Jean-Paul Sartre
In 3. Tokoh by Banin Diar Sukmono // 12:56 //
Epistemologi
Dosen Pengampu : Drs.Imam Wahyudi, M.Hum
Oleh :
Banin Diar Sukmono - 12/329328/FI/03659
M. Adriansah Akbar P – 12/335823/FI/03704
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2013
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jean-Paul Sartre sebagai filsuf yang memasukan nama eksistensialisme ke dalam dunia
filsafat-dalam buku kecil yang dicetak dari ceramahnya untuk mengklarifikasi pandangan-
pandangan yang berkembang tentang eksistensialisme- adalah salah satu pemikir besar dalam
abad 20. Pemikirannya yang sangat radikal dan orisisnil tentang manusia dan ontologi membuat
banyak orang terpikat.
Tetapi sayangnya, dalam pemikiran eksistensialisme, khususnya Sartre, banyak orang
mengatakannya sebagai ajaran yang kurang berguna, karena selain untuk memperlihatkan
kesadaran manusia tidak ada lagi yang bisa di dapat. Hal itu disebabkan karena filsafat eksistensi
yang berpusat pada kajian ontologi dan manusia, jarang membahas kajian tentang
pengetahuan. Atau lebih tepatnya kajian tentang pengetahuan yang tersistematisasi dengan rapi.
Berangkat dari latar belakang tersebut, makalah ini akan mencoba untuk mensistematisasi
pemikiran eksistensialisme, khususnya Jean Paul Sartre tentang pengetahuan. Makalah ini
menarik untuk di bahas, karena dengan mengerti sistem pengetahuan yang di bahas Sartre,
diharapkan kita dapat mengembangkan pengetahuan khas eksistensialisme, yang radikal dan
orisinil.
B. Kerangka Berpikir
Untuk mendapatkan dan mensistematisasi filsafat Sartre tentang pengetahuan, penulis
mencoba melihat pemikiran Sartre yang menjawab persoalan-persoalan epistemologi. Dimulai
dari melihat riwayat hidup dan pemikiran pokok Sartre, lalu melihat metode dan landasan yang
digunakannya untuk membangun filsafatnya.
II PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Jean Paul Sartre
Jean-Paul Sartre lahir di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Ayahnya perwira angkatan laut
Prancis dan ibunya, Anne Marie Schweitzer, anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan dari
Charles Schweitzer, seorang guru bahasa dan sastra Jerman di daerah Alsace. Ayahnya
meninggal sesudah dua tahun kelahiran Jean-Paul dan ibu bersama anaknya pulang ke rumah
ayahnya, Charles Schweitzer, di Meudon. Sesudah empat tahun mereka berpindah ke Paris
(Bertens, 2001:81). Saat diasuh oleh kakeknya, Charles Schweitzer sangat menyayangi cucunya,
dan menjaganya tetap di rumah serta memberikan pendidikan sendiri sampai berusia sepuluh
tahun. Masa pengurungan ini menguntungkan Sartre karena dapat mengasah daya nalarnya
melalui buku-buku studi kakeknya (Munir, 2008 :104)
Di Paris, Sartre menemukan keajaiban bibliothek kakeknya. Di sana, ia hidup karena
merasa menjadi pusat perhatian dan pujaan keluarga. Dengan rambut pirangnya yang panjang
dan bergelung-gelung, Sartre kecil dengan cepat menyadari sisi tampan dari dirinya. Sampai
suatu hari, sang kakek membawa Sartre ke tukang cukur. Dalam Les Mots Sartre menuliskan
peristiwa tersebut tanpa eufimisme : ‘Saat diambil dari ibunya dia masih menakjubkan, tetapi
saat dikembalikan kepadanya ia menjadi seekor kodok. Itulah Sartre menemukan dirinya ‘Jelek’.
Bukan hanya karena matanya juling, tetapi juga karena rupa serta perawakanya membuatnya
mirip ‘kodok’. Penemuan dini ini sangat penting bila dikaitkan dengan dua konsep filsaft Sartre
yaitu L’autre dan Le regard(Wibowo, 2011 :25).
Ketika berusia 17 tahun, Jean-Paul menerima gelar ‘baccalaureate’ (gelar diploma
sekolah menengah yang elit) dan ia memulai studi selam 6 tahun di Sorbonne untuk
mendapatkan aggregation, ujian yang akan memberinya jalan untuk memasuki karier akademis
dalam bidang filsafat. Namun pada tahun 1928 ia gagal dalam aggregation dan mendapatkan
peringkat paling akhir di kelasnya (Palmer, 2007:6). Tetapi setahun kemudia Sartre berhasil
mendaptkan rangking pertama dalam ujian aggregation-nya, di sini jugalah dia bertemu partner
seumur hidupnya, Simone de Beauvoir.
Pada masa perang dunia, Sartre bergabung dengan militer Prancis (1939) sebagai seorang
meteorologis. Ia ditangkap tentara Jerman di Padoux dan dipenjara selama 9 bulan. Selama
menjadi tahanan perang, Sartre berpindah-pindah dari Padoux kemudian ke Nancy, dan terakhir
ke Stallag, Treves. Di kota terakhir inilah dia menulis skenario teater pertamanya Bariona, Fills
du tonnerre. April 1941, Sartre dibebaskan karena alasan kesehatan. Namun, masa menjadi
tahanan itu memberikan makna mendalam bagi Sartre di sepanjang hidupnya. Setelah kembali ke
Paris, Sartre bergabung dengan kelompok pergerakan dan menulis di berbagai majalah
seperti Les Leteres Francaise dan Combat. Sartre pernah mendirikan review bulanan tentang
Sastra dan politik,Les Temps Modernes, dan membaktikan diri sepenuhnya pada kegiatan
menulis dan politik (Adian, 2010:69-70).
Tahun 1964, Sartre dianugerahi hadiah nobel untuk bidang sastra. Karena alasan
politis ia menolak hadiah tersebut. Jean Paul Sartre meninggal tanggal 15 April 1980. Para
dokter berusaha membujuk Simone de Beauvoir yang sangat terpukul oleh kematian Sartre untuk
tidak berbaring di atas tubuh Sartre sepanjang malam. Meskipun status intelektualnya dipudarkan
oleh kesuksesan Strukturalisme dan post-Strukturalisme, sebagai pribadi ia tetap sangat populer
pada saat kematiannya. Jalan-jalan di kota Paris dipadati orang-orang yang menghormatinya
dalam jalan menuju pemakaman (Palmer 2007: 17). Lebih dari lima puluh ribu orang hadir
dalam iring-iringan dan pemakaman filsuf perancis ini.
B. Eksistensialisme
Sebelum melihat pemikiran Sartre secara lebih mendalam, kita harus mengetahui
bagaimana Sartre memberikan dasar bagi sistem filsafat yang dibangunnya. Dasar itu adalah ;
‘eksistensi’. Manusia itu bereksistensi. Dasar yang diberikan Sartre untuk filsafatnya dinamakan
eksistensialisme. Walaupun aliran ini sudah berkembang sejak zaman Soren Kiekergard, tetapi
Sartre-lah yang memasukan nama Eksistensialisme ke dunia filsafat.
Secara umum ciri aliran eksistensialisme adalah sebagai berikut :
a. Eksistensialisme adalah pemberontakan dan protes terhadap rasionalisme dan masyarakat
modern, khususnya terhadap idealisme Hegel.
b. Eksistensialisme adalah suatu proses atas nama individualis terhadap konsep-konsep, filsafat
akademis yang jauh dari kehidupan konkret.
c. Eksistensialisme juga merupakan pemberontakan terhadap alam yang impersonal (tanpa
kepribadian) dari zaman industri modern dan teknologi, serta gerakan massa. Masyarakat
industri cenderung menundukkan orang seorang pada mesin.
d. Eksistensialisme merupakan protes terhadap gerakan-gerakan totaliter, baik gerakan fasis,
komunis, yang cenderung menghancurkan atau menenggelamkan perorangan di dalam kolektif
atau massa.
e. Eksistensialisme menekankan situasi manusia dan prospek (harapan) manusia di dunia.
f. Eksistensialisme menenkankan keunikan dan kedudukan pertama eksistensi, pengalaman
kesadaran yang dalam dan langsung. (Muntansyir:2001, 92)
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala-galanya dengan
berpangkalan pada eksistensi. Menurut asal kata eks berarti keluar dansistensi berarti
menempatkan, berdiri. Atau bisa dikatakan juga bahwa yang dimaksud dengan eksistensi adalah
cara manusia berada di dunia ini. Cara itu hanya khusus bagi manusia, jadi yang bereksistensi itu
hanya manusia. (Driyarkara, 2006a:1281-1282)
Sedangkan Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan
bertindak berdasarkan dalil berikut, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu ‘eksistensi
mendahului esensi’. Apa artinya? Sebelum itu marilah kita membahas pendapat ‘esensi
mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi dari suatu hal, ide mengenai
suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan program. Artinya bahwa dalam benda buatan
manusia esensi benar-benar mendahului eksistensi (Palmer, 2007:21).
Contohnya dapat kita lihat dari gunting. Gunting mempunyai ide di dalamnya, yaitu alat
untuk menggunting sesuatu. Bila kita menemukan benda, dan itu dapat digunakan untuk
menggunting sesuatu, kita dapat menyebutnya gunting. Karena manusia sebagai pembuat benda
(gunting) sudah memberikan ide gunting dalam benda yang sekarang kita sebut dengan gunting.
Tetapi hal ini tidak berlakuk untuk manusia. Karena tidak ada Tuhan yang menciptakan ide
tentang manusia -setidaknya itulah yang dikatakan Sartre.
Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dan sebagai
demikian itu maka ia tidak bisa dipertukarkan. Dengan demikian pula maka adanya manusia
berbeda dengan adanya hal-hal lain yang tanpa kesadaran tentang adanya sendiri. Dengan lain
perkataan bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda yang lain
dimana ada itu sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi.
Demikian Sartre menegaskan asas pertama dari ajarannya. Ini berarti pula bahwa bagi
Sartre asas pertama sebagai dasar untuk memahami manusia haruslah mendekatinya sebagai
subyektivitas. Manusia sebagai pencipta dirinya sendiri tidak akan selesai-selesai dengan
ikhtiarnya itu. Sebagai eksistensi yang ditandai oleh keterbukaan menjelang masa depannya,
maka manusia pun merencanakan segala sesuatu bagi dirinya sendiri.
Ini mengandung arti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apapun
jadinya eksistensinya, apapun makna yang hendak diberikan pada eksistensinya itu, tiada lain
yang bertanggung jawab adalah dirinya sendiri. Sebab dalam membentuk dirinya sendiri itu,
manusia mendapat kesempatan untuk tiap kali memilih apa yang baik dan apa yang kurang baik
baginya. Setiap pilihan yang dijatuhkan terhadap alternatif-alternatif yang ditemuinya adalah
pilihannya sendiri; ia tidak bisa mempersalahkan orang lain, tidak pula bisa menggantungkan
keadaan pada Tuhan (Hassan,1976:103).
Dalam artian tertentu, definisi Sartre mengenai eksistensialisme hanya meradikalkan
pandangan yang sangat umum di antara kebanyakan ahli ilmu sosial : bahwa tidak ada naluri
yang menyebabkan tindakan-tindakan tertentu. Dengan begitu manusia tidak menyerupai kucing.
Dalam hal ini perilaku yang benar-benar dihasilkan oleh naluri tidak ada pilihan. (Laba-laba
penjebak pasti menenun jaring penjebak, dan burung berkicau pasti berkicau). Benar bahwa ada
fungsi-fungsi dan reflek-reflek tubuh manusia yang bekerja dalam keharusan daripada dalam
kebebasan, tetapi fungsi-fungsi tubuh manusia yang seperti itu tidak pernah menghasilkan
tindakan-tindakan manusia sesungguhnya, sebagai contoh adalah perbedaan mengedipkan mata
(tindakan manusia) dan berkedip (bukan tindakan manusia sesungguhnya) (Palmer, 2007: 26).
‘’Sekarang kita mendekati pikiran Sartre ikutilah paparan berikut, kita mengerti pohon, kita
mengerti hewan, kita mengerti manusia dan sebagainya. Semuanya itu berbeda-beda…Jadi kita
menyebut dengan nama-nama atau kata-kata yang berbeda karena apa yang disebut juga
berbeda-beda…namun, di antara istilah-istilah yang kita gunakan itu ada yang umum, artinya
kita gunkaan untuk menyebut barang-barang yang betul-betul berlainan, misalnya kata
barang…di samping itu ada kata lain yang umum pula ialah « ada ». Apa saja yang kita jumpai
dapat kita sebut ada atau sesuatu yang berada. Nah, ada atau sesuatu yang berada, itu dalam
bahasa Sartre disebut Etre.’’ (Driyarkara, 2006a :1304)
L etre-en-soi menunjuk suatu cara bereksistensi yang tertutup, apa yang ada sepenuhnya
identik dengan dirinya sendiri. Ia bersifat tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, dan tanpa
gerak sedikitpun untuk keluar dari dirinya. di situ tidak terdapat-subjek-objek, sama sekali tidak
mempunyai relasi. Oleh SartreL etre-en-soi disebut ‘ada yang tidak berkesadaran’. Boleh
dikatakan ada jenis ini adalah adanya benda-benda, yang berada begitu saja (Siswanto, 1998 :
140).
Lebih jelasnya tentang etre-en-soi itu harus dikatakan : it is what it is. Etre-en-soi tidak
aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif : kategori-kategori macam itu itu hanya
mempunyai arti dalam kaitan dengan manusia. Etre-en-soi tidak mempunyai masa silam, masa
depan; tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi itu sama sekali kontingen.
Artinya : ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat dimainkan dari sesuatu
yang lain (Bertens, 2001 : 92). Menurut Sartre, segala yang berada secara ini, segala yang L etre-
en-soi, adalah memuakkan. Mengapa ? Meja, kursi, pohon, dan sebagainya, dalam dirinya
bukanlah apa-apa. Benda-benda itu bila kita lihat sebagai de-facto demikian, seperti adanya
tanpa alasan apa pun, lepas dari segala arti yang kita berikan kepadanya dalam hidup sehari-hari
akan tampak memuakkan (Hadiwijono, 2011 : 159).
2. L etre-pour-soi
L etre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada
kesadaran manusia ; sifatnya melebar (co extensive) dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran
yang berada di luar diri sesuatu atau seseorang. Dalam kesadaran barulah muncul adanya subjek
dan objek. Ada yang sadar menjadi subjek, tetapi dia juga bisa menjadi objek. Jadi seolah-olah di
situ ada keduaanya ; subjek berhadapan dengan objek. Yang berupa subjek adalah ‘pengada yang
sadar’. Yang berupa objek ialah dia sendiri, sekedar disadari. Tetapi kesadaran itu tidak identik
dengan dirinya karena ia hanya berdiri sebagai ‘subjek yang lain’ dan tak terpisahkan dengan
dirinya sendiri. Antara subjek yang menyadari dan objek yang disadari selalu terdapat jarak,
jarak antara aku dan diriku, inilah yang disebut ‘ketiadaan’ (Siswanto, 1998: 141).
Konsep yang sulit ini dapat dipermudah dengan contoh. Sekarang marilah kita
menganggap ada seorang manusia. Berbeda dengan benda-benda lain yang tidak sadar akan
keberadaannya. Manusia itu ada, ada berarti dia sadar dengan keberadaanya. Sedangkan manusia
yang sadar dengan keberadaannya berarti dia mengetahui sesuatu. mengetahui sesuatu inlah yang
disebut Sartre asebagai proses meniadakan sesuatu. Atau dari ‘Ada’ menuju ‘Ketiadaan’.
Bagaimana bisa?
Perhatikanlah sekarang, jika manusia sedang dan dalam berbuat, sadar tentang diri
sendiri, itu berarti bahwa manusia dengan sadar sedang ada dalam peralihan. Dia sedang
mengalih, dia sedang berpindah, dia dalam perjalanan. Sekali lagi dia dengan sadar menjalankan
peralihannya itu. Dia beralih, dia mengalih, itu karena sadar tentang diri sendiri. Dia menyadari
diri sebagai ini, akan tetapi justru bersama-sama membantah dengan mengalih itu. Jadi, dia
berkata ini dan juga membantah, saya tidak mau dan karenanya dia mengalih. Misalnya, seorang
mengakui saya ini pencuri. Sedang sadar dan justru karena kesadarannya itu dia membenci sifat
pencuri, jadi tidak mau kepencuriannya itu.
Sebetulnya, peniadaan itu terjadi terus menerus, terjadi tak ada berhenti-hentinya, sebab
manusia itu tidak pernah berhenti. Dia terus saja berbuat. Setiap perbuatan itu berupa
perpindahan. Perpindahan perubahan, karena manusia tidak bisa menghendaki ketetapan dan itu
justru karena kesadaranya.Pandanglah sekarang demikian : manusia itu dlaam tiap-tiap perbuatan
berubah, mengalih, jadi bergerak ke-. Karena dia sedang berubah, karena dia sedang mengalih
ke-, karena dia sedang bergerak ke-, jadi dia belum seperti yang dimaukan. Dia dalam keadaan
yang tidak dikehendaki dan keadaan seperti yang dikehendaki belum ada. Jadi dia belum ada.
Jadi, yang dikehendaki belum ada dan yang tidak ada tidak dikehendaki. Itulah manusia dalam
tiap detik. Jadi dia selalu meniadakan (Driyarkara, 2006a: 1309). Itulah yang dimaksud Ada
selalu menuju ketiadaan.