kup diminati oleh publik. Perkem- “grass root”. Bahkan dengan lum-
bangan lebih lanjut, trikotomi seni, puhnya padat modal, justru menyulut
disain dan kriya, semakin tampak lahirnya usahawan untuk bergerak
dan nyata. Kriya menempati posisi dalam industri berbasis kriya seperti
dibawah, bahkan direndahkan atau di Jepara, Cirebon, Surakarta (Imam
diinferiorkan oleh fine art ataupun Bukori,1999).
desain. Berdasarkan observasi di dae-
Perjalanan kriya Indonesia se- rah Klaten dan Serenan Surakarta,
belum krisis ekonomi (1998), hampir Industri kriya mebel (kayu dan
semua industri kecil yang berbasis bambu), mengalami lonjakan yang
kekriyaan dianggap marginal terha- menonjol dan hampir 20 s/d 30
dap industri besar, bahkan seringkali kontiner masuk pelabuhan Sema-
dimasukkan ke dalam sektor non- rang dan Surabaya. Diikuti tekstil
formal dan dianggap jalan keluar jadi (garment) Surakarta, industri
untuk menanggulangi penganggur- kriya logam dan perhiasan di daerah
an. Akibatnya istilah kriya, dipakai Cepogo Boyolali dan Kotagede
untuk menyebut semua usaha dan Yogyakarta (Sony kartika, 1999).
perusahaan kecil di masyarakat Jadi jangan heran kalau awal tahun
pedesaan misalnya; kriya tahu, kriya 2000 pelabuhan Tanjung Priok Ja-
tempe, kriya singkong dan sebagai- karta sepi peti kemas.
nya. Sehingga kriya tidak saja seca- Sudah kami singgung di atas,
ra posisioning terdepak ke bawah, konsepsi seni lukis sebagai barome-
namun juga istilah kriya sendiri ter perjalanan tradisi modern, dan
semakin tampak marginal (kam- desain sebagai panglima yang mun-
pungan). cul sebagai alternatif sesudah revo-
Namun apa kenyataannya? lusi industri, secara essensi kedua-
Ketika krisis ekonomi Indonesia nya berkiblat pada basik konsepsi
1998, kriya yang terdepak kebawah, universal. Pada akhirnya muncul
kriya yang terlempar ke lorong mar- dikotomi antara seni dan disain
ginal, kenyataannya justru berperan belakangan ini. Para disainer mulai
penting untuk menciptakan lapangan mengingkari bagian dari wilayah seni
kerja dan bahkan memberikan andil rupa, mereka menolak karena seni
yang cukup signifikan dalam meng- sudah tidak lagi mengindahkan
gerakan roda ekonomi pada lapisan teknologi, bahkan cenderung sema-
ada gunanya tanpa rekayasa kul- vasi bangunan sejarah dan cagar
tural; aktivitas seni budaya di budaya, untuk mewujudkan culture
dalamnya serta aktivitas penunjang heritage dari kebudayaan lokal.
berupa informasi media; mass me- Usaha mendapatkan suatu bentuk
dia, jurnal, rekayasa jalur wisata. visual karya-karya seni tangible/
Penggarapan revitalisasi se- intangible yang mengacu pada kon-
cara non-fisik akan mampu meng- sep falsafah Jawa/ nusantara.
hidupkan kembali energi masa lalu. Koentjaraningrat (1980:193-
Semangat cablaka (transparency), 195), disebutkan bahwa Kebudaya-
terbuka (exposure), sederhana, apa an merupakan keseluruhan sistem
adanya dan egaliter, merupakan ba- gagasan, tindakan dan hasil karya
gian terpenting kebudayaan lokal manusia dalam kehidupan masya-
yang saat sekarang perlu digali, rakat. Wujud dan isi kebudayaan,
ditumbuh kembangkan serta disiner- menurut ahli anthropologi sedikitnya
gikan dengan semangat modern. ada tiga wujud, yaitu (1) Ideas, (2)
Hadirnya kembali energi masa lalu activities dan (3) artifacts. Ketiga
akan mampu mewujudkan kembali wujud kebudayaan tersebut oleh
identitas lokal di tengah alam rangka Koentjaraningrat dinyatakan sebagai
mewujudkan gagasan tersebut di- sistem-sistem yang erat kaitannya
perlukan sebuah studi tentang pe- satu sama lainnya, dan dalam hal ini
rencanaan revitalisasi karya-karya sistem yang paling abstrak (ideas)
seni tangible/ intangible. Studi ini seakan-akan berada di atas untuk
diderasnya arus globalisasi dan mul- mengatur aktivitas sistem sosial
tikulturisme. Dilaksanakan sebagai yang lebih kongkrit, sedangkan ak-
bentuk usaha mengumpulkan fakta tivitas dalam sistem sosial meng-
dan data di lapangan sebagai data hasilkan kebudayaan materialnya
guna terwujudnya sebuah perenca- (artifact). Sebaliknya sistem yang
naan revitalisasi karya-karya seni berada di bawah dan yang bersifat
tangible/ intangible yang terprogram, kongkrit memberi energi kepada
efektif, efisien dan akuntabel, tetap yang di atas (lihat: Ayat Rohaedi
mengedepankan substansi makna. 1986:83). Pendapat tersebut mem-
Fenomena tersebut akan mengarah berikan gambaran bahwa kebudaya-
pada tujuan antara lain: Usaha pre- an Jawa/ nusantara merupakan in-
servasi, konservasi sekaligus ekska- teraksi timbal-balik di antara sistem-
Salah satu bentuk kesenian yang dern. Artinya untuk menghadapi glo-
sarat dengan nilai-nilai budaya yang bal bukan berarti mempelajari tetapi
masih perlu dikembangkan secara menguasai teori unversal dari pen-
pelestarian secara revitalisasi mau- didikan seni/disain modern (barat)
pun reinterpretasi dalam seni per- saja, kalau tidak mau dikatakan
tunjukan maupun dari seni rupa sebagai seniman atau diasainer
perlu dipetakan. Kesenian tradisi modern kecil atau barat-barat kecil.
diminati kembali sebagai salah satu Menghadapi global harus mampu
alternatif sebagai sumber inspirasi menemukan jati-dirnya sendiri seba-
penciptaan dan rekayasa budaya gai manusia Indonesia. Paradigma
dan dimanfaatkan sebagai propa- seni modern dengan sentuan tradisi
ganda sosial. Hal ini dapat di- merupakan fenomena pencarian
katakan sebagai bukti adanya pro- identitas budaya Indonesia akar
ses kontinuitas dalam upaya peles- Indonesia.Tidak dapat dipungkiri
tarian tradisi, dan merupakan salah bahwa wawasan kita tentang seni
satu cermin adanya transformasi adalah wawasan seni modern
budaya, dalam proses mencari for- (barat), karena sistem pendidikan
mat budaya Indonesia. tinggi dengan segala perangkatnya
Wawasan terhadap paradigma mengacu pada pendidikan seni rupa
seni harus kita tingkatkan, tidak barat. Wawasan konsepsi tersebut
hanya bagaimana mempelajari seni bukan berarti harus tolak, namun
rupa modern (barat). Tetapi bagai- justru merupakan satu perangkat
mana menguasai konsepsi modern yang harus kita pelajari sebagai satu
sebagai sarana mempelajari tradisi dasar pengkayaan untuk mengkaji
masa lalu sebagai wacana untuk budaya kita sendiri. Artinya bahwa
menyambut abad baru (global). kedua konsepsi tersebut harus
Sehingga desainer dan atau Se- saling menopang dan saling sinergi
niman Indonesia tidak hanya jadi untuk menambah pengkayaan wa-
tukang di negeri sendiri saja, tetapi wasan, sebagai satu tumpuan untuk
harus mampu menemukan jati diri menyongsong era globalisasi. Untuk
bangsa dan tampil sebagai seniman menyongsong era global, maka tak
dan atau disainer yang mampu dapat ditawar adalah bagaiman me-
menampilkan citra Indonesia akar kuasai modern dengan sentuhan
Indonesia yang berwawasan mo- tradisi. Paradigma seni modern
____________________ (2007),
Budaya Nusantara: Kajian konsep Jose an Miriam Arguelles (1972),
Mandala dan Konsep Tri-loka ter- Mandala, Boelder and London: Sham-
hadap Pohon Hayat pada Batik. bala
Bandung; Rekayasa sain
Kawindrosusanto, Koeswadji, (19-
Geertz, Clifford (1973), The Inter- 56), “Gunungan” Majalah Sana
pretation of Culture. New York: Basic Budaya, Th.1No.2 Maret
Book,Ink
Koentjaraningrat (1994), “Kebuda-
_____________(1960), The Religion yaan Jawa”, Seri Etnografi Indo-
of Java. New York: The Free Press. nesia no:2, Jakarta, Balai Pustaka.,
193-195.
Gustami, SP, (1989), “Konsep
Gunungan dalam Seni Budaya Jawa Koentjaraningrat (1985), Javanese
Manifestasinya di Bidang Seni Or- Culture. New York: Oxford University
namen”: Sebuah Studi Pendahuluan, Press
Penelitian Yogyakarta: Balai Pe-
nelitian Institut Seni Indonesia Mulder, Niel (1984), Kepribadian
Jawa dan Pembangunan Nasional,
Poerbatjaraka Dr.R.Ng. (Lesya): Yogyakarta, Gadjah Mada University
Arjunawiwaha, Tekst en Vertaling. Press
Martinus Nijhoff, „S Gravenhage,
1926 Sayid, R.M. (tth), Bab “Tosan Aji
Prabote Jengkap”, Surakarta: Per-
Hadiwijono, Harun, (tt), Kebatinan pustakaan Mangkunegaran
Jawa dalam Abad 19, Jakarta, BPK
Mulya Simuh, (1988), Mistik Islam Kejawen
Raden Ngabehi Ranggawarsita,
Holt, C., (1967), Art in Indonesia: Suatu Studi terhadap Wirit Hidayat
Continuities and Change, Ithaca Jati, Jakarta, Penerbit Universitas
New York, Cornell University Press, Indonesia (UI-Press)
55-56, 60, 136.
Simuh, (1996), Sufisme Jawa:
Hoop, A.N.J. Th.a Th. Van Der, Transformasi Tasawuf Islam ke
(1949), Indonesische Siermotieven, Mistik Jawa., Yogyakarta, yayasan
Uitgegeven Door Hiet, Koninklijk Bentang Budaya
Bataviaasch Genootschap Van
Kunsten en Wetenschappen, 275- Subagyo, Rahmat, (1981), Agama
276, 278-284. Asli Indonesia, Jakarta, Sinar Ha-
rapan dan Yayasan Cipta Loka
Irianto, Asmujo J (1999), Kria Caraka
Dalam Pendidikan Tinggi, Makalah
Seminar Nasional Seni Rupa Tradisi Soedarsono, RM (1999), Seni Indo-
Nusantara Topik: Implementasi nesia (kontinuitas dan Perubahan),
Konsep Kriya dalam Pendidikan Terjemahan Clare Holt dalam Art in
Tinggi Surakarta:STSI Indonesian Continuities and Change,
Corne; University (1967),
Jessup, Helen Ibitson, (1990), Yogyakarta:ISI
Court Arts of Indonesia, New York,
The Asia Society Galleries Sumardjo, Jakob, TTh, “Memahami