PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang ditimbulkan dapat bersifat
sementara maupun menetap, seperti deficit kognitif, psikis, intelektual, serta
gangguan fungsi fisiologis lainnya. Trauma kepala dapat mengenai berbagai
komponen kepala mulai dari bagian kepala terluar hingga terdalam, termasuk
tengkorak dan otak. (Dewanto,2007).
Otak merupakan organ yang sangat vital bagi seluruh aktivitas dan fungsi tubuh,
karena di dalam otak terdapat berbagai pusat control seperti pengendalian fisik,
intelektual,emosional,sosial, dan keterampilan. Salah satu penyebab dari kerusakan
otak adalah terjadinya trauma atau cedera kepala yang dapat mengakibatkan
kerusakan struktur otak, sehingga fungsinya juga dapat terganggu. (Black & Hawks,
2009).
Pasien dengan cedera kepala dapat secara primer mengakibatkan kerusakan
permanen pada jaringan otak atau mengalami cedera sekunder seperti adanya iskemik
otak akibat hipoksia, hiperkapnia, hiperglikemia atau ketidakseimbangan elektrolit.
(Arifin, 2008).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Evidence Based Practice?
2. Bagaimana Konsep Dasar Medis Trauma Kepala?
3. Bagaimana Konsep Dasar Asuhan Keperawatan?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Konsep Evidence Based Practice.
2. Untuk mengetahui Konsep Dasar Medis Trauma Kepala.
1
3. Untuk mengetahui Konsep Dasar Asuhan Keperawatan.
BAB II
PEMBAHASAN
2
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa
pendarahan intestinal dalam subtensi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontuinitas dari otak. (Nugroho, 2011).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai pendarahan interstitial dari fungsi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008).
Menurut Batticaca (2008), cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak
karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis
terjadi karena robeknya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena
hemorogik, serta edema sereblar disekitar jaringan otak.
2. Etiologi
a. Cedera akselerasi (alat pemukul menghantam kepala atau peluru yang di
tembakkan ke kepala).
b. Cedera deselerasi (jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala membentur
kaca depan mobil).
c. Cedera akselerasi-deselerasi (kecelakaan kendaraan bermotor dan
kekerasan fisik).
d. Cedera coup-countre coup (pemukulan dibagian belakang kepala).
e. Cedera rotasional (benturan yang menyebabkan otak berputar dalam
rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan atau robeknya neuron
dan pembuluh darah otak. (Nurarif, 2013).
3. Patofisiologi
Pasien dengan cedera kepala bermulai dari sebuah benturan yang
secara tiba-tiba yang dapat menyebabkan edema pada serebri sehingga
tekanan intrakranial menjadi meningkat. Peningkatan asam laktat dan tekanan
intracranial menyebabkan nyeri di kepala pada pasien cedera kepala.
Vasodilatasi pembuluh darah otak menjadikan peningkatan serebral blood
3
flow yang mana otak mengalami peningkatan suplai oksigen. Pengeluaran
hormon endokrin yang berlebihan akibat dari pusat pengendalian pernafasan
dikorteks serebri yang memacu kerja aktivitas saraf simpatis dan parasimpatis
menyebabkan penurunan metabolisme sehingga pasien mengalami penurunan
kebutuhan oksigen dalam otak. (Tarwoto, 2011).
4
a. Nilai GCS 3-8
b. Kehilangan kesadaran atau amnesia selama lebih dari 24 jam.
c. Dapat mengalami kontusio serebral laterasi atau hematoma
intrakranial.
5. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboraturium: darah lengkap,urine, kimia darah,analisa gas
darah.
2. CT-Scan
3. MRI
4. Cerebral Angiography
5. X-Ray
6. CSF
7. ABGs
8. Kasar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intracranial (Musliha, 2010).
6. Penatalaksanaan
a. Primary survey
Lakukan primary survey pada seluruh pasien cedera kepala, terutama
pasien dengan penurunan kesadaran, meliputi pemeriksaan dan
penatalaksanaan :
A = Airway ( Jaga jalan nafas dengan perlindungan terhadap servikal
spine).
B = Breathing (pernafasan).
C = Circulation (nadi, tekanan darah, tanda-tanda syok dan kontrol
perdarahan).
D = Disability (level kesadaran dan status neurologis lain).
5
Pada primary survey ini dilakukan pemeriksaan status neurologis
dasar yang disebut AVPU ( Alert, Verbal stimuli response, Painful
stimuli response or unresponsive). Evaluasi neurologis yang cepat
dan berulang dilakukan setelah selesai primary survey, meliputi
derajat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi
dan gejala cedera spinal. GCS adalah metode yang cepat untuk
menentukan level kesadaran dan dapat memprediksi outcome pasien.
E = Exposure (Seluruh tubuh pasien diekspose untuk pemeriksaan dan
penanganan menyeluruh, dengan memperhatikan faktor suhu dan
lingkungan).
b. Secondary survey
Setelah primary survey selesai, tanda vital pasien sudah normal,
maka dimulai secondary survey, mengevaluasi head to toe (seluruh tubuh
pasien), meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang dibutuhkan.
c. Terapi medikamentosa
1) Cairan intravena
Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk
resusitasi dan mempertahanakan normovolemia. Keadaan
hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga
diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan. Jangan
diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunaan cairan yang
mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang
berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat atau
garammfisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien
dengan cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan
endema otak sehingga harus dicegah.
2) Hiperventilasi
6
Untuk sebagian besar pasien, keadaan normokarbia lebih
diinginkan. Perlakuan hiperventilasi yang agresif dan lama akan
menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan vasokonstriksi berat
pembuluh darah serebral sehingga menimbulkan gangguan perfusi
otak. Hal ini terjadi terutama bila PaCO2 dibiarkan turun sampai di
bawah 30 mm Hg (4,0 kPa) Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara
selektif dan hanya dalam batas waktu tertentu. Umumnya, PaCO2
dipertahankan pada 35 mmH. Hiperventilasi dalam waktu singkat
(PaCO2 antara 25-30 mmHg) dapat dilakukan jika diperlukan pada
keadaan perburukan neurologis akut, sementara pengobatan lainnya
baru dimulai. Hiperventilasi akan mengurangi tekanan intrakranial
pada pasien dengan perburukan neurologis akibat hematoma
intrakranial yang membesar, sampai operasi kraniotomi emergensi
dapat dilakukan.
3) Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di
RS dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat.
Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) Kejang
awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) Perdarahan Intrakranial,
atau (3) Fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda / double blind
menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis bermanfaat untuk
menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu pertama cedera
namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obat yang
biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1
g yang diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak
lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8
jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapetik serum. Pada pasien
dengan kejang berkepanjangan, diazepam atau lorazepam digunakan
sebagai tambahan selain fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk
7
mengatasi kejang yang terus menerus kadang memerlukan anestesi
umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera
karena kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat
menyebabkan cedera otak.
4) Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial
(TIK) yang meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan
konsentrasi 20% (20 gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang
diberikan 0.25–1 g/kg BB diberikan secara bolus intravena. Manitol
jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol tidak
mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan
manitol merupakan diuretic osmotic yang potensial. Adanya
perburukan neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam
observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada
keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus diberikan
secara cepat (dalam waktu lebih dari 5 menit) dan pasien segera di
bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi bila lesi
penyebabnya sudah diketahui.
8
1) Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes,
biot, hiperventilasi, ataksik)
2) Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
3) Sistem saraf :
a) Kesadaran GCS.
b) Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak
akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
c) Sistem pencernaan
Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan,
kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak.
Jika pasien sadar tanyakan pola makan
d) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
e) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
f) Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik
hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan
otot.
g) Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à
disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf
fasialis.
4) Psikososial
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
2. Diagnosa
9
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang berhubungan dengan desak
ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari adanya perdarahan baik
bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural
hematoma.
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak mengeluh nyeri kepala, mual-
mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat papiledema. TTV dalam batas
normal.
Intervensi Rasionalisasi
Mandiri Deteksi dini untuk
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan memprioritaskan intervensi,
individu/penyebab koma/penurunan perfusi mengkaji status
jaringan dan kemungkinan penyebab neurologis/tanda-tanda
peningkatan TIK. kegagalan untuk
menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan
pembedahan.
Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam Suatu keadaan normal bila
sirkulasi serebral terpelihara
dengan baik atau fluktuasi
ditandai dengan tekanan
darah sistemik, penurunan
dari autoregulator
kebanyakan merupakan
tanda penurunan difusi
local vaskularisasi darah
serebral. Dengan
peningkatan tekanan darah
(diastolic) maka dibarengi
dengan peningkatan tekanan
10
darah intrakrinial. Adanya
peningkatan tekanan darah,
bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda
terjadinya peningkatan TIK.
Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan Reaksi pupil dan pergerakan
reaksi terhadap cahaya. kembali dari bola mata
merupakan tanda dari
gangguan nervus/saraf jika
batang otak terkoyak.
Reaksi pupil diatur oleh
saraf III cranial
(okulomotorik) yang
menunjukkan keseimbangan
antara parasimpatis dan
simpatis. Respon terhadap
cahaya merupakan
kombinasi fungsi dari saraf
cranial II dan III.
Monitor temperatur dan pengaturan suhu Panas merupakan refleks
lingkungan. dari hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan
metabolism dan O2 akan
menunjang peningkatan
TIK/ICP (Intracranial
Pressure).
Pertahankan kepala/leher pada posisi yang Perubahan kepala pada satu
netral, usahakan dengan sedikit bantal. sisi dapat menimbulkan
Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada penekanan pada vena
11
kepala. jugularis dan menghambat
aliran darah otak
(menghambat drainase pada
vena serebral), untuk itu
dapat meningkatkan tekanan
intracranial.
Berikan periode istirahat antara tindakan Tindakan yang terus-
perawatan dan batasi lamanya prosedur. menerus dapat
meningkatkan TIK oleh efek
rangsangan kumulatif.
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa Memberikan suasana yang
nyaman seperti masase punggung, tenang (colming effect)
lingkungan yang tenang. Sentuhan yang dapat mengurangi respons
ramah, dan suasana / pembicaraan yang tidak psikologis dan memberikan
gaduh. istirahat untuk
mempertahankan TIK yang
rendah.
Cegah/hindarkan terjadinya valsava Mengurangi tekanan
maneuver. intratorakal dan
intraabdominal sehingga
menghindari peningkatan
TIK.
Bantu klien jika batuk, muntah. Aktivitas ini dapat
meningkatkan
intrathorakal/tekanan dalam
thoraks dan tekanan dalam
abdomen dimana aktivitas
ini dapat meningkatkan
tekanan TIK.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat laku. Tingkah nonverbal ini dapat
12
merupakan indikasi
peningkatan TIK atau
memberikan refleks nyeri
dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan
secara verbal, nyeri yang
tidak menurun dapat
meningkatkan TIK.
Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder, Dapat meningkatkan repons
pertahankan drainase urine secara paten jika otomatis yang potensial
di gunakan dan juga monitor terdapatnya menaikkan TIK.
konstipasi.
Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) Meningkatkan kerja sama
dan keluarga tentang sebab-sebab TIK dalam meningakatkan
meningkat. perawatan klien dan
mengurangi kecemasan.
Observasi tingkat kesadaran dengan GCS. Perubahan kesadaran
menunjukkan peningkatan
TIK dan berguna
menentukan lokasi dan
perkembangan penyakit.
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi. Mengurangi hipoksemia,
dimana dapat meningkatkan
vasodilatasi serebral,
volume darah, dan
menaikkan TIK.
Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi Tindakan pembedahan
darah dari dalam intracranial. untuk evakuasi darah
dilakukan bila kemungkinan
13
terdapat tanda-tanda deficit
neurologis yang
menandakan peningkatan
ntrakranial.
Berikan cairan intravena sesuai indikasi. Pemberian cairan mungkin
di inginkan untuk
mengurangi edema serebral,
peningkatan minimum pada
pembuluh darah, tekanan
darah dan TIK.
Berikan obat osmosis diuretic contohnya : Diuretic mungkin digunakan
manitol, furoscide. pada fase akut untuk
mengalirkan air dari sel otak
dan mengurangi edema
serebral dan TIK.
Berikan steroid contohnya : dexamethason, Untuk menurunkan
methyl prenidsolon. inflamasi (radang) dan
mengurangi edema jaringan.
Berikan analgesic narkotik contoh : kodein. Mungkin di indikasikan
untuk mengurangi nyeri dan
obat ini berefek negatif pada
TIK tetapi dapat digunakan
dengan tujuan untuk
mencegah dan menurunkan
sensasi nyeri.
Berikan antipiretik contohnya : asetaminofen. Mengurangi/mengontrol hari
dan pada metabolisme
serebral/oksigen yang
diinginkan.
Monitor hasil laboratorium sesuai dengan Membantu memberikan
14
indikasi seperti prothrombin, LED. informasi tentang efektifitas
pemberian obat.
15
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor Pengetahuan apa yang
pencetus adanya sesak atau kolaps paru-paru. diharapkan dapat
mengurangi ansietas dan
mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana
terapeutik.
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien Membantu klien mengalami
untuk control diri dengan menggunakan efek fisiologi hipoksia, yang
pernapasan lebih lambat dan dalam. dapat dimanifestasikan
Periksalah alarm pada ventilator sebelum sebagai ketakutan/ansietas.
difungsikan. Jangan mematikan alarm. Ventilator yang memiliki
alarm yang bias dilihat dan
didengar misalnya alarm
kadar oksigen,
tinggi/rendahnya tekanan
oksigen.
Tarulah kantung resusitasi disamping tempat Kantung resusitasi/manual
tidur dan manual ventilasi untuk sewaktu- ventilasi sangat berguna
waktu dapat digunakan. untuk mempertahankan
fungsi pernapasan jika
terjadi gangguan pada alat
ventilator secara mendadak.
Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan Melatih klien untuk
jika ventilator tiba-tiba berhenti. mengatur napas seperti
napas dalam, napas pelan,
napas perut, pengaturan
posisi, dan teknik relaksasi
dapat membantu
memaksimalkan fungsi dan
16
system pernapasan.
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara Memerhatikan letak dan
rutin. fungsi ventilator sebagai
Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa kesiapan perawat dalam
tekanan oksigen dalam tabung, monitor memberikan tindakan pada
manometer untuk menganalisis batas/kadar penyakit primer setelah
oksigen. menilai hasil diagnostik dan
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). menyediakan sebagai
periksa fungsi spirometer. cadangan.
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain : Kolaborasi dengan tim
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi. kesehatan lain untuk
§ Pemberian antibiotik. mengevaluasi perbaikan
§ Pemberian analgesic. kondisi klien atas
§ Fisioterapi dada. pengembangan parunya.
§ Konsul foto thoraks.
17
dan/atau posisi dari
endotracheal/tracheostomy
tube yang berubah.
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi Pergerakan dada yang
suara napas pada kedua paru (bilateral). simetris dengan suara napas
yang keluar dari paru-paru
menandakan jalan napas
tidak terganggu. Saluran
napas bagian bawah
tersumbat dapat terjadi pada
pneumonia/atelektasis akan
menimbulkan perubahan
suara napas seperti ronkhi
atau wheezing.
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri Endotracheal tube dapat saja
tanda batas bibir. masuk ke dalam bronchus
Lekatkan tube secara hati-hati dengan kanan, menyebabkan
memakai perekat khusus. obstruksi jalan napas ke
Mohon bantuan perawat lain ketika paru-paru kanan dan
memasang dan mengatur posisi tube. mengakibatkan klien
mengalami pneumothoraks.
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak Selama intubasiklien
napas, suara alarm dari ventilator karena mengalami refleks batuk
tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret yang tidak efektif, atau klien
melalui endotracheal/tracheostomy tube, akan mengalami kelemahan
bertambahnya bunyi ronkhi. otot-otot pernapasan
(neuromuscular/neurosensor
ik), keterlambatan untuk
batuk. Semua klien
18
tergantung dari alternatif
yang dilakukan seperti
mengisap lender dari jalan
napas.
Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, Pengisapan lendir tidak
batasi durasi pengisapan dengan 15 detik selamanya dilakukan terus-
atau lebih. Gunakan kateter pengisap yang menerus, dan durasinya pun
sesuai, cairan fisiologis steril. dapat dikurangi untuk
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan mencegah bahaya hipoksia.
pengisapan dengan ambu bag Diameter kateter pengisap
(hiperventilasi). tidak boleh lebih dari 50%
diameter
endotracheal/tracheostomy
tube untuk mencegah
hipoksia.
Dengan membuat
hiperventilasi melalui
pemberian oksigen 100%
dapat mencegah terjadinya
atelektasis dan mengurangi
terjadinya hipoksia.
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk Batuk yang efektif dapat
selama pengisapan seperti waktu bernapas mengeluarkan sekret dari
panjang, batuk kuat, bersin jika ada indikasi. saluran napas.
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap Mengatur pengeluaran
2jam). sekret dan ventilasi segmen
paru-paru, mengurangi
risiko atelektasis.
Berikan minum hangat jika keadaan Membantu pengenceran
memungkinkan. sekret, mempermudah
19
pengeluaran sekret.
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan Pengetahuan yang
batuk efektif dan mengapa terdapat diharapkan akan membantu
penumpukan sekret di saluran pernapasan. mengembangkan kepatuhan
klien terhadap rencana
terapeutik.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat Batuk yang tidak terkontrol
untuk pengontrolan batuk. adalah melelahkan dan tidak
efektif, dapat menyebabkan
frustasi.
Napas dalam dan perlahan saat duduk Memungkinkan ekspansi
setegak mungkin. paru lebih luas.
Lakukan pernapasan diafragma. Pernapasan diafragma
menurunkan frekuensi napas
dan meningkatkan ventilasi
alveolar.
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian Meningkatkan volume udara
secara perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak dalam paru, mempermudah
mungkin melalui mulut. pengeluaran sekresi sekret.
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan Pengkajian ini membantu
dari dada dengan melakukan 2 batuk pendek mengevaluasi keefektifan
dan kuat. upaya batuk klien.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien Sekresi kental sulit untuk di
batuk. encerkan dan dapat
menyebabkan sumbatan
mucus, yang mengarah pada
atelektasis.
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan Untuk menghindari
viskositas sekresi. : mempertahankan hidrasi pengentalan dari sekret atau
yang adekuat; meningkatkan masukan cairan mosa pada saluran napas
1000-1500 cc/hari bila tidak ada pada bagian atas.
20
kontraindikasi.
Dorong atau berikan perawatan mulut yang Higine mulut yang baik
baik setelah batuk. meningkatkan rasa
kesejahteraan dan mencegah
bau mulut.
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan Ekspektoran untuk
fisioterapi. memudahkan mengeluarkan
§ Pemberian ekspektoran. lendir dan mengevaluasi
§ Pemberian antibiotic. perbaikan kondisi klien atas
§ Fisioterapi dada. pengembangan parunya.
§ Konsul foto thoraks.
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi Mengatur ventilasi segmen
seperti postural drainage, perkusi/penepukan. paru-paru dan pengeluaran
sekret.
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai Mengatur ventilasi dan
indikasi seperti aminophilin, meta-proterenol melepaskan sekret karena
sulfat (alupent), adoetharine hydrochloride relaksasi
(bronkosol). muscle/bronchospasme.
21
DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran
darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD sistemik /
hipoksia.
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral membaik, penurunan fungsi
neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik,
keefektifanvital sign yang
fungsi kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan dalam
A. Kesimpulan
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat
menyebabkan gangguan fisik dan mental yang kompleks. Gangguan yang
ditimbulkan dapat bersifat sementara maupun menetap, seperti deficit kognitif,
psikis, intelektual, serta gangguan fungsi fisiologis lainnya. Trauma kepala dapat
mengenai berbagai komponen kepala mulai dari bagian kepala terluar hingga
terdalam, termasuk tengkorak dan otak.
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi
trauma oleh benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari
kekuatan atau energiyang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan
(ekselarasi-deselarasi) pada otak.
24
B. Saran
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan sumber ilmu
mengenai ilmu pengetahuan dalam bidang keperawatan khususnya Asuhan
keperawatan pada klien dengan cedera kepela.
25