Anda di halaman 1dari 14

PEREKONOMIAN INDONESIA

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PANGAN DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN


SAP 7

Dosen Pengajar:

Drs. Kastawan Mandala, M,M.

Oleh :

Kelompok 6

Sinta Nurya Ulfa (1907531051)

Cornelius Gabriel Garrywibowo (1907531081)

Anak Agung Pradnya Satya Nugraha (1907531082)

Ni Putu Bella Ari Suwitri (1907531098)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Kebijakan pembangunan sektor pangan dan pembangunan sektor pertanian perlu dilakukan
mengingat besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia. Selain
itu, sector ini juga merupakan sektor yang mampu menyerap tenaga kerja masyarakat yang
cukup besar sebagai penggerak perekonomian daerah yang berbasis sumberdaya alam. Dalam
program pengembangan agribisnis ini, maka program investasi senantiasa diarahkan pada
komoditas-komoditas unggulan sebagai leading sectornya yang kemudian diharapkan dapat
memberikan multifier effect pada sektor berikutannya. Komoditas unggulan yang dimaksud
adalah komoditas yang diusahakan berdasarkan keunggulan kompetitif dan komparatif ditopang
oleh pemanfaatan teknologi yang sesuai denga agroekosistem untuk meningkatkan nilai tambah
dan mempunyai multiflier effect terhadap berkembangnya sector lain.1 Mengingat Indonesia
merupakan negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) baik yang bersifat hayati
(perikanan, pertanian, dan perkebunan) maupun nonhayati (hasil tambang). Sebagai salah satu
negara agraris, Indonesia berada pada letak yang strategis dengan iklim tropis dan curah hujan
tinggi sehingga banyak tumbuhan yang dapat tumbuh dan hidup.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditemukan dan dirumuskan beberapa masalah, sebagai
berikut:

1. Bagaimana Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Masa Penjajahan Belanda?
2. Mengapa Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian pada Pemerintahan Orde Lama
Penting?
3. Bagaimana Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian pada Pemerintahan Orde
Baru
4. Bagaimana Kebijakan Pembangunan Tanaman Non-Pangan?
5. Bagaimana Perubahan Struktur Ekonomi di Indonesia?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, dapat ditemukan beberapa tujuan sebagai
berikut:

1. Mengetahui Kebijakan Pangan dan Sektor Pertanian pada Masa Penjajahan Belanda.
2. Mengetahui Pentingnya Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian pada
Pemerintahan Orde Lama.
3. Mengetahui Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian pada Pemerintahan Orde
Baru.
4. Mengetahui Kebijakan Pembangunan Tanaman Non-Pangan.
BAB II

PEMBAHASAN

1.Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pertanian Pada Jaman Penjajahan

Sektor pertanian di Indonesia pada zaman penjajahan tidak dapat dipisahkan dari sistem
perekonomian Belanda yakni sistem kapitalistik, oleh sebab itu tidak banyak perhatian yang
diberikan pemerintah terhadap sektor pertanian. Pemerintah penjajah Belanda membiarkan
perkembangan di sektor pertanian diserahkan sepenuhnya kepada kekuatan permintaan dan
penawaran (kekuatan pasar), terutama pada sektor perkebunan.

Pada zaman penjajahan muncul perusahaan-perusahaan besar yang berkembang untuk


komoditas kelapa, karet, rempah-rempah, lada, temabakau, teh, dan tebu yang mengekspor
hasil perkebunan dari daerah jajahan ke pasar di Eropa sebagai bahan mentah untuk
perkembangan industrinya, yang mana ini berarti teknologi perkebunan diserahkan oleh
perusahaan perkebunan besar. Selain perusahaan perkebunan besar, di Indonesia juga
berkembang perkebunan kecil yang dikelola oleh rakyat, tetapi pemerintah Belanda tidak
memiliki kebijaksanaan untuk mengembangkan perkebunan rakyat.

Pemerintahan Belanda memiliki kebijakan khusus terhadap perkembangan sektor pangan,


khususnya beras. Hal ini dikarenakan beras merupakan bahan pokok, selain itu beras juga
digunakan sebagai pembayaran upah pegawai swasta pada sektor perkebunan. Beras
merupakan komoditas politik pada zaman itu dikarenakan terdapat penjagaan harga beras
agar selalu murah. Contoh penjagaan yang ada yakni menghapus bea masuk impor beras,
saat terjadinya gagal panen.

Dalam produksinya, pemerintah Belanda menjalankan kebijaksanaan yang disebut Olie Vlek
yakni program penyuluhan untuk menyebarluaskan cara bertani yang lebih baik. Pada awal
tahun 1933, impor dibatasi dengan cara lisensi dan harga diawasi secara langsung.
Pemerintah juga menggalakkan perdagangan beras antar pulau atau provinsi yang bertujuan
agar daerah defisit beras memperoleh tambahan beras dari daerah surplus beras. Menjelang
tahun 1939, dibentuk satu badan pemerintah khusus untuk melaksanakan dan mengawasi
pemasaran beras yang dinamakan Stichting Het Voedingsmidlenfons (VMF). VMF
merupakan cikal bakal Bulog pada masa orde baru, yang kemudian diambil alih oleh Jepang
saat masa penjajahan Jepang.

Dalam penjajahan Jepang kebutuhan sektor pertanian ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
militer. Setelah masa penjajahan, Indonesia masih menggunakan kebijakan pemerintah
Belanda yang ditambah dengan kebijakan pemerintah Jepang hingga 20 tahun. Pada tahun
1960an ekspor hasil pertanian menjadi sumber devisa terbesar, sehingga membutuhkan
kebijakan harga beras rendah dan tingkat upah rendah.

2. Kebijakan Pangan dan Pembangunan Pada Jaman Kemerdekaan

2.1 Era Orde Lama

Pemerintahan orde lama tidak memiliki kesempatan menunjukkan perkembangan ekonomi,


termasuk perkembangan subsektor perkebunan. Ada sedikit peningkatan saat dimana
subsektor perkebunan besar milik Belanda dinasionalisasi menjadi milik negara. Selain hal
tersebut tidak ada yang berubah, dimana kebijaksanaan pengembangannya masih sama
dengan yang sebelumnya begitu pula untuk subsektor perkembangan rakyat.

Dalam subsektor tanaman pangan khususnya beras, kebijaksanaan yang sebelumnya


ditempuh dalam menjaga kestabilan harga beras, dialihkan menjadi kebijaksanaan yang
ditujukan untuk mempertahankan penghasilan tertentu bagi mereka yang diserahi tugas
mengelola administrasi dan keamanan negara saat itu (Pegawai Negeri Sipil dan Militer).

Menurut Timmer, proses politisasi sistem pemasaran beras ini bertolak belakang dengan
kenyataan, bahwa beras sama sekali tidak dianggap bahan politik bagi produsennya (petani
padi), dimana kepentingan utama petani adalah penghasilannya sendiri. Dibidang produksi,
beberapa program swasembada dilakukan ditahun 50an hingga 60an. Ini didasari oleh
terbatasnya devisa dalam negeri. Adapun contohnya Program Kesejahteraan Kasino ditahun
1952 yang bertujuan mencapai swasembada beras sebelum tahun 1956, yang menggunakan
pendekatan program penyuluhan percontohan. Program tersebut hampir sama dengan
program Olie Vlek dimasa penjajahan Belanda, yang berbeda hanya terletak pada jumlah
petak percontohan yang lebih banyak. Pada 1959 terdapat Program Padi Sentra yang
bertujuan mencapai swasembada sebelum tahun 1963 yang merupakan program gagal,
namun program tersebut menciptakan satu organisasi yaitu BUUD (Badan Usaha Unit Desa),
dan KUD (Koperasi Unit Desa) serta BRI unit desa yang berfungsi sebagai penyedia dana
kredit. Program Padi Sentra di samping itu memberikan pembelajaran mengenai bahayanya
penetapan harga padi oleh petani yang terlalu rendah. Selain itu, program ini juga
menjelaskan pentingnya peranan saluran perkreditan yang baik serta perkembangan staf
yang berkompeten dibidangnya.

Pada tahun 1963 Presiden Soekarno menjalankan gerakan mengganti beras dengan jagung.
Dapat dilihat dari penerimaan jatah Pegawai Negeri Sipil dan Militer yang semula
memperoleh jatah beras menjadi 75% beras dan 25% jagung. Program ini mengalami
banyak kesulitan, mulai dari penyaluran hingga reaksi negatif dari masyarakat sehingga
dihentikan. Program tersebut memberi pembelajaran dimana setiap penyedia jagung atau
bahan makanan lainnya selain beras, perlu memenuhi kekurangan beras, agar program ini
lebih direncanakan dengan matang agar dapat berjalan dengan baik. Pada tahun 1963,
program penyuluhan yang di lakukan para mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas
Indonesia yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor, merupakan sumber inspirasi bagi
berkembangnya Program Bimas (Bimbingan Massal). Program Bimas memberikan kerangka
dasar organisasi program intensifikasi produksi padi. Program Bimas yang di perluas mulai
berlangsung tahun 1964 dan menjadi terkenal karena semboyan Panca Usaha, yakni lima
cara ke arah usaha tani yang baik. Kelima cara ini mencakup penggunaan dan pengendalian
air yang lebih baik, penggunaan bibit pilihan, pupuk dan pestisida, cara bercocok tanam yang
baik dan operasi yang kuat.

Panca Usaha justru tidak menekankan aspek inovasi seperti yang di cetuskan dalam program
penyuluhan percontohan Bimas sebelumnya. Dalam program ini para mahasiswa penyuluh
hidup dan bekerja bersama-sama dengan petanidi desa-desa. Sewaktu pemerintahan Orde
Baru memegang kekuasaan, sektor perberasan diIndonesia berada dalam keadaan
menyedihkan. Produksi beras di Jawa hanya 2% lebih tinggi dari produksi tahun 1954. Hasil
beras per hektar di Indonesia tidak menunjukan kenaikan selama sepuluh tahun. Kenaikan
produksi bersumber dari luar Jawa kenaikan rata-rata sebesar 1 persen setahun karena
perluasan areal produksi. Menurunya kesediaan beras perkapita dari 107 kg dalam tahun
1960 menjadi 92 kg dalam tahun 1965. Produksi ubi jalar tidak mengalami kenaikan dan
hanya produksi jagung yang melebihi tingkat pertumbuhan penduduk Selama tahun 1960an,
lebih dari satu juta ton beras di impor setiap tahun kedalam negeri. Dalam tahun 1965 harga
nominal beras adalah seratus kali harga beras tahun 1960 dan harga bahan makanan lainya
menunjukan kenaikan hampir samadengan harga beras. Hal ini berdampak makin
menciutnya cadangan devisa impor beras sehingga menurun menjadi 200.000 ton dalam
tahun 1965. Satu-satunya titik cerah dengan situasi pangan adalah adanya kemungkinan
menaikan produksi beras melalui program Bimas.

2.2 Era Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru menyadari pentingnya penyediaan beras yang cukup dalam usaha
memperbaiki pelaksanaan program Bimas, beberapa kebijaksanaan baru diambil untuk
mempermudah pembiayaan sarana produksi dan BRI (saat itu disebut Bank Koperasi, Tani
dan Nelayan) memerlukan bantuan usahanya dalam memenuhi kebutuhan dana para petani.

Pada 1966, Kolognas satu badan yang baru dibentuk untuk menangani masalah logistik
distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Saat itu devisa yang tersedia untuk mengimpor
pupuk masih sangat terbatas dan sistem distribusinya tidak efisien. Karena terbatasnya
devisa, impor beras juga terhambat. Karena tidak mencapai tingkat yang diperlukan
Bulognas kemudian dibubarkan pada tahun 1967 dan diganti dengan Bulog, yaitu sebuah
badan yang mengelola persediaan pangan dan bertamggung jawab langsung kepada
Presiden. Pada tahun 1967 panen ternyata gagal dan produksi menurun drastis akibat
kekeringan yang melanda Asia Tenggara. Harga beras melonjak tinggi karena minimnya
persediaan beras. Saat itu sebuah perusahaan swasta, Mantrust, mendirikan pabrik beras
sintetis, tapi usaha ini gagal karena beras terbuat terbuat dari tepung gandum yang dibentuk
menyerupai beras, tetapi setelah dimasak beras itu menyerupai bubur bukan nasi.

Pada tahun 1968 diadakan perubahan kebijaksanaan beras pemerintah, dan perubahan ini
merupakan awal kebijaksanaan harga produksi dan mengimpor beras. Pada waktu itu
dicetuskan “rumus Tani” yang dijadikan pegangan dalam pelaksanaan kebijaksanaan harga.
Program Bimas terus dikembangkan dan disempurnakan. Pemerintah menerapkan gotong-
royong disamping Bimas Biasa pada awal musim tanam 1968. Pemberian kredit dan
distribusi memberikan pestisida kepada petani dilaksanakan atas dasar kontrak dengan
perusahaan-perusahaan asing. Bulog membayar perusahaan-perusahaan asing dan Bulog
menerima pembayaran dalam bentuk gabah melalui kepala desa.

Disamping kebijaksanaan yang ditujukan untuk meningkatkan produksi beras, pemerintah


juga melancarkan program Keluarga Berencana Nasional dengan tujuan mengurangi tingkat
fertilitas penduduk, dengan demikian laju pertumbuha kebutuhan manusia akan bahan
makanan beras juga dapat dikekang. Setelah dicapainya swasembada beras di tahun 1984,
perekonomian Indonesia mengalami kemajuan pesat yang semu, sehingga akhirnya dilanda
krisis pada tahun 1997/8. Sejak itu sampai dengan pergantian pemerintah kepresidenan
Habibie, Presiden Gus Dur, dan Presiden SBY, kebijaksanaan pangan telah dikelabui oleh
kebijaksanaan perbaikan ekonomi masa krisis. Kondisi ini diperburuk oleh adanya konversi
lahan subur di Jawa, sehingga pertumbuhan produksi padi agak melandai. Namun demikian,
terobosan alam meningkatkan produksi padi terus diusahakan, meskipun konversi lahan
terus berlangsung. Berbagai studi menunjukkan bahwa lahan sawah merupakan sumber
utama produksi padi.

Pada tahun 2005, Indonesia dinyatakan sebagai negara yang berswasembada beras.
Pencapaian status swasembada beras pada saat itu karena pada saat itu dunia tengah
mengalami krisis pangan. Saat itu, produksi pangan dunia menurun dan harganya bergejolak
naik. Stok beras di dalam negeri pun bertambah. Kemampuan ekspor ini telah mengubah
Indonesia yang sebelum program revitalisasi pertanian masih impor beras, kini sudah tidak
impor lagi. Tanaman pangan lainnya seperti ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai, dan
kacang hijau juga membantu ketahanan pangan Indonesia di masa mendatang walaupun
tidak terjadi peningkatan produksi yang berarti untuk komoditas tersebut.
3.Pembangunan Tanaman Non Pangan
Pembahasan sampai sejauh ini terfokus pada kebijaksanaan tanaman pangan, sehingga
terkesan bahwa sektor pertanian di Indonesia adalah pangan saja. Sudah pasti hal yang
demikian merupakan tidak tepat. Pada tanaman pangan pun tidak hanya padi, melainkan juga
meliputi tanaman jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, dan tanaman pangan lainnya.

Tanaman non pangan meliputi tanaman mangga, jeruk, teh, tembakau, kelapa, kelapa sawit,
panili, kakao (cokelat), karet, lada, dan sebagainya. Tanaman non pangan ini sering juga
disebut tanaman tahunan, tanaman perkebunan, tanaman pohon dan tanaman kas (cash
crops). Perkembangan tanaman non pangan ini pada penjajahan Belanda diserahkan kepada
perusahaan besar perkebunan milik swasta Belanda, dan untuk perkebunan rakyatnya boleh
dikatakan dibiarkan berkembang sendiri. Tanaman perkebunan ini tumbuh di ladang (lahan
kering) dan oleh karena kurangnya perhatian pemerintah, pada jaman penjajahan Belanda
sampai dengan akhir pemerintahan Sukarno dan awal pemerintahan Suharto, banyak ladang
milik rakyat terlantar kosong tidak ditanami.

Setelah kira-kira pertengahan 1970an, ketika tanaman pangan padi telah mendapatkan
perhatian yang serius dari pemerintah barulah tanaman non pangan tersebut diperhatikan
pemerintah. Direktorat Tanaman Perkebunan mengembangkat bibit unggul dan tanaman
perkebunan baru di antaranya, tanaman kakao, panili, jeruk, kelapa, kelapa sawit dan
sebagainya. Bibit unggul ini juga disuntikkan kepada masyarakat dengan bantuan kredit,
sehingga dikenal dengan adannya RPTE (Rencana Pengembangan Tanaman Ekspor). Untuk
di daerah Bali dan daerah lainnya, tanaman perkebunan yang menonjol adalah cengkeh dan
panili. Petani berlomba-lomba menanamnya. Pendekatannya hampir sama dengan di bidang
beras yakni induced technology, dengan dan tanpa kredit, yakni pendekatan produksi.

Kalau dalam hal padi dibentuk lembaga pemasarannya (seperti gudang, transportasi, lembaga
keuangan, dan lain-lain) oleh pemerintah, tidak demikian halnya dengan pemasaran untuk
tanaman pohon. Setelah produksi berhasil ditingkatkan dengan sangat dramatis, masalah
pemasarannya terserah kepada rakyat. Jadi panen yang berlimpah itu ternyata agak terlantar.
Timbul gagasan untuk membuat pabrik rokok baru agar cengkeh rakyat tertampung, juga
gagasan mendirikan badan penyangga harga untuk komoditas tertentu seperti halnya Bulog
untuk padi. Kemudian terbentuklah BPPC (badan penyangga pemasaran cengkeh). Namun
oleh karena masalah keuangan dan teknis lainnya, BPPC tidak mempunyai kemampuan yang
memadai untuk menangani masalah pemasaran cengkeh. Akhirya kepada para petani
disarankan untuk menebang pohon cengkehnya dengan biaya sendiri untuk menjaga agar
harga tetap stabil.

Mengenai kebijakan pemasaran ini, mungkin ada baiknya kita membandingkan cara yang
dilakukan di Negara lain. Misalnya, di Brazilia pada saat panen kopi raya, produksi kopi
melonjak dengan tajam. Pada saat itu pemerintah Brazilia membeli kopi rakyat dan dibuang
ke laut hanya untuk mempertahankan harga. Berbeda halnya dengan di Negara maju Eropa
dan Amerika Serikat, dimana pada saat kelebihan produksi pemerintah membeli hasil
produksi rakyat, untuk kemudian, karena tidak ada pembeli potensial maka disumbangkan ke
luar negeri.

Sesunggunya, dengan laju pertumbuhan sekitar 4-5% per tahun subsektor perkebunan adalah
salah satu subsektor yang mengalami pertumbunan yang konsisten, baik ditinjau dari areal
maupun produksi. Secara keseluruhan areal perkebunan meningkat dengan laju 2,6% per
tahun. Pada periode 2000-2003, misalnya total areal pada tahun 2003 mencapai 16.3 juta ha.

Dari beberapa komoditas perkebunan yang penting di Indonesia (karet, kelapa sawit, kelapa,
kopi, kako, teh, dan tebu), kelapa sawit, karet, kakao malah tumbuh lebih pesat dibandingkan
tanaman perkebunan lainnya, yakni dengan laju pertumbuhan rata-rata di atas 5% per tahun.
Pertumbuhan yang pesat dari ketiga komoditas tersebut pada umumnya berkaitan dengan
tingkat keuntungan pengusahaan komoditas tersebut relatif lebih baik dan juga kebijakan
pemerintah untuk mendorong perluasan areal komoditas tersebut. Meningkatnya harga-harga
produk perkebunan sejak 2003 merupakan salah satu faktor pendorong peningkatan produk
tersebut.

Baik pada situasi ekonomi normal maupun krisis, subsektor perkebunan merupakan
subsektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Peran penting
tersebut menyangkut penyediaan lapangan kerja, devisa, pengentasan kemiskinan,
pembangunan pedesaan dan pelestarian lingkungan.

3.1 Perubahan Struktur Ekonomi


1. Peran Sektor Pertanian
Pada awal kehidupan suatu negara, pasti mempunyai sektor pertanian yang mendominasi.
Dengan pembangunan ekonomi, peran ekonomi sektor pertanian biasanya mengalami
penurunan dibarengi makin meningkatnya peran sektor lain, terutama sektor industri.
Oleh karena itu perubahan struktur perekonomian satu negara biasanya dimulai dengan
sektor pertanian kemudian sektor industri dan jasa. Sektor pertanian umumnya
memegang peran yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara,
diantaranya :
a. Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian
meningkat.
b. Meningkatkan permintaan akan produk industri dan dengan demikian
mendorong keharusan diperluasnya sektor sekunder dan tersier. Kenaikan
daya beli daerah pedesaan, sebagai akibat surplus pertanian, merupakan
perangsang kuat terhadap perkembangan industri. Seperti, permintaan
terhadap input seperti pupuk, peralatan yang lebih baik, traktor dan fasilitas
irigasi di sektor pertanian.
c. Menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang modal bagi
pembangunan melalui ekspor hasil pertanian. Begitu output membesar,ekspor
akan naik dan memperbesar penerimaan devisa. Dengan demikian surplus
pertanian mendorong pembentukan modal jika barang-barang modal diimpor
dengan menggunakan devisa ini.
d. Meningkatkan pendapatan desa untuk dimobilisasi oleh pemerintah
(tabungan). Di negara yang sektor pertaniannya memegang peranan dominan,
pajak hasil bumi dalam bentuk apapun merupakan suatu keharusan untuk
memobilisasi surplus pertanian dalam rangka memicu pembangunan nasional.
e. Memperbaiki kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kenaikan pendapatan
daerah pedesaan sebagai akibat surplus hasil pertanian cenderung
memperbaiki kesejahteraan daerah pedesaan. Misalnya, mengkonsumsi lebih
banyak bahan makanan dan membangun rumah yang lebih bagus.

2. Perubahan Struktur
Besarnya sumbangan dari berbagai macam sektor perekonomian terhadap
penghasilan nasional atau terhadap produk domestik bruto akan mengakibatkan
terjadinya perubahan struktur perekonomian. Misalnya, negara agraris yang
perekonomiannya lebih besar di dukung oleh sektor pertanian. Begitupun dengan
negara yang mendapat sebutan negara industri tentunya sumbangan sektor industri
yang menonjol di negara tersebut. Jika sector jasa yang paling menonjol, maka
negaranya disebut negara jasa. Jadi, perubahan struktur perekonomian yang umum
adalah dari negara agraris – industry – jasa.
2007
Keterangan 1960 1977
(Agustus)
Pertanian, Pertambangan, dan Penggalian 57,6 % 46,9 % 22,5 %
Industri Pengolahaan 8,4 % 11,9 % 27,4 %
Jasa (Listrik, Air, Gas, Konstruksi,
34 % 53,2 % 50,1 %
Pengangkutan, Perdagangan, dan Jasa Lain)
Jumlah 100% 100% 100%
Data mengenai sumbangan masing-masing sektor (pertanian, industri
pengolahan,dan jasa) dalam Pembentukan Produk Komestik Bruto di Indonesia untuk
tahun 1960, 1977, dan 2007 (Agustus). Dari data tersebut dapat dikatakan bahwa
peran sektor pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Bruto telah mengalami
penurunan dari 57,6 % pada tahun 1960 menjadi 46,9 pada tahun 1977 dan akhirnya
hanya menjadi 22,5 pada tahun 2007 (Agustus). Sedangkan sumbangan sektor
industri terus mengalami kenaikan dari 8,4% pada tahun 1960, telah menjadi 11,9%
pada tahun 1977, dan sekarang ini telah mencapai lebih dari 27%. Sektor industri
yang paling menonjol adalah pada masa akhir pemerintahan Soeharto sampai
sekarang, yakni setelah tahun 1980an. Jika di perhatikan tabel diatas, peran sektor
jasa tertinggi pada tahun 1977 yaitu sebesar 53,2.

BAB III

PENUTUP

4. Kesimpulan

Berbeda dengan negara induknya di Eropa yang membiarkan sektor pertaniannya di tangan
swasta, pemerintahan jajahannya sementara membiarkan sektor perkebnunannya seperti di
negara induknya, mempunyai kebijakan yang berbeda terhadap perkembangan sektor pangan,
khususnya beras. Hal ini disebabkan oleh karena beras adalah bahan makanan pokok di
Indonesia, dan pegawai pemerintahan jajahan serta pegawai swasta perkebunan besar dibayar
dengan beras sebagai bagian dari gajinya. Pemerintah negara jajahan belanda mempunyai
kepentingan agar harga beras selalu murah. Kebijaksanaan sektor pangan pemrintahan jajahan
Belanda merupakan pelajaran yang berharga bagi pemerintahan selanjutnya, sehingga dengan
penyesuaian tertentu kebijaksanaan tersebut diperbaiki dan dilanjutkan pada masa orde Lama.
Misalnya, pada tahun 1952 Program Kesejahteraan Kasino yang bertujuan mencapai
swasembada beras sebelum tahun 1956, menggunakan pendekatan program penyuluhan
percontohan. Namun program tersebut gagal. Kemudian, program Padi Sentra dimulai 1959 dan
bertujuan mencapai swasembada sebelum 1963; satu program yang juga mengalami kegagalan.
Keadaan perberasan makin menyedihkan sehingga kesediaan beras per kapita untuk dikonsumsi
hanya mencapai 92kg pada tahun 1966/67.

Walaupun peranan sektor pertanian tanaman pangan (padi dan palawija) dan sektor perkebunan
atau sektor pertanian pada umumnya sangat penting untuk pembangunan ekonomi Indonesia,
ternyata peran sektor ini dalam sumbangannya terhadap PDB makin menurunn dibandingkan
dengan peran sektor industry pengolahan. Keadaan yang demikian ini mengakibatkan terjadinya
perubahan struktur perekonomian dari negara agraris ke negara industry.

DAFTAR PUSTAKA

Nehen, Ketut.2016. Perekonomian Indonesia.Denpasar: Udayana University Press.

Prabowo, Rossi. "Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Di


Indonesia." Mediagro 6.2 (2010).

Suryana, Achmad. "Menelisik ketahanan pangan, kebijakan pangan, dan swasembada


beras." Pengembangan Inovasi Pertanian 1.1 (2008): 1-16.

https://www.slideshare.net/noninatetepnoninatkslmnatetepnonina/perekonomian-indonesia-
analisis-kebijakan-pembangunan-pertanian-kebijakan-pangan-dan-tingkat-kesejahteraan-
petani-indonesia

Anda mungkin juga menyukai