan mata pada pasien diabetes

melitus.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi pengetahuan pasien mengenai retinopati diabetikum

pada pasien diabetes melitus

2. Mengidentifikasi sikap terhadap pemeriksaan mata pada pasien

diabetes melitus

3. Menganalisis hubungan pengetahuan mengenai retinopati diabetikum

dengan sikap terhadap pemeriksaan mata pada pasien diabetes

melitus.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

Sebagai kerangka pikir ilmiah dalam perkembangan ilmu pengetahuan

yang dapat di manfaatkan oleh ilmuwan lain untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan, teknologi dan seni, serta dapat di aplikasikan dalam asuhan

keperawatan.
5

1.4.2. Manfaat Praktisi

1. Bagi Rumah Sakit

Sebagai sumber informasi tentang komplikasi mata pada penderita

diabetes melitus. Sehingga dapat meminimalisir jumlah penderita

retinopati diabetikum.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Untuk menambah ilmu tentang komplikasi mata pada penderita diabetes

melitus.

3. Bagi Responden

Sebagai informasi dan pengetahuan bagi masyarakat agar dapat

meningkatkan kewaspadaan penderita diabetes melitus terhadap penyakit

retinopati diabetikum sehingga dapat melakukan pencegahan sedini

mungkin, terutama kelompok yang berisiko tinggi.

4. Bagi Peneliti

Menambah pengetahuan tentang komplikasi mata pada penderita diabetes

melitus dan pengalaman dalam bidang penelitian.


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah suatu gangguan metabolik yang ditandai

dengan peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat kerusakan

pada sekresi insulin dan kerja insulin (Kowalak, 2011). Diabetes melitus

merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa di dalam

darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau menggunakan

insulin secara adekuat. Kadar glukosa darah setiap hari bervariasi, kadar

gula darah akan meningkat setelah makan dan kembali normal dalam

waktu 2 jam. Kadar glukosa darah normal pada pagi hari sebelum makan

atau berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar gula darah normal

biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan atau

minum cairan yang mengandung gula maupun mengandung karbohidrat

(Irianto, 2015).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus menurut Smeltzer et al (2013), ada 3 yaitu:

1. Tipe 1 (Diabetes melitus tergantung insulin)

Sekitar 5% sampai 10% pasien mengalami diabetes tipe 1. Diabetes

melitus tipe 1 ditandai dengan destruksi sel-sel beta pankreas akibat

6
7

faktor genetik, imunologis, dan juga lingkungan. DM tipe 1

memerlukan injeksi insulin untuk mengontrol kadar glukosa darah.

2. Tipe 2 (Diabetes melitus tak – tergantung insulin)

Sekitar 90% sampai 95% pasien mengalami diabetes tipe 2. Diabetes

tipe 2 disebabkan karena adanya penurunan sensitivitas terhadap

insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah insulin yang

diproduksi.

3. Diabetes mellitus gestasional

Diabetes gestasional ditandai dengan intoleransi glukosa yang muncul

selama kehamilan, biasanya pada trimester kedua atau ketiga. Risiko

diabetes gestasional disebabkan obesitas, riwayat pernah mengalami

diabetes gestasional, glikosuria, atau riwayat keluarga yang pernah

mengalami diabetes.

2.1.3 Etiologi Diabetes Melitus

Diabetes melitus menurut Kowalak (2011); Wilkins (2011); dan Andra

(2013), mempunyai beberapa penyebab, yaitu:

1. Hereditas

Peningkatan kerentanan sel-sel beta pankreas dan perkembangan

antibodi autoimun terhadap penghancuran sel-sel beta.

2. Lingkungan (makanan, infeksi, toksin, stress)

Kekurangan protein kronik dapat mengakibatkan hipofungsi pankreas.

Infeksi virus coxsakie pada seseorang yang peka secara genetik. Stress

fisiologis dan emosional meningkatkan kadar hormon stress (kortisol,


8

epinefrin, glukagon, dan hormon pertumbuhan), sehingga

meningkatkan kadar glukosa darah.

3. Perubahan gaya hidup

Pada orang secara genetik rentan terkena DM karena perubahan gaya

hidup, menjadikan seseorang kurang aktif sehingga menimbulkan

kegemukan dan beresiko tinggi terkena diabetes melitus.

4. Kehamilan

Kenaikan kadar estrogen dan hormon plasental yang berkaitan dengan

kehamilan, yang mengantagoniskan insulin.

5. Usia

Usia diatas 65 tahun cenderung mengalami diabetes melitus

6. Obesitas

Obesitas dapat menurunkan jumlah reseptor insulin di dalam tubuh.

Insulin yang tersedia tidak efektif dalam meningkatkan efek

metabolik.

7. Antagonisasi efek insulin yang disebabkan oleh beberapa medikasi,

antara lain diuretik thiazide, kortikosteroid adrenal, dan kontraseptif

hormonal.

2.1.4 Patofisiologi Diabetes Melitus

Ada berbagai macam penyebab diabetes melitus menurut Price

(2012), dan Kowalak (2011), yang menyebabkan defisiensi insulin,

kemudian menyebabkan glikogen meningkat, sehingga terjadi proses

pemecahan gula baru (glukoneugenesis) dan menyebabkan metabolisme


9

lemak meningkat. Kemudian akan terjadi proses pembentukan keton

(ketogenesis). Peningkatan keton didalam plasma akan mengakibatkan

ketonuria (keton dalam urin) dan kadar natrium akan menurun serta pH

serum menurun dan terjadi asidosis.

Defisiensi insulin mengakibatkan penggunaan glukosa menurun,

sehingga menyebabkan kadar glukosa dalam plasma tinggi

(hiperglikemia). Jika hiperglikemia parah dan lebih dari ambang ginjal

maka akan menyebabkan glukosuria. Glukosuria akan menyebabkan

diuresis osmotik yang meningkatkan peningkatan air kencing (polyuria)

dan akan timbul rasa haus (polidipsi) yang menyebabkan seseorang

dehidrasi (Kowalak, 2011).

Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori negatif

sehingga menimbulkan rasa lapar yang tinggi (polifagia). Penggunaan

glukosa oleh sel menurun akan mengakibatkan produksi metabolisme

energi menurun sehingga tubuh akan menjadi lemah (Price et al, 2012).

Hiperglikemia dapat berpengaruh pada pembuluh darah kecil,

sehingga menyebabkan suplai nutrisi dan oksigen ke perifer berkurang.

Kemudian bisa mengakibatkan luka tidak kunjung sembuh karena terjadi

infeksi dan gangguan pembuluh darah akibat kurangnya suplai nutrisi dan

oksigen (Price et al, 2012).

Gangguan pembuluh darah mengakibatkan aliran darah ke retina

menurun, sehingga terjadi penurunan suplai nutrisi dan oksigen yang

menyebabkan pandangan menjadi kabur. Akibat utama dari perubahan

mikrovaskuler adalah perubahan pada struktur dan fungsi ginjal yang


10

menyebabkan terjadinya nefropati yang berpengaruh pada saraf perifer,

sistem saraf otonom serta sistem saraf pusat (Price et al, 2012).

2.1.5 Manifestasi Klinis Diabetes Melitus

Tanda dan gejala diabetes melitus menurut Smeltzer et al (2013), dan

Kowalak (2011), yaitu:

1. Poliuria (air kencing keluar banyak) dan polydipsia (rasa haus yang

berlebih) yang disebabkan karena osmolalitas serum yang tinggi

akibat kadar glukosa serum yang meningkat.

2. Anoreksia dan polifagia (rasa lapar yang berlebih) yang terjadi karena

glukosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negatif.

3. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan

penggunaan glukosa oleh sel menurun.

4. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa

gatal pada kulit.

5. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan

oleh kadar glukosa intrasel yang rendah.

6. Kram pada otot, iritabilitas, serta emosi yang labil

akibat ketidakseimbangan elektrolit.

7. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang disebabkan

karena pembengkakan akibat glukosa.

8. Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan

kerusakan jaringan saraf.


11

9. Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen yang disebabkan

karena neuropati otonom yang menimbulkan konstipasi.

10. Mual, diare, dan konstipasi yang disebabkan karena dehidrasi dan

ketidakseimbangan elektrolit serta neuropati otonom.

2.1.6 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar

glukosa darah dan tidak dapat ditegakkan dengan adanya glukosuria.

Diagnosis DM tipe 2 juga dapat ditegakkan jika pasien mengalami

keluhan klasik atau khas DM seperti poliuria, polidipsia, dan polifagia,

dan keluhan lain seperti kelelahan, kesemutan, gatal, dan mata kabur

(Mansjoer et al, 2011). Menurut PERKENI (2011), diagnosis DM dapat

ditegakkan melalui tiga cara, yaitu:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma

sewaktu lebih dari 200 mg/dl cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa lebih dari 126 mg/dl dengan

adanya keluhan klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Hasil pemeriksaan yang tidak

memenuhi kriteria normal atau DM tipe 2 dapat digolongkan ke dalam

kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah

puasa terganggu (GDPT). Kelompok toleransi glukosa terganggu

(TGT) yaitu bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma

2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dl. Kelompok glukosa darah

puasa terganggu (GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa


12

plasma puasa diperoleh antara 100 sampai 125 mg/dl dan pemeriksaan

TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl.

2.1.7 Pencegahan Diabetes Melitus

Pencegahan DM terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier,

meliputi (PERKENI, 2011):

1. Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah suatu upaya pencegahan yang ditujukan

pada kelompok yang memiliki faktor resiko, yaitu kelompok yang

belum mengalami DM namun berpotensi untuk mengalami DM

karena memiliki faktor resiko sebagai berikut:

a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi:

1) Ras dan etnik

African Americans, Mexican Americans, American Indians,

Hawaiians dan beberapa Asian Americans memiliki resiko tinggi

mengalami DM dan penyakit jantung, dikarenakan tingginya

kadar glukosa darah, obesitas, dan jumlah populasi DM dalam

etnik tersebut.

2) Jenis kelamin

Pria lebih beresiko mengalami DM daripada wanita. Wanita yang

mengalami menopause akan lebih beresiko mengalami DM

daripada wanita yang belum menopause.


13

3) Riwayat keluarga dengan DM

Seseorang yang memiliki riwayat keluarga dengan DM akan lebih

beresiko mengalami DM daripada seseorang yang tidak memiliki

riwayat keluarga dengan DM; dan

4) Usia

Resiko DM lebih tinggi pada usia dewasa daripada lansia.

b. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi:

1) Obesitas

Seseorang yang obesitas akan mengalami resiko DM lebih tinggi

daripada seseorang yang tidak obesitas. Hal tersebut dikarenakan

kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan

sensitivitas insulin.

2) Kurangnya aktivitas fisik.

Seseorang yang kurang bergerak atau sedikit melakukan aktivitas

fisik akan lebih beresiko mengalami DM. Hal tersebut

dikarenakan kurangnya aktivitas fisik dapat menurunkan

sensitivitas insulin terhadap reseptor.

3) Hipertensi

Hipertensi menjadi salah satu faktor resiko DM karena hipertensi

dapat meningkatkan kejadian aterosklerosis yang berdampak

pada penurunan fungsi sel beta pankreas dalam memproduksi

insulin.

4) Dislipidemia (HDL< 35 mg/dL dan atau trigliserida> 250

mg/dL). Dislipidemia menjadi salah satu faktor resiko DM


14

karena dislipidemia merupakan indikator meningkatnya jaringan

adiposa yang berdampak pada penurunan sensitivitas insulin.

5) Diet tidak sehat (unhealthy diet)

Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan

resiko mengalami DM.

c. Faktor lain yang terkait dengan resiko diabetes :

1) Pasien Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis

lain yang terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan

kelainan endokrinopati pada wanita usia reproduksi. PCOS lebih

sering dikaitkan dengan adanya timbunan lemak yang berlebih.

Timbunan lemak yang berlebih terutama di rongga perut dapat

menyebabkan penurunan sensitivitas insulin sehingga berdampak

pada peningkatan kadar glukosa darah.

2) Pasien sindrom metabolik yang memiliki riwayat toleransi

glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu

(GDPT) sebelumnya.

3) Pasien yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular, seperti

stroke, PJK, atau PAD (Peripheral Arterial Diseases). Pasien

yang memiliki riwayat penyakit kardiovaskular akan lebih

beresiko mengalami DM karena kondisi pembuluh darah dan

hemostasis yang buruk akan menyebabkan ketidakseimbangan

endokrin dalam tubuh. Tindakan penyuluhan dan pengelolaan

pada kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi

merupakan salah satu aspek penting dalam pencegahan primer.


15

Materi penyuluhan yang dapat diberikan meliputi program

penurunan berat badan, diet sehat, latihan jasmani, dan

menghentikan merokok.

2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah suatu upaya yang dilakukan untuk

mencegah timbulnya komplikasi pada pasien yang telah mengalami DM.

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan yang

cukup dan tindakan deteksi dini sejak awal pengelolaan penyakit DM.

Program penyuluhan memegang peranan penting dalam upaya pencegahan

sekunder untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani program

pengobatan dan menuju perilaku sehat.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk

mencegah kecacatan lebih lanjut pada pasien DM yang mengalami

komplikasi. Upaya rehabilitasi pada pasien dilakukan sedini mungkin,

sebelum kecacatan berkembang dan menetap. Penyuluhan pada pasien dan

keluarganya memegang peranan penting dalam upaya pencegahan tersier.

Penyuluhan dapat dilakukan dengan pemberian materi mengenai upaya

rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.

Pencegahan tersier memerlukan pelayanan kesehatan yang menyeluruh

dan kolaborasi antar tenaga medis. Kolaborasi yang baik antar para ahli di

berbagai disiplin (jantung dan ginjal, mata, bedah ortopedi, bedah

vaskular, radiologi, rehabilitasi medis, gizi, pediatris, dan lain sebagainya)

sangat diperlukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan tersier.


16

2.1.8 Penatalaksanaan Diabetes Melitus

Penatalaksaan pada pasien diabetes menurut Perkeni (2015), dan Kowalak

(2011), dibedakan menjadi dua yaitu terapi farmakologis dan non

farmakologi:

1. Terapi farmakologi

Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan pola

makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat

oral dan obat suntikan, yaitu:

a. Obat antihiperglikemia oral

Menurut Perkeni (2015), berdasarkan cara kerjanya obat ini

dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain:

1) Pemacu sekresi insulin: Sulfonilurea dan Glinid

Efek utama obat sulfonilurea yaitu memacu sekresi insulin

oleh sel beta pankreas. cara kerja obat glinid sama dengan cara

kerja obat sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan

sekresi insulin fase pertama yang dapat mengatasi

hiperglikemia post prandial.

2) Penurunan sensitivitas terhadap insulin: Metformin dan

Tiazolidindion (TZD)

Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa hati

(gluconeogenesis) dan memperbaiki glukosa perifer.

Sedangkan efek dari Tiazolidindion (TZD) adalah menurunkan

resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa,

sehingga meningkatkan glukosa di perifer.


17

3) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa

Fungsi obat ini bekerja dengan memperlambat absorpsi

glukosa dalam usus halus, sehingga memiliki efek menurunkan

kadar gula darah dalam tubunh sesudah makan.

4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk

menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose

Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam

antihiperglikemia bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk

meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon

sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent).

b. Kombinasi obat oral dan suntikan insulin

Kombinasi obat oral dan insulin yang banyak dipergunakan adalah

kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin

kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada

malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut biasanya dapat

mengendalikan kadar glukosa darah dengan baik jika dosis insulin

kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10

unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi

dosis tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa darah puasa

keesokan harinya. Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari masih

tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka

perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta

pemberian obat antihiperglikemia oral dihentikan (Perkeni, 2015).


18

2. Terapi non farmakologi

Terapi non farmakologi menurut Perkeni, (2015) dan Kowalak, (2011)

yaitu:

1) Edukasi

Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup menjadi

sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dan bisa

digunakan sebagai pengelolaan DM secara holistik.

2) Terapi nutrisi medis (TNM)

Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwal makan

yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya,

terutama pada pasien yang menggunakan obat penurun glukosa

darah maupun insulin.

3) Latihan jasmani atau olahraga

Pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 hari

dalam seminggu selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150

menit per minggu, dan dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2

hari berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobik

dengan intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung

maksimal seperti: jalan cepat, sepeda santai, berenang,dan jogging.

Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara: 220 – usia pasien.


19

2.1.9 Komplikasi Diabetes Melitus

Komplikasi dari diabetes mellitus menurut Smeltzer et al, (2013)

dan Tanto et al, (2014) diklasifikasikan menjadi komplikasi akut dan

komplikasi kronik. Komplikasi akut terjadi karena intoleransi glukosa

yang berlangsung dalam jangka waktu pendek yang mencakup:

1. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan dimana glukosa dalam darah mengalami

penurunan dibawah 50 sampai 60 mg/dL disertai dengan gejala

pusing, gemetar, lemas, pandangan kabur, keringat dingin, serta

penurunan kesadaran.

2. Ketoasidosis Diabetes (KAD)

KAD adalah suatu keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik

akibat pembentukan keton yang berlebih.

3. Sindrom nonketotik hiperosmolar hiperglikemik (SNHH)

Suatu keadaan koma dimana terjadi ganagguan metabolisme yang

menyebabkan kadar glukosa dalam darah sangat tinggi, menyebabkan

dehidrasihi pertonik tanpa disertai ketosis serum.

Komplikasi kronik menurut Smeltzer et al, (2013) biasanya terjadi pada

pasien yang menderita diabetes mellitus lebih dari 10 – 15 tahun.

Komplikasinya mencakup:

1. Penyakit makrovaskular (Pembuluh darah besar): biasanya penyakit

ini mempengaruhi sirkulasi koroner, pembuluh darah perifer, dan

pembuluh darah otak.


20

2. Penyakit mikrovaskular (Pembuluh darah kecil): biasanya penyakit ini

mempengaruhi mata (retinopati) dan ginjal (nefropati); kontrol kadar

gula darah untuk menunda atau mencegah komplikasi mikrovaskular

maupun makrovaskular.

3. Penyakit neuropatik: mempengaruhi saraf sensori motorik dan otonom

yang mengakibatkan beberapa masalah, seperti impotensi dan ulkus

kaki.

2.2 Retinopati Diabetikum

2.2.1 Definisi Retinopati Diabetikum

Retinopati diabetikum adalah salah satu komplikasi mikrovaskular

dari diabetes melitus (DM), yang menyebabkan gangguan penglihatan

mulai dari yang ringan sampai berat bahkan sampai terjadi kebutaan total

dan permanen akibat masalah vaskularisasi retina yang terjadi secara

progresif dan terjadi dalam berbagai tingkatan (Pandelaki, 2014).

2.2.2 Etiologi dan Patogenesis Retinopati Diabetikum

Penyebab retinopati diabetikum sampai saat ini belum diketahui

secara pasti, namun keadaan hiperglikemia yang berlangsung lama

dianggap sebagai faktor risiko utama. Beberapa proses biokimiawi yang

terjadi pada hiperglikemia dan diduga berkaitan dengan timbulnya

retinopati diabetikum yaitu aktivitas jalur poliol, glikasi nonenzimatik dan

peningkatan diasilgliserol yang menyebabkan aktivasi PKC. Selain itu,

hormon pertumbahan dan beberapa faktor pertumbuhan lain seperti VEGF


21

diduga juga berperan dalam progresifitas retinopati diabetikum (Pandelaki,

2014). Dalam Pandelaki tahun 2014, patogenesis retinopati diabetikum

adalah sebagai berikut:

1. Aktivasi Jalur Poliol

Hiperglikemia kronik pada DM menyebabkan peningkatan aktivitas

enzim aldose reduktase sehingga produksi poliol (suatu senyawa gula

dan alkohol) meningkat dalam jaringan termasuk di lensa, pembuluh

darah dan saraf optik. Salah satu sifat dari senyawa poliol ialah tidak

dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam

jumlah yang banyak di dalam sel yang akan menyebabkan

peningkatan tekanan osmotik sehingga menimbulkan gangguan

morfologi dan fungsional sel. Percobaan pada hewan yang diberi

inhibitor enzim aldose reduktase (aminoguanidine) ternyata dapat

mengurangi atau memperlambat terjadinya retinopati diabetikum.

Namun uji klinik pada pasien diabetes tipe 1 yang diberi

aminoguanidin kemudian diamati selama 3-4 tahun ternyata tidak

memberi pengaruh terhadap timbulnya maupun perlambatan

progresifitas retinopati diabetikum. Sampai saat ini masih terus

dilakukan penelitian dengan menggunakan inhibitor enzim aldose

reduktase yang lebih kuat.

2. Glikasi Nonenzimatik

Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikosilasi protein dan

asam deoksiribonukleat (DNA), protein yang terglikosilasi ini akan

membentuk radikal bebas yang mengganggu keutuhan DNA dan


22

menghambat aktivitas enzim sehingga terjadi perubahan fungsi sel.

Penggunaan aminuguanidin, yaitu suatu bahan yang juga bekerja

menghambat pembentukan advanced glycation end product (AGE)

pada tikus diabetes dilaporkan dapat mengurangi pengaruh diabetes

terhadap aliran darah di retina, permeabilitas kapiler dan parameter

mikrovaskular yang lain. Aminoguanidine terbukti juga dapat

menghambat produksi senyawa oksida nirat yang merupakan

vasokonstriktor kuat.

3. Diasilgliserol dan Aktivasi Protein Kinase C

Protein kinase C (PKC) diketahui memiliki pengaruh terhadap

permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membran basalis dan

proliferasi sel vaskular. Hiperglikemia yang terjadi pada DM

menyebabkan aktivitas PKC di retina dan sel endotel meningkat

akibat peningkatan sintesis de novo diasilgliserol (suatu regulator

PKC dan glukosa). Pada retina anjing, diasilgliserol terbukti

diproduksi dalam jumlah yang banyak dengan galaktosemia yang

disertai retinopati. Dewasa ini para ahli sedang melakukan uji klinik

penggunaan ruboxistaurin yaitu suatu penghambat PKC β- isoform

pada pasien retinopati diabetikum.

2.2.3 Patofisiologis Retinopati Diabetikum

Patofisiologi retinopati diabetikum kapiler melibatkan lima proses

yang terjadi di tingkat kapiler yaitu : 1) pembentukan mikroaneurisma, 2)

peningkatan permeabilitas, 3) penyumbatan, 4) proliferasi pembuluh darah


23

baru (neovascular) dan pembentukan jaringan fibrosis, 5) kontraksi

jaringan fibrosis kapiler dan vitreus. Penyumbatan dan hambatan perfusi

(nonperfusion) menyebabkan iskemia retina sedangkan kebocoran dapat

terjadi pada semua komponen darah.

Kebutaan akibat retinopati diabetikum dapat terjadi melalui

beberapa mekanisme yaitu : 1) edema makula atau nonperfusi kapiler, 2)

pembentukan pembuluh darah baru dan kontraksi jaringan fibrosis

sehingga terjadi ablasio retina (retinal detachment), 3) pembuluh darah

baru yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus, 4)

terjadi glaukoma yang juga merupakan akibat dari pembentukan pembuluh

darah baru. Perdarahan adalah bagian dari stadium retinopati diabetikum

proliferatif dan merupakan penyebab utama kebutaan permanen. Selain

itu, kontraksi dari jaringan fibrovaskular sehingga terjadi ablasio retina

(terlepasnya lapisan retina) juga merupakan penyebab kebutaan yang

terjadi pada retinopati diabetikum proliferatif (Pandelaki, 2014).

2.2.4 Gejala Klinis Retinopati Diabetikum

Retinopati merupakan gejala diabetes melitus utama pada mata, dimana

ditemukan pada retina: (Ilyas dan Sidarta, 2017)

1. Mikroaneurismata, merupakan penonjolan dinding kapiler, terutama

daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak

dekat pembuluh darah terutama polus posterior. Kadang-kadang

pembuluh darah ini demikian kecilnya sehingga tidak terlihat sedang

dengan bantuan angiografi fluorescein lebih mudah dipertunjukkan


24

adanya mikroaneurismata ini. Mikroaneurismata merupakan kelainan

diabetes melitus dini pada mata.

2. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya

terletak dekat mikroaneurismata di polus posterior. Bentuk

perdarahan ini merupakan prognosis penyakit dimana perdarahan

yang luas memberikan prognosis yang lebih buruk dibandingkan

kecil. Perdarahan terjadi akibat gangguan permeabilitas pada

mikroaneurisma, atau karena pecahnya kapiler.

3. Dilatasi pembuluh darah balik dengan lumennya irregular dan

berkelok-kelok, bentuk ini seakan-akan dapat memberikan perdarahan

tapi hal ini tidaklah demikian. Hal ini terjadi akibat kelainan sirkulasi

dan kadang-kadang disertai kelainan endotel dan eksudasi plasma.

4. Hard exudate, merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina.

Gambarannya khusus yaitu irregular, kekuning-kuningan. Pada

permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini

dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu. Pada mulanya

tampak pada gambaran angiografi fluorescein sebagai kebocoran

fluorescein di luar pembuluh darah. Kelainan ini terutama terdiri atas

bahan-bahan lipid dan terutama banyak ditemukan pada keadaan

hiperlipoproteinemia.

5. Soft exudate, yang sering disebut cotton wool patches merupakan

iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak

berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak


25

di bagian tepi daerah non irigasi dan dihubungkan dengan iskemia

retina.

6. Pembuluh darah baru pada retina biasanya terletak di permukaan

jaringan. Neovaskularisasi terjadi akibat proliferasi sel endotel

pembuluh darah. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok,

dalam kelompok-kelompok, dan bentuknya irregular. Hal ini

merupakan awal penyakit yang berat pada retinopati diabetikum.

Mula-mula terletak di dalam jaringan retina, kemudian berkembang

ke daerah pre retinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada

daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan

subhialoid (pre retinal), maupun perdarahan badan kaca. Proliferasi

pre retinal dari suatu neovaskularisasi pada biasanya diikuti

proliferasi jaringan ganglia dan perdarahan.

7. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama

daerah makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan pasien.

8. Hiperlipidemia suatu keadaan yang sangat jarang, tanda ini akan

segera hilang bila diberikan pengobatan.

2.2.5 Diagnosis dan Klasifikasi Retinopati Diabetikum

Diagnosis retinopati diabetikum didasarkan atas hasil pemeriksaan

funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal fluorescein angiography (FFA)

merupakan metode pemeriksaan yang paling dipercaya. Namun dalam

klinik pemeriksaan dengan oftalmoskopi masih dapat digunakan untuk

pemeriksaan penyaring. Klasifikasi retinopati diabetikum umumnya


26

didasarkan atas beratnya perubahan yang terjadi pada mikrovaskular

retina dan ada atau tidak adanya pembentukan pembuluh darah yang baru.

Early Treatment Diabetic Retinopathy Research Study Group (ETDRS)

membagi retinopati diabetikum atas dua stadium yaitu nonproliferatif

(RDNP) hanya ditemukan perubahan ringan pada mikrovaskular retina.

Kelainan fundus pada RDNP dapat berupa mikroaneurisma atau kelainan

intraretinal yang disebut intra - retinal microvascular abnormalities

(IRMA). Penyumbatan kapiler retina akan menimbulkan hambatan perfusi

yang secara klinik ditandai dengan perdarahan, kelainan vena dan IRMA.

Iskemia retina yang terjadi akibat hambatan perfusi akan merangsang

proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular). Pembentukan pembuluh

darah baru merupakan tanda khas dari retinopati diabetik proliferative

(RDP) (Pandelaki, 2014).

Klasifikasi retinopati diabetekum menurut Bagian Mata Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo

adalah sebagai berikut :

1. Derajat I. terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa eksudat lemak

pada fundus okuli

2. Derajat II. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bitnik dan bercak

dengan atau tanpa eksudat lemak pada fundus okuli

3. Derajat III. Terdapat mikroaneurisma, perdarahan bitnik dan bercak

terdapat neovaskularisasi dan proliferasi pada fundus okuli.

Jika gambaran fundus mata kiri tidak sama beratnya dengan mata kanan

maka digolongkan pada derajat yang lebih berat (Ilyas dan Sidarta, 2017).
27

2.2.6 Penatalaksanaan Retinopati Diabetikum

Tujuan penatalaksanaan ini adalah untuk mengatasi edema makula,

mencegah berkembangnya retinopati diabetikum non proliferatif menjadi

proliferatif, mencegah terjadinya glaucoma neovascular serta mencegah

kebutaan (Ilyas, 2017).

Steroid intravitreal untuk mengatasi edema makula pada RD.

Kelompok kortikosteroid yang digunakan yaitu triamcinolone acetinide,

dexamethasone dan floucinolone acetonide. Pemberian injeksi intravitreal

steroid memiliki kekurangan yaitu sering diikuti dengan komplikasi

okular seperti katarak, peningkatan tekanan intraokular bahkan dapat

mengakibatkan endoftalmitis (Schwartz, Jr. dan Scott, 2014).

Laser fotokoagulasi saat ini masih menjadi terapi utama untuk RD

terutama tipe PDR atau clinically significant diabetic macular edema

(CSME). Efek utama dari laserfotokoagulasi pada RD yaitu meningkatkan

tekanan oksigen pada lapisan retina bagian dalam. Peningkatan tekanan

oksigen akan mengakibatkan penurunan VEGP dan vasokonstiksi arteriol

yang menyebabkan penurunan proliferasi endotel yang pada akhirnya

mengurangi neovaskularisasi (Park dan Roh, 2016)

Tindakan pembedahan vitrektomi diindikasikan pada kasus

tractional retinal detachment, perdarahan vitreus yang menetap, dan

extensive fibrous membranes. Prosedur vitrektomi ini juga dapat

digunakan untuk mengangkat premacular posterior hyaloid pada pasien

dengan edema makular difus persisten. Kekurangan dari tindakan ini

adalah hasil keluaran visual setelahnya tidak dapat diprediksi dan dapat
28

terjadi beberapa komplikasi seperti katarak, perdarahan vitreus rekuren,

rhegmatogenous retinal detachment, dan glaukoma neovaskular (Gupta,

2013).

2.2.7 Komplikasi Retinopati Diabetikum

Berikut ini adalah komplikasi yang dapat terjadi pada retinopati

diabetikum: (Augsburger dan Riordan-Eva, 2018)

1. Rubeosis iridis progresif. Penyakit ini merupakan komplikasi segmen

anterior paling sering. Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis)

merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina

akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang

paling sering adalah retinopati diabetikum. Neovaskularisasi iris pada

awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya

tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskular pada permukaan iris

secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary

body dan sklera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat

pembuangan aquous dengan akibat intra okularpresure meningkat

dan keadaan sudut masih terbuka. Suatu saat membrane fibrovaskular

ini konstraksi menarik iris perifer sehingga terjadi sinekia anterior

perifer (PAS) sehingga sudut bilik mata depan tertutup dan tekanan

intra okuler meningkat sangat tinggi sehingga timbul reaksi radang

intra okuler. Sepertiga pasien dengan rubeosis iridis terdapat pada

penderita retinopati diabetikum. Frekuensi timbulnya rubeosispada

pasien retinopati diabetikum dipengaruhi oleh adanya tindakan bedah.


29

Insiden terjadinya rubeosis iridis dilaporkan sekitar 25-42% setelah

tindakan vitrektomi, sedangkan timbulnya glaukoma neovaskuler

sekitar 10-23% yang terjadi 6 bulan pertama setelah dilakukan

operasi.

2. Glaukoma neovaskular. Glaukoma neovaskuler adalah glaukoma

sudut tertutup sekunder yang terjadi akibat pertumbuhan jaringan

fibrovaskuler pada permukaan iris dan jaringan anyaman trabekula

yang menimbulkan gangguan aliran aquous dan dapat meningkatkan

tekanan intra okuler. Nama lain dari glaukoma neovaskular ini adalah

glaukoma hemoragik, glaukoma kongestif, glaukoma trombotik dan

glaukoma rubeotik. Etiologi biasanya berhubugan dengan neovaskular

pada iris (rubeosis iridis). Neovaskularisasi pada iris (rubeosis iridis)

merupakan suatu respon terhadap adanya hipoksia dan iskemia retina

akibat berbagai penyakit, baik pada mata maupun di luar mata yang

paling sering adalah retinopati diabetikum. Neovaskularisasi iris pada

awalnya terjadi pada tepi pupil sebagai percabangan kecil, selanjutnya

tumbuh dan membentuk membrane fibrovaskuler pada permukaan iris

secara radial sampai ke sudut, meluas dari akar iris melewati ciliary

body dan sclera spur mencapai jaring trabekula sehingga menghambat

pembuangan akuos dengan akibat Intra Ocular Presure meningkat

dan keadaan sudut masih terbuka.

3. Perdarahan vitreus rekuren. Perdarahan vitreus sering terjadi pada

retinopati diabetik proliferatif. Perdarahan vitreus terjadi karena

terbentuknya neovaskularisasi pada retina hingga ke rongga vitreus.


30

Pembuluh darah baru yang tidak mempunyai struktur yang kuat dan

mudah rapuh sehingga mudah mengakibatkan perdarahan. Perdarahan

vitreus memberi gambaran perdarahan pre-retina (sub-hyaloid) atau

intragel. Perdarahan intragel termasuk didalamnya adalah anterior,

middle, posterior, atau keseluruhan badan vitreous. Gejalanya adalah

perkembangan secara tiba-tiba dari floaters yang terjadi saat

perdarahan vitreous masih sedikit. Pada perdarahan badan kaca yang

massif, pasien biasanya mengeluh kehilangan penglihatan secara tiba-

tiba. Oftalmoskopi direk secara jauh akan menampakkan bayangan

hitam yang berlawanan dengan sinar merah pada perdahan vitreous

yang masih sedikit dan tidak ada sinar merah jika perdarahan vitreous

sudah banyak. Oftalmoskopi direk dan indirek menunjukkan adanya

darah pada ruang vitreous. Ultrasonografi Bscan membantu untuk

mendiagnosa perdarahan badan kaca.

4. Ablasio retina. Merupakan keadaan dimana terlepasnya lapisan

neurosensori retina dari lapisan pigmen epitelium. Ablasio retina

tidak menimbulkan nyeri, tetapi bisa menyebabkan gambaran bentuk-

bentuk ireguler yang melayang-layang atau kilatan cahaya, serta

menyebabkan penglihatan menjadi kabur.


31

2.3 Pengetahuan

2.3.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera

yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya), atau hasil

pengindraan manusia. Pengetahuan yang dihasilkan tersebut dipengaruhi

oleh lamanya intesitas perhatian dan persepsi terhadap objek

(Notoadmodjo, 2010).

2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang, yaitu:

1. Faktor Internal

a. Umur

Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan

lebih matang dalam berpikir dan bekerja dari segi kepercayaan masyarakat

yang lebih dewasa akan lebih percaya dari pada orang yang belum cukup

tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat dari pengalaman jiwa

(Nursalam, 2011).

b. Pengalaman

Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experience is the best teacher),

pepatah tersebut bisa diartikan bahwa pengalaman merupakan sumber

pengetahuan, atau pengalaman itu merupakan cara untuk memperoleh

suatu kebenaran pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun

dapat dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini

dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh


32

dalam memecahkan persoalan yang dihadapi pada masa lalu

(Notoadmodjo, 2010).

c. Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin banyak pula

pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya semakin pendidikan yang kurang

akan menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap nilai-nilai yang

baru diperkenalkan (Nursalam, 2011).

d. Pekerjaan

Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama untuk

menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Pekerjaan bukanlah

sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan cara mencari nafkah

yang membosankan berulang dan banyak tantangan (Nursalam, 2011).

e. Jenis Kelamin

Istilah jenis kelamin merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-

laki maupun perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun

kultural (Nursalam, 2011).

2. Faktor eksternal

a. Informasi

Informasi merupakan fungsi penting untuk membantu mengurangi rasa

cemas. Seseorang yang mendapat informasi akan mempertinggi tingkat

pengetahuan terhadap suatu hal (Nursalam, 2011).

b. Lingkungan

Hasil dari beberapa pengalaman dan hasil observasi yang terjadi di

lapangan (masyarakat) bahwa perilaku seseorang termasuk terjadinya


33

perilaku kesehatan, diawali dengan pengalaman-pengalaman seseorang

serta adanya faktor eksternal (lingkungan fisik dan non fisik)

(Notoadmodjo, 2010).

c. Sosial budaya

Semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial seseorang maka

tingkat pengetahuannya akan semakin tinggi pula (Nursalam, 2011).

2.3.3 Tingkat Pengetahuan

Intensitas atau tingkat pengetahuan seseorang terhadap objek secara garis

besar dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:

1. Tahu (know)

Tahu berarti hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengukur bahwa

orang tahu sesuatu, dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan.

2. Memahami (comprehension)

Memahami berarti orang tersebut harus dapat menginterprestasikan

secara benar tentang objek tersebut, bukan sekedar tahu dan dapat

menyebutkan, tetapi harus dapat menjelaskan mengapa harus

melakukan hal tersebut.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan saat seseorang yang telah memahami suatu objek

yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip

yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.


34

4. Analisis (analysis)

Analisis berarti seseorang mampu menjabarkan dan/atau memisahkan,

kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang

terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasinya

adalah saat seseorang dapat membedakan, atau memisahkan,

mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap objek tersebut.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah saat seseorang mampu untuk merangkum atau

meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-

komponen pengetahuan yang dimiliki atau diartikan sebagai

kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang

telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah saat seseorang mampu untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini berdasarkan

atas kriteria yang ditentukan sendiri atau norma-norma yang berlaku

di masyarakat. Misalnya, seseorang ibu dapat menilai seseorang

menderita malnutrisi atau tidak, dan sebagainya (Notoadmodjo, 2010).

Menurut Arikunto (2010), pengukuran tingkat pengetahuan dapat

dikatagorikan menjadi tiga yaitu:

1) Pengetahuan baik bila responden dapat menjawab 76 – 100%

dengan benar dari total jawaban pertanyaan.

2) Pengetahuan cukup bila responden dapat menjawab 56 – 75%

dengan benar dari total jawaban pertanyaan.


35

3) Pengetahuan kurang bila responden dapat menjawab <56% dari

total jawaban pertanyaan.

2.4 Sikap

2.4.1 Pengertian Sikap

Sikap pada awalnya diartikan sebagai suatu syarat untukmunculnya suatu

tindakan. Konsep itu kemudian berkembang semakinluas dan digunakan

untuk menggambarkan adanya suatu niat yang khusus atau umum, berkaitan

dengan kontrol terhadap respon pada keadaan tertentu. Sikap merupakan

reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu objek.

Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya ditafsirkan

terlebih dahulu dari perilaku tertutup (Azwar, 2013).

2.4.2 Komponen Pokok sikap

Sikap itu mempunyai tiga komponen pokok yaitu; Kepercayaan (keyakinan),

ide, dan konsep terhadap suatu objek. Kehidupan emosional atau evaluasi

terhadap suatu objek. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh

(total attitude) (Notoatmodjo, 2014).

Indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan yaitu:

a. Sikap terhadap sakit dan penyakit adalah bagaimana penilaian atau

pendapat seseorang terhadap: gejala atau tanda-tanda penyakit,

penyebab penyakit, cara penularan penyakit, cara pencegahan

penyakit, dan sebagainya.


36

b. Sikap tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat

adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara

memelihara dan cara-cara berperilaku hidup sehat.

c. Sikap tentang kesehatan lingkungan adalah pendapat atau penilaian

seseorang terhadap lingkungan dan pengaruhnya terhadap kesehatan.

2.4.3 Tingkatan sikap

Menurut Notoatmodjo (2014) sikap terdiri dari 4 tingkatan yaitu :

a. Menerima (receiving): menerima diartikan bahwa orang (responden)

mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan(objek).

b. Merespon (responding): memberikan jawaban apabila ditanya,

mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalahsuatu

indikasi dari sikap.

c. Menghargai (valuing): mengajak orang lain untuk mengerjakanatau

mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (responsible): bertanggung jawab atas

segalasesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan

sikap yang paling tinggi.

2.4.4 Faktor yang mempengaruhi Sikap

Pembentukan sikap dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pengalaman,

yaitu dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila pengalaman tersebut

meninggalkan kesan yang kuat dan pernah melakukan hal tersebut,

kebudayaan, pengaruh orang lain yang dianggap penting, media massa,

institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama, pengetahuan, serta

faktor emosi dalam diri individu(Azwar, 2013).


37

2.4.5 Sifat Sikap

Sikap dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:

a. Sikap positif merupakan sikap yang menunjukan atau mempertahankan,

menerima, mengakui, menyetujui, serta melaksanakan norma-norma

yang berlaku dimana individu itu berbeda.

b. Sikap negatif merupakan sikap yang menunjukan, memperlihatkan

penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang

berlaku dimana individu itu berada.

2.4.6 Pengukuran Sikap

Menurut Azwar (2013), ada 2 macam jenis pernyataan yaitu favourable dan

unfavourable.

Favourable yaitu bila pernyataan berisi atau mengatakan hal-hal positif

mengenai objek sikap yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak

pada objek sikap, dan sebaliknya untuk pernyataan unfavourable. Untuk

jawaban favourable apabila menjawab sangat setuju (SS) skor nya 4; Setuju

(S) skor nya 3;Tidak setuju (TS) skor nya 2; Sangat tidak setuju (STS) skor

nya 1.Pada pernyataan negatif (unfavourable) jawaban: sangat setuju (SS)

skor nya 1; Setuju (S) skor nya 2; Tidak setuju (TS) skor nya 3; Sangat tidak

setuju (STS) skor nya 4. Nilai dijumlahkan sehingga didapat perolehan skor

tiap responden.

2.5 Pemeriksaan Mata

Annual Diabetic Eye Exams and Prompt Treatment atau pemeriksaan mata

tahunan, dipertimbangkan menjadi kunci strategis untuk mengontrol


38

kehilangan visus pada pasien diabetes. Deteksi dini dan intervensi retinopati

diabetikum dapat megurangi 90% kebutaan karena diabetes (Hatef et al., 2015)

Menurut ADA (2018) menyarankan beberapa anjuran untuk skrining mata pada

pasien diabetes untuk mencegah terjadinya retinopati diabetikum sebagai

berikut:

1. Orang dewasa dengan diabetes melitus tipe 1 sebaiknya melakukan

pemeriksaan dilatasi mata inisial dan komprehensif ke oftalmologis atau

spesialis mata dalam 5 tahun setelah onset diabetes.

2. Orang dewasa dengan diabetes melitus tipe 2 sebaiknya melakukan

pemeriksaan dilatasi mata inisial dan komprehensif ke oftalmologis atau

spesialis mata pada saat terdiagnosis diabetes.

3. Jika tidak terdapat bukti retinopati diabetikum saat pemeriksaan mata

tahunan dan gula darah terkontrol, lakukan pemeriksaan mata setiap 1-2

tahun. Jika terdapat tanda retinopati diabetikum, pemeriksaan dilatasi

retina sebaiknya diulangi setiap setahun sekali ke oftalmologis atau

spesialis mata.

4. Foto retina dapat dijadikan alat skrining, tetapi bukan merupakan

pemeriksaan mata komprehensif.

5. Wanita dengan diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 yang merencanakan

kehamilan atau sedang hamil harus diedukasi tentang risiko perkembangan

dan/atau progresi dari retinopati diabetikum.

6. Pemeriksaan mata sebaiknya dilakukan sebelum kehamilan atau saat

trimester pertama pada wanita dengan diabetes tipe 1 dan tipe 2.


39

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Studi Literatur

Penelitian ini merupakan studi literature yang mengumpulkan data dari

sumber-sumber tertulis yang bersifat teoritis seperti buku, dokumen dan

berbagai macam literature yang berhubungan dengan topik yang peneliti

bahas yaitu hubungan tingkat pengetahuan mengetahui retinopati diabetikum

dengan sikap terhadap pemeriksaan mata pada pasien diabetes melitus (Sugandi,

2015)

3.2 Strategi Pencarian Literatur

Penelusuran pustaka dilakukan melalui dua database (Google Scholar dan

Ejournal) yang dicari mulai tahun 2015-2019 berupa laporan hasil penelitian

dan review yang membahas tingkat pengetahuan mengetahui retinopati

diabetikum dan sikap terhadap pemeriksaan mata pada pasien diabetes melitus

3.2.1 Database Pencarian

Penelitian ini menggunakan metode literature review dimana

penelitian ini berdasar dari hasil literasi dari beberapa studi penelitian

sebelumnya. Data yang dipergunakan untuk penelitian ini yaitu data sekunder,

didapat dari hasil penelitian sebelumnya dan bukan berasal dari pengamatan

secara langsung. Pencarian literature review ini dilakukan pada bulan April

tahun 2021 menggunakan Pubmed dan Google Scholar merupakan database

yang digunakan untuk mencari sumber data sekunder baik berupa artikel

maupun jurnal yang terkait.


40

1.2.2 Kata Kunci

Dalam mempermudah serta menentukan jurnal yang akan digunakan, maka

pencarian artikel atau jurnal dapat memakai kata kunci ataupun boolean

operator (AND, OR NOT or AND NOT) untuk menspesifikkan dan

memperluas pencarian.

Pengetahuan Sikap Pasien DM


AND AND AND
Knowledge Compliance DM Patients

Kata Kunci : ((Knowledge) AND compliance) AND DM Patiens

3.2.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Strategi yang digunakan untuk mencari artikel menggunakan PICO , yang terdiri

dari:

1. Patient/Population/Problem

Population atau subjek adalah pasien diabetes melitus, sedangkan Problem

atau masalah adalah sikap terhadap pemeriksaan mata

2. Intervention

Intervensi yang diberikan berupa pengetahuan mengenai retinopati

diabetikum.

3. Comparison

Akan dilakukan perbandingan pada kelompok yang tingkat pengetahuan

baik, cukup dan kurang.

4. Outcome

Outcome yang diharapkan adalah sikap mendukung terhadap pemeriksaan

mata.
41

Table 3.2 format PICO dalam Literature Review.

Kriteria Inklusi Ekslusi


Population Studi yang membahas Studi yang membahas

tentang Pasien DM tentang Pasien DM


Intervention Tingkat pengetahuan baik Tingkat pengetahuan

kurang
Comparators Tidak ada pembanding -
Outcomes Sikap mendukung Sikap tidak mendukung

terhadap pemeriksaan terhadap pemeriksaan mata

mata pada pasien DM pada pasien DM


Tahun Publikasi Penerbitan jurnal setelah Penerbitan jurnal sebelum

tahun 2016 tahun 2016


Bahasa Bahasa Indonesia dan Selain Bahasa Indonesia

Bahasa Inggris dan Inggris

3.2.4 Seleksi Studi dan Penilaian Kualitas

Berdasarkan hasil pencarian literature dengan search engine Schoolar

dengan kata kunci yang sudah ditentukan menghasilkan sebanyak 110 artikel, di

pubmed menggunakan kata kunci yang sesuai mendapatkan 50 artikel. Artikel

tersebut kemudian dilakukan skrining berdasarkan judul ditemukan 20 artikel.

Dari 20 artikel tesebut diskrining kembali dengan memperhatikan kesesuaian isi

dengan cara membaca sekilas pada abstrak dan kalimat-kalimat penting yang

terdapat pada abstrak dan pendahuluan artikel, melalui proses seleksi artikel

tersebut diperoleh sebanyak 12 artikel. Artikel yang diperoleh kemudian

dilakukan pembacaan yang utuh dan menyeluruh dengan tujuan untuk


42

menemukan inti sari artikel, dari artikel tersebut diperoleh sebanyak 8 artikel.

Assessment yang dilakukana berdasarkan kelayakan terhadap kriteria inklusi dan

ekslusi didapatkan sebanyak 4 artikel yang bisa dipergunakan dalam literature

review.
43

Artikel yang teridentifikasi Artikel yang teridentifikasi


melalui pencarian database melalui pencarian database
primer (n=50) sekunder (n=110)

Pubmed : 50 Google Schoolar : 110

Hasil pencarian dari sumber yang ada (n=160)

Identifikasi Judul Exclude (n=140)

(n=20) Populasi/Problem

- Study yang tidak


membahas pasien
DM
Identifikasi Abstrak
Intervention
(n=12)
- Tingkat
pengetahuan kurang

Outcome

Full text yang dinilai - Sikap tidak


kelayakannya mendukung
terhadap
(n=8)
pemeriksaan mata
pada pasien DM

Artikel yang dianalisis

(n=4)

Gambar 3.2 Diagram Flow Literatur Riview


44

3.2.5 Penilaian Kualitas

The Joanna Briggs Institute (JBI) Critical Appraisal untuk beberapa jenis

Studi Quasi-experimental studies, cross-sectional Randomize, pre-experiment,

qualitative digunakan untuk menganalisis kualitas metodologi dalam setiap studi

(n = 5). Checklist daftar penilaian berdasarkan The JBI Critical Appraisal telah

tersedia beberapa pertanyaan untuk menilai kualitas dari studi. Penilaian kriteria

diberi nilai 'ya', 'tidak', 'tidak jelas' atau 'tidak berlaku', dan setiap kriteria dengan

skor 'ya' diberi satu poin dan nilai lainnya adalah nol, setiap skor studi kemudian

dihitung dan dijumlahkan. Critical appraisal untuk menilai studi yang memenuhi

syarat dilakukan oleh para peneliti. Jika skor penelitian setidaknya 50%

memenuhi kriteria critical appraisal dengan nilai titik cut-off yang telah disepakati

oleh peneliti, studi dimasukkan ke dalam kriteria inklusi. Lembar peniliaian

critical appraisal terdapat pada lembar lampiran.

3.3 Melakukan Riview

Penulis bagian ini membeberkan bagaimana menganalisis / mereview hasil

penelitian atau jurnal dari berbagai sumber. Tinjauan pustaka dimulai dengan

materi tertulis, yang dianggap dalam urutan paling relevan, paling relevan, dan

cukup relevan. Kemudian baca abstraknya.Setiap jurnal mengevaluasi terlebih

dahulu apakah isu yang dibahas sesuai dengan isu yang akan dipecahkan di jurnal.

Memperhatikan poin-poin utama dan relevansinya dengan pertanyaan penelitian,

agar tidak direpotkan oleh faktor pencurian, penulis juga harus memperhatikan

sumber informasinya dan mencantumkan daftar pustaka. Jika ya, informasi

tersebut berasal dari pikiran atau kata-kata orang lain. Buatlah catatan, kutipan,

atau informasi yang tersusun secara sistematis sehingga teks tersebut dapat
45

dengan mudah diambil kembali saat dibutuhkan (Darmadi, 2011 dalam Nursalam,

2016).

3.4 Rencana Penyajian Hasil Literature Review

Data dari penelitian kepustakaan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi

yang memuat semua aspek dari pustaka yang ada. Dimulai dengan judul artikel,

sumber artikel (nomor jurnal, nama jurnal, tahun terbit), tujuan penelitian, metode

penelitian, ukuran sampel, waktu penelitian, variabel penelitian, alat pengumpulan

data dan analisis data. Data hasil penelitian kepustakaan muncul dalam bentuk

tabel yaitu berupa angka (data digital) dalam baris dan kolom yang bertujuan

untuk menunjukkan frekuensi kemunculan berbagai jenis peristiwa. Sementara

itu, data penelitian kepustakaan berbasis naratif dilakukan dalam bentuk naratif,

mulai dari pengumpulan data hingga penarikan kesimpulan.


DAFTAR PUSTAKA

Adriono G, Wang D, Octavyanus C, 2011, Use of eye care services among


diabetic patient in urban Indonesia, Universitas Indonesia, Arch Ophthalmol.

Andra, S & Yessie, M, 2013, KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah (Keperawatan


Dewasa Teori dan Contoh Asuhan Keperawatan), Yogyakarya, Nuha Medika.

Arifin, Z 2012, Evaluasi Pembelajaran, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Arikunto, S 2010, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta,


Rineka Cipta.

Augsburger JJ, Riordan-Eva P 2018, Vaughan & Asbury’s : general


ophthalmology, New York, Mc Graw Hill Education.

Azwar, S 2013, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta,


Pustaka Pelajar.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI, Riset Kesehatan


Dasar 2013, Jakarta, Kemenkes.

Edi IGMS 2014, Faktor-faktor yang memengaruhi kepatuhan pasien pada


pengobatan, Medicamento.

Gupta V, Arevalo JF 2013, Surgical Management of Diabetic Retinopathy,


Middle East Afr J Ophtalmol.

Hatef E, Vanderver BG, Fagan P, Albert M, Alexander M. 2015, Annual diabetic


eye examinations in a managed care medicaid population. Am J Manag Care.

Hidayat, A.A 2011, Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data,
Jakarta, Salemba Medika.

Irianto, A 2015, Statistik (Konsep Dasar, Aplikasi dan Pengembangnya), Jakarta,


Kencana.

Kowalak, 2011, Buku Ajar Patofisiologi, Jakarta, EGC.

Kumar V, Cotron R, dan Robbins S 2012, Buku Ajar Patologi Edisi 7, (Alih
bahasa: Brahm U, Pendt et al), Jakarta, EGC.

76
77

Mansjoer, A et al 2011, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1, Jakarta, Media


Aesculapius.

Notoatmodjo, S 2010, Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2014, Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan, Jakarta,


Rineka Cipta.

Nursalam, 2011, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan, Jakarta, Salemba Medika.

Nursalam, 2013, Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 3, Jakarta,


Salemba Medika.

Pandelaki, K 2014, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5, Jakarta, Internal
Publishing jilid II.

Park, YG dan Roh Y 2016, New diagnostic and therapeutic approaches for
preventing the progression of diabetic retinopathy, Journal of Diabetes
Research.

PERKENI, 2011, Kondensus Pengelolahan dan Pencegahan Diabetes Mellitus


tipe 2 di Indonesia, Jakarta, PB PERKENI.

PERKENI, 2015, Kondensus Pengelolahan dan Pencegahan Diabetes Mellitus


tipe 1 di Indonesia, Jakarta, PB PERKENI.

Price, S & Wilson, L 2012, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,


Jakarta, EGC.

Riwidikdo, H 2012, Stastistik Kesehatan, Yogyakarta, Mitra Cendekia Pres.

Riwidikdo, H 2013, Statistik Kesehatan dan Aplikasi SPPS Dalam


Prosedur Penelitian,Yogyakarta, Rohima Press.

Rusimah, 2011, Hubungan Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan Gizi dengan


Kepatuhan Diet Pada Penderita Diabetes Melitus Ddi Ruang Rawat Inap
RSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh Banjarmasin Tahun 2010, Skripsi,
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Husada Borneo Banjarbaru.

Schwartz SG, Jr. HWF, Scott IU. 2014, Intravitreal corticosteroids in the
management of diabetic macular edema. Curr Ophthalmol Rep. 1(3): 1–10.

Sedani, Y 2014, Hubungan Antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Tingkat
Aktivitas Fisik Terhadap Derajat Dysmenorrhea Primer Pada Remaja Putri di
SMA Negeri 1 Lawang. Malang, FKUB.
78

Setiadi, 2013, Konsep dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan Edisi 2,


Yogyakarta, Graha Ilmu.

Shofiyah, S 2014, Hubungan Antara Pengetahuan Dan Dukungan Keluarga


Terhadap Kepatuhan Penderita Diabetes Mellitus (DM) Dalam
Penatalaksanaan Di Wilayah Kerja Puskesmas Srondol Kecamatan
Banyumanik, Semarang, Prosiding Konferensi Nasional II PPNI Jawa Tengah.

Sidarta, I 2012, Dasar Teknik Pemeriksaan Dalam Ilmu Penyakit Mata Edisi 4,
Jakarta, FKUI.

Sidarta, I 2013, Kedaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata, Jakarta, FKUI.

Sidarta, I 2017, Ilmu Penyakit Mata Edisi 5, Jakarta, FKUI.

Smelter, C, Suzanne, & Bare, B 2013, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Edisi 8, Jakarta, EGC.

Sugiyono, 2014, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,


Bandung, Alfabeta.

Tanto, C 2014, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 1, Jakarta, Media


Aesculapius.

Wawan, A dan Dewi, M 2010,Teori dan Pengukuran Pengetahuan , Sikap dan.


Perilaku Manusia, Yogyakarta, Nuha Medika

Williams, L & Wilkins, 2011, Nurshing: Memahami Berbagai Macam Penyakit


(Alih Bahasa: Paramita), Jakarta, PT.Indeks.
72

Anda mungkin juga menyukai