Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya terjangkit di
negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan dari Global
Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa perkiraan jumlah
penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta orang, dengan jumlah
kematian yang terus meningkat hingga 180.000 orang per tahun (GINA,2012).
Data WHO juga menunjukkan data yang serupa bahwa prevalensi asma terus
meningkat dalam tiga puluh tahun terakhir terutama di negara maju. Hampir
separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan
kunjungan ke bagian gawat darurat setiap tahunnya (Rengganis, 2008).
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang bersifat reversible
dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus terhadap berbagai
rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan
derajatnya dapat berubah-ubah secara spontan yang ditandai dengan mengi
episodik, batuk, dan sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas
(Henneberger dkk., 2011).
Pada umumnya penderita asma akan mengeluhkan gejala batuk, sesak napas,
rasa tertekan di dada dan mengi. Pada beberapa keadaan batuk mungkin
merupakan satu-satunya gejala. Gejala asma sering terjadi pada malam hari dan
saat udara dingin, biasanya bermula mendadak dengan batuk dan rasa tertekan di
dada, disertai dengan sesaknapas (dyspnea) dan mengi. Batuk yang dialami pada
awalnya susah, tetapi segera menjadi kuat. Karakteristik batuk pada penderita
asma adalah berupa batuk kering, paroksismal, iritatif, dan non produktif,
kemudian menghasilkan sputum yang berbusa, jernih dan kental. Jalan napas yang
tersumbat menyebabkan sesak napas, sehingga ekspirasi selalu lebih sulit dan
panjang dibanding inspirasi, yang mendorong pasien untuk duduk tegak dan
menggunakan setiap otot aksesori pernapasan. Penggunaan otot aksesori
pernapasan yang tidak terlatih dalam jangka panjang dapat menyebabkan
penderita asma kelelahan saat bernapas ketika serangan atau ketika
beraktivitas(Brunner & Suddard, 2002).
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Asma adalah suatu keadaan dimana seluruh nafas mengalami penyempitan
karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan
peradangan; penyempitan ini bersifat berulang namun reversible, dan diantar
episode penyempitan bronkus terdapat keadaan ventilasi yang lebih normal
(Sylvia dan Wilson, 2006).
Asma adalah gangguan pada bronkus yang ditandai adanya bronkospasme
periodik yang reversibel (kontranksi berkepanjangan saluran napas bronkus)
(Black & Hawks, 2014).
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial dengan ciri
bronkospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran napas) (Somantri, 2007).
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif intermiten, reversibel karena
trakea dan bronkus berespons secara hiperaktif terhadap stimulasi tertentu
(Brunner & Suddarth, 1997)

Asma dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :


1. Asma Bronkial
Penderita asma bronkial,hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan
dari luar, seperti debu rumah, bulu binatang,asap dan bahan lain penyebab
alergi. Gejala kemunculannya sangat mendadak, sehingga gangguan asma
bisa datang secara tiba-tiba. Jika tidak mendapatkan pertolongan secepatnya,
resiko kematian bisa datang. Gangguan asma bronkial juga bisa muncul
lantaran adanya radang yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan
bagian bawah. Penyempitan ini akibat kerutnya otot polos saluran
pernapasan, pembengkakan selaput lendir, dan pembentukan timbunan lendir
yang berlebihan.
2. Asma Kardial
Asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung. Gejala asma kardial
biasanya terjadi pada malam hari, disertai sesak nafas yang hebat. Kejadian
ini disebut noctural paroxymul dyspnea. Biasanya terjadi pada saat penderita
sedang tidur.
Menurut Mc Connel dan Holgate asma dibedakan menjadi :(Sudoyo, 2009)
1. Asma ekstrinsik : munculnya pada waktu anak-anak
2. Asthma intrinsic : ditemukan tanda-tanda reaksi hipersensitivitas terhadap
alergen.
3. Asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruktif kronik.

B. Anatomi fisiologi

Gambar 1 Anatomi sistem pernapasan

Gambar 2 Anatomi keadaan normal dan Asma Bronkhial


C. Etiologi
Menurut berbagai penelitian patologi dan etiologi asma belum diketahui
dengan pasti penyebabnya, akan tetapi hanya menunjukkan dasar gejala asma
yaitu inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan ditandai dengan
adanya kalor (panas karena vasodilatasi), tumor (esudasi plasma dan edema),
dolor (rasa sakit karena rangsangan sensori), dan function laesa (fungsi yang
terganggu). Dan radang harus disertai dengan infiltrasi sel-sel radang (Sudoyo
dkk,2009).

D. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala asma bervariasi sesuai dengan derajat bronkospasme.
Klasifikasi keparahan eksaserbasi asma :
a. Gejala
- Dispnea
- Bicara
b. Tanda
- Posisi tubuh
- Frekuensi pernapasan
- Penggunaan obat bantu pernapasan
- Suara napas
- Frekuensi jantung
- Status mental

E. Patofisiologi

Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus


reversible. Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu
kontraksi otot-otot polos baik saluran napas, pembengkakan membran
yang melapisi bronki, pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain
itu, otot-otot bronki dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang kental,
banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara
terperangkap didalam jaringan paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE)
kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap
antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibody, menyebabkan
pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamine,
bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang
bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan
mucus yang sangat banyak. Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari
sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α- adrenergik
dirangsang, terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-
adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β-
adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat (cAMP).
Stimulasi reseptor α- mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada
peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast
bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β- mengakibatkan peningkatan tingkat
cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabakan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β- adrenergik
terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya, asmatik rentan terhadap
peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi otot polos (Smeltzer
& Bare, 2002).
F. Pathway

pencetus

Alergi Idiopatik

Edema dinding Spasme otot Sekresi mukus


bronkiolus polos bronkiolus kental didalam
lumen bronkiolus

Menekan sisi
ekspirasi Diameter bronkiolus Bersih jalan nafas
luar
mengecil tidak efektif
bronkiolus

Intoleransi
Dispnea Pola nafas tidak
aktivitas
efektif

Perfusi paru tidak


Gangguan
cukup mendapat
pertukaran gas
ventilasi
G. Pemeriksaan penunjang
1. Spirometer : Dilakukan sebelum dan sesudah bronkodilator hirup
(nebulizer/inhaler), positif jika peningkatan VEP/KVP>20%.
2. Eosinofil darah meningkat
3. Uji kulit
4. RO dada yaitu patologis paru/komplikasi asma
5. AGD : Terjadi pada asma berat pada fase awal terjadi hipoksemia dan
hipokapnia (PCO2 turun) kemudian fase lanjut normokapnia dan hiperkapnia
(PCO2 naik).
6. Foto dada AP dan lateral. Hiperinflasi paru, diameter anteroposterior
membesar pada foto lateral, dapat terlihat bercak konsolidasi yang tersebar.

H. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Program penatalaksaan asma
meliputi 7 komponen, yaitu : (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,2003).
1. Edukasi
Edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti. Edukasi tidak
hanya ditujukan untuk penderita dan keluarga tetapi juga pihak lain yang
membutuhkan seperti pemegang keputusan,pembuat perencanaan bidang
kesehatan/asma, profesi kesehatan.
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
Penilaian klinis antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri
mutlak dilakukan pada penata laksanaan asma. Hal tersebut disebabkan
beberapa faktor lain :
a. Gejala dan berat asma berubah, sehingga membutuhkan perubahan terapi
b. Pajanan pencetus menyebabkan penderita mengalami perubahan pada
asmanya
c. Daya ingat (memori) dan motivasi penderita yang perlu direviuw, sehingga
membantu penanganan asma terutama asma mandiri.
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai
asma terkontrol. Terdapat 3 faktor yang perlu dipertimbangkan:
a. Medikasi (obat-obatan)
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi
jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.
b. Tahapan pengobatan
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melibihi 3-4 kali sehari.
c. Penanganan asma mandiri (Pelangi Asma)
Hubungan penderita –dokter yang baik adalah dasar yang kuat untuk terjadi
kepatuhan dan efektif penatalaksanaan asma. Rencanakan pengobatan asma
jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik/memungkinkan bagi
penderita dengan maksud mengontrol asma.
5. Menetapkan pengobatan pada seranan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat

I. Pencegahan
1. Pencegahan primer
a. Pendidikan kesehatan
Pendidikan kesehatan dengan meliputi penginformasian mengenai asma
dengan gejala, pencegahan dan juga penyebaran.
b. Konsultasi genetik
Genetik memudahkan seseorang untuk mendapatkan penyakit ini.
c. Sanitasi dan hygiene individu
Membebaskan lingkungan dari debu, asap tokok, bulu hewan, dan serbuk
sari. Menggunakan masker dan memasang filter ruangan.
d. Olahraga teratur melatih tubuh menjadi sehat dan tidak rentan asma.
2. Pencegahan sekunder
a. Check up rutin
Dapat dilakukan dengan melakukan check up pada dokter spesialis
penyakit dalam yang berfunsi untuk mengontrol terjadinya asma agar tidak
terlalu sering maupun fatal.
b. Screening test
Pemeriksaan fisik yakni dengan melihat frekuensi pernafasan, spirometri,
maupun foto rongen, pemeriksaan darah jika penyebabnya alergen dengan
melihat peningkatan enofil.
c. Pencarian kasus
Melihat sebaran penyakit ini, sehingga akan mudah untuk melakukan
penyuluhan maupun pengobatan pada wilayah spesifik.
d. Pencegahan khusus
Menjaga dan menghindarkan diri dari faktor-faktor resiko yang rentan
serta sering terdapat disekeliling penderita.
e. Monitoring
Penderita mampumengontrol asma agar asma yang diderita tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari dan mencegah dari kefatalan.
f. Pemberian obat yang rasional dan efektif
Pada serangan asma tingkat sedang dapat diobati dengan sulbutamol (3x2-
4 mg/oral) dengan inhaler, bisa juga dengan aminofilin 500-1200 mg
perhari secara oral.
3. Pencegahan tersier
Rehabilitasi dan mempekerjakan orang yang asma selayaknya yang sehat.
Pada pencegahan ini orang dengan asma tetap diperlakukan layaknya
orang normal dan juga perlu diadakan motivasi untuk pra penderita asma
agar tetap mampu memposisikan diri mereka sebagai bagian dari
masyarakat yang saling membutuhkan.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, alamat, jenis kelamin, no MR, pekerjaan,
penanggung jawab, dan lain-lain.
2. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien pada saat masuk di
Rumah Sakit atau keluhan yang membawa pasien sampai ingin masuk ke
Rumah Sakit.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah klien pernah mengalami penyakit asma sebelumnya,apakah
klien pernah mengalami penyakit paru sebelumnya,kaji apakah klien
pernah mengkonsumsi obat dan kaji riwayat alergi pasien.
b. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien mengalami dispnea dengan ekspirasi memanjang,batuk
yang kental dan susah keluar,sianosis, takikardi,gelisah,diaporesis dll.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada keluarga klien yang memiliki penyakit yang sama,
apakah ada penyakit keturunan.

4. Pola fungsi kesehatan


a. pola pemeliharaan kesehatan
Gejala Asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal
sehingga pasien dengan asma harus mengubah gaya hidupnya sesuai
kondisi yang memungkinkan tidak terjadi serangan Asma.

b. Pola nutrisi dan metabolik


Perlu dikaji tentang status nutrisi pasien meliputi, jumlah,
frekuensi, dan kesulitan-kesulitan dalam memenuhi kebutuhnnya. Serta
pada pasien sesak, potensial sekali terjadinya kekurangan dalam
memenuhi kebutuhan nutrisi, hal ini karena dispnea saat makan, laju
metabolism serta ansietas yang dialami pasien.
c. Pola eliminasi
Perlu dikaji tentang kebiasaan BAB dan BAK mencakup warna, bentuk,
konsistensi, frekuensi, jumlah serta kesulitan dalam pola eliminasi.

d. Pola aktifitas dan latihan


Perlu dikaji tentang aktifitas keseharian pasien, seperti olahraga,
bekerja, dan aktifitas lainnya. Aktifitas fisik dapat terjadi faktor pencetus
terjadinya Asma.

e. Pola istirahat dan tidur


Perlu dikaji tentang bagaiman tidur dan istirahat pasien meliputi berapa
lama pasien tidur dan istirahat. Serta berapa besar akibat kelelahan yang
dialami pasien. Adanya wheezing dan sesak dapat mempengaruhi pola
tidur dan istirahat pasien.

f. Pola persepsi sensori dan kognitif


Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep
diri pasien dan akhirnya mempengaruhi jumlah stresor yang dialami
pasien sehingga kemungkinan terjadi serangan Asma yang berulang pun
akan semakin tinggi.

g. Pola hubungan dengan orang lain


Gejala Asma sangat membatasi pasien untuk menjalankan
kehidupannya secara normal. Pasien perlu menyesuaikan kondisinya
berhubungan dengan orang lain.

h. Pola reproduksi dan seksual


Reproduksi seksual merupakan kebutuhan dasar manusia, bila
kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terjadi masalah dalam
kehidupan pasien. Masalah ini akan menjadi stresor yang akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya serangan Asma
i. Pola persepsi diri dan konsep diri
Perlu dikaji tentang pasien terhadap penyakitnya.Persepsi yang
salah dapat menghambat respon kooperatif pada diri pasien. Cara
memandang diri yang salah juga akan menjadi stresor dalam kehidupan
pasien.

j. Pola mekanisme dan koping


Stres dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus
serangan Asma maka prlu dikaji penyebab terjadinya stress. Frekuensi
dan pengaruh terhadap kehidupan pasien serta cara penanggulangan
terhadap stresor.

k. Pola nilai kepercayaan dan spiritual


Kedekatan pasien pada sesuatu yang diyakini di dunia dipercayai dapat
meningkatkan kekuatan jiwa pasien.Keyakinan pasien terhadap Tuhan
Yang Maha Esa serta pendekatan diri pada-Nya merupakan metode
penanggulangan stres yang konstruktif (Perry, 2005 & Asmadi 2008).

5. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda vital :
     Tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu.
b. Pemeriksaan head to too :
- mata
- kepala
- leher
- thorax
- abdomen
- tulang belakang
- ekstremitas
- genetalia dan anus

12
B. Diagnosa Keperawatan
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mucus
dalam jumlah berlebihan peningkatan produksi mucus, eksedat dalam
alveoli dan bronkospasme.
3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan keletihan otot
pernapasan dan deformitas dinding dada.
4. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan retensi
karbondioksida.
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen (hipoksia) kelemahan.

C. Intervensi
1. Diagnosa : ketidakefektifan bersihan jalan napas
Tujuan/kriteria hasil :
a. Mendemontrasikan batuk efektif dan suara napas yang bersih, tidak
ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, mampu
bernapas dengan mudah, tidak ada persed lips).
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal).
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan nafas.

Intervensi :
a. Pastikan kebutuhan oral/tracheal suctioning
b. Auskultasi suara nafas sebelum dan suctioning
c. Informasikan pada klien dan keluarga tentang suctioning
d. Minta klien nafas dalam sebelum suction dilakukan
e. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi
suction nasotrakeal

13
f. Anjurkan pasien untuk istirahat dan nafas dalam setelah kateter
dikeluarkan dari nasotrakeal
g. Monitor status oksigen pasien
h. Ajarkan keluarga bagaimana melakukan suction

2. Diagnosa : Ketidakefektifan pola napas


Tujuan/kriteria hasil :
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
b. Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernapasan dalam rentang normal, tidak ada
suara nafas abnormal).
c. Mampu mengidentifikasikan dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan nafas.

Intervensi :
a. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
d. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
e. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
f. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
g. Monitor respirasi dan status O2

3. Diagnosa : Gangguan pertukaran gas


Tujuan/kriteria hasil :
a. Perbaikan ventilasi
b. Perbaikan oksigen jaringan adekuat

14
Intervensi :
a. Kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan. Catat penggunaan otot
aksesoris, bernapas dengan mendorong bibir, dan ketidakmampuan
berbicara.
b. Tinggikan kepala tempat tidur dan bantu klien mendapat posisi
yang memudahkan untuk kerja pernapasan. Berikan beriode waktu
ketika berada dalam posisi tengkurap sesuai toleransi. Dorong
pernapasan dalam, lambat atau pernapasan dengan mendorong
bibir jika diperlukan dan ditoleransi secara individual.
c. Kaji dan pantau warna kulit dan membran mukosa secara rutin.
d. Auskultasi bunyi napas, perhatikan area penurunan aliran udara
dan suara tambahan.
e. Palpasi dada untuk mendeteksi fremitus.
f. Pantau tingkat kesadaran dan status mental investigasi perubahan
yang terjadi.
g. Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan yang
tenang dan damai. Batasi aktivitas klien atau dorong tirah baring
atau istirahat dikursi selama fase akut. Minta klien melaksanakan
kembali aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai dengan
toleransi individu.
h. Evaluasi pola tidur ; catat laporan kesulitan dan apakah klien
merasa telah beristirahat dengan baik. Berikan lingkungan yang
tenang dan kelompokkan aktivitas perawatan dan pemantauan
untuk memungkinkan periode tidur tanpa gangguan. Batasi
stimulan seperti kafein. Dorong posisi kenyamanan. Pantau tanda
vital dan irama jantung.

Kolaboratif
a. Pantau dan buat grafik seri GDA dan oksimetri nadi.

15
b. Beri oksigen tambahan secara bijaksana via kanula nasal, masker,
atau ventilator mekanis, dan ukur sesuai indikasi berdasarkan hasil
GDA dan toleransi klien.
c. Beri anti-ansietas, sedatif, atau agens opioid, seperti morfin, dengan
hati-hati.
d. Bantu ventilasi tekanan positif intermiten noninvasif (nasal atau
oronasal) (noninvasive intermitent positive-pressure ventilation,
NIPPV) atau intubasi dan laksanakan serta pertahankan ventilasi
mekanis; pindahkan ke unitp perawatan kritis bergantung pada
arahan klien.
e. Persiapkan rujukan dan intervensi tambahan, seperti ke spesialis
paru, ke program rehabilitasi pulmonal, atau untuk intervensi
bedah, jika tepat.

4. Diagnosa : Intoleransi aktivitas


Tujuan/kriteria hasil :
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan
tekanan darah, nadi dan respirasi
b. Mampu melakukan aktivitas sehari-hari (ADLs) secara mandiri
c. Tanda-tanda vital normal
d. Energy psikomotor
e. Level kelemahan
f. Mampu berpindah : dengan atau tanpa bantuan alat
g. Status kardiopulmonari adekuat
h. Sirkulasi status baik
i. Status respirasi : pertukaran gas dan ventilasi adekuat

16
Intervensi :

a. Kolaborasi dengan tenaga rehabilitasi


b. Medik dalam merencanakan program terapi yang tepat
c. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
d. Bantuk untuk memilih aktivitas konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan sosial
e. Bantu untuk mengidentifikasi dan mendapatkan sumber yang
diperlukan untukaktivitas yang diinginkan
f. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Asma adalah suatu keadaan dimana seluruh nafas mengalami
penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang
menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat berulang namun
reversible, dan diantar episode penyempitan bronkus terdapat keadaan
ventilasi yang lebih normal (Sylvia dan Wilson, 2006).

Gejala dan gejala sebagai berikut :

- Dispnea
- Bicara
- Posisi tubuh
- Frekuensi pernapasan
- Penggunaan obat bantu pernapasan
- Suara napas
- Frekuensi jantung
B. Saran
 Dengan disusunnya makalah ini, kami mengharapkan kepada semua
pembaca agar dapat menelaah dan memahami apa yang telah terulis dalam
makalah ini sehingga sedikit banyak bisa menambah pengetahuan
pembaca. Disamping itu kami juga mengharapkan saran dan kritik dari
para pembaca sehinga kami bisa lebih baik pada makalah kami
selanjutnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Standar pelayanan medik (spm) rs harapan kita edisi iii. Jakarta

Bobak, lowdernik, jensen, 2005. Buku ajar keperawatan maternitas edisi 4. Egc,
jakarta

Corwin, elizabeth j. 2009. Patofisiologi: buku saku. Jakarta: egc.

Tanjung, D. (2003). Asuhan Keperawatan Asma Bronkial.

Perhimpunan dokter paru indonesi. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan


asma di indonesia, 2003.

Setiati, siti. 2014. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: internal publishing

Sudoyo aru,dkk 2009. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid 1,2,3, edisi keempat.
Internalllll publishing, jakarta

19

Anda mungkin juga menyukai