Anda di halaman 1dari 14

Materi : HTUN (20 April 2020)

Kelas : F3 & F4
Dosen : BERIAN HARIADI, SH, M.Si

Materi Lanjutan...

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (HAPTUN)

D. PEMBUKTIAN
1. PENGERTIAN PEMBUKTIAN
Dalam hukum acara yang ada di dalam praktik peradilan dikenal ada
beberapa prinsip yang menjadi dasar akan adanya pembuktian. Pembuktian
di sini sangat diperlukan karena lebih mengarah pada pemutusan yang
dilakukan oleh hakim. Prinsip ini tidak secara riil tertuang atau tersurat di
dalam perundang-undangan namun harus tercermin di dalam peraturan
perundang-undangan tersebut. Prinsip ini kebanyakan berada di luar
perumusan suatu peraturan undang-undang, namun tidak menutup
kemungkinan terkadang prinsip ini secara tegas dirumuskan dalam pasal-
pasal tertentu dalam suatu undang-undang.

Hukum pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian


yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya
makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan
merekonstruksi kejadian peristiwa masa lalu dan suatu kebenaran.
Kesulitan mengungkap kebenaran dalam proses pembuktian karena alat
bukti mengandung, adanya dugaan dan prasangka; faktor kebohongan;
unsur kepalsuan.

Prinsip Umum Pembuktian


adalah suatu landasan yang digunakan untuk mencari kebenaran dalam
membuktikan suatu sengketa. Kemudian peran hakim yang berlaku di sini
ialah menimbang oleh hal yang terjadi di adakannya pembuktian tersebut
sehingga jelas masalah pembuktian tersebut.

2. PRINSIP PEMBUKTIAN DALAM HUKUM PIDANA, PERDATA & TUN


Mengingat banyaknya prinsip yang ada di ruang lingkup peradilan, baik di
dalam hukum pidana, perdata, dan TUN maka cara pembuktian yang
diselenggarakan prinsip pun juga banyak, diantaranya :
a.Prinsip Pembuktian Dalam Hukum Pidana
Penjelasan tentang prinsip pembuktian yang ada di dalam hukum
acara pidana mengacu pada prinsip yang berlaku di dalam sidang
peradilan pidana. Diantaranya prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:
 Prinsip Kebenaran Materil
Prinsip kebenaran materiil menyatakan bahwa dalam
pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan kepada
penemuan materiil (materiale warhead).

Aspek materiinya yaitu suatu kebenaran yang sungguh-sungguh


sesuai dengan kenyataan. Prinsip ini terlihat dalam proses
persidangan bahwa meskipun terdakwa telah mengakui
kesalahannya belum cukup dijadikan alasan untuk
menjatuhkan putusan, masih diperlukan beberapa bukti lain
untuk mendukung pengakuan terdakwa tersebut.

 Prinsip Praduga Tak Bersalah


Prinsip ini harus ada sebelum adanya pembuktian yang
terelebih dahulu. Prinsip praduga tak bersalah atau juga disebut
Presumption Of Innocence merupakan suatu prinsip yang
menghendaki agar setiap orang yang terlibat dalam perkara
pidana harus dianggap belum bersalah sebelum adanya putusan
peradilan yang menyatakan kesalahannya.

 Prinsip Accusatoir
Prinsip ini menunjukkan bahwa seorang terdakwa yang
diperiksa dalam persidangan bukan lagi sebagai objek
pemeriksaan tetapi sebagai subjek. Terdakwa mempunyai hak
yang sama nilainya dengan penuntut umum sehingga hakim
berada di antara kedua belah pihak.

Sebagai realisasi prinsip accusatoir di peradilan dapat terlihat


misalnya, terdakwa bebas membuktikan, berkata, bersikap,
sepanjang untuk membela diri dan sepanjang tidak
bertentangan dengan hukum, seringnya terdakwa tinggal diam
tanpa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari hakim, ada
penasihat hukum yang membela hak-haknya.

 Prinsip Sidang Terbuka


Maksudnya adalah setiap sidang yang dilaksanakan harus dapat
disaksikan oleh umum. Terkait dengan pembuktian pun juga
harus bisa disaksikan untuk umum. Pengunjung bebas melihat
dan mendengar langsung jalannya persidangan sepanjang tidak
mengganggu jalannya persidangan.

 Prinsip Pemeriksaan Langsung


Prinsip ini menghendaki agar pemeriksaan itu harus
menghadapkan terdakwa di depan sidang pengadilan, termasuk
pula menghadapkan seluruh saksi yang ditunjuk. Langsung,
artinya hakim dan terdakwa ataupun para saksi berada dalam
satu sidang tidak dibatasi tabir apa pun.

b. Prinsip Pembuktian Dalam Hukum Perdata


Dalam suatu proses perdata, salah satu tugas hakim adalah untuk
menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar
gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah
yang harus terbukti apabila penggugat mengiginkan kemenangan
dalam suatu perkara.

Apabila penggugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalilnya yang


menjadi dasar gugatannya, maka gugatannya akan ditolak,
sedangkan apabila berhasil, maka gugatannya akan dikabulkan.
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan
kebenarannya, untuk dalil-dalil yang tidak disangkal, apabila diakui
sepenuhnya oleh pihak lawan, maka tidak perlu dibuktikan lagi.

Beberapa prinsip pembuktian yang ada dalam hukum perdata di


antaranya hal/keadaan yang tidak harus dibuktikan seperti:
 Hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diakui
Maksdnya ialah keadaan yang telah diakui oleh tergugat atas
kesalahan yang dituntutkan oleh penggugat. Hal-hal
keperdataan ini tidak seperti pidana yang harus dibuktikan
lebih dalam walaupun terdakwa telah mengakui.

 Hal-hal/keadaan-keadaan yang tidak disangkal


Dalam keadaan yang tidak bisa disangkal lagi pembuktian
harus dicukupkan sampai di sini. Karena hal yang tidak dapat
disangkal tersebut secara tidak langsung telah diakui oleh
tergugat, walaupun tergugat masih terus mengelak.

 Hal-hal/keadaan-keadaan yang telah diketahui oleh khalayak


ramai (notoire feiten/fakta notoir).
Dalam soal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara itu yang
akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang
akan diwajibkan memberikan bukti, apakah pihak penggugat atau
sebaliknya pihak tergugat.

Didalam soal menjatuhkan beban pembuktian, hakim harus


bertindak arif dan bijaksana, serta tidak boleh berat sebelah. Semua
peristiwa dan keadaan yang konkrit harus diperhatikan dengan
seksama olehnya.

Menurut pasal 1865 BW], bahwa: ” Barang siapa mengajukan


peristiwa-peristiwa atas mana dia mendasarkan suatu hak,
diwajibkan membuktikan peristiwa-pristiwa itu; sebaliknya barang
siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna pembantahan hak orang
lain, diwajibkan juga membuktikan peristiwa-peristiwa itu”.

c. Prinsip Pembuktian Dalam HTUN


Pembuktian merupakan tahapan yang paling menentukan dalam
proses putusan peradilan. HTUN mengenal beberapa prinsip yang
mengandung pembuktian di dalamnya.

Prinsip-prinsip pembuktian dalam HTUN meliputi:


1. Conviction-in Time
Menurut sistem ini menentukan sah atau tidaknya HTUN
semata-mata ditentukan oleh penilaian hakim. Dalam
melakukan penilaian, hakim menarik kesimpulan berdasarkan
keyakinan saja, yang dapat diperoleh dan disimpulkan dari
alat-alat bukti yang diperiksa dalam persidangan.

2. Conviction-Raisonee
Dalam prinsip ini keyakinan hakim dibatasi dan harus
didukung oleh alasan-alasan yang jelas. Hakim berkewajiban
untuk memaparkan alasan-alasan yang mendasari atas
keputusan yang dijatuhkan. Keyakinan hakim berdasarkan
reasoning yang bersifat logis dan dapat diterima oleh akal.

3. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif


Prinsip ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-
alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang. Untuk
menentukan putusannya, hakim mendasarkan pada alat-alat
bukti yang sah tanpa diperlukan keyakinan hakim.

4. Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif


Pembuktian dalam prinsip ini merupakan perpaduan antara
teori pembuktian menurut undang-undang secara positif
dengan prinsip pembuktian menurut keyakinan hakim. Dalam
prinsip ini, hakim harus memutuskan berdasarkan alat-alat
bukti yang sah yang diatur serta mengikuti prosedur dalam
undang-undang dengan didukungoleh keyakinan hakim.

d. Bentuk-Bentuk Alat Bukti Dalam PTUN


diatur dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 106 Undang-undang No.
5 Tahun 1986:
1. Surat Atau Tulisan
Surat sebagai alat bukti terdiri dari 3 jenis:
 Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan
seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-
undangan berwenang membuat surat itu dengan maksut
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa
atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
 Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan
maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya;
 Surat-surat lain yang bukan akta.

2. Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan dibawah
sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui
menurut pengalaman dan pengetahuannya.

Seorang ahli dapat ditunjuk oleh kedua belah pihak atau salah
satu pihak atau Hakim karena jabatannya. Seorang ahli dalam
persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat
maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau
janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang
sebaik-baiknya.
3. Keterangan Saksi
 

dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan


dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi
sendiri.

4. Pengakuan Para Pihak


Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali
berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.

5. Pengetahuan Hakim
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan
diyakini kebenarannya.

E. PUTUSAN PENGADILAN TUN

1. Pengertian Putusan
adalah Putusan Pengadilan Tingkat Pertama (PTUN). Dan memang tujuan
akhir proses pemeriksaan perkara di PTUN, diambilnya suatu putusan oleh
hakim yang berisi penyelesaian perkara yang disengketakan. Berdasarkan
putusan itu, ditentukan dengan pasti hak maupun hubungan hukum para
pihak dengan objek yang disengketakan.

Tujuan diadakannya suatu proses di pengadilan adalah untuk memperoleh


putusan hakim. Putusan hakim atau lazim disebut dengan putusan pengadilan
merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau yang dinanti-nantikan oleh
pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan
sebaik-baiknya. Sebab dengan putusan hakim tersebut pihak-pihak yang
bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam
perkara yang mereka hadapi.

Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim merupakan suatu pernyatan


yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau
suatu sengketa antara para pihak.

Dipandang dari isinya, putusan dapat dikualifikasikan kepada putusan


declaratoir, putusan constitutief, dan putusan condemnatoir. Putusan
declaratoir berisi pernyataan terhadap keadaan hukum yang sudah ada dan
tidak menimbulkan keadaan hukum baru.

Putusan yang bersifat constitutief


adalah putusan yang menimbulkan keadaan hukum baru atau meniadakan
keadaan hukum lama, begitu putusan berkekuatan hukum tetap maka sudah
tejadi keadaan hukum baru.

Putusan Condemnatoir
adalah putusan yang berisi penghukuman atau kewajiban melaksanakan
sesuatu.

Pada putusan PTUN ada kalanya putusan yang bersifat condemnatoir dapat
juga merupakan keputusan constitutief. Pernyataan batal atau tidak sah suatu
keputusan bersifat ex tunc hanya bersifat declaratoir. Putusan yang bersifat
constitutief misalnya putusan pembebanan pembayaran ganti rugi,
pembebanan melaksanakan rehabilitasi dan penetapan penundaan
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), yang berakibat
tertundanya keberlakuan suatu keputusan pemerintah untuk sementara.

Putusan yang bersifat constitutief walaupun menimbulkan keadaan hukum


baru atau meniadakan keadaan hukum lama namun tidak langsung dapat
terlaksana dan memerlukan putusan penghukuman sebagai tindak lanjut agar
materi putusan constitutief menjadi nyata. Oleh karena itu yang relevan untuk
yang dilaksanakan adalah putusan yang bersifat condemnatoir.
.

2. Jenis Putusan
(Menurut Pasal 97 ayat 7 UU No. 5 Tahun 1986) yaitu :
a. Gugatan Ditolak
Terjadi (diputuskan) apabila penggugat tidak berhasil dalam membuktikan
dan meyakinkan Hakim atas dalil Gugatan yang diajukan.

b. Gugatan Dikabulkan
Terjadi (diputuskan) apabila penggugat berhasil membuktikan dan
meyakinkan Hakim atas dalil Gugatan yang diajukan. Dalam hal ini dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat, diantaranya
yaitu ; (Pasal 97 ayat 8 dan 9 UU No. 5 Tahun 1986)
 Diwajibkan untuk mencabut keputusan yang digugat
 Diwajibkan untuk mencabut yang digugat dan menerbitkan
Keputusan yang baru.
 Dapat pula TERGUGAT hanya diwajibkan untuk menerbitkan
Keputusan yang baru (gugatan yang didasarkan pada pasal 3 UU No. 5
Tahun 1986).

c. Gugatan Tidak Diterima


Terjadi (diputuskan) apabila Gugatan yang diajukan tidak sesuai dengan
prosedur Hukum Pengajuan Gugatan.

d.Gugatan Gugur
Terjadi (diputuskan) apabila Gugatan diajukan secara tidak serius. Tidak
serius ini berarti : - Apabila Penggugat telah dipanggil secara patut, namun
ia tetap tidak juga mau hadir ke muka persidangan, dan ; - Ketidak
hadirannya tersebut juga tidak disertai alasan yang jelas.

3. Pelaksanaan Putusan PTUN (eksekusi)


adalah aturan tentang cara dan syarat-syarat yang dipakai oleh perlengkapan
negara guna membantu pihak yang berkepentingan untuk menjalankan
putusan hakim apabila pihak yang kalah tidak bersedia mematuhi isi putusan
dalam waktu yang ditentukan.

Eksekusi dapat diartikan suatu tindakan lanjut dalam hal melaksanakan


putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
(inkracht).

Hal-Hal Yang Berkaitan Dengan Eksekusi


adalah pembatalan Surat Keputusan yang diikuti dengan rehabilitasi, sanksi
administratif dan eksekusi putusan untuk membayar sejumlah uang
(dwangsom).

Eksekusi Pengadilan terdiri dari :


a. Eksekusi Otomatis
Eksekusi otomatis terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) dan (2) Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak diubah oleh Undangundang
Nomor 9 Tahun 2004 dan oleh Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009.

Berdasarkan perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat


pertama salinan putusan pegadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh
Penitera Pengadilan setempat selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Dalam Undang-
undang Nomor 51 Tahun 2009 ayat (1) ketentuan waktu 14 (empat belas)
hari diubah menjadi 14 (empat belas) hari kerja.

b. Eksekusi Hierarkis.
Eksekusi hierarkis diatur oleh Pasal 116 ayat (3), (4) dan (5)MUndang-
undang Nomor 5 Tahun 1986 dan tidak lagi diterapkan setelah
disahkannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004. Ditentukan bahwa
dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya
melaksanakan pencabutan KTUN dan menerbitkan KTUN yang baru atau
menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian
setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan,
maka penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan, agar
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

Jika tergugat masih tidak mau melaksanakannya (berdasarkan Pasal 116


ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986), Ketua Pengadilan
mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
Instansi atasan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah menerima
pemberitahuan dari Ketua Pengadilan harus sudah memerintahkan
pejabat tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

Dalam hal instansi atasan dimaksud tidak mengindahkannya maka Ketua


Pengadilan mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang
bersangkutan melaksanakan putusan Pengadilan.

c. Eksekusi Upaya Paksa.


Selama berlakunya mekanisme eksekusi hierarkis tingkat keberhasilan
pelaksanaan putusan di lingkungan Peradilan TUN relatif rendah.

Dengan lahirnya mekanisme “upaya paksa” ini, banyak pihak yang


menaruh harapan bahwa instrumen ini akan dapat memberikan
sumbangan yang signifikan bagi efektivitas pelaksanaan putusan Peradilan
Tata Usaha Negara di masa mendatang.

Perubahan Pasal 116 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan ayat


(3) sampai dengan ayat (6) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009
mengubah mekanisme pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara dari “Eksekusi Hierarkis” menjadi “Upaya Paksa”. Perubahan ini
adalah sebagai koreksi terhadap lemahnya kekuasaan (power) badan
peradilan yang memberikan peraturan perundang-undangan dan dinilai
tidak mampu memberikan tekanan kepada pihak pejabat atau badan
pemerintah untuk melaksanakan putusan. Ditentukan pada ayat (3) pasal
116 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 bahwa dalam hal tergugat
ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya mencabut Keputusan Tata
Usaha Negara (KTUN) dan menerbitkan KTUN yang baru atau
menerbitkan KTUN dalam hal obyek gugatan fiktif negatif dan kemudian
setelah 3 (tiga) bulan sejak putusan disampaikan kepada pihak tergugat
(menurut Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, 90 (Sembilan puluh)
hari kerja sejak diterima) dan ternyata kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama agar memerintahkan
tergugat melaksanakan putusan pengadilan tersebut.

Perubahan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 pada dasarnya tidak


mengubah cara upaya paksa ini. Secara yuridis formal telah memberikan
kekuatan atau upaya pemaksa bagi Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
untuk mengimplementasikan putusannya. Akan tetapi hanya merupakan
pengaturan pokok pelaksanaan eksekusi atau putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara, karena mekanisme dan tata cara pelaksanaannya belum
diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan, sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 116 ayat (7) Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009. Sehingga dirasakan ketentuan dari ketiga Undang-undang Peradilan
Tata Usaha Negara khususnya Pasal 116 Undang-undang Nomor 51 Tahun
2009 masih belum efektif dalam eksekusi putusan di Peradilan Tata Usaha
Negara.

F. UPAYA HUKUM DALAM PERADILAN TATA USAHA NEGARA


Upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya
kekeliruan pada putusan pengadilan. Upaya hukum yang dimaksud adalah:

Upaya Hukum Biasa, yang terdiri dari:


1. Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal
2. Banding
3. Kasasi

Upaya Hukum Luar Biasa, yang terdiri dari:


1. Peninjauan Kembali
2. Kasasi Demi Kepentingan Hukum

Banding
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada
tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 terhadap putusan
PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau
Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau
kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan
putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan
diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.

Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan


pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah
pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.

Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai
surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori
banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan
(Pasal 126).

Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya


terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN
berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang
lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk
pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan.

Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh


Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi
TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan
salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan
dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan
tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan (Pasal 127).

Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan


setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh
Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan
pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun
tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum
lampau (Pasal 129).
Kasasi
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum
Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam
pasal 131, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan
UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk


perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau
oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan
menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga
peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan
Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah
Agung.

Untuk dapat mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal 143


UU No 14 Tahun 1985 menentukan bahwa permohonan kasasi dapat diajukan
jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding,
kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

Menurut Pasal 46 ayat (1) UU No 14 Tahun 1985, permohonan pemeriksaan di


tingkat kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14 hari setelah putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon. Apabila
tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang
diajukan oleh pihak yang berperkara, maka menurut Pasal 46 ayat (2) UU
Nomor 14 Tahun 1985 ditentukan bahwa pihak yang berperkara dianggap telah
menerima putusan.

Mengingat pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha


Negara itu dilakukan dengan menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara dengan surat tercatat oleh Panitera kepada penggugat atau
tergugat, maka perhitungan 14 hari itu dimulai esok harinya setelah penggugat
atau tergugat menerima surat tercatat yang dikirim oleh Panitera yang isinya
salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Alasan pengajuan kasasi sebagaimana tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) UU No 14


Tahun 1985 jo UU No 5 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa MA dalam tingkat
kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua
lingkungan peradilan, karena:

 Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;


 Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
 lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.

Peninjauan Kembali
Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas
terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat
ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah
Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132, yang
menyebutkan bahwa :
 Ayat (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali
pada Mahkamah Agung.”
 Ayat (2) : “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”

Dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 67 UU No 14 Tahun


1985, dapat diketahui bahwa permohonan peninjauan kembali terhadap
putusan perkara sengketa TUN yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat
pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti baru yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan
palsu;
2. Apabila perkara setelah diputus, ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat
ditemukan;
3. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntut;
4. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
5. Apabila antara pihak-pihak yang sama, mengenai suatu hal yang sama,
atas dasar yang sama, oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya
telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
6. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
----Selamat belajar----

TUGAS PRAJA :
1. Buat rangkuman materi diatas
2. Cari dan buat contoh Kasus Sengketa Tata Usaha Negara, beri tanggapan saudara
3. Tugas di emailkan ke: berian309@gmail.com sebelum UAS HTUN

Anda mungkin juga menyukai