Anda di halaman 1dari 14

Epistemologi Eksistensial dalam Filsafat

Jean-Paul Sartre
In 3. Tokoh by Banin Diar Sukmono // 12:56 //

Catatan Untuk Pembaca : "Eksistensi mendahuli Esensi", "Hidup dan Jangan


Menyerah!" ya itulah kata-kata yang terkenal diucapkan oleh Jean Paul Sartre, filsuf
kondang abad 20 dari France.
Saya membuat makalah ini bersama teman saya Adriansyah Akbar atau yang biasa di
panggil Kipli sekitar bulan april-mei 2013. Sunguh 1,5 bulan yang melelahkan,
memahami epistemologi Sartre. Tidak semudah ontologinya, sedikit skali rujukan
tentang epistemologinya. Karena itu kami akhirnya sepakat untuk merumuskannya
dengan membandingkan rujukan karya yang berbahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Kami yakin ini belum sempurna, tetapi sebagai karya yang ilmiah, sumber-sumbernya
mampu untuk dipertanggungjawabkan.
Mohon maaf sebelumnya karena makalah ini tidak mengambil langsung dari rujukan
Primer seperti Being and Nothingness dan No Exit. Tetapi semoga walaupun
mengambil dari sumber-sumber sekunder, hal ini tidak mengurangi bobot pemikiran
Sartre.
Terima kasih untuk semua yang telah membantu menyelesaikan makalah ini. Terutama
my friend M. Adriansyah "Kipli" Akbar, HIDUP DAN JANGAN MENYERAH. oh iya
sekalian doakan saya agar bisa membuat versi artikel tentang tokoh ini ya. Terima
kasih. Selamat Membaca dan silahkan dijadikan Referensi.

Epistemologi Eksistensial dalam Filsafat


Jean-Paul Sartre

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Epistemologi
Dosen Pengampu : Drs.Imam Wahyudi, M.Hum

Oleh :
Banin Diar Sukmono - 12/329328/FI/03659
M. Adriansah Akbar P – 12/335823/FI/03704

FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Jean-Paul Sartre sebagai filsuf yang memasukan nama eksistensialisme ke dalam dunia
filsafat-dalam buku kecil yang dicetak dari ceramahnya untuk mengklarifikasi pandangan-
pandangan yang berkembang tentang eksistensialisme- adalah salah satu pemikir besar dalam
abad 20. Pemikirannya yang sangat radikal dan orisisnil tentang manusia dan ontologi membuat
banyak orang terpikat.
Tetapi sayangnya, dalam pemikiran eksistensialisme, khususnya Sartre, banyak orang
mengatakannya sebagai ajaran yang kurang berguna, karena selain untuk memperlihatkan
kesadaran manusia tidak ada lagi yang bisa di dapat. Hal itu disebabkan karena filsafat eksistensi
yang berpusat pada kajian ontologi dan manusia, jarang membahas kajian tentang
pengetahuan. Atau lebih tepatnya kajian tentang pengetahuan yang tersistematisasi dengan rapi.
Berangkat dari latar belakang tersebut, makalah ini akan mencoba untuk mensistematisasi
pemikiran eksistensialisme, khususnya Jean Paul Sartre tentang pengetahuan. Makalah ini
menarik untuk di bahas, karena dengan mengerti sistem pengetahuan yang di bahas Sartre,
diharapkan kita dapat mengembangkan pengetahuan khas eksistensialisme, yang radikal dan
orisinil.
B.     Kerangka Berpikir
Untuk mendapatkan dan mensistematisasi filsafat Sartre tentang pengetahuan, penulis
mencoba melihat pemikiran Sartre yang menjawab persoalan-persoalan epistemologi. Dimulai
dari melihat riwayat hidup dan pemikiran pokok Sartre, lalu melihat metode dan landasan yang
digunakannya untuk membangun filsafatnya. 

II PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
            Jean-Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan laut
Prancis dan ibunya, Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari
Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace. Ayahnya
meninggal sesudah dua tahun kelahiran Jean-Paul dan ibu bersama anaknya pulang ke rumah
ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun mereka berpindah ke Paris
(Bertens, 2001:81). Saat diasuh oleh kakeknya, Charles Schweitzer sangat menyayangi cucunya,
dan menjaganya tetap di rumah serta memberikan pendidikan sendiri sampai berusia sepuluh
tahun. Masa pengurungan ini menguntungkan Sartre karena dapat mengasah daya nalarnya
melalui buku-buku studi kakeknya (Munir, 2008 :104)
Di Paris, Sartre menemukan keajaiban bibliothek kakeknya. Di sana, ia hidup karena
merasa menjadi pusat perhatian dan pujaan keluarga. Dengan rambut pirangnya yang panjang
dan bergelung-gelung, Sartre kecil dengan cepat menyadari sisi tampan dari dirinya. Sampai
suatu hari, sang kakek membawa Sartre ke tukang cukur. Dalam Les Mots Sartre menuliskan
peristiwa tersebut tanpa eufimisme : ‘Saat diambil dari ibunya dia masih menakjubkan, tetapi
saat dikembalikan kepadanya ia menjadi seekor kodok. Itulah Sartre menemukan dirinya ‘Jelek’.
Bukan hanya karena matanya juling, tetapi juga karena rupa serta perawakanya membuatnya
mirip ‘kodok’. Penemuan dini ini sangat penting bila dikaitkan dengan dua konsep filsaft Sartre
yaitu L’autre dan Le regard(Wibowo, 2011 :25).
            Ketika berusia 17 tahun, Jean-Paul menerima gelar ‘baccalaureate’ (gelar diploma
sekolah menengah yang elit) dan ia memulai studi selam 6 tahun di Sorbonne untuk
mendapatkan aggregation, ujian yang akan memberinya jalan untuk memasuki karier akademis
dalam bidang filsafat. Namun pada tahun 1928 ia gagal dalam aggregation dan mendapatkan
peringkat paling akhir di kelasnya (Palmer, 2007:6). Tetapi setahun kemudia Sartre berhasil
mendaptkan rangking pertama dalam ujian aggregation-nya, di sini jugalah dia bertemu partner
seumur hidupnya, Simone de Beauvoir.
            Pada masa perang dunia, Sartre bergabung dengan militer Prancis (1939) sebagai seorang
meteorologis. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjara selama 9 bulan. Selama
menjadi tahanan perang, Sartre berpindah-pindah dari Padoux kemudian ke Nancy, dan terakhir
ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah dia menulis skenario teater pertamanya Bariona, Fills
du tonnerre. April 1941, Sartre dibebaskan karena alasan kesehatan. Namun, masa menjadi
tahanan itu memberikan makna mendalam bagi Sartre di sepanjang hidupnya. Setelah kembali ke
Paris, Sartre bergabung dengan kelompok pergerakan dan menulis di berbagai majalah
seperti Les Leteres Francaise dan Combat. Sartre pernah mendirikan review bulanan tentang
Sastra dan politik,Les Temps Modernes, dan membaktikan diri sepenuhnya pada kegiatan
menulis dan politik (Adian, 2010:69-70).  
                 Tahun 1964, Sartre dianugerahi hadiah nobel untuk bidang sastra. Karena alasan
politis ia menolak hadiah tersebut. Jean Paul Sartre meninggal tanggal 15 April 1980. Para
dokter berusaha membujuk Simone de Beauvoir yang sangat terpukul oleh kematian Sartre untuk
tidak berbaring di atas tubuh Sartre sepanjang malam. Meskipun status intelektualnya dipudarkan
oleh kesuksesan Strukturalisme dan post-Strukturalisme, sebagai pribadi ia tetap sangat populer
pada saat kematiannya. Jalan-jalan di kota Paris dipadati orang-orang yang menghormatinya
dalam jalan menuju pemakaman (Palmer 2007: 17). Lebih dari lima puluh ribu orang hadir
dalam iring-iringan dan pemakaman filsuf perancis ini.

B.     Eksistensialisme
            Sebelum melihat pemikiran Sartre secara lebih mendalam, kita harus mengetahui
bagaimana Sartre memberikan dasar bagi sistem filsafat yang dibangunnya. Dasar itu adalah ;
‘eksistensi’. Manusia itu bereksistensi. Dasar yang diberikan Sartre untuk filsafatnya dinamakan
eksistensialisme. Walaupun aliran ini sudah berkembang sejak zaman Soren Kiekergard, tetapi
Sartre-lah yang memasukan nama Eksistensialisme ke dunia filsafat.
Secara umum ciri aliran eksistensialisme adalah sebagai berikut :     
a.       Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat
modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
b.      Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat
akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
c.       Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa
kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa. Masyarakat
industri cenderung menundukkan orang seorang pada mesin.
d.      Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis,
komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif
atau massa.
e.       Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
f.       Eksistensialisme menenkankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman
kesadaran yang dalam dan langsung. (Muntansyir:2001, 92)
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala-galanya dengan
berpangkalan pada eksistensi. Menurut asal kata eks berarti keluar dansistensi berarti
menempatkan, berdiri. Atau bisa dikatakan juga bahwa yang dimaksud dengan eksistensi adalah
cara manusia berada di dunia ini. Cara itu hanya khusus bagi manusia, jadi yang bereksistensi itu
hanya manusia. (Driyarkara, 2006a:1281-1282)
Sedangkan Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan
bertindak berdasarkan dalil berikut, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu ‘eksistensi
mendahului esensi’. Apa artinya? Sebelum itu marilah kita membahas pendapat ‘esensi
mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi dari suatu hal, ide mengenai
suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan program. Artinya bahwa dalam benda buatan
manusia esensi benar-benar mendahului eksistensi (Palmer, 2007:21).
Contohnya dapat kita lihat dari gunting. Gunting mempunyai ide di dalamnya, yaitu alat
untuk menggunting sesuatu. Bila kita menemukan benda, dan itu dapat digunakan untuk
menggunting sesuatu, kita dapat menyebutnya gunting. Karena manusia sebagai pembuat benda
(gunting) sudah memberikan ide gunting dalam benda yang sekarang kita sebut dengan gunting.
Tetapi hal ini tidak berlakuk untuk manusia. Karena tidak ada Tuhan yang menciptakan ide
tentang manusia -setidaknya itulah yang dikatakan Sartre.
Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan sebagai
demikian itu maka ia tidak bisa dipertukarkan. Dengan demikian pula maka adanya manusia
berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya sendiri. Dengan lain
perkataan bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda yang lain
dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi.
Demikian Sartre menegaskan asas pertama dari ajarannya. Ini berarti pula bahwa bagi
Sartre asas pertama sebagai dasar untuk memahami manusia haruslah mendekatinya sebagai
subyektivitas. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai dengan
ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan menjelang masa depannya,
maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apapun
jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan pada eksistensinya itu, tiada lain
yang bertanggung jawab adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya sendiri itu,
manusia mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik
baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang ditemuinya adalah
pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempersalahkan orang lain, tidak pula bisa menggantungkan
keadaan pada Tuhan (Hassan,1976:103).
Dalam artian tertentu, definisi Sartre mengenai eksistensialisme hanya meradikalkan
pandangan yang sangat umum di antara kebanyakan ahli ilmu sosial : bahwa tidak ada naluri
yang menyebabkan tindakan-tindakan tertentu. Dengan begitu manusia tidak menyerupai kucing.
Dalam hal ini perilaku yang benar-benar dihasilkan oleh naluri tidak ada pilihan. (Laba-laba
penjebak pasti menenun jaring penjebak, dan burung berkicau pasti berkicau). Benar bahwa ada
fungsi-fungsi dan reflek-reflek tubuh manusia yang bekerja dalam keharusan daripada dalam
kebebasan, tetapi fungsi-fungsi tubuh manusia yang seperti itu tidak pernah menghasilkan
tindakan-tindakan manusia sesungguhnya, sebagai contoh adalah perbedaan mengedipkan mata
(tindakan manusia) dan berkedip (bukan tindakan manusia sesungguhnya) (Palmer, 2007: 26).

C.    Metode Filsafat Sartre ; Fenomenologi,  Mencari Inti Dari Segala Inti


Seperti yang kita kemukakan dalam kerangka berpikir, untuk mencari epistemologi
eksistensial Sartre, kita harus mengetahui metode apa yang digunakannya untuk membangun
filsafatnya. Metode itu adalah fenomenologi.
Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859-
1938). Fenomenologi adalah arus pemikiran yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Istilah
Fenomenologi bertolak dari bahasa Yunani phainomenon (phainomai, menampakkan
diri) dan logos  (akal budi). Ilmu tentang penampakan berarti ilmu yang menampakan diri ke
dalam subyek. Tidak ada penampakan yang tidak dialami. Hanya dengan berkonsentrasi  pada
apa yang tampak dalam pengalaman maka esensi dapat terumuskan dengan jernih. Fenomenologi
mencoba menepis semua asumsi yang mengontaminasai pengalaman konkret manusia. Itu
sebabnya fenomenologi disebutcara berfilsafat yang radikal (Adian, 2010: 4-5)
            Ada dua tahap dalam analisis fenomenologi yang pertama hanya menyangkut deskripsi
yang teliti dan terperinci tentang cara dunia menampakkan dirinya sendiri bagi kesadaran dalam
semua teksturnya, dalam semua kekasaran serta kehalusannya.
            Tahap kedua lebih bersifat teknis tujuannya adalah pembentukkan deskripsi prateoritis
dari bermacam-macam tindakan kesadaran beserta obyek-obyeknya. Disebut prateoritis karena
dimaksudkan untuk menghasilkan sebuah deskripsi mengenai bermacam-macam tindakan
kesadaran, bukan suatu teori mengenai kesadaran (Palmer,2007:34)
            Tujuan dari tahap pertama adalah untuk memperlihatkan fenomen semurni-murninya.
Dalam memandang suatu hal, katakana saja misalnya agama, bahasa, adat istiadat, kita kerapkali
penuh dengan pendapat-pendapat dari orang lain. Misalnya dari nenek moyang kita, pemateri
ilmu [pengetahuan dan lain sebagainya. Semua ini sudah kita kurung. Semua hubungan dengan
luar kesadaran kita kurung. Jadi kita hanya melihat fenomen belaka semurni-murninya.
            Sedangkan tujuan pada tahap kedua adalah untuk menyaring sampai ke eidos-nya.
Sampai ke intisarinya, sampai ke sejatinya atau Wesen-nya. Oleh sebab itu, hasil dari
penyaringan ini disebut Wesenchau,  artinya disini kita melihat hakikatnya dari sesuatu. Hanya
inilah pengertian yang sebenarnya. (Driyarkara: 2006b,1327)
            Fenomenologi berjuang membuat filsafat sebagai ilmu yang rigoris. Rigoris disini artinya
bebas dari presuposisi yang mendahului pengalaman konkret lalu apakah dengan begitu
fenomenologi setali tiga uang dengan empirisme? Jawabannya, tidak. Empirisme masih syarat
dengan presuposisi. Locke seorang empiris, misalnya masih mengandalkan adanya substratum
material dibalik pengalaman, terlepas dari konisi apparatus  inderawi subyek pengetahuan.
Berkeley masih membawa-bawa Tuhan, hanya Hume yang paling mendekati, meski juga belum
bias melepaskan diri dari pandangan Newtonian yang deterministik.
Fenomenologi menekankan perlunya filsafat melepaskan diri dari ikatan historis apapun.
Apakah itu tradisi metafisika, epistemologi atau sains. Fenomenologi adalah upaya hati-hati
dalam mendiskripsikan hal ihwal  sebagaimana mereka menampakan diri ke dalam kesadaran.
Dengan kata lain, semua persoalan tentang semesta luar harus didekati dengan senatiasa
melibatkan cara penampakan mereka pada kesadaran manusia (Adian,2010 : 6&7).
Untuk mempermudah kajian tentang fenomenologi, ada satu istilah yang diberikan oleh
Maurice Natanson untuk memahami apa itu Fenomenologi: ‘fenomenologi adalah a science of
beginnings’. Untuk bisa berfenomenologi orang harus bersikap seperti pemula (beginner). Dalam
hal apa? Dalam segala hal! Sebagai contoh andaikan kita melihat tata-krama pergaulan seolah-
olah untuk pertama kalinya. Sebagai pemula dalam hal ini, kita akan heran bahwa sistem sopan-
santun itu ada. Bersikap sebagai pemula oleh Husserl dirumuskan sebagai reduksi fenomenologis
atau epoche. Anggapan bahwa tata Krama itu sudah ada entah di dalam atau di luar kesadaran
harus diberi tanda kurung dulu (eingeklammert), dan tata-krama dibiarkan menampakkan diri apa
adanya. Yang diperoleh lewat reduksi ini bukan tata krama sebagaimana dipahami osecara
ilmiah oleh sosiologi atau etnologi, melainkan sebagaimana dihayati oleh para pelakunya. Dunia
yang dihayati sendiri oleh para aktor social inilah yang menjadi objek penelitian fenomenologi
(Hardiman, 2003: 22-24).

D.    Landasan Filsafat Sartre : Ada dan Ketiadaan


1.      L etre-en-soi  
Dari buku yang ditulis Sartre Being and Nothingness, kita dapat melihat landasan
ontologis Sartre dalam membangun filsafat yang menggunkan metode fenomenologi. Dengan
dasar-dasar yang sama, tetapi Sartre mendapatkan kesimpulan yang cukup berbeda dari Husserl
maupun Heidegger sebagai guru fenomenologinya.
Sebagai landasan ontologisnya, Sartre pertama menyuguhkan konsep L etre-en-soi, apa
itu L etre-en-soi ? secara arti, L etre-en-soi berarti being-in-itself atau berada dalam dirinya
sendiri.Untuk mengetahuinya, sebaiknya kita bedah term itu satu persatu. Pertama etre,
Driyarkara menjelaskan apa yang dimaksud etre :

 ‘’Sekarang kita mendekati pikiran Sartre ikutilah paparan berikut, kita mengerti pohon, kita
mengerti hewan, kita mengerti manusia dan sebagainya. Semuanya itu berbeda-beda…Jadi kita
menyebut dengan nama-nama atau kata-kata yang berbeda karena apa yang disebut juga
berbeda-beda…namun, di antara istilah-istilah yang kita gunakan itu ada yang umum, artinya
kita gunkaan untuk menyebut barang-barang yang betul-betul berlainan, misalnya kata
barang…di samping itu ada kata lain yang umum pula ialah « ada ». Apa saja yang kita jumpai
dapat kita sebut ada atau sesuatu yang berada.  Nah, ada atau sesuatu yang berada, itu dalam
bahasa Sartre disebut Etre.’’ (Driyarkara, 2006a :1304)    

L etre-en-soi menunjuk suatu cara bereksistensi yang tertutup, apa yang ada sepenuhnya
identik dengan dirinya sendiri. Ia bersifat tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, dan tanpa
gerak sedikitpun untuk keluar dari dirinya. di situ tidak terdapat-subjek-objek, sama sekali tidak
mempunyai relasi. Oleh SartreL etre-en-soi disebut ‘ada yang tidak berkesadaran’. Boleh
dikatakan ada jenis ini adalah adanya benda-benda, yang berada begitu saja (Siswanto, 1998 :
140).
Lebih jelasnya tentang etre-en-soi itu harus dikatakan : it is what it is. Etre-en-soi tidak
aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif : kategori-kategori macam itu itu hanya
mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa
depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi itu sama sekali kontingen.
Artinya : ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat dimainkan dari sesuatu
yang lain (Bertens, 2001 : 92). Menurut Sartre, segala yang berada secara ini, segala yang L etre-
en-soi, adalah memuakkan. Mengapa ? Meja, kursi, pohon, dan sebagainya, dalam dirinya
bukanlah apa-apa. Benda-benda itu bila kita lihat sebagai de-facto demikian, seperti adanya
tanpa alasan apa pun, lepas dari segala arti yang kita berikan kepadanya dalam hidup sehari-hari
akan tampak memuakkan (Hadiwijono, 2011 : 159).

2.      L etre-pour-soi
L etre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada
kesadaran manusia ; sifatnya melebar (co extensive) dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran
yang berada di luar diri sesuatu atau seseorang. Dalam kesadaran barulah muncul adanya subjek
dan objek. Ada yang sadar menjadi subjek, tetapi dia juga bisa menjadi objek. Jadi seolah-olah di
situ ada keduaanya ; subjek berhadapan dengan objek. Yang berupa subjek adalah ‘pengada yang
sadar’. Yang berupa objek ialah dia sendiri, sekedar disadari. Tetapi kesadaran itu tidak identik
dengan dirinya karena ia hanya berdiri sebagai ‘subjek yang lain’ dan tak terpisahkan dengan
dirinya sendiri. Antara subjek yang menyadari dan objek yang disadari selalu terdapat jarak,
jarak antara aku dan diriku, inilah yang disebut ‘ketiadaan’ (Siswanto, 1998: 141).
Konsep yang sulit ini dapat dipermudah dengan contoh. Sekarang marilah kita
menganggap ada seorang manusia. Berbeda dengan benda-benda lain yang tidak sadar akan
keberadaannya. Manusia itu ada, ada berarti dia sadar dengan keberadaanya. Sedangkan manusia
yang sadar dengan keberadaannya berarti dia mengetahui sesuatu. mengetahui sesuatu inlah yang
disebut Sartre asebagai proses meniadakan sesuatu. Atau dari ‘Ada’ menuju ‘Ketiadaan’.
Bagaimana bisa?
Perhatikanlah sekarang, jika manusia sedang dan dalam berbuat, sadar tentang diri
sendiri, itu berarti bahwa manusia dengan sadar sedang ada dalam peralihan. Dia sedang
mengalih, dia sedang berpindah, dia dalam perjalanan. Sekali lagi dia dengan sadar menjalankan
peralihannya itu. Dia beralih, dia mengalih, itu karena sadar tentang diri sendiri. Dia menyadari
diri sebagai ini, akan tetapi justru bersama-sama membantah dengan mengalih itu. Jadi, dia
berkata ini dan juga membantah, saya tidak mau dan karenanya dia mengalih. Misalnya, seorang
mengakui saya ini pencuri. Sedang sadar dan justru karena kesadarannya itu dia membenci sifat
pencuri, jadi tidak mau kepencuriannya itu.
Sebetulnya, peniadaan itu terjadi terus menerus, terjadi tak ada berhenti-hentinya, sebab
manusia itu tidak pernah berhenti. Dia terus saja berbuat. Setiap perbuatan itu berupa
perpindahan. Perpindahan perubahan, karena manusia tidak bisa menghendaki ketetapan dan itu
justru karena kesadaranya.Pandanglah sekarang demikian : manusia itu dlaam tiap-tiap perbuatan
berubah, mengalih, jadi bergerak ke-. Karena dia sedang berubah, karena dia sedang mengalih
ke-, karena dia sedang bergerak ke-, jadi dia belum seperti yang dimaukan. Dia dalam keadaan
yang tidak dikehendaki dan keadaan seperti yang dikehendaki belum ada. Jadi dia belum ada.
Jadi, yang dikehendaki belum ada dan yang tidak ada tidak dikehendaki. Itulah manusia dalam
tiap detik. Jadi dia selalu meniadakan (Driyarkara, 2006a: 1309). Itulah yang dimaksud Ada
selalu menuju ketiadaan.

E.     Epistemologi Eksistensial Sartre, sebuah Analisis


1.      Kesadaran, kritik terhadap Descartes, Freud, dan Husserl
Sekarang, kita mencoba memasuki pemikiran Sartre tentang epistemologi. Seperti yang
dikatakan Sudarminta (2012 : 20) bahwa persoalan epistemology yang bersifat umum antara lain
seperti : Apa itu pengetahuan? Apa ciri-ciri hakikinya dan mana batas-batas ruang lingkupnya?
Bagaimana proses manusia mengetahui dapat dijelaskan dan bagaimana struktur dasar budi atau
pikiran manusia itu bisa dijelaskan sehingga pengetahuan itu mungkin bagi manusia ? apa peran
imajinasi dan sebagainya ? itulah yang coba penulis jawab. Setelah melihat dan mensistematisasi
pemikiran Sartre, dengan metode dan landasan filosofinya, penulis dapat menyimpulkan bahwa
tema besar epistemologi Sartre, berputar pada tema tentang ‘kesadaran’. Kesadaran manusia,
adalah faktor penting manusia untuk mengetahui. Sartre dalam pembahasannya mengenai
kesadaran, sering memberikan kritik kesadaran yang dilontarakan oleh Descartes dan Husserl.  
Kesadaran, dalam pemikiran Sartre, lebih dieksplisitkan, sehingga ia menyelidiki struktur
kesadaran dan akhirnya menemukan bahwa kesadaran harus dibedakan antara kesadaran reflektif
dan pra-reflektif.
Kesadaran pra-reflektif diartikan sebagai kesadaran yang langsung terarah pada objeknya,
tanpa usaha untuk merefleksikan tindak tindakan tersebut. Misalnya, ketika saya sedang menulis
di atas sebuah kertas, kesadaran saya tidak terarah pada kegiatan saya yang sedang menulis itu,
tetapi pada apa yang saya tulis-Sartre menyebut kesadaran pra reflektif ini sebagai kesadaran
yang tidak disadari. Sedangkan kesadaran reflektif adalah kesadaran pra reflektif menjadi
temantik. Artinya kesadaran yang membuat kegiatan pada kesadarannya pra-reflektif menjadi
sebuah objek kajiannya, artinya kesadaran saya tidak lagi terarah pada tulisan yang saya buat,
tetapi pada kegiatan saya menulis (Adian, 2010: 74).
Maksud dari pembedaan ini adalah untuk menunjukan bahwa Descartes salah, sepeti
halnya Husserl. ‘Aku ada’ tidak terjadi karena ‘aku berpikir’. Tidak ada diri dalam pikiran
kecuali dalam kesadaran reflektif. Tetapi kesadaran reflektif sesungguhnya lebih jarang daripada
kesadaran non reflektif. Mungkin Descartes seharusnya berkata ‘saya berpikir, maka ada pikiran’
(Palmer, 2007:39).
Sartre memahami bahwa kesadaran selalu tentang objek-objek dan dipengaruhi oleh
objek-objek tersebut (kesadaran tingkat pertama atau pra-reflektif). Pada tingkat pertama
kesadaran ini, kita tidak akan menemukan ego yang melampaui pengalaman, kita hanya
menemukan apa yang disebut dengan pengalaman itu sendiri. Kita menemukan ego hanya pada
tingkat kedua kesadaran, kesadaran mengenai kesadaran atau kesadaran reflektif. Contohnya, ‘itu
adalah aku yang melihat buku di atas meja’. Tapi pada tingkat reflektif ini yang kita temukan
hanya ego yang berperan sebagai objek, bukan subjek. Ego sebagai subjek yang sadar dan bebas
tidak pernah ditemukan dalam kesadaran, itu adalah sesuatu yang senantiasa mengelak dari
objektifikasi sekaligus mendahului kesadaran (Adian, 2010:75).
Pemahanan Sartre tentang ini sekaligus menjadi kritiknya terhadapa gurunya yaitu
Husserl, yang memahami kondisi yang memungkinkan pengalaman adalah ego transcendental.
Tetapi ego transcendental sendiri bukan bagian dari pengalaman. Pengalaman selalu melekat
pada sesuatu yang hadir utuh dan solid. 
Sartre lebih lanjut mengemukakan tiga taraf kesadaran. Pertama, kesadaran bersifat
spontan. Artinya kesadaran itu dihasilkan bukan dari ego atau kesadaran lain – kritik terhadap
pemikiran ego Sigmund Freud. Ia menghasilkan dirinya sendiri, sesuatu yang berbeda dari
benda-benda sehingga tidak menjadi objek hukum kausal. Kedua, kesadaran bersifat absolut.
Kesadaran selalu ada bagi dirinya, dan sekaligus pengungkapan intuitif akan sesuatu yang lain
dari dirinya. Ketiga, kesadaran bersifat transparan. Artinya, kesadarn mampu menyadari dirinya
sendiri.
Ringkasnya, bagi Sartre, kesadaran memiliki dua karakter yang saling berhubungan.
Yaitu kesadaran diri dan intensionalitas. Kesadaran diri mengandaikan kesadaran tentang yang
lain, karena kesadaran hanya menyadari dirinya saat ia menyadari sesuatu. Sartre merumuskan,
‘sesuatu yang lain’ adalah sesuatu yang bukan kesadaran dan berada di luar kesadaran. Dengan
kata lain, objek-objek bersifat independen dari kesadaran dan bukan ‘fenomena’, sebab dalam
tradisi fenomenologi kata ‘fenomena’ selalu diartikan sebagai ‘yang menampakan diri pada
kesadaran.’(Adian, 2010:77)

2.      Hubungan Subjek, Objek, dan Pengetahuan tentang Tuhan


Konsep pengetahuan lain, yang penulis temukan dari filsafat Sartre, adalah konsep
hubungan subjek dan objek. Konsep ini menjadi pemikiran yang khas bagi Sartre dan sebagai
pembeda Sartre dengan para pemikir eksistensialisme lainnya. Hasil dari konsep ini, melahirkan
kata-kata Sartre yang terkenal, yaitu “orang lain adalah neraka.”
Sejauh ini kita telah melihat bahwa menurut Sartre ‘diri’ bukanlah entittas substantif yang
terus menerus tidak berubah sepanjang waktu. Demikian pula, kepastian absolutnya tidak bisa
diasalkan dari kesadaran (seperti yang diyakini Descartes dengan dalilnya “cogito ergo sum”).
Diri juga bukan hanya kesatuan biologis, yaitu tubuh manusia, sebagaimana yang diyakini oleh
kaum materialis (Karena tidak ada kontinuitas biologis semacam itu. Sel-sel yang membangun
kamu delapan tahun yang lalu sudah mati.) ‘diri’ bukanlah sesuatu yang secara otomatis anda
peroleh karena memiliki orang tua manusia; sebaliknya, diri adalah pembentukan terus menerus
yang setiap saat diciptakan kembali melalui pilihan-pilihan kita (Palmer, 2007:89).
Salah satu kekhususan dalam filsafat Sartre ialah betapa besarnya ia mencurahkan
perhatian pada orang lain sebagai kenyataan. Sartre menunjuk pada kenyataan bahwa, betapa
orang lain itu selalu dipandang sebagai objek pengamatan kita; orang lain tampil kepada kita
dengan perlakuan seolah-olah dia bukan subyek. Padahal orang lain itupun subyek, dan sebagai
subyek ia memasuki dunia pribadi kita. Kalau saya bertemu dengan orang lain di suatu tempat,
maka saya mengamatinya sebagai pribadi yang menempati dan meyususn dunianya sendiri.
Akan tetapi dunia yang dikonstitusikan olehnya itu sebenarnya juga dunia yang akan saya diami
sebagai dunia saya sendiri. Munculnya orang lain dalam dunia yang kebetulan saya diami juga
itu sekligus berarti monopoli saya atas dunia yang saya diami itu diterjang olehnya.
Misalnya, saya sedang duduk-duduk di taman, tiba-tiba orang lain tampil dan duduk di
situ juga. Taman yang tadinya saya hayati sebagai suatu dunia yang saya diami dan bina seniri,
dengan segala cita-cita, khayalan dan fikiran-fikiran tiba-tiba saya hayati sebagai dunia yang
harus saya diami bersama orang lain (Hassan, 1976: 110).
Bagaimana dengan Tuhan?  Bagi Sartre Allah, hanyalah konsep mengenai orang lain
yang diarik sejauh-jauhnya sampai ke batas. Dan itu di awali dari hubungan subjek dengan objek
yang menimbulkan rasa malu. Malu bukanlah satu-satunya emosi yang disebabkan oleh
perjumpaan dengan orang lain. Perjumpaan dengan orang lain juga dapat mengalami rasa takut.
Sebenarnya, menurut asasl usulnya, takut muncul ketika saya menemukan berada sebagai objek
yang terlihat. Hal itu memperlihatkan bahwa berada-bagi-diri-sendiri ditansendekan oleh
kemunkginan-kemungkina yang buakn kemungkinan saya. Menurut Sartre perasaan –perasaan
itu dalam bentuknya yang paling dilebih-lebihkna menjadi sumber agama. “Malu di hadapan
Allah adalah pengakuan akan berada sebagai objek saya di hadapan subjek yang tidak peranh
dapat menjadi objek”

3.      Imajinasi dan Pengetahuan


Sarter memahami bahwa imajinasi adalah cara khusus membuat objek-objek hadir.
Semula Sartre membedakan sejumlah fitur khusus dari kegiatan imajinasi sebagai bentuk
kesadaran yang “kuasi-pengamatan”. Artinya, aktivitas kesadaran ini melampaui apa yang
sebenarnya diberikan melalui persepsi. Lebih lanjut, bentuk kesadrran ini hanya memebrikan
saru sisi parsial objek, setelh itu barulah objek berbentuk serangkaian profil atau abschattungen.
Menurut Sartre, objek-objek imajibasi seakan-akan dinodai oleh semacam ketiadaan.
Sartre mengklaim bahwa pada persepsi, kita menangkap objek secara serial dan berbentuk profil,
di sisi lain, pada tindak konsepsi, kita menangkap objek secara langsung dan secara keseluruhan.
Di sini ia berusaha menunjukan perbedaan proses persepsi dan imajinasi secara radikal.
Imajinasi dan persepsi merupakan bentuk aktivitas kesadaran. Di sisi lain, dua aktivitas
kesadaran ini juga membawa kesadaran kepada diri mereka sendiri. Persepsi lebih menekankan
objeknya sebagai “benar-benar ada”. Sementara, imajinasi berfokus pada sebuah absensi tindak
persepsi, atau dengan kata lain sebagai non-Ada. Imajinasi sengan senfirinya menunda penilaian
tetnang apkah sebuah objek benar-benar ada atau tidak. Ringkasnya, menurut Sartre, persepsi
menekankan objek sebagai yang ada, sedangkan objek imajinasi meliputi objek yang tidak ada
(kuda terbang) dan tidak diandaikan sebagai yang ada.
Sartre mengklaim, pada aktivitas imajinasi, suatu objek menunjukan kesadaran langsung
dari ketiadaan. Sartre memberikan catatan bahwa pada tindak imajinasi kita tidak pernah benar-
beanr menipu diri  kita sendiri secara penuh, sehingga kita menjadi percaya bahwa objek yang
dibayangkan benar-benar ada. Di sini, Sartre mengadopsi pengertian Husserl tentang keterberian
objek pada tindak persepsi. Ini menjelaskan mengapa Sartre mengklaim bahwa bentuk objek
Imajinasi pada tingkat tekstur yang intim sama sekali berbeda pada tindak persepsi yang masih
berbentuk keterberian-menjelaskan sebuah pasivitas.
Objek yang dipresepsi memiliki ketakterbatasan yang tersirat pada setiap tindak actual
persepsi. Sementara objek yang diimajinasikan sesungguhnnya agak terbatas, tidak pernah
sepenuhnya sendiri, sehingga memiliki sebuah kemiskinan yang esensial. Dalam hal ini Sartre
memperluas pandangn Husserl yang menyatakan bahwa aktivitas imajinasi, berbenda dengan
persepsi (objek hadir dianggap in propria persona) mengakui keabsenan objek.
Dengan demikian Sartre membuat klaim yang kuat bahwa gambaran yang diberikan
dalam tindak imajinasi tidak pernah dapat menjadi sumber pengetahuan. Pengertian kemiskinan
esensial pada gambar atau objek imajinasi berarti bahwa kita menemukan gambar hanya pada
apa yang kita letakkan di sana-pada tindak imajinasi itu sendiri. Jika saya membayangkan
gedung parlemen, saya tidak memperoleh pengetahuan dari penghitungan seberapa besar gedung
parlemen bukan bentuk kepudaran dari versi asli gedung parlemen, keduanya buksn quasi objek,
keduanya bukan objek sama sekali-melainkan hanya sebentuk kekosongan. Menariknya, dalam
analisis ini, Sartre secara implisist menolak sebuah ide sentral metodologi Husserl, yaitu bahwa
melalui variasi imajinatif, kita bisa sampai pada kebenaran penting yang baru tentnag suatu
objek.
Sarte menyangkal bahwa kita memperoleh pengetahuan baru dari imajinasi dan sekaligus
membuatnya bertentangan dengan Husserl yang menyatakan bahwa kita telah mendapatkan
pengetahuan baru dari kontemplasi bentuk-bentuk aktivitas kesadaran. Sartre menyatkan dengan
tegas if I amuse myself by turning over in my mind the image of a cube, if I pretend I see its
different sides, I shal be no further ahead at the close of the process than I was at beginning : I
have learnt nothing.
 Menurut Sartre, meskipun kita mengankap gambaran dalam sebuah tindakan quasi
pengamatan, kita tetap tidak belajar apa-apa dari hal tersebut. Sartre menegaskan bahwa sikap
saat berimajinasi memang merupakan salah satu pengamatan, tapi itu sebuah pengamatan yang
tidak menagajarkan apa-apa selain sebuah penegasan kekosongan. Sartre memberikan sebuah
contoh yang gamblang. Jika Anda membayangkan sebuah halaman dari sebuah buku, Anda
mengasumsikan sikap pembaca, Anda seolah melihat halaman yang dicetak. Akan tetapi,
sebenarnya anda tidak sedang membaca. Dan, sebenarnya anda bhakan tidak melihat, karena
anda sudah tahu apa yang tertulis di sana. Dengan demikian, tidak ada pengetahuan baru dari
objek imajinasi (Adian, 2010 :87-89).
F.     Daftar Pustaka
Adian, Donny Gahral, 2010, Pengantar Fenomenologi, Depok : Koekoesan
Bertens, K, 2001, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis,  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Driyarkara, Nicolas, 2006a, Eksistensialisme, dalam Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama
________, 2006b, Fenomenologi, dalam Sudiarja dkk, Karya Lengkap Driyarkara, Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama
Hadiwijono, Harun, 2011, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius
Hardiman, F. Budi, 2003, Heidegger dan Mistik Keseharian, Jakarta : KPG
Hassan, Fuad, 1976, Berkenalan dengan Eksistensialisme, Jakarta : Pustaka Jaya
Munir, Misnal, 2008, Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, Yogyakarta : Lima
Muntasyir, Rizal, & Misnal Munir, 2001, Filsafat Ilmu, Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Palmer, D, Donald, 2007, Sartre untuk Pemula, Yogyakarta : Kanisius
Siswanto, Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat,  Yogyakarta : Pustaka Pelajar 
Sudarminta, J, 2012, Epistemologi Dasar, Yogyakarta :Kanisius
Wibowo, A. Setyo, 2011, Eksistensi Ko
http://www.philosophyresearcher.com/2013/08/epistemologi-eksistensial-dalam.html

Anda mungkin juga menyukai