Anda di halaman 1dari 46

PRESENTASI KASUS

MANAJEMEN ANASTESI PADA FRAKTUR DISTAL


RADIUS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Anestesi
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Diajukan Kepada:
dr. Kurnianto Trubus P., M. Kes., Sp. An

Disusun Oleh:
Yulinda Surya Cahyani Putri
20194010043

KSM ILMU ANESTESI


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER RSUD PANEMBAHAN
SENOPATI BANTUL
2021
HALAMAN PENGESAHAN
MANAJEMEN ANASTESI PADA FRAKTUR DISTAL
RADIUS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Anestesi
RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:
Yulinda Surya Cahyani Putri
20194010043

Telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal 30 April 2021

Menyetujui dan mengesahkan,


Dokter Pembimbing
dr. Kurnianto Trubus P., M. Kes., Sp. An

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Puji syukuri penulis panjatkan atas kehadiran Allah Swt. yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
presentasi kasus yang berjudul “General Anestesi pada MOW“ dan tak lupa pula
kita panjatkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah
menghantarkan kita dari zaman kegelapan menuju ke zaman yang penuh dengan
ilmu pengetahuan. Dalam penyusunan presentasi kasus ini penulis mengucapkan
banyak terima kasih kepada:
1. Allah SWT., yang telah memberikan segala nikmat yang tidak terhingga
sehingga mampu menyelesaikan presentasi kasus ini dengan baik.
2. dr. Kurnianto Trubus P., M. Kes., Sp. An selaku dokter pembimbing
dalam menyelesaikan presentasi kasus ini.
3. Teman-teman ko-asistensi seperjuangan di RSUD Panembahan Senopati
Bantul.
Wassalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh.

Bantul, April 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Anestesiologi adalah cabang imu kedokteran yang mendasari berbagai
tindakan, seperti pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang
mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif
pasien gawat, terapi inhalasi, dann penanggulangan nyeri menahun.
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedaha secara elektif
maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik. Pada prinsipnya, saat akan
melakukan anestesi ada beberapa tahapan yang harus dilaksanakan, yaitu
praanestesi (persiapan mental dan fisik pasien), perencanaan anestesi,
menentukan prognosis, dan persiapan pada hari operasi. Tahap
penatalaksanaan anestesi, terdiri dari pramedikasi, masa anestesi dan
pemeliharaan, serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.
Fraktur adalah hilangnya kontuinitas tulang, tulang rawan sendi dan
tulang rawan epifisis yang bersifat total maupun parsial. Untuk mengetahui
mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan, harus diketahui
keadaan fisik tulang dan keadaaan trauma yang dapat menyebabkan tulang
patah. Kebanyakan fraktur terjadi karena kegagalan tulang menahan tekanan
terutama tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Fraktur pergelangan
tangan yang paling umum adalah fraktur distal radius di mana fraktur ini
melalui radius menyebabkan fragmen distal bergeser ke arah radial dan dorsal
(Setiadi, 2009). Selama ini teknik anestesi yang digunakan pada tindakan
fraktur distal radius pada tindakan operasi ORIF pada umumnya dengan
anestesi umum menggunakan teknik TIVA (Total Intravenous Anesthesia).
TIVA didefinisikan suatu teknik anestesi umum dengan menggunakan
kombinasi beberapa agen dengan intravena, dimana pada teknik ini tidak
digunakan agen inhalasi.
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 63 tahun
Alamat : Guwosari
Diagnosis Pre Op : Close Fraktur Distal Radius Sinistra
Tindakan Op : ORIF
Tanggal Masuk : 26 April 2021
Tanggal Operasi : 27 April 2021
B. ANAMNESIS
a.Keluhan Utama
Pasien dengan keluhan nyeri di pergelangan tangan kiri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Panembahan Senopati dengan keluhan
nyeri di pergelangan tangan kiri karena post KLL tunggal saat
mengendarai motor, nyeri saat digerakan. Pasien sebelum datang ke
IGD dibawa ke sangkal putung oleh keluarganya, namun keluhan tidak
menjadi semakin membaik. Keluhan lain seperti nyeri kepala,
mual/muntah, dan pandangan kabur (-).
c. Riwayat penyakit dahulu
 Riwayat Hipertensi : Pasien memiliki riwayat
Hipertensi dengan obat rutin Amlodipin 5 mg
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat Alergi Obat : disangkal
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat keluhan serupa : disangkal
d. Riwayat keluarga
 Riwayat Hipertensi : disangkal
 Riwayat DM : disangkal
 Riwayat Alergi Obat : disangkal
 Riwayat keluhan serupa : disangkal
e. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Pasien memiliki pekerjaan wiraswasta, tinggal bersama keluarga,
memiliki kebiasan merokok.

C. PEMERIKSAAN FISIK
a) Status Generalis
Keadaan Umum : Compos Mentis
Vital Sign :
- Tekanan darah : 120/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 80 x/ menit
- Frekuensi Nafas : 20x/ menit
- Suhu : 36,6oC
- VAS :5
 Kepala
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-) nafas cuping
hidung(-)
 Leher
Retrraksi suprasternal (-/-), deviasi trakea (-), ↑JVP (-),
pembesaran kelenjar limfe (-/-)
 Thoraks
Jantung
 Inspeksi: ictus cordis tidak tampak.
 Palpasi: ictus cordis tidak kuat angkat.
 Perkusi: redup
 Auskultasi: bunyi jantung S I-II irama regular, bising
jantung (-)
Paru
 Inspeksi: simetris, tidak ada ketinggalan gerak di paru, dan
tidak ditemukannya retraksi intercostae.
 Palpasi: Fremitus sama depan dan belakang
 Perkusi: Sonor
 Auskultasi: SDV (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
 Abdomen :
 Inspeksi: Bentuk abdomen sejajar dengan dada, tidak ada
darm contour, tidak ada darm steifung, ada luka bekas
operasi
 Auskultasi: peristaltic usus (+) normal
 Palpasi: supel, nyeri tekan (-)
 Ekstremitas:
 CRT < 2 detik
 Edema -/+/-/-
 Akral hangat
+ +
+ +

b) Status Lokalis
Regio Wrist Sinistra
 Look: Terdapat deformitas dan edema pada pergelangan
tangan kiri
 Feel: nyeri tekan (+) krepitasi (+)
 Move: ROM terbatas
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a) Pemeriksaan Darah Rutin
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Tanggal 26-04-2021
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.0 14.0 – 18.0 g/dl
Lekosit 11.35 4.00 - 11.00 10^3/uL
Eritrosit 4.87 4 .50 - 10^6/uL
Trombosit 205 150
5.50 – 450 10^3/uL
Hematokrit 40.9 36.0 - 46.0 vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 4 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 65 51-67 %
Limfosit 26 20-35 %
Monosit 4 4-8 %
GOL.DARAH
Golongan Darah O
HEMOSTASIS
PPT 12.1 12-16 detik
APTT 30.3 28-38 detik
Control PPT 15.0 11-16 detik
Control APTT 33.9 28-36.5 detik
FUNGSI HATI
SGOT 21 <37 U/L
SGPT 12 <41 U/L
FUNGSI GINJAL
Ureum 31 17-43 mg/dl
Creatinin 1.29 0.60-1.10 mg/dl
DIABETES
Glukosa Darah Sewaktu 115 80-200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 138 137.0-145.0 mmol/l
Kalium 4.00 3.50-5.10 mmol/l
Klorida 104.0 98.0-107.0 mmol/l
SERO IMUNOLOGI
HEPATITIS
HBsAg Negatif Negatif

Infeksi Lain
HIV Screening Non Non Reaktif
Reaktif

b) X-Ray
 Foto Wrist Joint
26 April 2021(PreOp) 27 April 2021 (PostOp)

Kesan: Fraktur Colles Sinistra


 Foto Thorax
26 April 2021

Kesan: Besar cor dan pulmo normal

Laporan Anastesi Pasien


 Keadaan Pre- Operasi
Keadaan Umum : Baik, CM
Tekanan Darah : 154/78 mmHg
Nadi : 96 x/menit
Nafas : 18 x/menit
Suhu : 36.2oC
SpO2 : 100 %
VAS :5
 EVALUASI PRA ANESTESI Ya Tidak

Hilang gigi  V
Masalah mobilisasi leher   V
Leher pendek   V
Batuk   V
Sesak napas   V
Nyeri dada   V
Denyut jantung tidak normal   V
Kejang   V
Merokok   V
Alergi   V
Stroke   V
Pingsan   V
Muntah   V
Susah kencing   V
Obesitas   V
Hipertensi  V
Gigi palsu   V
Diabetes melitus   V

 Catatan Anastesi
Diagnosis pra-bedah : Close Fraktur Distal Radius Sinistra
Diagnosis post-bedah : Post ORIF CF Distal Radius Sinistra
Jenis Operasi : ORIF (open reduction, internal fixation)
 Persiapan Anestesi
1. Persetujuan operasi tertulis
2. Puasa 8 jam pre operatif
3. Terpasang jalur intravena three way
4. Jenis anestesi : General Anestesia
5. Teknik Anestesi : TIVA (Total Intravena Anesthesia)
6. Induksi : Propofol
7. Monitoring tanda vital selama anestesi setiap 5 menit, cairan,
perdarahan, ketenangan pasien dan tanda-tanda komplikasi anestesi.
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan.
 Penatalaksanaan Anestesi
Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
Premedikasi : Midazolam 2 mg
Ethanyl 50 mcg
Induksi : Propofol 40 mg
Ketamine 20 mg
O2 4 liter/menit (Pemeliharaan)
Teknik anestesi : *Pasien dalam posisi telentang (supine)
*Cek infus pasien, mesin anestesi serta sistem
sirkuitnya dan gas anestesi yang akan digunakan.
*O2, N2O dan agent sudah disiapkan (dibuka).
*Menyiapkan obat premedikasi dan induksi.
*Memasukkan obat premedikasi dan induksi
melalui intravena.
*Mengawasi pola napas pasien, bila tampak
tanda-tanda hipoventilasi berikan napas bantuan
intermiten secara sinkron sesuai dengan irama
napas pasien, pantau denyut nadi dan tekanan
darah
*Setelah operasi selesai, berikan rangsangan baik
dengan memanggil nama maupun rangsang nyeri
kepada pasien untuk membangunkan pasien.
Respirasi :  Nafas bantu dengan Oksigen 4 lpm
Posisi : Telentang
Jumlah cairan yang : Kristaloid = 500 cc ( RL)
masuk
Perdarahan selama : ± 80 cc di tabung suction
operasi
Pemantauan selama anestesi :
Mulai anestesi : 14.10
Mulai operasi : 14.15
Selesai anestesi : 14.40
Selesai operasi : 14.45
Durasi Operasi : 30 Menit

Monitoring selama operasi :


Waktu Tekanan Nadi SpO2 Keterangan
darah
14.05 154/78 96 99 Terpasang infuse RL
14.10 123/76 82 99 Midazolam 2 mg
Fentanyl 50 mcg
Propofol 40 mg
Ketamin 20 mg
14.15 122/82 80 99 Pelaksanaan Operasi
14.20 134/80 83 99 Injeksi Paracetamol 1 gram
14.25 124/81 82 99 Injeksi Ondancetron 4 mg
14.30 120/79 80 99
14.35 133/77 80 99
14.40 132/80 85 99
14.45 122/75 82 99 Operasi Selesai

Manajemen Cairan Durante Operasi


- Maintenance Operasi (MO)
Dewasa (BB x 2 ml) = 126 ml
- Pengganti Puasa (PP)
Lama Puasa (8 jam) x MO = 1.008 ml
- Stress Operasi
Operasi Ringan (BBx6ml) = 378 ml
- Kebutuhan cairan jam pertama = ½ PP + MO + SO = 1.008 ml
- Perdarahan : +- 80 cc
- Urin output : +- 100 cc
- Total Kebutuhan Cairan : 1.008+ 80+100= 1.188 ml
- EBV : Laki-laki (BBx70) = 4410
- ABL : Dewasa (>20% EBV)= 882

Di Ruang Recovery :
- Jam 14.45 : pasien dipindahkan ke recovery room dalam posisi
telentang, pasien dalam kondisi mengantuk, dilakukan monitoring
tanda vital, infuse RL, diberikan O2 3 liter per menit.
Tekanan darah: 130/80 mmHg; Nadi: 70x/menit, RR: 18x/m, SpO2:
100%, dan VAS: 4
- Jam 14.55 : pasien dalam kondisi stabil baik, dipindahkan ke Bangsal
Bougenvile
Monitoring Pasca Anestesi :
Waktu Tekanan Nadi RR Keterangan
Darah
10.45 130/80 80 20 O2 2L/mnt, Monitoring tanda
Vital
10.50 140/85 79 20 Monitoring tanda Vital
10.55 142/89 82 20 Monitoring tanda Vital
Aldrate skor 9

Instruksi Pasca Anestesi :

a. Rawat pasien posisi terlentang, kontrol vital sign dan keadaan umum.
b. Obat anti mual diberikan inj. Ondansetron 4 mg/8 jam
c. Obat anti nyeri diberikan Paracetamol 500 mg/8 jam
d. Lain-lain
 Analgetik dan antibiotik sesuai dengan terapi bedah orthopedi
 Bila peristaltik (+) boleh makan minum bertahap
 Kontrol balance cairan
 Bedrest 24 jam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. FRAKTUR DISTAL RADIUS


A. DEFINISI
Fraktur distal radius terbentuk ketika bagian pergelangan tangan
terkena trauma keras, biasanya ketika menahan jatuh menggunakan
telapak tangan. Sekitar 2-3 cm dari tulang radius patah, kadang
membentuk beberapa fragmen, dan bisa saja sampai menembus keluar
kulit (disebut fraktur terbuka). Secara umum fraktur ditandai dengan rasa
nyeri, memar, bengkak, tidak dapat bergerak maksimal, mati rasa, dan
pergelangan tangan tergantung ke arah yang tidak normal (deformitas).
Bila bagian terfraktur tidak terlalu nyeri pemeriksaan dan/atau
penanganan bisa ditunda hingga beberapa jam, tetapi bila terdapat
deformitas, mati rasa, perubahan warna jari, atau fraktur terbuka maka
penanganan medis harus dilakukan sesegera mungkin. Untuk
memastikan diagnosis, biasanya dilakukan X-ray pada pergelangan
terfraktur. X-ray dapat menunjukkan bagian yang terfraktur, jumlah
fragmen, dan apakan ada pergeseran fraktur.

B. KLASIFIKASI
Ada banyak sistem klasifikasi yang digunakan pada fraktur
ekstensi dari radius distal. Namun yang paling sering digunakan adalah
sistem klasifikasi oleh Frykman. Berdasarkan sistem ini maka fraktur
Colles dibedakan menjadi 4 tipe berikut:
 Tipe I: Fraktur radius ekstra artikuler
 Tipe II: Fraktur radius dan ulna ekstra artikuler
 Tipe III: Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiocarpal
 Tipe IV: Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi
radiocarpal
 Tipe V: Fraktur radius distal yang mengenai sendi radioulnar
 Tipe VI: Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi
radioulnar
 Tipe VII: Fraktur radius distal yang mengenai sendi radiokarpal
dan sendiradioulnar
 Tipe VIII: Fraktur radius distal dan ulna yang mengenai sendi
radiokarpal dan sendi radioulnar
C. PENANGANAN OPERATIF

Prosedur operative terdiri dari 2 bagian utama, yaitu reduksi


terbuka dan fiksasi internal/eksternal. Pasien akan diberi anastesi selama
prosedur berlangsung. Reduksi terbuka dimulai dengan membersihkan
kulit sekitar fraktur menggunakan analgesik. Kemudian dibuat insisi
sepanjang daerah fraktur dimana dokter akanmengembalikan fragmen
tulang ke posisi normal. Selanjutnya fiksasi akan dipasang, baik yang
internal maupun eksternal. Proses fiksasi menggunakan lempengan
logam yang difiksasi ke tulang dan fragmen menggunakan sekrup.
Fiksasi internal lebih sering digunakan, dimana lempengan metal akan
ditinggalkan di dalam kulit dan tidak dilepaskan kecuali jika ada
komplikasi. Fiksasi eksternal terdapat di luar kulit dan sekrupnya
menembus kulit. Setelah fraktur sembuh fiksasi bisa dilepaskan secara
keseluruhan, tetapi memang lebih mengganggu aktivitas sehari-hari
dibandingkan dengan fiksasi internal dan juga memerlukan pembersihan
berkala selama terpasang untuk menghindari infeksi.

2. GENERAL ANASTESI
B. DEFINISI
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tujuan utamanya
adalah untuk menghilangkan nyeri. Bedanya dengan anestesi regional
adalah pada anestesi umum pasien dalam keadaan tidak sadar sedangkan
pada anestesi regional pasien tidak merasakan nyeri tapi masih sadar.
Anestesi umum juga mempunyai karakteristik menyebabkan amnesia bagi
pasien yang bersifat anterograd yaitu hilang ingatan kedepan maksudnya
pasien tidak akan bisa ingat apa yang telah terjadi saat dia dianestesi /
operasi. Karakteristik selanjutnya adalah reversible yang berarti General
anestesi akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping.
General anestesi juga dapat diprediksi lama durasinya dengan
menyesuaikan dosisnya. General anestesi memiliki komponen ideal
hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot, tetapi tidak semua General anestesi
harus memiliki 3 pilar tersebut. Minimal yang harus ada adalah hipnotik
dan analgesi.

C. PEMILIHAN PROSEDUR ANESTESI


Pemilihan prosedur anestesi didasarkan pada hal-hal dibawah ini:
1. Usia
• Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum (kurang
kooperatif)

• Pada dewasa untuk tindakan singkat hanya dilakukan dengan


anestesi lokal atau umum

2. Status fisik 
• Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu untuk mengetahui apakah
pasien pernah dioperasi dan anestesi agar bisa memperkirakan
apakah ada komplikasi anestesia pasca bedah.

• Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari


penggunaan anestesia umum.

• Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa


sebaiknya dilakukan dengan anestesia umum.

• Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi
anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi
umum endotrakeal.

• Posisi pembedahan seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi


memerlukan anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi
selama pembedahan. Demikian juga pada pembedahan yang
berlangsung lama.

• Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah, memilih obat dan


teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk
mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi,
pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.

• Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi.

• Keinginan pasien

D. METODE ANASTESI GENERAL


Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral
(Intravena, intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan
pada bayi atau anak-anak dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan
yang dimasukan ke anus. Perinhalasi melalui isapan, pasien disuruh tarik
nafas dalam kemudian berikan anestesi perinhalasi secara perlahan.

E. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN GENERAL ANESTESI


Keuntungan
• Pasien tidak sadar, mencegah anxietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
• Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
anxietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin
memberikan trauma psikologis.
• Memungkinkan dilakukannya prosedur yang membutuhkan waktu
lama.
• Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.
Kerugian
• Sangat mempengaruhi fisiologi.
• Memerlukan pemantauan yang lebih holistic.
• Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya
perubahan kesadaran.
• Risiko komplikasi pasca bedah lebih besar.
• Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

F. INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI


Indikasi
• Infant dan anak usia muda (tidak kooperatif)
• Dewasa yang memilih anestesi umum
• Pembedahan luas
• Penderita sakit mental
• Pembedahan lama
• Pembedahan dimana anestesi local tidak praktis atau tidak
memuaskan.
• Riwayat penderita toksik/ alergi obat anestesi local.
• Penderita dnegan pengobatan antikoagulan.
• Ekstraksi gigi pada tahap awal infeksi supuratif
Kontraindikasi
• Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh
diberikan anestesi umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah
kematian DOT (death on the table) meninggal dimeja operasi atau
selain itu. Seperti dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok
derajat II total (tidak ada gelombang P).
• Kontraindikasi relative ialah pada saat itu tidak bisa dilakukan
anestesi umum tetapi melihat perbaikan kondisi pasien hingga stabil
mungkin baru bisa diberikan anestesi umum. Seperti hipertensi berat
atau tidak terkontrol (diastolik >110 mmHg), diabetes mellitus tidak
terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glomerulonefritis akut.

G. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

1. Respirasi
Respirasi sebagai jalan masuknya obat anestesi khusunya metode
inhalasi. Obat yang terinhalasi melalui proses inspirasi akan mencapai
paru dibagian alveoli. Setelah dialveoli obat anestesi akan mencapai
konsentrasi tertentu hingga cukup kuat untuk menyebabkan proses
difusi kedalam sirkulasi dan disebarkan keseluruh tubuh / jaringan.
2. Sirkulasi
Apabila anestesi masuk masuk ke organ yang kaya pembuluh darah
maka akan cepat efek yang muncul seperti pada otak yang memiliki
vaskularisasi yang banyak sehingga muncul efek hipnotik/tidur selain
itu pada jantung akan menyebabkan perubahan hemodinamik karena
jantung terdepresi oleh obat anestesi.
3. Sifat Fisik
Kemudian sifat fisik dari obat anestesi berdasarkan masing2 metode
pemberian memiliki koefisien yang berbeda. Contohnya pada metode
inhalasi sifat fisiknya/koefisienya kita sebut koefisien gas darah
karena obat masuk ke alveoli dalam bentuk gas dan kemudian masuk
ke sirkulasi bercampur dgn darah. Untuk yang dari darah ke jaringan
kita sebut koefisien jaringan darah.
4. Faktor Lain
Untuk factor yang lain seperti ventilasi dan suhu tubuh. Semakin
sering kita memberikan ventilasi/ memberikan pernafasan melebihi
pernafasan normal (menggunakan bag mask) maka efek anestesinya
lebih cepat terjadi. Kemudian suhu tubuh pasien juga berpengaruh,
semakin rendah suhu tubuh maka akan semakin cepat efek anestesi
terjadi.

1. TOTAL INTRAVENOUS ANASTESI (TIVA)

A. DEFINISI

Anestesi umum yang ideal dapat menyediakan induksi yang cepat


dan tenang, kehilangan kesadaran yang dapat diprediksi, kondisi
intraoperatif yang stabil, efek samping yang minimal, pemulihan refleks
proteksi dan fungsi psikomotor yang cepat dan lancar. Anestesi umum
telah mengalami banyak perkembangan dan modifikasi, begitu pula yang
terjadi dengan total intravenous anesthesia (TIVA) sejak diperkenalkan
pertama kalinya dalam praktek klinis.
TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik anestesi
umum di mana induksi dan pemeliharaan anestesi didapatkan dengan
hanya menggunakan kombinasi obat-obatan anestesi yang dimasukkan
lewat jalur intravena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O.
TIVA dalam anestesi umum digunakan untuk mencapai 4 komponen
penting dalam anestesi yaitu arefleksia otonomik, analgesia, amnesia dan
atau tanpa relaksasi otot. Namun tidak ada satupun obat tunggal yang
dapat memenuhi kriteria di atas, sehingga diperlukan pemberian
kombinasi dari beberapa obat untuk mencapai efek yang diinginkan
tersebut.

B. KELEBIHAN
1. Larut dalam air dan stabil di dalam larutan
2. Tidak menimbulkan nyeri saat penyuntikkan dan tidak merusak
jaringan saat digunakan ekstravaskuler maupun intra arteri.
3. Tidak melepas histamin atau mencetuskan reaksi hipersensitifitas
4. Onset hipnotis yang cepat dan lembut tanpa menimbulkan aktifi tas
eksitasi
5. Metabolisme inaktivasi metabolit obat yang cepat
6. Memiliki hubungan dosis dan respon yang curam untuk meningkatkan
kefektifan titrasinya dan meminimalisir akumulasi obat di jaringan
7. Depresi pada respirasi dan jantung yang minimal
8. Menurunkan metabolisme serebral dan tekanan intra kranial
9. Pemulihan kesadaran dan kognitif yang cepat dan lembut
10. Tidak menimbulkan postoperative nausea and vomiting (PONV),
amnesia, reaksi psikomimetik, pusing, nyeri kepala maupun waktu
sedasi yang memanjang (hangover eff ects)

C. OBAT-OBATAN ANASTESI INTRAVENA


Kelompok obat anastesi intravena dapat dibagi menjadi kelompok :
opioid, non-opioid, dan muscle relaxant.
1. OPIOID
Obat anestesi golongan opioid atau dikenal sebagai narkotik.
Biasanya digunakan sebagai analgesia atau penghilang nyeri.
Kelompok obat ini dalam dosis yang tinggi dapat mengurangi
kecemasan dan menyebabkan penurunan kesadaran. Efek yang
dihasilkan dari pemakaian obat golongan opioid adalah analgesia,
sedasi, dan depresi respirasi. Efek ini juga berhubungan erat dengan
besarnya dosis, yang berarti semakin banyak konsentrasi obat yang
diberikan, semakin besar pula efek yang didapatkan. Namun dosis
harus tetap di batasi sesuai kebutuhan untuk tetap menjaga pasien
tidak mengalami efek yang berlebihan.
Keuntungan dari pemakaian obat golongan opioid dalam
anestesi adalah obat golongan opioid tidak secara langsung
memberikan efek depresi pada fungsi jantung. Dengan demikian, obat
golongan opioid sangat berguna untuk anestesi pada pasien dengan
kelainan jantung. Efek samping dari obat golongan opioid adalah mual
dan muntah, kekakuan dinding dada, seizure dan supresi dari motilitas
gastrointestinal.
Contoh dari kelompok obat ini adalah morfin, meperidine
(demerol),fentanyl (efek 1000 kali lebih kuat dari petidin), sufentanil,
alfentanil dan remifentanil.

MEKANISME KERJA
Mekanisme kerja dari opioid adalah interaksi dengan reseptor opioid
dalam otak (amygdala) dan medula spinalis. Beberapa tipe reseptor
yang berbedasudah dapat diidentifikasi. Reseptor Mu melayani efek
analgesia, depresi irespirasi, euphoria dan ketergantungan fisik.
Reseptor Kappa melayani efek analgesia pada level medula spinalis,
sedasi dan miosis. Efek dari opioid dapat dilawan dengan
menggunakan opioid antagonis,yang bersaing pada reseptor yang
sama dan memblok menggunakan efek yang dihasilkannya. Contoh
Naloxone (Narcan).

FARMAKOKINETIK
Absorbsi
Absorbsi cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan
meperedinintramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60
menit. Fentanil sitrattransmukosal oral merupakan metode efektif
menghasilkan analgesia dan sedasid engan onset cepat (10 menit)
analgesia dan sedasi pada anakanak (15-20μg/kg) dan dewasa (200-
800 μg).

Distribusi
Waktu paruh distribusi semua opioid umumnya cepat (5-20 menit).
Kelarutan lemak yang rendah dari morfin memperlambat laju
melewati sawardarah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi
kerja juga lebih panjang.Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya
cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus karena memiliki
kelarutan dalam lemak yang tinggi.

Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar,
aliran darah hepar.Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif.

Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati
bilier dantergantung pada aliran darah hepar. 10% opioid
diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif, remifentanil
dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos esterase.

FARMAKODINAMIK
Sistem kardiovaskuler
Secara umum, opioid mempengaruhi kardiovaskuler dengan
menurunkan respon simpatis melalui pusat vasomotor di medula dan
meningkatkan respon parasimpatis melalui jalur vagal. Meperidin
cenderung meningkatkan denyut jantung, dosis tinggi dari morfin,
fentanil, sufentanil, remifentanil dan alfentanil dapat menyebabkan
bradikardi. Opioid tidak menekan kontraktilitas jantung kecuali
meperidin, karena struktur meperidine yang mirip dengan atropin.
Meperidine dan morfin dapat menyebabkan terjadinya pelepasan
histamine dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi.

Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan penurunan
frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun. PaCO2
meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul sehingga kurve respon
CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain itu juga mampu
menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi pusat nafas atau
kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang refleks batuk pada
dosis tertentu..

Otak
Efek opioid terhadap perfusi otak dan tekanan intrakranial
bervariasi.Secara umum, opioid mengurangi konsumsi oksigen otak,
namun jauh lebih minimal dibandingkan barbiturat atau
benzodiazepin. Stimulasi terhadap pemicu kemoreseptor pada tingkat
medulla menyebabkan terjadinya mual dan muntah, hal ini
berhubungan denganpemberian opioid yang berulang.

Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan
lambung juga terhambat.

Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik
akibat stressanesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon
katabolik dalam darah relatif stabil.
2. NON OPIOID
Kelompok ini dapat dibagi menjadi barbiturat, benzodiazepine dan
obat lainnya seperti etomidate, ketamine, propofol, dll

2.1 BENZODIAZEPIN
Benzodiazepin mengikat reseptor yang sama dengan
barbiturat di sistem saraf pusat, tetapi berikatan dilokasi yang
berbeda. Berikatan dengan reseptor GABA, sehingga terjadi
peningkatan frekuensi pembukaan kanal ion Cl.
Midazolam mempunyai keunggulan dibandingkan
diazepam dan lorazepam untuk induksi anestesi, karena ia
mempunyai onset yang lebih cepat. Kecepatan onset midazolam
dan barbiturat lainnya ketika digunakan untuk induksi anestesi
ditentukan oleh dosis, kecepatan injeksi, tingkat premedikasi
sebelumnya, umur, status fisik ASA dan kombinasi obat anestetik
lain yang digunakan. Pada pasien yang sehat yang telah diberi
premedikasi sebelumnya, midazolam 0,2 mg/kg dengan kecepatan
injeksi 5-15 detik akan menginduksi pasien dalam waktu 28 detik.
Pasien dengan usia lebih dari 55 tahun dan dengan status fisik
ASA III memerlukan pengurangan dosis midazolam sebesar 20%
atau lebih untuk induksi anestesi.

FARMAKOKINETIK

Absorbsi
Benzodiazepin umumnya diberikan secara oral, intra muskular
dan intra vena untuk menghasilkan efek sedasi dan jarang
digunakan untuk induksi.

Distribusi
Diazepam relatif larut dalam lemak dan mudah menembus sawar
darah otak, walaupun midazolam larut dalam air pada pH rendah,
cincin imidazolenya mendekati pH fisiologis yang meningkatkan
kelarutannya di dalam lemak. Redistribusi cukup cepat pada
benzodiazepin (distribusi awal waktu paruhnya 3-10 menit).
Seperti pada barbiturat, redistribusi berperan dalam terminasi efek
obat. Midazolam dapat digunakan sebagai agen induksi, yang
dapat menyamai onset cepat dan durasi pendeknya propofol atau
bahkan thiopental. Midazolam sangat terikat dengan protein (90-
98%).

Biotransformasi dan eksresi


Biotransformasi benzodiazepin menjadi produk akhir
glukoronidase yang larut air tergantung pada hepar. Metabolit
fase I diazepam merupakan metabolit yang aktif. Ekstraksi
hepatik yang lambat dan Volume distribusi yang besar
menyebabkan eliminasi waktu paruh yang panjang pada
diazepam. Volume distribusi midazolam serupa dengan diazepam,
tetapi eliminasi waktu paruhnya pendek (2 jam) karena tingginya
rasio ekstraksi hepatiknya. Metabolit benzodiazepin utamanya
dieksresikan melalui urin. Sirkulasi enterohepatik pada diazepam,
menyebabkan peningkatan sekunder konsentrasi plasmanya 6-12
jam setelah pemberian. Gagal ginjal menyebabkan pemanjangan
waktu sedasi pasien yang menerima dosis besar midazolam
karena akumulasi dari metabolit terkonjugasinya (α-
hydroxymidazolam).

FARMAKODINAMIK

Kardiovaskuler
Benzodiazepin memiliki efek depresi kardiovaskuler yang
minimal meskipun pada dosis anestesi umum, kecuali jika
diberikan bersama dengan opioid. Jika diberikan tunggal, akan
menurunkan tekanan darah arteri, cardiac output dan resistensi
pembuluh darah perifer yang ringan, terkadang dapat
meningkatkan denyut jantung. Midazolam IV menurunkan
tekanan darah dan tahanan pembuluh darah perifer yang lebih
besar daripada diazepam. Variasi perubahan denyut jantung
selama sedasi dengan midazolam disebabkan oleh penurunan
tonus vagal.

Respirasi
Benzodiazepin IV menurunkan respon pernafasan terhadap CO2,
utamanya jika dikombinasikan dengan obat depresan nafas yang
lainnya. Meskipun apnea relatif jarang pada induksi dengan
benzodiazepin, pemberian dosis kecil IV dapat menyebabkan
respiratory arrest.Ventilasi harus selalu diawasi pada semua
pasien yang mendapatkan benzodiazepin IV dan peralatan
resusitasi harus selalu tersedia.

Otak
Benzodiazepin menurunkan kebutuhan oksigen otak, Cerebral
Blood Flow dan tekanan intra kranial tetapi tidak sebanyak
barbiturat. Menimbulkan relaksasi otot ringan yang bekerja pada
tingkatan corda spinalis bukan pada neuromuscular junction.
Pada dosis rendah menimbulkan efek anti cemas, amnesia, dan
sedasi, sedangkan pada dosis besar akan menimbulkan efek
stupor sampai hilangnya kesadaran. Tidak mempunyai efek
analgesik dan bila dibandingkan dengan propofol dan thiopental,
mempunyai onset yang lebih lambat dan durasi yang lebih lama.

2.2 PROPOFOL
Propofol mengikat reseptor GABAA, sehingga
meningkatkan afinitas ikatan GABA dengan reseptor GABAA,
yang akan menyebabkan hiperpolarisasi membran saraf. Injeksi
propofol IV akan menimbulkan nyeri yang dapat dikurangi
dengan pemberian injeksi lidokain sebelumnya atau dengan
mencampurkan lidokain 2% dengan 18 ml propofol sebelum
penyuntikkan. Formulasi propofol mudah terkontaminasi dengan
pertumbuhan bakteri, sehingga harus digunakan dengan tehnik
yang steril dan tidak boleh dipakai setelah 6 jam pembukaan
ampul. Induksi anestesi dengan propofol berlangsung dengan
lembut dengan hanya sedikit menimbulkan efek samping eksitasi.
Dosis 1-2,5 mg/kg (tergantung pada usia dan status fisik pasien
serta penggunaan premedikasi) menghasilkan induksi anestesi
dalam waktu 30 detik. Pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler harus diberikan dosis induksi yang lebih rendah.

FARMAKOKONETIK.

Absorbsi
Propofol hanya tersedia dalam bentuk pemberian secara IV untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi.

Distribusi
Onset kerja propofol cepat, begitu pula dengan durasinya yang
pendek pada pemberian bolus dosis tunggal dikarenakan
pendeknya distribusi waktu paruhnya (2-8 menit). Pada lansia
direkomendasikan pengurangan dosis induksi dan laju infus
propofol yang diberikan, karena volume distribusi mereka yang
lebih kecil.

Biotransformasi dan eksresi


Propofol dimetabolisme dengan cepat menjadi metabolit inaktif
dan dieksresikan melalui ginjal. Laju klirens propofol (20-30
ml/kg/ mnt) melampaui aliran darah hepar, sehingga diduga
propofol juga dimetabolisme di organ yang lain seperti paru
(ekstra hepatik).

FARMAKODINAMIK

Kardiovaskuler
Propofol menghambat aktivitas simpatis vasokonstriktor sehingga
menurunkan resistensi pembuluh darah perifer, preload dan
kontraktilitas otot jantung yang akhirnya akan menurunkan
tekanan darah arteri. Hipotensi yang terjadi saat induksi biasanya
akan pulih akibat dari stimulasi laringoskopi dan intubasi.
Hipotensi pada iduksi propofol dipengaruhi oleh dosis yang besar,
kecepatan injeksi dan usia tua. Propofol secara nyata
mempengaruhi barorefl eks arterial terhadap hipotensi. Perubahan
pada denyut jantung dan cardiac output biasanya hanya sementara
dan tidak bermakna pada pasien yang sehat, tetapi dapat
diperparah pada pasien lansia, konsumsi β-adrenergic blockers
atau pada pasien dengan gangguan fungsi ventilasi.

Respirasi
Pada dosis induksi propofol menekan secara dalam fungsi
pernafasan hingga menyebabkan apnea. Meski hanya dengan
dosis sub anestetik propofol menghambat respon normal terhadap
hiperkarbia. Propofol menekan refleks jalan nafas atas melebihi
thiopental sehingga tindakan intubasi, endoskopi dan pemasangan
LMA dapat dilakukan tanpa blokade neuromuskular. Walaupun
melepaskan histamin, timbulnya wheezing pada pasien ashma
yang diinduksi dengan propofol jarang terjadi.

Otak
Propofol menurunkan CBF, cerebral metabolit rate dan tekanan
intra kranial. Ketika dosis besar diberikan, efek penurunan
tekanan darah sistemik yang nyata dapat menurunkan cerebral
perfusion pressure. Autoregulasi pembuluh darah otak dalam
merespon perubahan tekanan darah arteri dan reaksi CBF
terhadap perubahan tekanan CO2 tidak mengalami perubahan.
Propofol memiliki kemampuan yang sama dengan thiopental
sebagai protektor otak terhadap fokal iskemia. Induksi propofol
dapat disertai dengan fenomena eksitasi seperti kedutan otot,
gerakan spontan, ophisthotonus dan cegukan. Propofol
mempunyai efek anti konvulsan dan dapat digunakan untuk
mengatasi keadaan status epileptikus.

2.3 KETAMIN

Derivat phencyclidine ini diformulasikan dalam bentuk


campuran racemic. Di antara agen anestetik lainnya ketamin
mempunyai keunggulan dengan menimbulkan efek hipnotik dan
analgesi sekaligus berkaitan dengan dosis yang diberikan.
Ketamin memiliki efek yang beragam pada sistem saraf pusat,
menghambat refleks polisinaptik di medulla spinalis dan
neurotransmitter eksitasi di area tertentu otak. Ketamin memutus
hubungan thalamus (penghubung impuls sensoris dari sistem
aktivasi retikuler ke korteks serebri) dengan korteks limbus
(berperan pada sensasi waspada), secara klinis disebut juga
anestesi disosiasi, di mana pasien tampak sadar (mata terbuka,
reflek menelan dan kontraksi otot) tetapi tidak mampu mengolah
dan merespon input sensorisnya. Ketamin juga merupakan
antagonis reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate). Pada dosis
sub anestesi ketamin dapat menimbulkan halusinasi yang dapat
dicegah dengan pemberian midazolam ataupun agen hipnotik
lainnya. Didahului dengan premedikasi benzodiazepin, ketamin 1-
2 mg/kg IV dapat digunakan untuk induksi anestesi dengan durasi
sekitar 10-20 menit setelah dosis tunggal induksi, dengan
tambahan waktu 60-90 menit untuk pulih sadar dengan orientasi
yang utuh. Efek analgesik mulai timbul pada dosis sub anestetik
antara 0,1-0,5 mg/kg IV dan konsentrasi plasma antara 85-160
ng/ml. Dosis rendah dengan infus sebesar 4 μg/kg/mnt IV telah
dilaporkan dapat menghasilkan efek analgesi post operatif yang
sama dengan infus morphin 2 mg/ jam IV.

FARMAKOKINETIK
Absorbsi

Ketamin dapat diberikan secara oral, nasal, rektal, subkutan dan


epidural. Tapi secara umum di dalam klinis biasanya diberikan
secara IV atau IM. Kadar puncak pada plasma tercapai dalam
waktu 10-15 menit setelah injeksi intra muscular.

Distribusi

Ketamin lebih larut dalam lemak dan kurang terikat dengan


protein dibandingkan dengan thiopental, sehingga uptake-nya
oleh otak dan proses redistribusinya berlangsung cepat (waktu
paruhnya 10-15 menit).Terminasinya akibat dari redistribusi dari
otak ke kompartemen perifer.

Biotransformasi dan eksresi

Ketamin mengalami proses biotransformasi di hati yang


menghasilkan beberapa metabolit, salah satunya norketamin yang
masih memiliki efek anestesi. Ekstraksi hepatiknya tinggi, sehingga
memiliki waktu paruh eliminasi yang relatif pendek (2 jam).
Produk akhir ketamin dieksresikan oleh ginjal.

FARMAKODINAMIK
Kardiovaskuler

Ketamin meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung dan


cardiac output, terutama setelah injeksi bolus cepat. Efek tersebut
disebabkan oleh stimulasi sentral pada sistem saraf simpatis dan
inhibisi pada reuptake norepinephrine setelah dilepaskan pada
terminal saraf.

Respirasi

Ventilatory drive sedikit dipengaruhi oleh ketamin dosis induksi,


walaupun dengan pemberian bolus IV cepat atau kombinasi
dengan opioid dapat menyebabkan apnea. Ketamin racemic
merupakan bronkodilator yang poten, sehingga berguna sebagai
agen induksi untuk pasien ashma, sedangkan ketamin S(+)
mempunyai efek bronkodilator yang minimal. Refleks saluran
nafas atas terjaga dengan baik, walaupun juga dapat terjadi
obstruksi parsial, sehingga pasien dengan resiko aspirasi
(lambung penuh) sebaiknya diintubasi selama anestesi umum
dengan ketamin. Hipersalivasi akibat ketamin dapat diatasi
dengan premedikasi agen antikolinergik seperti glycopyrrolate.

Otak

Ketamin meningkatkan konsumsi oksigen otak, CBF dan tekanan


intra kranial, sehingga penggunaannya dihindari pada keadaan
space occupying intracranial lesions seperti yang terjadi pada
trauma kepala. Tetapi dari penelitian-penelitian terakhir, dengan
bukti yang kuat bila dikombinasikan dengan benzodiazepin (atau
agen lain yang bekerja pada sistem reseptor GABA yang sama)
dan dengan kontrol ventilasi tetapi tanpa menggunakan N2 O,
ketamin tidak menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial.
Ketamin meningkatkan aktivitas listrik subkortikal sehingga
menimbulkan gerakan myoklonik. Efek samping psikomimetik
akibat ketamin jarang terjadi jika dikombinasikan dengan
benzodiazepin ataupun ketamin pada tehnik TIVA.

D. TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI

1) PRA-ANASTESI
Preanestesi merupakan langkah awal dari rangkaian tindakan anestesia
yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif. Hal-hal yang perlu dilakukan meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan klasifikasi status
fisik.Terdapat 4 hal utama yang menjadi perhatian dalam melakukan
visit preoperatif pada pasien, diantaranya yaitu :
1. Persetujuan tindakan medis (informed consent), konsultasi pre
operasi, penjelasan etika perioperatif, dan pemeriksaan penunjang
pre operasi
2. Visit sistem organ utama seperti ada tidaknya gangguan pada
sistem kardiovaskular, pernafasan, ekskresi, konsumsi
antikoagulan, dan gangguan hematologi
3. Melakukan persiapan kondisi anemia, status gizi (obesitas atau
kurang gizi), dan tindakan prehabilitasi.
4. Penanganan pasien dengan kondisi khusus seperti diabetes
melitus, geriartrik, pengguna perangkat implantable, pengguna
NAPZA, atau kehamilan.
ANAMNESIS
Komunikasi yang efektif dan pendekatan oleh tenaga medis sangat
penting dalam periode pre-operasi. Hal – hal yang harus diperhatikan
pada anamnesis sebagai berikut:
1. Identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, berat badan,
tinggi badan, dll).
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin
dapat menjadi penyulit dalam anestesi.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin
menimbulkan interaksi.
4. Riwayat alergi.
5. Kebiasan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi
jalannya anestesi.
6. Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat tindakan anestesi
sebelumnya.
Hal ini sangat penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal tertentu
yang perlu mendapatkan perhatian khusus, seperti alergi, mual-
muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas paska pembedahan
sebelumnya, sehingga kita dapat merancang anesthesia berikutnya
dengan lebih baik.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang harus di lakukan adalah pemeriksaan tinggi
dan berat badan, keadaan umum, kesadaran, tanda-tanda vital, tanda-
tanda anemia, ikterus, sianosis, dehidrasi, malnutrisi, edema, serta
apakah pasien mengalami sesak atau kesakitan. Selain itu terdapat 6
indikator lain yang menjadi poin penting dalam pemeriksaan fisik
preoperatif pasien :
1. BREATH (B1)
Untuk mengingat lebih mudah dapat dilakukan pemeriksaan
LEMON.

L: LOOK
Cari indikator eksternal dari intubasi endotrakeal yang sulit. Yang
dapat mencakup bentuk wajah yang tidak normal, gigi yang buruk,
mulut tidak bergigi, obesitas morbid, langit-langit tinggi
melengkung, leher pendek, gigi depan besar, bekas luka operasi
yang menunjukkan bekas luka trakeostomi sebelumnya,
menunjukkan pasien mungkin memiliki mulut sempit, wajah , atau
patologi leher.
Perhatikan jalan nafas, pola nafas, suara nafas, dan suara nafas
tambahan. Memperhatikan jalan nafas bagian atas dan bagaimana
penatalaksanaannya selama anestesi. Apakah jalan nafas mudah
tersumbat, apakah intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien
ompong atau memakai gigi palsu atau mempunyai rahang yang
kecil yang akan mempersulit laringoskopi. Apakah ada gangguan
membuka mulut atau kekakuan leher, apakah pembengkakan
abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas bagian atas.

E: EVALUATE
Aturan 3-3-2. Aturan 3-3-2 berfungsi untuk memperkirakan
apakah anatomi leher akan memungkinkan pembukaan
tenggorokan dan laring yang sesuai. Ini berfungsi untuk
memperkirakan secara kasar kesejajaran bukaan untuk visualisasi
langsung laring saat intubasi.
• 3: Pengukuran tiga jari antara gigi seri atas dan bawah dari
mulut terbuka pasien menunjukkan kemudahan akses ke jalan
napas melalui pembukaan mulut. Pembukaan mulut yang
memadai memudahkan kedua insersi laringoskop dan
mendapatkan pandangan langsung ke glotis.

• 3: Pengukuran 3 jari dari ujung anterior mandibula ke leher


anterior memberikan perkiraan volume ruang submandibular.
Seorang pasien dapat meletakkan tiga jari di lantai mandibula
antara sudut mental dan leher di dekat tulang hyoid. Biasanya
jarak ini harus diukur mendekati 7 cm. Jika jarak ini kurang
dari lebar tiga jari, sumbu laring akan berada pada sudut yang
lebih tajam dengan sumbu faring, yang menunjukkan bahwa
penyelarasan bukaan mulut ke bukaan faring akan sulit. Ini
juga menunjukkan bahwa akan ada lebih sedikit ruang untuk
memindahkan lidah di dalam tenggorokan. Aturan tersebut
memiliki batasan karena jarak dapat bervariasi.

• 2: Pengukuran 2 jari antara dasar mandibula dengan takik


tiroid di leher anterior mengidentifikasi lokasi laring relatif
terhadap dasar lidah. Normalnya seseorang dapat
menempatkan dua jari di laring laring superior. Jika laring
terlalu tinggi di leher, berukuran kurang dari dua jari,
laringoskopi direk akan sulit dan berpotensi tidak mungkin
dilakukan; ini karena sudut antara pangkal lidah ke laring
terlalu tajam.

M : MALLAMPATI
Score Skoring Mallampati adalah suatu sistem yang didasarkan
pada anatomi mulut dan pandangan dari berbagai struktur anatomi
apabila seseorang membuka mulut selebar mungkin. Penilaian
dilakukan dalam posisi duduk dan tidak dapat dilakukan dalam
keadaan darurat. Skor kelas I diartikan mudah, dan kelas IV
adalah yang paling sulit.

Mallampati Score Kelas I dan II merupakan bentuk yang paling


mudah untuk dilakukan intubasi dibandingkan kelas III dan IV,
kelas III dan IV merupakan kelas yang paling sulit untuk
dilakukan intubasi. Untuk menghindari hasil positif palsu atau
negative palsu, tes ini sebaiknya di ulang sebanyak dua kali. O:
Obstruction Seseorang harus menilai apakah jalan nafas dapat
terhalang oleh benda asing, abses, tumor, pembengkakan jaringan
lunak seperti pada korban luka bakar atau hematoma yang meluas
pada pasien trauma.
O: OBSTRUCTION
Seseorang harus menilai apakah jalan nafas dapat terhalang oleh
benda asing, abses, tumor, pembengkakan jaringan lunak seperti
pada korban luka bakar atau hematoma yang meluas pada pasien
trauma.

N: NECK MOBILITY
Pada pasien yang waspada dan terjaga, lihat apakah pasien dapat
meletakkan dagu mereka di dada dan seberapa jauh mereka dapat
memiringkan kepala ke belakang. Mobilitas leher yang menurun
merupakan prediktor negatif dari komplikasi intubasi.

2. BLOOD (B2) : Tekanan darah, perfusi, suara jantung, suara


tambahan, kelainan anatomis dan fungsi jantung. Melihat apakah
pasien menderita penyakit jantung atau pernafasan, khususnya
untuk penyakit katup jantung (selama operasi dibutuhkan
antibiotik sebagai profilaksis), hipertensi, dan gagal jantung kiri
atau kanan dengan peningkatan tekanan vena jugularis, adanya
edema pada pergelangan kaki, pembesaran hepar atau krepitasi
pada basal paru. Melihat bentuk dada dan aktifitas otot pernafasan
untuk mencari adanya obstruksi jalan nafas akut atau kronis atau
kegagalan pernafasan. Meraba trakea apakah tertarik oleh karena
fibrosis, kolaps sebagian atau seluruh paru, atau pneumotoraks.
Melakukan perkusi pada dinding dada, bila terdengar redup
kemungkinan kolaps paru atau efusi. Mendengarkan apakah ada
wheezing atau ronkhi yang menandakan adanya obstruksi bronkus
umum atau setempat.
3. BRAIN (B3) : Menilai GCS, riwayat stroke, kelainan saraf pusat
atau perifer.
4. BLADDER (B4) : AKI, CKD, menilai produki urin.
5. BOWEL (B5) : Makan atau minum terakhir, menilai kondisi
bising usus, apakah ada gangguan peristaltik, gangguan lambung,
gangguan metabolit, massa, mual, muntah atau sedang dalam masa
kehamilan.
6. BONE (B6) : Apakah ada patah tulang, kelainan postur tubuh,
kelainan neuromuskuler.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Setelah dilakukan pemeriksaan, kita dapat mengetahui beberapa
masalah dan memutuskan apakah diperlukan pemeriksaan lain seperti
laboratorium, radiologi dan elektrokardiogram. Radiologi rutin untuk
foto toraks tidak diperlukan jika tidak ada gejala atau abnormal pada
dada, tapi pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit sebaiknya rutin
dilakukan pada pasien yang akan menjalani anestesi umum.
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, tes fungsi hati (SGOT,
SGPT), tes fungsi ginjal (ureum, kreatinin), serum elektrolit, faal
hemostasis, dll.
2. Pemeriksaan radiologi: foto toraks, foto polos abdomen (BOF),
USG, CT Scan.
3. Pemeriksaan EKG bila umur lebih dari 35 tahun atau bila ada
indikasi
4. Lain-lain.
• Pemeriksaan pada anak didampingi ayah atau ibunya.
• Pemeriksaan gigi, kerusakan gigi karena laryngoskopi
• Gigi palsu harus dibuka.

KLASIFIKASI ASA
Penggolongan status fisik penderita merupakan hal yang penting
untuk menentukan resiko anestesi digolongkan menurut ASA (ASA I
s.d ASA VI). Klasifikasi yang digunakan untuk menilai kebugaran
fisik seseorang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi sebagai berikut:
- ASA 1: pasien sehat organic, fisiologik, psikiatrik, biokimia
- ASA 2: pasien dengan penyakit sistemik ringan dan sedang
- ASA 3: pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga
aktivitas rutin terbatas
- ASA 4: pasien dengan penyakit sistemik berat yang tak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakit merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat
- ASA 5: pasien sekarat yang diperkirakan dangan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam
- Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

PUASA PERIOPERATIF
Adalah untuk mengurangi volume, tingkat keasaman lambung,
dan mengurangi risiko aspirasi paru dari sisa-sisa makanan. Refleks
laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Cairan bening (clear fluid ) boleh diminum
sedikit-sedikit, hingga dua jam prabedah. Pada pasien pediatrik, harus
diterangkan kepada orang tuanya bahwa susu digolongkan setara
makanan padat. Sangat perlu juga menjelaskan tujuan puasa adalah
demi keselamatan pasien karena dapat mencegah terjadinya
pneumonia aspirasi yang dapat fatal. Jika pasien rentan terhadap
kondisi dehidrasi, perlu dipertimbangkan cairan intravena selama
periode puasa ini.

IJIN OPERASI (INFORM CONSENT)


Ditandatangani oleh pasien dan keluarganya kecuali pada
kondisi emergensi. Konsultasi ke internis, dokter anak dll, guna
optimalisasi keadaan umum pasien sebelum operasi.
2) DURANTE ANASTESI
1. PREMEDIKASI
Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah
dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
anesthesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:
• Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien
• Menghilangkan rasa khawatir melalui: Kunjungan pre-
anestesi, Pengertian masalah yang dihadapi, Keyakinan
akan keberhasilan operasi,
• Memberikan ketenangan (sedatif)
• Membuat amnesia
• Mengurangi rasa sakit (analgetik non/narkotik)
• Mengurangi kejadian mual dan muntah
• Memudahkan atau memperlancar induksi
(hipnotik/sedatif).
• Mengurangi jumlah obat-obat anestesi (hipnotik / sedatif).
• Mengurangi sekresi kelenjar saliva.
• Membantu pengosongan lambung, mengurangi produksi
asam lambung atau meningkatkan pH asam lambung.
• Menekan dan mencegah refleks-refleks yang tidak
diinginkan.

OBAT PREMEDIKASI :

2.

INDUKSI
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan,
tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek
mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama,
kedalaman anastesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat
terus-menerus dengan dosis tertentu, hal ini disebut maintenance  atau
pemeliharaan, setelah tindakan selesai pemberian obat anastesi
dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan, periode ini disebut
pemulihan/recovery.
Jenis induksi:
• Induksi intravena
Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahan-
lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam
kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Jenis induksi
intravena, yaitu:
1. Tiopental
(1 amp 500 mg atau 1000 mg) sebelum digunakan dilarutkan
dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg).
hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7
mg/kg disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60
detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran
darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diduga
dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah
bersifat anti-analgesia.
2. Propofol
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg).
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam
dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.
Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
3. Ketamin
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat
menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi
buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis
0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi saliva diberikan
sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan ntuk
intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan bening
kepekatan 1% (1ml=10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml =
100 mg).
4. Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil
dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.

3. RUMATAN ANASTESI
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat
inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan
obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat
diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anastesi umum
sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anastesi, pada penderita
yang tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas
otot, maka bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
• Gerakan lengan atau kaki
• Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang
memakai pipa endotrakeal
• Adanya lakrimasi
• Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,
broncospasme
• Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi
bertambah cepat
• Tekanan darah meningkat, berkeringat.
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias
anastesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur
dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat,
relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini
disebut balance anastesi.

4. PEMULIHAN ANASTESI
Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anastesi. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur
pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anastesi dalam darah. Bagi
penderita yang mendapat anastesi intravena, maka kesadarannya
berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anastesi akibat
metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianastesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu
sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa
endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ETT)
ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranastesi
dalam dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Untuk
mempercepat pulihnya penderita darimpengaruh muscle relaxan maka
dilakukan reserve, yaitu memberikan obat anti kolin esterase.
3) PASCA ANASTESI
INSTRUKSI PASCA OPERASI
1. Observasi Keadaan Umum dan Vital Sign pasien
2. Pemberian analgetik ketorolac sebagai antinyeri dengan dosis
500mg/6jam dimulai pukul 19.45
3. Pemberian antiemetik Ondancentron k/p mual/muntah /8jam dimulai
pukul 19.45

4. Perhatikan peristaltik bila (+) dapat dilakukan makan/minum


bertahap.

PEMANTAUAN DI RUANG RECOVERY ROOM


Aldrete score
Jika jumlahnya >8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


penunjang pasien didiagnosis fraktur distal radius sinistra dengan ASA 2, yakni
pasien dalam keadaan sehat dengan riwayat hipertensi terkendali dengan obat
rutin. Pasien direncanakan untuk operasi Open Reduction Internak Fixation
(ORIF). Menjelang operasi pasien kedaan umum sedang dan kesadaran compos
mentis. Pasien sudah dipuasakan selama 8 jam. Jenis anestesi yang dilakukan
general anestesi dengan teknik TIVA.
Pada pasien diberikan premedikasi Midazolam 2 mg secara intravena.
Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine yang bekerja dengan cara
berikatan dengan reseptor gamma-aminobutyric acid A (GABA A) di susunan saraf
pusat dengan bantuan gamma-aminobutyric acid (GABA). Midazolam berguna
untuk mengatasi rasa cemas, amnesia retrograde, pikiran menjadi rileks, serta
menimbulkan rasa kantuk dan tidak sadarkan diri. Selain itu pada premedikasi,
pasien juga diberikan Ethanyl 50 mcg yang merupakan analgesik opioid untuk
menghilangkan rasa nyeri.
Dilakukan induksi dengan propofol 100 mg i.v karena memiliki induksi
yang cepat, masa pulih sadar yang cepat, jarang menimbulkan mual dan muntah,
tensi juga kondisi pernapasan yang normal. Diberikan juga ketamine 20 mg untuk
efek analgesik pada pasien.
Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan tiap 5 menit secara
efisien dan terus-menerus, dan pemberian cairan intravena Ringer Laktat. Selama
operasi keadaan pasien stabil. Observasi dilanjutkan pada pasien post-operatif di
recovery room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah,
nadi, respirasi, dan saturasi oksigen.

BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi


yang melibatkan anestesi. Pemeriksaan secara detail dan teliti untuk mengetahui
kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin terjadi sehingga dapat
diantisipasi.
Untuk mencapai hasil yang maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan
yang ada diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya
komplikasi anestesi dapat diminimalisir.
Pada kasus ini, selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti
baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasi. Pada ruang pemulihan juga
tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan yang serius.
DAFTAR PUSTAKA

Butterworth, JF. Mackey, DC. Wasnick, JD. 2013. Morgan and Mikhail”s Clinical
Anesthesiology. USA. Lange Mc Graw Hill
Dobson Michael B. (1994). Penuntun Praktis Anestesi, cetakan I, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Merry A, Wilson I, Walker I, Carlisle J, Sandhar B, Campbel B. Preoperative
assessment and preparation for anaesthesia : General consideration. In :
Allman KG, Wilson IH, O’Donnel A. Oxford handbook of anaesthesia 3rd
Edition. New York : Oxford University Press. 2011;1-16.
Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI, CV Infomedia, Jakarta.
Iqbal, Muhammad. (2014). Total Intravenous Anastesi (TIVA). Jurnal Komplikasi
Anasthesi. Volume 2 No 1.
Pulley DD, Richman DC, Fleischer LA. Preoperative Evaluation. Anesthesiology
clinics. Philadelphia, PA. Elsevier. 2016.
R.Venna, Wee, MYK. AAGBI Safety Guideline Pre operative Assesment and
patient preparation. The role of the anasthetist. Published by the Association
of Anaesthetists of great Britain and Ireland. 21 Portland Place, London.
January, 2010.
Reves, JG, et al. 2010. Intravenous Anesthetics. In: Miller, RD. (eds) miller’s
Anesthesia, 7th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders
Setiadi, T., 2009. Colles Fracture. EBERS PAPYRUS - VOL 15 NO. 1APRIL
2009.

Anda mungkin juga menyukai