1. Integralisme Islam adalah produk dari suatu PERGUMULAN PEMIKIRAN
untuk menyatukan eksistensialisme yang humaniora dengan pandangan dunia yang ilmiah. 2. Beberapa pandangan yang SETARA: a). Tradisi psikoanalisa Freaud, dikenal istilah tubuh, id, ego, dan superego; b). Tradisi sosiologis marx, dikenal istilah basis material, struktur sosial, dan suprastruktur. EMPAT HIERARKI ini hanya ada berlaku pada PANDANGAN SEKULER, yang tidak menerima RUH sebagai ESENSI REALITAS INDIVIDUAL atau KITAB SUCI sebagai SUMBER NILAI- NILAI. 3. Gejala alam—yang merupakan perwujudan perubahan keadaan dari benda-benda alam—mengikuti hukum-hukum alam. Benda-benda alam bagaikan PROSESOR sebuah komputer, gejala alam merupakan proses yang mengikuti hukum-hukum alam sebagai programnya. Prosesor, proses, dan program suatu kumputer mencerminkan unsur-unsur material, proses energi, dan program yang informatik. 4. Hukum-hukum alam fundamental mengikuti hukum-hukum yang lebih tinggi yang dikenal sebagai PRINSIP-PRINSIP ALAM, yaitu konsistensi, simetri, dan optimasi. 5. Esensi sekaligus sumber bagi tataran eksistensial, dalam konteks orang beragama (Islam), adalah nafs (syahadat), jama’ah (shalat), ijtima’ (shawm), ummah (zakat), dan madaniyah (haji). Hierarki ini dikenal sebagai materi, energi, informasi, dan nilai-nilai. Di sini, integralisme sebagai alat untuk mengubah realitas sosial melalui apa yang disebut sebagai TRANSFORMASI RELIGIO-KULTURAL, atau disebut proses islamisasi peradaban. 6. Bila posmodernisme cenderung ke arah Dekonstruktif, maka inetgralisme merupakan posmodernisme rekonstruktif. 7. Konsep DINAMIKA SPIRAL, yang diintrodusir oleh Clare Graves, dan dikembangkan menjadi TEORI PERKEMBANGAN KOLEKTIVITAS oleh Don Beck dan Christopher Cowan, ada 8 tahap: a). arkaik-instingual; b). magikal-animstik; c). dewa-dewa penguasa; d). kaidah konformis; e). pencapaian ilmiah; f). tahap diri sensitif; g). tahap integratif, dan h). tahap holistik. 8. Basis dan Prinsip Integrasi dalam Islam adalah TAUHID. Tauhid telah menjadi prinsip paling dasar dari ajaran Islam, dan dalam kaitannya dengan concern filosof (baca: pemikir ilmiah Islam) mengenai integrasi telah menjadi prinsip utama dalam prinsip-prinsip epistemologi Islam dan bahkan menjadi asas pemersatu pengetahuan manusia. Seperti Mu’tazilah, Ibn Sina (w. 1037) mengatakan bahwa pada diri Tuhan esensi dan eksistensi adalah sama dan SATU, sedangkan pada wujud yang selain-Nya, esensi dan eksistensi merupakan dua hal yang berbeda. Alasannya, bahwa segala sesuatu selain Tuhan memiliki genus dan spesies, Tuhan tidak memiliki genus dan spisies hingga pada diri-Nya esensi dan eksistensi ber-SATU. 9. Jika fuqaha dan teolog mengartika Ilah dalam formula la ilha illa Allah, dengan “Tuhan yang wajib disembah,” para SUFI mengartikan ‘Ilah sebagai “hakikat” (realitas) sehingga bagimereka la ilaha illa Allah bisa berarti “tidak ada realitas yang betul-betul sejati kecuali Allah.”Ibn Arabi (w. 1240) mengatakan bahwa alam ini tidak lain daripada manifestasi- manifestasi (tajalliyat) Allah, atau lebih tepatnya manifestasi sifat-sifat, nama-nama, dan af’al Allah. Pada dirinya alam tidak memiliki realitas, Tuhanlah yang memberi realitas tersebut kepada alam. Tuhanlah satu- satunya realitas sejati, dan karena itu mereka sebut al-Haqq (Sang Kebenaran, Sang Realitas Sejati). 10. Alam, demikian Ibn Sina, adalah mumkin al-wujud (wujud-wujud yang mungkin), dan dengan itu dia maksudkan sebagai wujud potensial. Jadi, alam hanyalah sebuah POTENSI bukan AKTUALITAS, dan karena itu belum lagi memiliki realitas seperti yang kita lihat sekarang. Sebagai potensi, alam tidak bisa mewujudkan dirinya sendiri oleh dirinya. Ia membutuhkan, dalam istilah Suhrawardi disebut al-faqir (yang berbutuh), wujud lain yang senantiasa aktual, yaitu Tuhan yang mandiri (al-ghaniy), untuk keberadaannya. 11. Meminjam istilah Mulla Shadra, bila tauhid menjadi basis utama integrasi dalam bentuk “kesatuan wujud,” maka secara ontologis objek-objek ilmu dan lain-lainnya adalah SATU, baik yang fisik maupun nonfisik (metafisik). Dengan demikian, penelitian ilmiah tidak perlu diarahkan pada entitas-entitas fisik saja (seperti pada keilmuan Barat), tetapi juga entitas-entitas nonfisik (immaterial), dan tentu dengan menggunakan METODE yang berbeda-beda sesuai dengan tabiat objek-objeknya. Bisa bersifat tajribi (eksperimental), burhani (demonstratif), maupun irfani (intuitif/gnostik). 12. Cendekiawan muslim klasik, seperti al-Ghazali dan Ibn Khaldun, telah memerkenal dua jenis ilmu sebagai PEMILAHAN, bukan pemisahan. Al- Ghazali menyebut kedua jenis ilmu dengan istilah ‘ilm syar’iyyah dan ‘ilm ghayr syar’iyyah, sedangkan Ibn Khaldun menyebutnya dengan al-‘ulum al-naqliyyah dan al-‘ulum al-‘aqliyyah. Dikotomi yang mereka lakukan hanyalah sekadar PENJENISAN bukan PEMISAHAN apalagi penolakan validitas yang satu terhadap yang lain sebagai bidang atau disiplin ilmu yang sah. Bahkan, untuk cabang-cabang ilmu umum tertentu, seperti logika dan matematika, beliau menganjurkan agar umat Islam memelajarinya dengan saksama.