Anda di halaman 1dari 5

Nama : Muhammad Taufiq Azizul

Kelas : XII IPS 2


NISN : 0036265719
No.Absen : 11

STRUKTUR NOVEL

• ABSTRAKSI
“Kemari kau,  Bujang,"  bapakku berseru lagi.  Aku yang sedang mengangkat ceret
berisi kopi panas menoleh, "Ayo!"  Bapakku melotot,  tidak sabaran.  Aku bergegas
melangkah ke sudut tikar. "Ini anakku,  Tauke Muda,"  Bapak menunjukku"Usianya
lima belas.  Namanya Bujang. "Ah,  jadi ini anak laki-lakimu,  Samad Orang mata itu
menatapku ujung kepala hingga kaki, "Tubuhnya gagah besar seperti bapaknya.
Sudah seperti pemuda hitam tajam.  Aku suka dia.  Kelas berapa kau sekarang?"
Bapakku menggeleng,  tertawa, "Tidak sekolah.  Seperti bapaknya."  Orang bermata
sipit masih menatapku, "Kemari,  Bujang.  Lebih dekat."  Aku melangkah lagi,  duduk
dengan lutut di tikar. "Apakah kau pandai berburu babi hutan seperti bapakmu?"
"Jangan harap."  Bapak terkekeh,  memotong jawaban, "Dia bahkan tidak pernah
masuk hutan sendirian.  Mamak-  nya sangat pencemas.  Semua serba dilarang,
takut sekali anaknya terluka.  Mentang-mentang anak satu-satunya. orang bermata
sipit mengangguk-angguk takzim. "Kau mau ikut berburu nanti petang?"  Aku
mengangguk dengan cepat-bahkan sebelum melihat ekspresi wajah Bapak yang
duduk di sebelah. "Bagus sekali!  Mari kita lihat seberapa hebat kau di dalam sana.
Bapak kau ini dulu,  adalah pemburu yang hebat.

• ORIENTASI
Esoknya,  Bapak dan Mamak kembali bertengkar di belakang rumah.  “Apa yang kau
harapkan dari anak laki-lakimu Midah?  Akan kau kirim  dia belajar mengaji dengan
Tuanku Imam?  Akan kau kirim dia kembali ke kampung halaman tempat kau lahir?
Kerabatmu hanya akan tertawa melihatnya,  bagus jika mereka tidak meludahinya."
Bapak berseru Mamak menangis dalam diam menyeka ujung matanya.  “Lihatlah
aku,  Midah.  Lihat.  Sejak kecil aku berusaha melupakan asal keturunanku,  belajar
mengaji dan bermalam di surau.  Aku sudah berusaha melepaskan semua catatan
gelap milik keluargaku.  Tapi saat aku melamarmu memintamu baik-baik,  mereka
hanya tertawa.  Sakit sekali.  Mereka tidak akan pernah bisa menerima kenyataan
jika aku berbeda dengan bapakku,  si tukang jagal.  Aku terusir dari kampung.  Pergi
ke kota mencari penghidupan.
Mereka melempar kotoran saat aku pergi.  Tidak mengapa semua kebencian itu,  aku
bisa mengunyahnya.  Tidak mengapa meski akhirnya aku juga menjadi tukang jagal di
kota,  seperti orangtua ku yang dulu amat ku benci.  Tidak mengapa.  Karena yang
paling menyakitkan adalah aku harus pergi melupakanmu,  Midah.  Seluruh cinta kita
hancur."
“ Biarkan Bujang ikut Tauke Muda,  Midah.  Aku mohon .” Bapak memegang lutut
Mamak,  menatapnya dengan tatapan memohon, "Biarkan anak kita melihat dunia
luar.  Dia tidak akan jadi siapa-siapa di kampung ini.  Tidak sekolah.  Tidak
berpengetahuan.  Dia sudah lima belas,  entah mau jadi apa dia di sini.  Petani?
Penyadap damar?  tidak bisa pulang kecamatan,  bertemu Tuanku Imam karena
keluarga kau pasti mengusirnya,  sama seperti saat mereka mengusirmu." Mamak
tertunduk,  air mata mengalir di pipinya.  Menoleh padaku. "Apakah kau ingin pergi,
Bujang?"  Suara tanya Mama tersendat.  Aku menatap sejenak wajah lelah Mamak,
lantas mengangguk perlahan.  Aku ingin pergi.  Aku ingin ikut Tauke Muda ke kota.
Percakapan telah tiba di ujung kesimpulan.  Mamak menangis tergugu melihat
anggukan kepalaku.  Siang itu,  Mamak menyiapkan buntalan kain berisi pakaianku
sambil menangis.  la lantas mendekap kepalaku erat-erat.  Berbisik lembut, "Mamak
akan mengizinkan kau pergi,  Bujang.  Meski itu sama saja dengan merobek separuh
hati Mamak Pergilah,  anakku,  temukan masa depanmu.  Sungguh,  besok lusa kau
akan pulang.  Jika tidak ke ada Mamak,  kau akan pulang pada hakikat sejati yang
dalam dirimu.”  Aku diam,  menunduk. "Berjanjilah,  Bujang,  berjanjilah satu hal ini."
Aku mendongak menatap wajah Mamak yang sembab Kau boleh melupakan Mamak,
kau boleh melupakan seluruh kampung ini.  Melupakan seluruh didikan yang Mamak
berikan.  Melupakan agama yang Mamak diam-diam jika bapak kau tidak ada di
rumah Mamak diam sejenak,  menyeka hidung, "Mamak tahu kau akan jadi apa di
kota sana Mamak tahu
Beberapa peralatan medis terlihat menempel di dada dan punggungnya Aku harus
menemui calon presiden"Kau hendak bilang,  calon presiden itu lebih penting
dibanding aku,  hah?" "Tidak.  Bukan itu."  

• KOMPLIKASI
“Dengan segala hormat,  aku sungguh minta maaf perayaan ulang tahun Master
harus terpotong sebentar oleh urusan sederhana.  Tapi aku tidak punya pilihan.  Jadi
izinkan aku bicara."  Aku menatap sekeliling dengan tenang.  Keluarga Lin di Makau,
enam bulan terakhir menolak melakukan pertemuan dengan kami,  dan menolak
seluruh pembicaraan.  Namun malam ini,  dengan terpaksa ain meminjam jamuan ini
disaksikan keluarga lain dan Maser Dragon,  agar masalah kami dengan mereka
diselesaikan.  Wajah orang di seberang mejaku merah padam.  Sejak tadi dia sudah
tidak suka dengan kehadiranku,  terlihat dari wajahnya yang tidak bersahabat.  Dia
adalah putra tertua Keluarga Lin dari Makau,  usianya empat puluh lima tahun.
"Ayolah,  Si Babi Hutan,  kau tidak perlu membahas pekerjaan di meja ini Perwakilan
kepala keluarga Vietnam memotong Aku menggeleng tegas.  Aku harus
membahasnya. "Mereka mencuri teknologi pemindai yang telah kami kembangkan
lima tahun terakhir di laboratorium Makau Mereka pencuri pengecut."  Aku berkata
dingin. "Kami tidak mencurinya,  bajingan.  Kami membelinya dari profesor riset
tersebut.  Puluhan juta dolar."  Putra tertua Keluarga Lin berteriak demi mendengar
kalimatku. "Jika demikian,  apa yang disampaikan Si Babi Hutan adalah kebenaran.
Maka masalah ini adalah antara Keluarga Tong dan Keluarga Lin.  Aku memutuskan
agar mereka berdua menyelesaikannya tanpa melibatkan siapa pun.  Jika ada satu
saja keluarga lain ikut mendukung pihak bertikai,  itu berarti berhadapan denganku.
Aku memerintahkan Lin bertemu dengan perwakilan Keluarga Tong,
membicarakannya secara terhormat.  Jika Lin menolak menemuinya, maka itu
berarti dia menolak mematuhi perintahku.  Apa pun hasil pembicaraan dua keluarga,
tidak ada satu pun yang boleh ikut campur Keputusan ini final."  Aku mengangguk
senang.  Itulah keputusan yang aku harapkan. Pukul delapan lewat tiga puluh,
pesawat jet Keluarga Tong mendarat di bandara Makau,  Pemandangan pulau kecil
Makau di malam hari tidak kalah menakjubkan dengan Hong Kong,  tapi aku tidak
datang ke sini untuk pelesir. Tiba di lantai 40,  pintu lift terbuka.  Delapan pengawal
bergerak cepat dan aku melangkah mengikuti. Tukang pukul yang mengantarku
menyuruh masuk.  Setelah melintasi pintu,  aku tiba di ruangan besar.  Lebar
ruangan dua puluh meter dan panjangnya empat puluh meter,  hampir seluas satu
sayap gedung,  menghadap langsung Kota Makau yang gemerlap.  Ruangan itu masih
disekat lagi dengan dinding kaca tebal,  dan barulah di dalam dinding kaca itu,
terlihat dari kejauhan,  orang yang harus kutemui.  Salah satu anggota Keluarga Lin
menahan langkahku Putra tertua"Kau tidak boleh membawa senjata."  Dia menatap
penuh hina. Aku mengangguk,  mengeluarkan pistol colt dari balik as.
Tubuhku terkulai,  tenagaku sudah habis.  Tauke Besar terjatuh di sebelahku.  Parwez
berseru cemas.  Mata nanarku menatap ke depan,  antara sadar dan tidak.
Kemudian kulihat pintu rumah kecil itu terbuka.  Dari dalamnya,  seseorang yang
mengenakan serban dan berbaju putih mendekat. Wajah tua itu menatapku,
janggut putihnya bergerak samar,  aku hampir pingsan. "Agam,  kau tidak apa-apa,
Nak?''  Hanya sedikit sekali orang yang tahu namaku.  Lebih banyak hanya
memanggilku Bujang,  atau memanggil julukanku,  Si Babi Hutan.  api orang tua yang
mendekat itu menyebut nama asliku.

• EVALUASI
Semburat merah di horizon laut mulai terang, warnanya berpendar – pendar
menakjubkan. Bagian atas matahari mulai terlihat. "Tapi sungguh,  jangan dilawan
semua hari hari menyakitkan itu,  Nak.  Jangan pernah kau lawan.  Karena kau pasti
kalah.  Mau semuak apa pun kau dengan hari-  hari itu,  matahari akan tetap terbit
indah seperti yang kita lihat sekarang.  Mau sejijik apa pun kau dengan hari-  hari itu,
matahari akan tetap memenuhi janjinya,  terbit dan terbit lagi tanpa peduli apa
perasaanmu.  Kau keliru sekali jika berusaha melawannya,  memben itu tidak pernah
menyelesaikan masalah."  Aku tercenung,  suara lembut Tuanku Imam terasa
menusuk-nusuk hatiku.  Aku mulai mengerti arah pembicaraan Tuanku Imam Dekap
Peluklah semuanya,  Agam.  Peluk erat-erat.  hatimu seluruh kebencian itu.  Hanya
itu cara agar damai,  Nak.  Semua pertanyaan,  semua keraguan,  semua kecemasan,
semua kenangan masa lalu,  peluklah mereka erat – erat. Tidak perlu disesali,  tidak
perlu buat apa?  Bukankah kita selalu bisa melihat hari yang indah meski di hari
terburuk sekalipun?. "Ketahuilah,  Nak,  hidup ini tidak pernah tentang mengalahkan
siapa pun.  Hidup ini hanya tentang kedamaian di hatimu.  Saat kau mampu
berdamai,  maka saat itulah kau telah memenangkan seluruh pertempuran.  Kau
membenci suara adzan misalnya,  benci sekali,  mengingatkan pada masa lalu.  Itu
karena kau tidak pernah mau berdamai dengan kenangan tersebut.  Adzan jelas
adalah mekanisme Tuhan memanggil siapa pun agar pulang ke pangkuan Tuhan,
bersujud.  Adzan tidak dirancang untuk mengganggu,  suara berisik itu bukan untuk
menyakiti siapa pun.  Itu justru suara panggilan dan harus kencang agar orang
mendengarnya.  Kau tidak pernah mau berdamai dengan hati sendiri,  Nak,  itulah
yang membuatmu benci pada suara adzan,  kau sendiri yang mendefinisikannya
demikian. “Kau punya kesempatan yang sama,  Nak.  Pagi ini,  sambil menatap
matahari terbit,  kau bisa menafsirkan ulang seluruh pemahaman hidupmu.
Menerjemahkan kembali keberanianmu Apakah kau Bujang?  Apakah kau Si Babi
Hutan?  Apakah kau Agam?  Atau kau akan lahir dengan sosok baru?  Rebut kembali
markas Keluarga Tong,  kau berhak mewarisinya dari Tauke Besar.  Jangan ragu
walau sejengkal,  jangan takut walau sebenang.  Majulah Nak.  Aku mengangguk.
Semangat baru memenuhi rong dadaku"Kau bisa melakukannya,  Agam Tuanku
Imam menepuk-nepuk pipiku.  Sekali lagi aku mengangguk.  Aku bisa melakukannya.
Cahaya matahari pagi menerangi seluruh menara.  Hari yang baru telah dimulai.
sihat dan cerita lembut Tuanku Imam telah menumbuhkan sesuatu di hatiku.  Sama
persis saat dulu menatap mata merah si babi hutan dengan moncong berlendir.
Bedanya,  waktu itu keberanian itu datang dengan gumpal pekat hitam.  Pagi ini,
keberanian itu datang dengan cahaya terang.  Aku takut,  itu benar.  Aku bahkan
tidak tahu bagaimana harus mengalahkan Basyir Tapi aku akan berusaha sebaik
mungkin.  Sisanya akan kuserahkan kepada pemegang takdir kehidupan sesuatu
yang tidak pernah kupahami dan kulakukan selama ini.  Tuanku Imam benar.  Akan
selalu ada hari-hari me-  nyakitkan dan kita tidak tahu kapan hari itu menghantam
kita.  Tapi akan selalu ada hari-hari berikutnya,  memulai bab yang baru bersama
matahari terbit. (Halaman 338-345)

• RESOLUSI
"Kita akan ke mana,  Bujang?"  Parwez bertanya suaranya cemas"Kita akan
berperang."  Parwez menelan ludah,  wajahnya memucat. "Kau serius?"  Aku
mengangguk. "Hanya kita berdua,  Bujang?  Bagaimana kita akan melawan Basyir?"
Aku menggeleng, "Kita tidak pernah berdua,  Parwez Kita punya banyak sekali orang-
orang yang bersedia membantu.  Hanya kesetiaan pada prinsiplah yang akan
memanggil kesetiaan terbaik.  Pagi ini aku akan memanggil semuanya." Tanpa proses
pelepasan, kami berangkat menuju arena perang. Hujan terus turun deras di luar.
Basyir masih berdiri di depanku, empat langkah, kedua tangannya memegang
khanjar. Dia siap mengirim serangan penghabisan. "Kau tidak pernah bisa
mengalahkanku,  Bujang!  Aku selalu mengalahkanmu di amok."  Basyir berteriak,
"Kau pasti telah curang!  Kau menyihirku." "Semua sudah selesai Basyir Aku akan
memaafkanamu."  Aku menatap Basyir iba. "Kau!  Hadapi aku,  pengecut.  Jangan
menggunakan trik sihir menghilang.  Basyir melompat,  kembali menyerang dengan
dua khanjar. “Kau belum menang,  Bujang!"  Basyir berkata serak,  dia lompat
hendak menyerangku lagi.  Sia-sia,  bagian dalam tubuhnya terluka parah karena
pukulanku tadi.  Baru dua langkah,  tubuhnya tumbang ke marmer,  khanjar terlepas
dari genggaman,  berkelotakan mengenai lantai.  Mulutnya mengeluarkan darah
lebih banyak.  Empat anggota Brigade Tong yang tersisa berseru Dua dari mereka
bergegas mendekati Basyir,  memastikan pimpinan mereka baik-baik saja.
Pertarungan telah selesai. Kami telah memenangkan peperangan. Dari jauh sayup-
sayup terdengar suara adzan Shubuh.  Aku tersenyum.  Tuanku Imam benar,  itu
panggilan Tuhan bagi siapa pun,  tidak pernah didesain untuk mengganggu.  Kali ini,
aku bisa mendengarnya dengan lega.  Lebih dari 13.000 hari aku mendengarkan
suara adzan,  lima kali sehari,  pagi siang,  sore,  dan malam.  Dari sekian puluh ribu
panggilan itu,  kali ini aku baru memahaminya.  Aku menyeka wajah yang basah oleh
butir air.  Terlambat?  Tidak juga.

Panggilan itu tidak pernah mengenal kata terlambat,  panggilan itu selalu bekerja
secara misterius. Aku kepala Keluarga Tong sekarang,  memimpin ribuan anggota
keluarga dan puluhan perusahaan yang tersebar di seluruh kawasan Asia Pasifik Aku
bisa menentukan haluan baru ke mana keluarga penguasa shadow economy ini akan
dibawa.  Akulah Tauke Besar.

• KODA
Empat minggu sejak peperangan di gedung kantor Parwez,  aku memutuskan
menjenguk pusara Mamak dan Bapak di talang.  Menatap kembali ladang tadah
hujan milik Bapak yang sekarang telah menjadi belukar,  juga mengunjungi rumah
panggung yang hanya tinggal tiangnya saja.  Rumput liar tumbuh di atas
reruntuhannya.  Dua puluh tahun lamanya aku meninggalkan ini.  Aku duduk di
sebelah pusara Mamak,  tak jauh dari bekas ladang dan reruntuhan rumah.  Sambil
menatap gundukan tanah tanpa nisan,  aku berkata lirih. "Mamak,  Bujang pulang
hari ini.  Tidak ke pangkuanmu,  tidak lagi bisa mencium tan Anakmu pulang ke
samping pusaramu,  bersimpuh penuh kerinduan. Mamak,  Bujang pulang hari ini.
Anak laki-lakimu satu-  satunya telah kembali.  Maafkan aku yang tidak pernah
menjengukmu selama ini.  Sungguh maafkan Mamak,  Bujang pulang hari ini.  Terima
kasih banyak atas seluruh didikanmu,  walau Mamak harus menangis setiap kali
melihat Bapak melecut punggungku dengan rotan.  Terima kasih banyak atas nasihat
dan pesanmu. Mamak,  Bujang pulang hari ini.  Tidak hanya pulang bersimpuh di
pusaramu,  tapi juga telah pulang kepada panggilan Tuhan.  Sungguh,  sejauh apa
pun kehidupan menyesatkan,  segelap apa pun hitamnya jalan yang kutempuh,
Tuhan selalu memanggil kami untuk pulang.  Anakmu telah pulang."  Lima belas
menit kemudian,  aku sudah mengenakan kacamata hitam.  Melangkah mantap
menuju lapangan dekat ladang padi tadah hujan,  di sana telah menunggu
helikopter.  Aku naik ke atasnya. "Berangkat,  Edwin.  Kita harus tiba di Hong Kong
malam ini,  aku ada urusan dengan Master Dragon yang belum selesai."

Anda mungkin juga menyukai