Diajukan Kepada:
dr. Kurnianto Trubus P., M. Kes., Sp. An
Disusun Oleh:
Yulinda Surya Cahyani Putri
20194010043
Disusun Oleh:
Yulinda Surya Cahyani Putri
20194010043
KATA PENGANTAR
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Anestesiologi adalah cabang imu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan, seperti pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi, dann penanggulangan nyeri menahun.
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedaha secara elektif
maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya, saat akan
melakukan anestesi ada beberapa tahapan yang harus dilaksanakan, yaitu
praanestesi (persiapan mental dan fisik pasien), perencanaan anestesi,
menentukan prognosis, dan persiapan pada hari operasi. Tahap
penatalaksanaan anestesi, terdiri dari pramedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan sendi dan
tulang rawan epifisis yang bersifat total maupun parsial. Untuk mengetahui
mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, harus diketahui
keadaan fisik tulang dan keadaaan trauma yang dapat menyebabkan tulang
patah. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Fraktur pergelangan
tangan yang paling umum adalah fraktur distal radius di mana fraktur ini
melalui radius menyebabkan fragmen distal bergeser ke arah radial dan dorsal
(Setiadi, 2009). Selama ini teknik anestesi yang digunakan pada tindakan
fraktur distal radius pada tindakan operasi ORIF pada umumnya dengan
anestesi umum menggunakan teknik TIVA (Total Intravenous Anesthesia).
TIVA didefinisikan suatu teknik anestesi umum dengan menggunakan
kombinasi beberapa agen dengan intravena, dimana pada teknik ini tidak
digunakan agen inhalasi.
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 63 tahun
Alamat : Guwosari
Diagnosis Pre Op : Close Fraktur Distal Radius Sinistra
Tindakan Op : ORIF
Tanggal Masuk : 26 April 2021
Tanggal Operasi : 27 April 2021
B. ANAMNESIS
a.Keluhan Utama
Pasien dengan keluhan nyeri di pergelangan tangan kiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Panembahan Senopati dengan keluhan
nyeri di pergelangan tangan kiri karena post KLL tunggal saat
mengendarai motor, nyeri saat digerakan. Pasien sebelum datang ke
IGD dibawa ke sangkal putung oleh keluarganya, namun keluhan tidak
menjadi semakin membaik. Keluhan lain seperti nyeri kepala,
mual/muntah, dan pandangan kabur (-).
c. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat Hipertensi : Pasien memiliki riwayat
Hipertensi dengan obat rutin Amlodipin 5 mg
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat Asma : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal
d. Riwayat keluarga
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat Alergi Obat : disangkal
Riwayat keluhan serupa : disangkal
e. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Pasien memiliki pekerjaan wiraswasta, tinggal bersama keluarga,
memiliki kebiasan merokok.
C. PEMERIKSAAN FISIK
a) Status Generalis
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 80 x/ menit
- Frekuensi Nafas : 20x/ menit
- Suhu : 36,6oC
- VAS :5
Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) nafas cuping
hidung(-)
Leher
Retrraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-), ↑JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-/-)
Thoraks
Jantung
Inspeksi: ictus cordis tidak tampak.
Palpasi: ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi: redup
Auskultasi: bunyi jantung S I-II irama regular, bising
jantung (-)
Paru
Inspeksi: simetris, tidak ada ketinggalan gerak di paru, dan
tidak ditemukannya retraksi intercostae.
Palpasi: Fremitus sama depan dan belakang
Perkusi: Sonor
Auskultasi: SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi: Bentuk abdomen sejajar dengan dada, tidak ada
darm contour, tidak ada darm steifung, ada luka bekas
operasi
Auskultasi: peristaltic usus (+) normal
Palpasi: supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas:
CRT < 2 detik
Edema -/+/-/-
Akral hangat
+ +
+ +
b) Status Lokalis
Regio Wrist Sinistra
Look: Terdapat deformitas dan edema pada pergelangan
tangan kiri
Feel: nyeri tekan (+) krepitasi (+)
Move: ROM terbatas
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Tanggal 26-04-2021
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.0 14.0 – 18.0 g/dl
Lekosit 11.35 4.00 - 11.00 10^3/uL
Eritrosit 4.87 4 .50 - 10^6/uL
Trombosit 205 150
5.50 – 450 10^3/uL
Hematokrit 40.9 36.0 - 46.0 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 4 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 65 51-67 %
Limfosit 26 20-35 %
Monosit 4 4-8 %
GOL.DARAH
Golongan Darah O
HEMOSTASIS
PPT 12.1 12-16 detik
APTT 30.3 28-38 detik
Control PPT 15.0 11-16 detik
Control APTT 33.9 28-36.5 detik
FUNGSI HATI
SGOT 21 <37 U/L
SGPT 12 <41 U/L
FUNGSI GINJAL
Ureum 31 17-43 mg/dl
Creatinin 1.29 0.60-1.10 mg/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 115 80-200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 138 137.0-145.0 mmol/l
Kalium 4.00 3.50-5.10 mmol/l
Klorida 104.0 98.0-107.0 mmol/l
SERO IMUNOLOGI
HEPATITIS
HBsAg Negatif Negatif
Infeksi Lain
HIV Screening Non Non Reaktif
Reaktif
b) X-Ray
Foto Wrist Joint
26 April 2021(PreOp) 27 April 2021 (PostOp)
Hilang gigi V
Masalah mobilisasi leher V
Leher pendek V
Batuk V
Sesak napas V
Nyeri dada V
Denyut jantung tidak normal V
Kejang V
Merokok V
Alergi V
Stroke V
Pingsan V
Muntah V
Susah kencing V
Obesitas V
Hipertensi V
Gigi palsu V
Diabetes melitus V
Catatan Anastesi
Diagnosis pra-bedah : Close Fraktur Distal Radius Sinistra
Diagnosis post-bedah : Post ORIF CF Distal Radius Sinistra
Jenis Operasi : ORIF (open reduction, internal fixation)
Persiapan Anestesi
1. Persetujuan operasi tertulis
2. Puasa 8 jam pre operatif
3. Terpasang jalur intravena three way
4. Jenis anestesi : General Anestesia
5. Teknik Anestesi : TIVA (Total Intravena Anesthesia)
6. Induksi : Propofol
7. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 5 menit, cairan,
perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi.
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan.
Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
Premedikasi : Midazolam 2 mg
Ethanyl 50 mcg
Induksi : Propofol 40 mg
Ketamine 20 mg
O2 4 liter/menit (Pemeliharaan)
Teknik anestesi : *Pasien dalam posisi telentang (supine)
*Cek infus pasien, mesin anestesi serta sistem
sirkuitnya dan gas anestesi yang akan digunakan.
*O2, N2O dan agent sudah disiapkan (dibuka).
*Menyiapkan obat premedikasi dan induksi.
*Memasukkan obat premedikasi dan induksi
melalui intravena.
*Mengawasi pola napas pasien, bila tampak
tanda-tanda hipoventilasi berikan napas bantuan
intermiten secara sinkron sesuai dengan irama
napas pasien, pantau denyut nadi dan tekanan
darah
*Setelah operasi selesai, berikan rangsangan baik
dengan memanggil nama maupun rangsang nyeri
kepada pasien untuk membangunkan pasien.
Respirasi : Nafas bantu dengan Oksigen 4 lpm
Posisi : Telentang
Jumlah cairan yang : Kristaloid = 500 cc ( RL)
masuk
Perdarahan selama : ± 80 cc di tabung suction
operasi
Pemantauan selama anestesi :
Mulai anestesi : 14.10
Mulai operasi : 14.15
Selesai anestesi : 14.40
Selesai operasi : 14.45
Durasi Operasi : 30 Menit
Di Ruang Recovery :
- Jam 14.45 : pasien dipindahkan ke recovery room dalam posisi
telentang, pasien dalam kondisi mengantuk, dilakukan monitoring
tanda vital, infuse RL, diberikan O2 3 liter per menit.
Tekanan darah: 130/80 mmHg; Nadi: 70x/menit, RR: 18x/m, SpO2:
100%, dan VAS: 4
- Jam 14.55 : pasien dalam kondisi stabil baik, dipindahkan ke Bangsal
Bougenvile
Monitoring Pasca Anestesi :
Waktu Tekanan Nadi RR Keterangan
Darah
10.45 130/80 80 20 O2 2L/mnt, Monitoring tanda
Vital
10.50 140/85 79 20 Monitoring tanda Vital
10.55 142/89 82 20 Monitoring tanda Vital
Aldrate skor 9
a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign dan keadaan umum.
b. Obat anti mual diberikan inj. Ondansetron 4 mg/8 jam
c. Obat anti nyeri diberikan Paracetamol 500 mg/8 jam
d. Lain-lain
Analgetik dan antibiotik sesuai dengan terapi bedah orthopedi
Bila peristaltik (+) boleh makan minum bertahap
Kontrol balance cairan
Bedrest 24 jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
B. KLASIFIKASI
Ada banyak sistem klasifikasi yang digunakan pada fraktur
ekstensi dari radius distal. Namun yang paling sering digunakan adalah
sistem klasifikasi oleh Frykman. Berdasarkan sistem ini maka fraktur
Colles dibedakan menjadi 4 tipe berikut:
Tipe I: Fraktur radius ekstra artikuler
Tipe II: Fraktur radius dan ulna ekstra artikuler
Tipe III: Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiocarpal
Tipe IV: Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi
radiocarpal
Tipe V: Fraktur radius distal yang mengenai sendi radioulnar
Tipe VI: Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi
radioulnar
Tipe VII: Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal
dan sendiradioulnar
Tipe VIII: Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi
radiokarpal dan sendi radioulnar
C. PENANGANAN OPERATIF
2. GENERAL ANASTESI
B. DEFINISI
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tujuan utamanya
adalah untuk menghilangkan nyeri. Bedanya dengan anestesi regional
adalah pada anestesi umum pasien dalam keadaan tidak sadar sedangkan
pada anestesi regional pasien tidak merasakan nyeri tapi masih sadar.
Anestesi umum juga mempunyai karakteristik menyebabkan amnesia bagi
pasien yang bersifat anterograd yaitu hilang ingatan kedepan maksudnya
pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi saat dia dianestesi /
operasi. Karakteristik selanjutnya adalah reversible yang berarti General
anestesi akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping.
General anestesi juga dapat diprediksi lama durasinya dengan
menyesuaikan dosisnya. General anestesi memiliki komponen ideal
hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot, tetapi tidak semua General anestesi
harus memiliki 3 pilar tersebut. Minimal yang harus ada adalah hipnotik
dan analgesi.
2. Status fisik
• Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu untuk mengetahui apakah
pasien pernah dioperasi dan anestesi agar bisa memperkirakan
apakah ada komplikasi anestesia pasca bedah.
• Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi
umum endotrakeal.
• Keinginan pasien
1. Respirasi
Respirasi sebagai jalan masuknya obat anestesi khusunya metode
inhalasi. Obat yang terinhalasi melalui proses inspirasi akan mencapai
paru dibagian alveoli. Setelah dialveoli obat anestesi akan mencapai
konsentrasi tertentu hingga cukup kuat untuk menyebabkan proses
difusi kedalam sirkulasi dan disebarkan keseluruh tubuh / jaringan.
2. Sirkulasi
Apabila anestesi masuk masuk ke organ yang kaya pembuluh darah
maka akan cepat efek yang muncul seperti pada otak yang memiliki
vaskularisasi yang banyak sehingga muncul efek hipnotik/tidur selain
itu pada jantung akan menyebabkan perubahan hemodinamik karena
jantung terdepresi oleh obat anestesi.
3. Sifat Fisik
Kemudian sifat fisik dari obat anestesi berdasarkan masing2 metode
pemberian memiliki koefisien yang berbeda. Contohnya pada metode
inhalasi sifat fisiknya/koefisienya kita sebut koefisien gas darah
karena obat masuk ke alveoli dalam bentuk gas dan kemudian masuk
ke sirkulasi bercampur dgn darah. Untuk yang dari darah ke jaringan
kita sebut koefisien jaringan darah.
4. Faktor Lain
Untuk factor yang lain seperti ventilasi dan suhu tubuh. Semakin
sering kita memberikan ventilasi/ memberikan pernafasan melebihi
pernafasan normal (menggunakan bag mask) maka efek anestesinya
lebih cepat terjadi. Kemudian suhu tubuh pasien juga berpengaruh,
semakin rendah suhu tubuh maka akan semakin cepat efek anestesi
terjadi.
A. DEFINISI
B. KELEBIHAN
1. Larut dalam air dan stabil di dalam larutan
2. Tidak menimbulkan nyeri saat penyuntikkan dan tidak merusak
jaringan saat digunakan ekstravaskuler maupun intra arteri.
3. Tidak melepas histamin atau mencetuskan reaksi hipersensitifitas
4. Onset hipnotis yang cepat dan lembut tanpa menimbulkan aktifi tas
eksitasi
5. Metabolisme inaktivasi metabolit obat yang cepat
6. Memiliki hubungan dosis dan respon yang curam untuk meningkatkan
kefektifan titrasinya dan meminimalisir akumulasi obat di jaringan
7. Depresi pada respirasi dan jantung yang minimal
8. Menurunkan metabolisme serebral dan tekanan intra kranial
9. Pemulihan kesadaran dan kognitif yang cepat dan lembut
10. Tidak menimbulkan postoperative nausea and vomiting (PONV),
amnesia, reaksi psikomimetik, pusing, nyeri kepala maupun waktu
sedasi yang memanjang (hangover eff ects)
MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja dari opioid adalah interaksi dengan reseptor opioid
dalam otak (amygdala) dan medula spinalis. Beberapa tipe reseptor
yang berbedasudah dapat diidentifikasi. Reseptor Mu melayani efek
analgesia, depresi irespirasi, euphoria dan ketergantungan fisik.
Reseptor Kappa melayani efek analgesia pada level medula spinalis,
sedasi dan miosis. Efek dari opioid dapat dilawan dengan
menggunakan opioid antagonis,yang bersaing pada reseptor yang
sama dan memblok menggunakan efek yang dihasilkannya. Contoh
Naloxone (Narcan).
FARMAKOKINETIK
Absorbsi
Absorbsi cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan
meperedinintramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60
menit. Fentanil sitrattransmukosal oral merupakan metode efektif
menghasilkan analgesia dan sedasid engan onset cepat (10 menit)
analgesia dan sedasi pada anakanak (15-20μg/kg) dan dewasa (200-
800 μg).
Distribusi
Waktu paruh distribusi semua opioid umumnya cepat (5-20 menit).
Kelarutan lemak yang rendah dari morfin memperlambat laju
melewati sawardarah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi
kerja juga lebih panjang.Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya
cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus karena memiliki
kelarutan dalam lemak yang tinggi.
Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar,
aliran darah hepar.Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.
Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati
bilier dantergantung pada aliran darah hepar. 10% opioid
diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil
dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.
FARMAKODINAMIK
Sistem kardiovaskuler
Secara umum, opioid mempengaruhi kardiovaskuler dengan
menurunkan respon simpatis melalui pusat vasomotor di medula dan
meningkatkan respon parasimpatis melalui jalur vagal. Meperidin
cenderung meningkatkan denyut jantung, dosis tinggi dari morfin,
fentanil, sufentanil, remifentanil dan alfentanil dapat menyebabkan
bradikardi. Opioid tidak menekan kontraktilitas jantung kecuali
meperidin, karena struktur meperidine yang mirip dengan atropin.
Meperidine dan morfin dapat menyebabkan terjadinya pelepasan
histamine dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi.
Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan
frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun. PaCO2
meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon
CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu
menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau
kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada
dosis tertentu..
Otak
Efek opioid terhadap perfusi otak dan tekanan intrakranial
bervariasi.Secara umum, opioid mengurangi konsumsi oksigen otak,
namun jauh lebih minimal dibandingkan barbiturat atau
benzodiazepin. Stimulasi terhadap pemicu kemoreseptor pada tingkat
medulla menyebabkan terjadinya mual dan muntah, hal ini
berhubungan denganpemberian opioid yang berulang.
Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan
lambung juga terhambat.
Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik
akibat stressanesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon
katabolik dalam darah relatif stabil.
2. NON OPIOID
Kelompok ini dapat dibagi menjadi barbiturat, benzodiazepine dan
obat lainnya seperti etomidate, ketamine, propofol, dll
2.1 BENZODIAZEPIN
Benzodiazepin mengikat reseptor yang sama dengan
barbiturat di sistem saraf pusat, tetapi berikatan dilokasi yang
berbeda. Berikatan dengan reseptor GABA, sehingga terjadi
peningkatan frekuensi pembukaan kanal ion Cl.
Midazolam mempunyai keunggulan dibandingkan
diazepam dan lorazepam untuk induksi anestesi, karena ia
mempunyai onset yang lebih cepat. Kecepatan onset midazolam
dan barbiturat lainnya ketika digunakan untuk induksi anestesi
ditentukan oleh dosis, kecepatan injeksi, tingkat premedikasi
sebelumnya, umur, status fisik ASA dan kombinasi obat anestetik
lain yang digunakan. Pada pasien yang sehat yang telah diberi
premedikasi sebelumnya, midazolam 0,2 mg/kg dengan kecepatan
injeksi 5-15 detik akan menginduksi pasien dalam waktu 28 detik.
Pasien dengan usia lebih dari 55 tahun dan dengan status fisik
ASA III memerlukan pengurangan dosis midazolam sebesar 20%
atau lebih untuk induksi anestesi.
FARMAKOKINETIK
Absorbsi
Benzodiazepin umumnya diberikan secara oral, intra muskular
dan intra vena untuk menghasilkan efek sedasi dan jarang
digunakan untuk induksi.
Distribusi
Diazepam relatif larut dalam lemak dan mudah menembus sawar
darah otak, walaupun midazolam larut dalam air pada pH rendah,
cincin imidazolenya mendekati pH fisiologis yang meningkatkan
kelarutannya di dalam lemak. Redistribusi cukup cepat pada
benzodiazepin (distribusi awal waktu paruhnya 3-10 menit).
Seperti pada barbiturat, redistribusi berperan dalam terminasi efek
obat. Midazolam dapat digunakan sebagai agen induksi, yang
dapat menyamai onset cepat dan durasi pendeknya propofol atau
bahkan thiopental. Midazolam sangat terikat dengan protein (90-
98%).
FARMAKODINAMIK
Kardiovaskuler
Benzodiazepin memiliki efek depresi kardiovaskuler yang
minimal meskipun pada dosis anestesi umum, kecuali jika
diberikan bersama dengan opioid. Jika diberikan tunggal, akan
menurunkan tekanan darah arteri, cardiac output dan resistensi
pembuluh darah perifer yang ringan, terkadang dapat
meningkatkan denyut jantung. Midazolam IV menurunkan
tekanan darah dan tahanan pembuluh darah perifer yang lebih
besar daripada diazepam. Variasi perubahan denyut jantung
selama sedasi dengan midazolam disebabkan oleh penurunan
tonus vagal.
Respirasi
Benzodiazepin IV menurunkan respon pernafasan terhadap CO2,
utamanya jika dikombinasikan dengan obat depresan nafas yang
lainnya. Meskipun apnea relatif jarang pada induksi dengan
benzodiazepin, pemberian dosis kecil IV dapat menyebabkan
respiratory arrest.Ventilasi harus selalu diawasi pada semua
pasien yang mendapatkan benzodiazepin IV dan peralatan
resusitasi harus selalu tersedia.
Otak
Benzodiazepin menurunkan kebutuhan oksigen otak, Cerebral
Blood Flow dan tekanan intra kranial tetapi tidak sebanyak
barbiturat. Menimbulkan relaksasi otot ringan yang bekerja pada
tingkatan corda spinalis bukan pada neuromuscular junction.
Pada dosis rendah menimbulkan efek anti cemas, amnesia, dan
sedasi, sedangkan pada dosis besar akan menimbulkan efek
stupor sampai hilangnya kesadaran. Tidak mempunyai efek
analgesik dan bila dibandingkan dengan propofol dan thiopental,
mempunyai onset yang lebih lambat dan durasi yang lebih lama.
2.2 PROPOFOL
Propofol mengikat reseptor GABAA, sehingga
meningkatkan afinitas ikatan GABA dengan reseptor GABAA,
yang akan menyebabkan hiperpolarisasi membran saraf. Injeksi
propofol IV akan menimbulkan nyeri yang dapat dikurangi
dengan pemberian injeksi lidokain sebelumnya atau dengan
mencampurkan lidokain 2% dengan 18 ml propofol sebelum
penyuntikkan. Formulasi propofol mudah terkontaminasi dengan
pertumbuhan bakteri, sehingga harus digunakan dengan tehnik
yang steril dan tidak boleh dipakai setelah 6 jam pembukaan
ampul. Induksi anestesi dengan propofol berlangsung dengan
lembut dengan hanya sedikit menimbulkan efek samping eksitasi.
Dosis 1-2,5 mg/kg (tergantung pada usia dan status fisik pasien
serta penggunaan premedikasi) menghasilkan induksi anestesi
dalam waktu 30 detik. Pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler harus diberikan dosis induksi yang lebih rendah.
FARMAKOKONETIK.
Absorbsi
Propofol hanya tersedia dalam bentuk pemberian secara IV untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi.
Distribusi
Onset kerja propofol cepat, begitu pula dengan durasinya yang
pendek pada pemberian bolus dosis tunggal dikarenakan
pendeknya distribusi waktu paruhnya (2-8 menit). Pada lansia
direkomendasikan pengurangan dosis induksi dan laju infus
propofol yang diberikan, karena volume distribusi mereka yang
lebih kecil.
FARMAKODINAMIK
Kardiovaskuler
Propofol menghambat aktivitas simpatis vasokonstriktor sehingga
menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, preload dan
kontraktilitas otot jantung yang akhirnya akan menurunkan
tekanan darah arteri. Hipotensi yang terjadi saat induksi biasanya
akan pulih akibat dari stimulasi laringoskopi dan intubasi.
Hipotensi pada iduksi propofol dipengaruhi oleh dosis yang besar,
kecepatan injeksi dan usia tua. Propofol secara nyata
mempengaruhi barorefl eks arterial terhadap hipotensi. Perubahan
pada denyut jantung dan cardiac output biasanya hanya sementara
dan tidak bermakna pada pasien yang sehat, tetapi dapat
diperparah pada pasien lansia, konsumsi β-adrenergic blockers
atau pada pasien dengan gangguan fungsi ventilasi.
Respirasi
Pada dosis induksi propofol menekan secara dalam fungsi
pernafasan hingga menyebabkan apnea. Meski hanya dengan
dosis sub anestetik propofol menghambat respon normal terhadap
hiperkarbia. Propofol menekan refleks jalan nafas atas melebihi
thiopental sehingga tindakan intubasi, endoskopi dan pemasangan
LMA dapat dilakukan tanpa blokade neuromuskular. Walaupun
melepaskan histamin, timbulnya wheezing pada pasien ashma
yang diinduksi dengan propofol jarang terjadi.
Otak
Propofol menurunkan CBF, cerebral metabolit rate dan tekanan
intra kranial. Ketika dosis besar diberikan, efek penurunan
tekanan darah sistemik yang nyata dapat menurunkan cerebral
perfusion pressure. Autoregulasi pembuluh darah otak dalam
merespon perubahan tekanan darah arteri dan reaksi CBF
terhadap perubahan tekanan CO2 tidak mengalami perubahan.
Propofol memiliki kemampuan yang sama dengan thiopental
sebagai protektor otak terhadap fokal iskemia. Induksi propofol
dapat disertai dengan fenomena eksitasi seperti kedutan otot,
gerakan spontan, ophisthotonus dan cegukan. Propofol
mempunyai efek anti konvulsan dan dapat digunakan untuk
mengatasi keadaan status epileptikus.
2.3 KETAMIN
FARMAKOKINETIK
Absorbsi
Distribusi
FARMAKODINAMIK
Kardiovaskuler
Respirasi
Otak
1) PRA-ANASTESI
Preanestesi merupakan langkah awal dari rangkaian tindakan anestesia
yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif. Hal-hal yang perlu dilakukan meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan klasifikasi status
fisik.Terdapat 4 hal utama yang menjadi perhatian dalam melakukan
visit preoperatif pada pasien, diantaranya yaitu :
1. Persetujuan tindakan medis (informed consent), konsultasi pre
operasi, penjelasan etika perioperatif, dan pemeriksaan penunjang
pre operasi
2. Visit sistem organ utama seperti ada tidaknya gangguan pada
sistem kardiovaskular, pernafasan, ekskresi, konsumsi
antikoagulan, dan gangguan hematologi
3. Melakukan persiapan kondisi anemia, status gizi (obesitas atau
kurang gizi), dan tindakan prehabilitasi.
4. Penanganan pasien dengan kondisi khusus seperti diabetes
melitus, geriartrik, pengguna perangkat implantable, pengguna
NAPZA, atau kehamilan.
ANAMNESIS
Komunikasi yang efektif dan pendekatan oleh tenaga medis sangat
penting dalam periode pre-operasi. Hal – hal yang harus diperhatikan
pada anamnesis sebagai berikut:
1. Identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, berat badan,
tinggi badan, dll).
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin
dapat menjadi penyulit dalam anestesi.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi.
4. Riwayat alergi.
5. Kebiasan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi.
6. Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat tindakan anestesi
sebelumnya.
Hal ini sangat penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal tertentu
yang perlu mendapatkan perhatian khusus, seperti alergi, mual-
muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas paska pembedahan
sebelumnya, sehingga kita dapat merancang anesthesia berikutnya
dengan lebih baik.
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang harus di lakukan adalah pemeriksaan tinggi
dan berat badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital, tanda-
tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, malnutrisi, edema, serta
apakah pasien mengalami sesak atau kesakitan. Selain itu terdapat 6
indikator lain yang menjadi poin penting dalam pemeriksaan fisik
preoperatif pasien :
1. BREATH (B1)
Untuk mengingat lebih mudah dapat dilakukan pemeriksaan
LEMON.
L: LOOK
Cari indikator eksternal dari intubasi endotrakeal yang sulit. Yang
dapat mencakup bentuk wajah yang tidak normal, gigi yang buruk,
mulut tidak bergigi, obesitas morbid, langit-langit tinggi
melengkung, leher pendek, gigi depan besar, bekas luka operasi
yang menunjukkan bekas luka trakeostomi sebelumnya,
menunjukkan pasien mungkin memiliki mulut sempit, wajah , atau
patologi leher.
Perhatikan jalan nafas, pola nafas, suara nafas, dan suara nafas
tambahan. Memperhatikan jalan nafas bagian atas dan bagaimana
penatalaksanaannya selama anestesi. Apakah jalan nafas mudah
tersumbat, apakah intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien
ompong atau memakai gigi palsu atau mempunyai rahang yang
kecil yang akan mempersulit laringoskopi. Apakah ada gangguan
membuka mulut atau kekakuan leher, apakah pembengkakan
abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas bagian atas.
E: EVALUATE
Aturan 3-3-2. Aturan 3-3-2 berfungsi untuk memperkirakan
apakah anatomi leher akan memungkinkan pembukaan
tenggorokan dan laring yang sesuai. Ini berfungsi untuk
memperkirakan secara kasar kesejajaran bukaan untuk visualisasi
langsung laring saat intubasi.
• 3: Pengukuran tiga jari antara gigi seri atas dan bawah dari
mulut terbuka pasien menunjukkan kemudahan akses ke jalan
napas melalui pembukaan mulut. Pembukaan mulut yang
memadai memudahkan kedua insersi laringoskop dan
mendapatkan pandangan langsung ke glotis.
M : MALLAMPATI
Score Skoring Mallampati adalah suatu sistem yang didasarkan
pada anatomi mulut dan pandangan dari berbagai struktur anatomi
apabila seseorang membuka mulut selebar mungkin. Penilaian
dilakukan dalam posisi duduk dan tidak dapat dilakukan dalam
keadaan darurat. Skor kelas I diartikan mudah, dan kelas IV
adalah yang paling sulit.
N: NECK MOBILITY
Pada pasien yang waspada dan terjaga, lihat apakah pasien dapat
meletakkan dagu mereka di dada dan seberapa jauh mereka dapat
memiringkan kepala ke belakang. Mobilitas leher yang menurun
merupakan prediktor negatif dari komplikasi intubasi.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Setelah dilakukan pemeriksaan, kita dapat mengetahui beberapa
masalah dan memutuskan apakah diperlukan pemeriksaan lain seperti
laboratorium, radiologi dan elektrokardiogram. Radiologi rutin untuk
foto toraks tidak diperlukan jika tidak ada gejala atau abnormal pada
dada, tapi pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit sebaiknya rutin
dilakukan pada pasien yang akan menjalani anestesi umum.
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, tes fungsi hati (SGOT,
SGPT), tes fungsi ginjal (ureum, kreatinin), serum elektrolit, faal
hemostasis, dll.
2. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, foto polos abdomen (BOF),
USG, CT Scan.
3. Pemeriksaan EKG bila umur lebih dari 35 tahun atau bila ada
indikasi
4. Lain-lain.
• Pemeriksaan pada anak didampingi ayah atau ibunya.
• Pemeriksaan gigi, kerusakan gigi karena laryngoskopi
• Gigi palsu harus dibuka.
KLASIFIKASI ASA
Penggolongan status fisik penderita merupakan hal yang penting
untuk menentukan resiko anestesi digolongkan menurut ASA (ASA I
s.d ASA VI). Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran
fisik seseorang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut:
- ASA 1: pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia
- ASA 2: pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
- ASA 3: pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas
- ASA 4: pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat
- ASA 5: pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
- Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.
PUASA PERIOPERATIF
Adalah untuk mengurangi volume, tingkat keasaman lambung,
dan mengurangi risiko aspirasi paru dari sisa-sisa makanan. Refleks
laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Cairan bening (clear fluid ) boleh diminum
sedikit-sedikit, hingga dua jam prabedah. Pada pasien pediatrik, harus
diterangkan kepada orang tuanya bahwa susu digolongkan setara
makanan padat. Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah
demi keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya
pneumonia aspirasi yang dapat fatal. Jika pasien rentan terhadap
kondisi dehidrasi, perlu dipertimbangkan cairan intravena selama
periode puasa ini.
OBAT PREMEDIKASI :
2.
INDUKSI
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan,
tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek
mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama,
kedalaman anastesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat
terus-menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau
pemeliharaan, setelah tindakan selesai pemberian obat anastesi
dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan, periode ini disebut
pemulihan/recovery.
Jenis induksi:
• Induksi intravena
Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahan-
lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Jenis induksi
intravena, yaitu:
1. Tiopental
(1 amp 500 mg atau 1000 mg) sebelum digunakan dilarutkan
dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg).
hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7
mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60
detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran
darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diduga
dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah
bersifat anti-analgesia.
2. Propofol
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam
dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
3. Ketamin
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis
0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi saliva diberikan
sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan ntuk
intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1ml=10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml =
100 mg).
4. Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil
dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
3. RUMATAN ANASTESI
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat
inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan
obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat
diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anastesi umum
sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anastesi, pada penderita
yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas
otot, maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
• Gerakan lengan atau kaki
• Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang
memakai pipa endotrakeal
• Adanya lakrimasi
• Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,
broncospasme
• Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi
bertambah cepat
• Tekanan darah meningkat, berkeringat.
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias
anastesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur
dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat,
relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini
disebut balance anastesi.
4. PEMULIHAN ANASTESI
Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anastesi. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur
pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anastesi dalam darah. Bagi
penderita yang mendapat anastesi intravena, maka kesadarannya
berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anastesi akibat
metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianastesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu
sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa
endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ETT)
ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranastesi
dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Untuk
mempercepat pulihnya penderita darimpengaruh muscle relaxan maka
dilakukan reserve, yaitu memberikan obat anti kolin esterase.
3) PASCA ANASTESI
INSTRUKSI PASCA OPERASI
1. Observasi Keadaan Umum dan Vital Sign pasien
2. Pemberian analgetik ketorolac sebagai antinyeri dengan dosis
500mg/6jam dimulai pukul 19.45
3. Pemberian antiemetik Ondancentron k/p mual/muntah /8jam dimulai
pukul 19.45
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
KESIMPULAN
Butterworth, JF. Mackey, DC. Wasnick, JD. 2013. Morgan and Mikhail”s Clinical
Anesthesiology. USA. Lange Mc Graw Hill
Dobson Michael B. (1994). Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Merry A, Wilson I, Walker I, Carlisle J, Sandhar B, Campbel B. Preoperative
assessment and preparation for anaesthesia : General consideration. In :
Allman KG, Wilson IH, O’Donnel A. Oxford handbook of anaesthesia 3rd
Edition. New York : Oxford University Press. 2011;1-16.
Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI, CV Infomedia, Jakarta.
Iqbal, Muhammad. (2014). Total Intravenous Anastesi (TIVA). Jurnal Komplikasi
Anasthesi. Volume 2 No 1.
Pulley DD, Richman DC, Fleischer LA. Preoperative Evaluation. Anesthesiology
clinics. Philadelphia, PA. Elsevier. 2016.
R.Venna, Wee, MYK. AAGBI Safety Guideline Pre operative Assesment and
patient preparation. The role of the anasthetist. Published by the Association
of Anaesthetists of great Britain and Ireland. 21 Portland Place, London.
January, 2010.
Reves, JG, et al. 2010. Intravenous Anesthetics. In: Miller, RD. (eds) miller’s
Anesthesia, 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders
Setiadi, T., 2009. Colles Fracture. EBERS PAPYRUS - VOL 15 NO. 1APRIL
2009.