Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH HUKUM PAJAK

PAJAK DALAM RUANG LINGKUP AKSES INFORMASI


KEUANGAN

Penyusun

Ahmad Reza Pahlipi Jidan 181110011011148

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945

FAKULTAS ILMU HUKUM

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang diberikan-
Nya sehingga tugas Makalah yang berjudul “Hukum Pajak:Pajak dalam ruang lingkup
akses informasi keuangan“ ini dapat saya selesaikan. Makalah ini saya buat sebagai
kewajiban untuk memenuhi tugas.
Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan terimakasih yang dalam kepada
semua pihak yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi
terwujudnya makalah ini. Akhirnya saran dan kritik pembaca yang dimaksud untuk
mewujudkan kesempurnaan makalah ini penulis sangat hargai.

Samarinda,21 Desember 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang .........................................................................3

B. Rumusan masalah .....................................................................6

C. Tujuan ......................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN

1. pengertian pajak menurut UU KUP.............................................7

2. Pengertian Pajak menurut para ahli.............................................7

3. Sejarah singkat Hukum Pajak......................................................11

4. Dasar-dasar perpajakan menurut Rochmat Soemitro..................16

5. pendapat ahli lain tentang asas-asas pemungutan pajak..............17

6. keterkaitan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang

Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang menjadi

Undang-Undang setelah Permen Pengganti

Nomor 1 Tahun 2017....................................................................... 23

BAB III PENUTUP

D. Kesimpulan ............................................................................ 26

E. Saran ....................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara untuk kepentingan

rakyat dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan yang bertujuan untuk

meningkatkan pembangunan nasional dan pemerintahan, dalam arti sebagai

pelaksanaan dan peningkatan kesejahteraan dan pembangunan serta menumbuhkan

peranserta masyarakat. Pelaksanaan penerimaan negara dari sektor pajak yang

bersumber dari kekayaan alam saat ini semakin berkurang mengingat sudah semakin

terbatas dan tidak dapat diperbaharui, untuk itu pemerintah berkewajiban mencari

sumber penerimaan diluar kekayaan alam. Pada umumnya negara mempunyai sumber-

sumber penerimaan yang terdiri atas 1) Bumi, air dan kekayaan alam, 2) pajak-pajak,

Bea dan Cukai, 3) Penerimaan Negara Bukan pajak (non- tax), 4) hasil perusahaan

negara, dan 5) sumber-sumber lain seperti percetakan uang dan pinjaman.1 Sumber

penghasilan tersebut diharapkan dapat berperan sebagai sumber penerimaan untuk

mengisi kas negara dalam rangka mewujudkan cita-cita kemerdekaan dan pengamalan

Pancasila, sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 selanjutnya ditulis UUD NRI Tahun 1945. Pajak saat ini sangat

penting dalam hal yang terjadi dalam kegiatan ekonomi dan semuanya sangat relevan

ketika adanya sebuah pajak dalam segala aspek kehidupan.Pajak sangat benar

3
dibutuhkan agar adanya timbal balik sebuah kewajiban masyarakat untuk bisa

membayar iuran kepada negara yang dituliskan dalam UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal

1 ayat (1) yang menjelaskan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang

terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-

Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk

keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Jadi pajak sangat berelasi

sekali dengan segala macam hal dalam masyarakat.Yang dibahas dalam hal ini adalah

bagaimana Pajak adalah hal yang benar-benar terkait dalam UU Nomor 9 Tahun 2017

tentang adanya pajak sebagai akses informasi keuangan. Upaya pemungutan pajak

untuk kepentingan pembangunan nasional masih mengalami kendala baik yang berasal

dari faktor internal maupun dari faktor eksternal. Dalam mengatasi kendala dari faktor

internal, saat ini Pemerintah telah dan sedang melakukan reformasi perpajakan pada

Direktorat Jenderal Pajak dengan tujuan antara lain untuk memperbaiki organisasi,

proses kerja, pengelolaan data dan informasi dari perbankan, serta sumber daya

manusia. Sedangkan dari faktor eksternal, selain terjadinya pelemahan ekonomi dan

perdagangan global, juga masih banyak ditemukannya Wajib Pajak yang melakukan

penghindaran pajak ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian

pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme

serta aturan yang mengharuskan pertukaran informasi antar negara dan yurisdiksi,

semakin mempersulit upaya pengumpulan pajak di Indonesia yang berdasarkan pada

sistem self-assesment.Sementara itu, pengawasan Wajib Pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya secara self-assessment tersebut merupakan hal yang esensial

untuk meningkatkan penerimaan pajak.Pengawasan tersebut dapat dilaksanakan

dengan optimal sepanjang telah tersedianya akses yang luas bagi otoritas perpajakan

untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan

dalam pembentukan basis data perpajakan yang lebih kuat dan akurat.Ketentuan

4
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, perbankan, perbankan syariah,

dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini

telah membatasi akses otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi

keuangan, baik dari sisi prosedur maupun persyaratan. Kondisi keterbatasan akses

tersebut dimanfaatkan Wajib Pajak untuk tidak patuh melaporkan penghasilan dan

harta sesungguhnya. Hal ini dapat menghambat terwujudnya keberlanjutan efektivitas

kebijakan pengampunan pajak dan penguatan basis data perpajakan, serta Indonesia

berpotensi menjadi negara tujuan penempatan dana ilegal.Di samping itu, Indonesia

telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan dengan

banyak negara/yurisdiksi, yang di dalamnya juga mengatur mengenai pertukaran

informasi termasuk pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic

Exchange of Financial Account Information) sesuai dengan standar internasional yang

disepakati. Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk

mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis adalah

membentuk aturan domestik yang mengatur mengenai kewenangan otoritas perpajakan

untuk mengakses informasi keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa keuangan, lembaga

jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain untuk melaporkan informasi keuangan

secara otomatis kepada otoritas perpajakan, melakukan prosedur identifikasi rekening

keuangan untuk kepentingan pelaporan dimaksud, serta adanya penerapan sanksi bagi

ketidakpatuhan atas kewajiban-kewajiban tersebut.

5
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pajak menurut UU KUP?

2. Apa pengertian pajak menurut para ahli?

3. Bagaimana sejarah adanya Hukum Pajak?

4. Apa dasar-dasar perpajakan menurut Rochmat Soemitro?

5. Bagaimana pendapat ahli lain tentang asas-asas pemungutan pajak?

6. Bagaimana keterkaitan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang

Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang menjadi Undang-

Undang setelah Permen Pengganti Nomor 1 Tahun 2017?

7. Bagaimana contoh kasus yang terjadi dengan terkaitnya Akses Informasi

Keuangan?

C. Tujuan Makalah

Makalah ini dibuat untuk menerangkan bagaimana pajak berkaitan erat dengan

bermacam-macam hal terutama dalam hal ini dengan Akses Informasi Keuangan yang

mengkaitkan pajak adalah unsur yang utama dalam bagaimana Informasi Keuangan

itu harus memerlukan pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan untuk

menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan.

BAB II
6
PEMBAHASAN

1. Apa pengertian Pajak menurut UU KUP?

Menurut Pasal 1 ayat (1) UU KUP menerangkan arti pajak sebagai berikut Pajak

adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang

bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan mendapatkan imbalan secara tidak

langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

2. Apa pengertian Pajak menurut para ahli?

 Prof. Dr. MJH. Smeeths

Pajak adalah sebuah prestasi pemerintah yang terhutang melalui norma-norma dan dapat

dipaksakan tanpa adanya suatu kontra prestasi dari setiap individual. Maksudnya ialah

membiayai pengeluaran pemerintah atau negaranya.

 Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.

Menurutnya, pajak ialah iuran rakyat kepada negaranya berdasarkan Undang-Undang

atau peralihan kekayaan dari sektor swasta kepada sektor publik yang bisa dipaksakan

dan yang langsung dapat ditunjuk serta digunakan untuk membiayai kebutuhan atau

kepentingan umum.

 Prof. Dr. PJA Andriani

Beliau pernah menjadi guru besar di sebuah Perguruan Tinggi Universitas Amsterdam.

Menurutnya, pajak merupakan iuran rakyat atau masyarakat pada negara yang bisa

dipaksakan dan terhutang bagi yang wajib membayarnya sesuai dengan peraturan UU

dengan tidak memperoleh suatu imbalan yang langsung bisa ditunjuk serta digunakan

untuk pembiayaan yang diperlukan pemerintah.

 Dr. Soeparman Soemahamidjaya


7
Beliau mengemukakan pendapatnya mengenai pajak, dimana pajak merupakan iuran

wajib bagi warga, baik berupa uang maupun barang yang dipungut oleh penguasa

menurut norma-norma hukum yang berlaku guna untuk menutup segala biaya produksi

barang dan jasa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara umum.

 Anderson Herschel M, dkk

Pajak ialah pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah dan bukan suatu

akibat dari pelanggaran tetapi sebuah kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku

tanpa adanya imbalan dan dilakukan untuk mempermudah pemerintah menjalankan

tugasnya.

 Cort Vander Linden

Menurutnya pajak merupakan sumbangan pada keuangan umum suatu negara yang tidak

bergantung pada jasa khusus dari seorang penguasa.

 Prof. Dr. Djajaningrat

Mengemukakan bahwa pajak merupakan kewajiban untuk memberikan sebagian harta

kekayaan kepada negara karena kejadian, keadaan juga perbuatan yang memberikan

kedudukan tertentu dimana pungutan itu bukanlah sebuah hukuman, namun kewajiban

berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pemerintah dan bisa dipaksakan.

Tujuannya tetap untuk memelihara kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

 Dr. N.J. Fieldman

Pajak yaitu sebuah prestasi yang sifatnya paksaan sepihak kepada penguasa menurut

norma yang ditetapkan tanpa adanya kontraprestasi dan gunanya untuk menutupi segala

pengeluaran umum dari sebuah negara.

8
 R.R.A. Seligman

Pajak ialah pemungutan yang sifanya memaksa kepada pemerintah atau penguasa untuk

biaya segala pengeluaran yang berhubungan dengan masyarakat dan tanpa ditunjuk serta

tidak ada keuntungan khusus yang diperoleh.

 Leroy Beaulieu

Menyatakan bahwa pajak bantuan baik secara langsung atau tidak, dimana hal ini bisa

dipaksakan oleh pemerintah kepada warga masyarakatnya yang gunanya untuk menutupi

semua biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara.

 Menurut UU Perpajakan Nasional

Pajak ialah iuran wajib rakyat kepada negara berdasarkan peraturan undang-undang tanpa

memperoleh imbalan langsung yang digunakan untuk pembiayaan segala pengeluaran

secara umum serta pengeluaran pembangunan.

 Philips E.Taylor1

The Economics of Public Finance.Ia hanya mengganti without reference menjadi with

little reference

Dari pengertian para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat 5 (lima) unsur

pokok dalam definisi pajak, yaitu:

1) Iuran/pungutan

2) Pajak dipungut berdasarkan undang-undang

3) Pajak dapat dipaksakan

9
4) Tidak menerima kontra prestasi

5) Untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah

1
Sutedi, Adrian, 2013, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, h-3

Dari pembahasan pengertian pajak maka unsur-unsur dari definisi pajak meliputi sebagai

berikut:

1. Pajak adalah suatu iuran atau kewajiban menyerahkan sebagian kekayaan

(pendapatan) kepada negara

2. Penyerahan bersifat wajib

3. Perpindahan/penyerahan itu berdasarkan Undang- Undang/Peraturan/Norma

yang dibuat oleh pemerintah yang berlaku umum.Jika tidak, maka dapat dianggap

sebagai perampasan hak

4. Tidak ada kontraprestasi langsung dari pemerintah (pemungut iuran) bisa

dilihat dari indikasi: (1) pembangunan infrastruktur, (2) sarana kesehatan, dan

(3) public facility

5. Iuran dari pihak yang dipungut (rakyat, badan usaha baik swasta maupun

pemerintah) digunakan oleh pemungut (pemerintah) untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran umum yang seharusnya berguna bagi rakyat

Pengertian pajak dari aspek hukum adalah perikatan yang timbul karena

undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan oleh undang-undang (tatsbentand) untuk membayar sejumlah uang kepada

(kas) negara yang dapat dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara

langsung dapat ditunjuk, yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran


10
negara (rutin dan pembangunan), dan yang digunakan sebagai alat (pendorong atau

penghambat) untuk mencapai tujuan diluar bidang keuangan negara. Pengertian pajak

tersebut sebagai perikatan oleh wajib pajak dengan negara tanpa tegenprestasi secara

langsung dan bersifat memaksa dan merupakan perikatan yang lahir dari undang-

undang yang bernuansa publik sehingga bersifat memaksa, maka penagihannya dapat

bersifat dipaksakan, juga dengan ancaman hukuman berupa sanksi administrasi

maupun sanksi pidana2

3. Bagaimana sejarah singkat Hukum Pajak?

1. Sejarah pajak bumi dan bangunan 3

Pajak pertama kalinya di Indonesia di awali dengan Pajak Bumi dan Bangunan atau lebih

kita kenal dengan PBB. Pada waktu itu lebih dikenal sebagai pajak pertanahan. Pungutan

ini diberlakukan kepada tanah atau lahan yang dimiliki oleh rakyat. Pajak atas tanah ini

dimulai sejak VOC masuk dan menduduki Hindia Belanda.Pada waktu dulu, Inspektur

Liefrinch dari VOC mengadakan survey atau penelitian di daerah Parahyangan. Hasil dari

penelitian tersebut membuat VOC memutuskan untuk memberlakukan pajak pertanahan

yang disebut dengan landrente. Rakyat setuju atas keputusan Pemerintah Hindia Belanda

ini. Rakyat harus membayar uang sebesar 80% dari harga besaran tanah atau hasil lahan

yang dimilikinya. Daendels, seorang Jendral yang terkenal akan kekejamannya

menyatakan bahwa tanah di Hindia Belanda adalah milik dari Belanda.

Pada masa kependudukan Inggris yang dipimpin oleh Raffles kebijakan landrente

berubah. Raffles mengenakan tarif sebesar 2,5% untuk golongan pribumi dan tarif 5%

untuk tanah yang dimiliki oleh bangsa lain. Selain itu, Raffles juga mengeluarkan Surat

Tanah sebagai suatu Sertifikat Tanah Internasional bagi penduduk yang dikenal dengan

nama girik dalam bahasa Jawa.

11
2
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung, h. 12-13
3
Dikutip dari http://iusyusephukum.blogspot.co.id/2013/09/sejarah-hukum-pajak-di-indonesia-

dan-di.html

12
2. Sejarah pajak penghasilan

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya tenement tax

(huistaks) pada tahun 1816. Pada periode sampai dengan tuhun 1908 terdapat perbedaan

perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan orang Eropa,

dengan kata lain dapat dikatakan, bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada

uniformitas dalam perlakuan perpajakan Tercatat beberapa jenis pajak yang hanya

diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau

bedrijfsbelasting untuk orang pribumi. Di samping itu, sejak tahun 1882 sampai tahun

1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan

rumah dan tanah.

Pada tahun 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang

Eropa, dan badan-badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan

pemegang sahamnya. Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang

bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat

pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2%

dan 3% atas dasar kriteria tertentu.

Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang

selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni

Ordonansi Pajak Pendapatan Yang Dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene

Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi

penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan

ini telah diterapkan asas-asas pajak penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas

sumber. Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan

di Indonesia seperti perkebunan-perkebunan (ondememing), pada tahun 1925

ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de

Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan terhadap laba perseroan, yang

13
terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan).

Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara

lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara

Pcmungiitan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun

1925 yang dalam praktck lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting

lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend

dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday".

Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada

saat diadakannya tax reform, Pada awal tahun 1925-an yakni dengan mulai berlakunya

Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri

Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920,

yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de

Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi

(Personal Income Tax). Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka

kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul.

Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Pajak Upah (loonbelasting) yang

memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang

mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%.

Pada zaman Perang Dunia II diperlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang)

menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama

Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak

Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord.

PPd. 1944.

Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja. Ord. PPd. 1944 setelah

beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan

adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara

14
Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925,

yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU

No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan

diadakannya tax reform di Indonesia.

3. Sejarah pajak perseroan.

Pajak perseroan (PPs) berkaitan dengan pajak pendapatan atau pajak penghasilan.

Pajak atas pendapatan dan laba pertama kali dilakukan di Indonesia tahun 1878 dengan

nama “Patentrecht” suatu pungutan pajak yang sederhana. Pungutan pajak atas

pendapatan dan laba berdasarkan pada ketentuan yang lebih teratur dan terinci baru pada

tahun 1908 sejak ordonansi pajak pendapatan 1908 (ordonantie op de Inkornstenbelasting

1908). Seperti halnya “Patentrecht”, ordonantie pajak pendapatan 1908 hanya berlaku

terhadap golongan penduduk orang-orang Eropa dan orang-orang yang disamakan dengan

orang Eropa, demikian pula terhadap badan-badan usaha yang dimilikinya. Untuk orang-

orang pribumi dan lainnya terkena jenis pajak yang lebih sederhana seperti “Landrente”

atau landrent dan “Hoofdelijke Belasting”.

Ketika pecah perang Dunia ke I (1914-1918), menyebabkan Hindia belanda terlepas

dari negeri Belanda. Untuk menggalang persatuan maka diberlakukan asas unifikasi yaitu

suatu asas yang menyatakan bahwa semua golongan penduduk mempunyai kedudukan

yang sama dihadapan hukum. Pelaksanaan asas unifikasi di bidang perpajakan

berdampak pada digantinya

Ordonansi Pajak pendapatan 1908 (yang hanya berlaku untuk golongan penduduk

tertentu), dengan ordonansi pajak pendapatan 1920 (yang berlaku untuk semua golongan

penduduk), yang memajaki baik orang maupun badan. Peningkatnya jumlah penanaman

modal asing di Indonesia sejak tahun 1920 menimbulkan berbagai problema dalam

bidang Yuridis fiskal yang mendorong segera dikeluarkan ketentuan tersendiri guna dapat

memungut pajak dari badan usaha.

15
Tahun 1925, semua ketentuan yang menyangkut pengenaan pajak badan usaha

yang terdapat dalam ordonansi pajak pendapatan 1920 dikeluarkan untuk kemudian

disusun kembali dalam suatu ordonansi baru yang diberi nama Ordonansi pajak perseroan

1925 (Ordonantie op deVennootschapsblasting 1925). Ordonansi Pajak Perseroan 1925

setelah diadakan perubahan dan penambahan menjadi Undang-Undang Nomor 8 tahun

1970.

Setelah masa Tax Reform tahun 1983, maka Pajak Perseroaan ini digabung dengan

Pajak Pendapatan dan aturannya menjadi satu yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan.

4. Apa dasar-dasar perpajakan menurut Rochmat Soemitro?

Sumber penghasilan negara dari sektor pajak yaitu pungutan pajak kepada rakyatnya yang

ada diwilayah negara, hal ini dipertegas oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania

Sugiharti yang berpendapat seperti berikut :

“Pajak-pajak sebenarnya merupakan jiwa negara, sebab tanpa pajak negara tidak akan

atau sukar hidup, kecuali apabila negara itu mempunyai pendapatan dari sumber-sumber

alam (minyak, gas bumi, tambang emas, bijih besi, magnesium, dan sebagainya) dan/atau

dari perdagangan/industry-industri. Jadi pajak-pajak pada hakekatnya mengenai hidup

negara secara ekonomis, bukan hidup secara manusiawi. Banyak sedikitnya uang yang

diperlukan oleh negara tergantung kepada tingkat ekonomi negara serta rakyatnya. Pajak-

pajak ditangan pemerintah digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, yang

akan tercermin dalam tingkat kesejahteraan rakyat. Lebih sejahtera, lebih makmur

masyarakat, lebih tinggi tingkat ekonominya. Maka dapat dikatakan bahwa pajak-pajak

disamping untuk kelangsungan kehidupan negara (dengan anggaran rutinnya) juga

digunakan untuk pembangunan yang akan mensejahterakan dan memakmurkan rakyat

Indonesia (melalui anggaran pembangunan). Dengan ini mudah dimengerti bahwa pajak-

pajak pungutannya selalu berdasarkan keadaan ekonomi rakyat dan hasilnya digunakan

untuk meningkatkan ekonomi rakyat, dan penghasilannya yang hanya cukup kebutuhan

16
primer, tidak wajar dikenakan pajak atas penghasilannya. Untuk itu berlaku asas daya

pikul.”4

4
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan 1,

PT.Rafika Aditama, Bandung, h. 43-44

Penegasan dari pendapat tersebut, penerimaan pajak sudah seharusnya digunakan sebesar-

besarnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dengan demikian pajak sebagai sumber

pendapatan negara merupakan jiwa negara dan bagian yang sangat penting didalam

mensejahterakan rakyat. Dengan demikian pengertian pajak pada umumnya adalah iuran wajib

dari orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang dapat dipaksakan

berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan

daerah dan pembangunan daerah.

5. Bagaimana pendapat ahli lain tentang asas-asas pemungutan pajak?

Asas pemungutan pajak menurut pendapat para ahli

Untuk dapat mencapai tujuan dari pemungutan pajak, beberapa ahli yang mengemukakan

tentang asas pemungutan pajak, antara lain:

Adam Smith, pencetus teori The Four Maxims

Menurut Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations dengan ajaran yang terkenal "The

Four Maxims", asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

 Asas Equality (asas keseimbangan dengan kemampuan atau asas keadilan):

pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan kemampuan
17
dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak diskriminatif terhadap

wajib pajak.

 Asas Certainty (asas kepastian hukum): semua pungutan pajak harus berdasarkan

UU, sehingga bagi yang melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.

 Asas Convinience of Payment (asas pemungutan pajak yang tepat waktu atau

asas kesenangan): pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi wajib pajak

(saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima

penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.Asas Efficiency (asas

efisien atau asas ekonomis): biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat

mungkin, jangan sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil

pemungutan pajak.

Menurut W.J. Langen, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

 Asas daya pikul: besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar

kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin

tinggi pajak yang dibebankan.

 Asas manfaat: pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk

kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.

 Asas kesejahteraan: pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

 Asas kesamaan: dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu

dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama

(diperlakukan sama).

 Asas beban yang sekecil-kecilnya: pemungutan pajak diusahakan sekecil-

kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak


18
sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.

Menurut Adolf Wagner, asas pemungutan pajak adalah sebagai berikut:

 Asas politik finansial: pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai

sehingga dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.

 Asas ekonomi: penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan,

pajak untuk barang-barang mewah

 Asas keadilan: pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk

kondisi yang sama diperlakukan sama pula.

 Asas administrasi: menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana

harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya)

dan besarnya biaya pajak.

 Asas yuridis: segala pungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang

 Asas Pengenaan Pajak: Agar negara dapat mengenakan pajak kepada

warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya,

tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada

ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara

tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa

segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan asas- asas

atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan

pajak.

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan

wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan.

Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk

mengenakan pajak adalah:

1) Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence


19
principle): berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan

yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan

perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di

negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam

kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu

berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan

pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan)

dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu

maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world- wide income concept).

2) Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila

penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh

wewenangnya untuk mengenakan pajak, khususnya untuk pengenaan pajak

penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan

untuk mengenakan pajak adalah:

3) Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence

principle): berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan

yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan

perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di

negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam

kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu

berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan

pajak terhadap penduduk-nya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan)

dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu

maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world- wide income concept).

4) Asas sumber: Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu

20
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila

penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh

orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di

negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari

orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi

landasan penge¬naan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara

itu. Contoh: Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang

didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

5) Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas kewarganegaraan

(nationality/citizenship principle): Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan

pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh

penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan

yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem

pengenaan pajak berdasarkan asas nasionalitas ini dilakukan dengan cara

menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas world wide

income.

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan

asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak

lainnya. Pertama, pada kedua asas yang disebut pertama, kriteria yang dijadikan

landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan

dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau

berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai warga negara (dalam asas

nasionalitas). Di sini, asal muasal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah

begitu penting. Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah

status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara

itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima

21
penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang disebut pertama, pajak

akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja (world-wide

income), sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya

terbatas pada penghasilan- penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada

di negara yang bersangkutan.

Kebanyakan negara, tidak hanya mengadopsi salah satu asas saja, tetapi

mengadopsi lebih dari satu asas, bisa gabungan asas domisili dengan asas sumber,

gabungan asas nasionalitas dengan asas sumber, bahkan bisa gabungan ketiganya

sekaligus.

 Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek

pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas

domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia

juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam

ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang

pribadi.

 Jepang, misalnya untuk individu yang merupakan penduduk (resident

individual) menggunakan asas domisili, di mana berdasarkan asas ini

seorang penduduk Jepang berkewajiban membayar pajak penghasilan atas

keseluruhan penghasilan yang diperolehnya, baik yang diperoleh di Jepang

maupun di luar Jepang. Sementara itu, untuk yang bukan penduduk (non-

resident) Jepang, dan badan-badan usaha luar negeri berkewajiban untuk

membayar pajak penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh dari

sumber-sumber di Jepang.

 Australia, untuk semua badan usaha milik negara maupun swasta yang

22
berkedudukan di Australia, dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang

diperoleh dari seluruh sumber penghasilan. Sementara itu, untuk badan usaha

luar negeri, hanya dikenakan pajak atas penghasilan dari sumber yang ada di

Australia.5

6. Bagaimana keterkaitan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang

Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan yang menjadi

Undang-Undang setelah Permen Pengganti Nomor 1 Tahun 2017?

Upaya pemungutan pajak untuk kepentingan pembangunan nasional masih

mengalami kendala baik yang berasal dari faktor internal maupun dari faktor eksternal.

Dalam mengatasi kendala dari faktor internal, saat ini Pemerintah telah dan sedang

melakukan reformasi perpajakan pada Direktorat Jenderal Pajak dengan tujuan antara lain

untuk memperbaiki organisasi, proses kerja, pengelolaan data dan informasi dari

perbankan, serta sumber daya manusia. Sedangkan dari faktor eksternal,

selain terjadinya pelemahan ekonomi dan perdagangan global, juga masih banyak

ditemukannya Wajib Pajak yang melakukan penghindaran pajak ke luar Indonesia.

Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax

haven), dan belum adanya mekanisme serta aturan yang mengharuskan pertukaran

informasi antar negara dan yurisdiksi, semakin mempersulit upaya pengumpulan pajak di

Indonesia yang berdasarkan pada sistem self-assesment. Sementara itu, pengawasan

Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya secara selfassessment tersebut

merupakan hal yang esensial untuk meningkatkan penerimaan pajak.Pengawasan tersebut

dapat dilaksanakan dengan optimal sepanjang telah tersedianya akses yang luas bagi

otoritas perpajakan untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan bagi

kepentingan perpajakan dalam pembentukan basis data perpajakan yang lebih kuat dan

akurat.

Ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,perbankan,


23
perbankan syariah, dan pasar modal, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang

berlaku saat ini telah membatasi akses otoritas perpajakan untuk menerima dan

memperoleh informasi keuangan, baik dari sisi prosedur maupun persyaratan. Kondisi

keterbatasan akses tersebut dimanfaatkan Wajib Pajak untuk tidak patuh melaporkan

penghasilan dan harta sesungguhnya. Hal ini dapat menghambat terwujudnya

keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan pajak dan penguatan basis data

perpajakan, serta Indonesia berpotensi menjadi negara tujuan penempatan dana ilegal.

Di samping itu, Indonesia telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di

bidang perpajakan

5
Dikutip dari https://id.wikipedia.org/wiki/Pajak

dengan banyak negara/yurisdiksi, yang di dalamnya juga mengatur mengenai pertukaran

informasi termasuk pertukaran informasi keuangan secara otomatis (Automatic Exchange

of Financial Account Information) sesuai dengan standar internasional yang disepakati.

Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh Indonesia untuk mengimplementasikan

pertukaran informasi keuangan secara otomatis adalah membentuk aturan domestik yang

mengatur mengenai kewenangan otoritas perpajakan untuk mengakses informasi

keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya,

dan/atau entitas lain untuk melaporkan informasi keuangan secara otomatis kepada

otoritas perpajakan, melakukan prosedur identifikasi rekening keuangan untuk

kepentingan pelaporan dimaksud, serta adanya penerapan sanksi bagi ketidakpatuhan atas

kewajiban-kewajiban tersebut.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas, Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan


24
Untuk Kepentingan Perpajakan pada tanggal 8 Mei 2017, guna memberikan kepastian

hukum mengenai pemberian akses yang luas bagi otoritas perpajakan dalam menerima dan

memperoleh informasi keuangan bagi kepentingan perpajakan dan memenuhi komitmen

Indonesia dalam perjanjian internasional terkait

dengan pertukaran informasi keuangan secara otomatis.6

25
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pajak merupakan sebuah iuran yang harus dibayar oleh masyarakat kepada

pemerintah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat sendiri, dengan

sendirinya masyarakat bisa mendapatkan keuntungan dari pembayaran macam-

macam pajak yang ada itu menjadi sebuah alokasi dari APBN dan APBD untuk

menghasilkan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah

2. Pajak sudah ada ketika jaman Belanda yang terdiri dari PPh, PBB, Pajak

Perseroan dan hal tersebut sudah menjadi sebuah kebijakan dalam pemerintahan

Belanda, seperti VOC yang disebut dengan kebijakan Landrente, rakyat harus

membayar 80% dari harga besaran tanah yang dimilikinya di jaman Daendels,

sementara kebijakan berubah ketika Raffles kebijakan landrente berubah. Raffles

mengenakan tarif sebesar 2,5% untuk golongan pribumi dan tarif 5% untuk tanah

yang dimiliki oleh bangsa lain. Selain itu, Raffles juga mengeluarkan Surat Tanah

sebagai suatu Sertifikat Tanah Internasional bagi penduduk yang dikenal dengan

nama girik dalam bahasa Jawa.

3. Rochmat Soemitro menjelaskan beberapa dasar-dasar perpajakan Sumber

penghasilan negara dari sektor pajak yaitu pungutan pajak kepada rakyatnya yang

ada diwilayah negara, hal ini dipertegas oleh Rochmat Soemitro dan Dewi Kania

Sugiharti yang berpendapat seperti berikut :

“Pajak-pajak sebenarnya merupakan jiwa negara, sebab tanpa pajak negara

tidak akan atau sukar hidup, kecuali apabila negara itu mempunyai pendapatan

dari sumber-sumber alam (minyak, gas bumi, tambang emas, bijih besi,

magnesium, dan sebagainya) dan/atau dari perdagangan/industry-industri. Jadi

pajak-pajak pada hakekatnya mengenai hidup negara secara ekonomis, bukan


26
hidup secara manusiawi. Banyak sedikitnya uang yang diperlukan oleh negara

tergantung kepada tingkat ekonomi negara serta rakyatnya. Pajak-pajak ditangan

pemerintah digunakan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat, yang akan

tercermin dalam tingkat kesejahteraan rakyat. Lebih sejahtera, lebih makmur

masyarakat, lebih tinggi tingkat ekonominya. Maka dapat dikatakan bahwa pajak-

pajak disamping untuk kelangsungan kehidupan negara (dengan anggaran

rutinnya) juga digunakan untuk pembangunan yang akan mensejahterakan dan

memakmurkan rakyat Indonesia (melalui anggaran pembangunan). Dengan ini

mudah dimengerti bahwa pajak-pajak pungutannya selalu berdasarkan keadaan

ekonomi rakyat dan hasilnya digunakan untuk meningkatkan ekonomi rakyat, dan

penghasilannya yang hanya cukup kebutuhan primer, tidak wajar dikenakan pajak

atas penghasilannya. Untuk itu berlaku asas daya pikul.Dengan demikian

pengertian pajak pada

umumnya adalah iuran wajib dari orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa

imbalan langsung yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-

undangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan

pembangunan daerah

4. Asas-asas pemungutan pajak ini memuat tentang Pemungutan pajak harus adil

(syarat keadilan).Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-

undang dan pelaksanaan pemungutan pajak harus adil. Adil dalam perundang-

undangan yakni mengenakan pajak secara umum dan merata, serta menyesuaikan

dengan kemampuan masing-masing para wajib pajak. Sedangkan adil dalam

pelaksanaanya maksudnya memberikan hak bagi wajib pajak

untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran pajak dan

melakukan banding kepada majlis pertimbangan pajak

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis).

27
Di indonesia pajak diatur dalam undang-undang tahun 1945 pasal 23 ayat 2. Hal

ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik bagi negara

maupun warganya.

3. Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu perekonomian (syarat ekonomis).

Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu proses produksi maupun

perdagangan agar tidak terjadi kelesuan pada perekonomian masyarakat.

4.Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil).

Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan,

sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

5. Pemungutan pajak harus sederhana (syarat sederhana)

Pemungutan pajak yang sederhana akan memudahkan dan mendorong

masyarakat untuk melakukan kewajiban perpajakanya.

Contoh :Bea matrei disederhanakan dari 167 macam tarif menjadi 2 macam

tarif.

- Tarif PPN yang beragam disederhanakan menjadi 1 macam saja yaitu 10%.

- Pajak perseroan untuk badan dan pajak pendapatan untuk perseorangan

disederhanakan menjadi pajak penghasilan (PPH) yang berlaku bagi badan

maupun perseorangan.

5. Adanya implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis adalah

membentuk aturan domestik yang mengatur mengenai kewenangan otoritas

perpajakan untuk mengakses informasi keuangan, kewajiban bagi lembaga jasa

keuangan, lembaga jasa keuangan lainnya, dan/atau entitas lain untuk melaporkan

informasi keuangan secara otomatis kepada otoritas perpajakan, melakukan

prosedur identifikasi rekening keuangan untuk kepentingan pelaporan dimaksud,

serta adanya penerapan sanksi bagi ketidakpatuhan atas kewajiban-kewajiban

tersebut.
28
B. Saran

Pajak harus benar-benar dibenahi dalam sistem perpajakan agar adanya keterkaitan

dalam Akses Informasi Keuangan dengan pajak bisa semakin membuat para wajib

pajak semakin memahami keterkaitan pajak untuk syarat dalam implementasi untuk

akses informasi keuangan

29
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

1. Rochmat Soemitro, 1998, Asas dan Dasar Perpajakan 1, PT.Rafika Aditama,

Bandung, h. 43-44

2. Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 2, PT. Eresco, Bandung

3. Rochmat Soemitro, 1991, Asas dan Dasar Perpajakan 3, PT. Eresco, Bandung

4. Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT Eresco, Bandung, h.

12- 13

5. Sutedi, Adrian, 2013, Hukum Pajak, Sinar Grafika, Jakarta, h-3

Undang-Undang:

1. UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang pergantian Permen Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan

Perpajakan Menjadi Undang-Undang

30
31

Anda mungkin juga menyukai