Anda di halaman 1dari 3

Sebagai pusat ilmu pengetahuan, kimia adalah ilmu dasar untuk sains itu sendiri, teknologi, dan industri

(Mahdi, 2014; Chang, 2011), oleh karena itu penting untuk dipelajari. Pada abad ke-21, bidang ini
berkembang pesat di seluruh dunia (Friedman, 2007). Kemajuan yang luar biasa dalam sains dan
teknologi memberikan banyak perubahan dalam kualitas hidup masyarakat. Perkembangan nanosains
dan penemuan sumber energi alternatif menciptakan harapan baru untuk kelangsungan hidup
manusia. Namun di sisi lain, ada beberapa perkembangan yang mengarah pada masalah baru yang
mengancam kehidupan. Kebocoran nuklir, polusi lingkungan, dan pemanasan global adalah contoh
masalah yang dihadapi dunia secara global. Masalah ini tidak bisa dipecahkan oleh individu, namun
kerja sama antara individu yang menganggap dirinya sebagai komunitas global diharapkan dapat
mengurangi risiko timbulnya masalah. Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan orang-orang yang
memiliki pemahaman baik tentang gagasan ilmiah, kemampuan intelektual, kreativitas, penalaran,
dan masalah - masalah yang terjadi di alam. Dengan isu ini, mereka dapat menjaga lingkungan,
kesehatan, dan dapat mengambil keputusan mengenai kebijakan sosial untuk masyarakat global
(Rahayu, 2014). Orang yang siap memiliki keterampilan ini disebut orang yang memiliki keaksaraan
ilmiah. Oleh karena itu, terciptanya masyarakat terpelajar yang dibutuhkan dalam masyarakat
modern di abad ini.

Dalam beberapa dekade terakhir, tingkat keilmuan ilmiah masyarakat dunia menjadi topik hangat dalam
studi dunia pendidikan sains. Salah satu program penilaian internasional yang menjadikan literasi sains
sebagai landasan konseptualnya adalah PISA yang diselenggarakan oleh OECD (Organization for
Economic Cooperation and Development). Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh OECD (2015), hasil
penilaian PISA menunjukkan keaksaraan sains siswa Indonesia sedang berlangsung. Pada tahun 2006,
Indonesia berada di peringkat 53 dari 57 negara, pada tahun 2009 berada di peringkat 38 dari 40 negara,
dan berdasarkan urutan 64 dari 65 penghitungan di tahun 2012. Menurut data ini, keaksaraan sains
siswa di Indonesia berada di urutan 2 sampai 4 dari bawah dibanding negara lain. Hal ini dimungkinkan
karena proses pembelajaran sains yang diterapkan di Indonesia masih terpaku pada konten yang
mengharuskan siswa untuk menghafal dan melakukan perhitungan yang rumit, bukan mengacu pada
konteks yang mengharuskan siswa melek huruf(literacy) (Strategic Plan, 2009). Pengecualian ini juga
menunjukkan bahwa tujuan pendidikan Indonesia tidak sesuai dengan tuntutannya dengan segala
permasalahannya. Namun, di sisi lain, realisasi sains melek – masyarakat(keaksaraan sains) adalah
salah satu jalur utama pendidikan sains (NRC, 1996; Norris & Philips, 2003).

Salah satu upaya untuk melatih kemampuan berpikir kritis kepada siswa serta untuk mengatasi
hubungan pokok kimia dengan kehidupan sehari-hari, dalam konteks pokok kimia tertentu dapat
menjadi solusi. Berkaitan dengan pengembangan keaksaraan ilmiah, socioscientific issues (SSI) adalah
konteks yang tepat untuk mencapai tujuan yang diharapkan. SSI dipilih sebagai konteks pembelajaran
karena dapat digunakan (1) untuk membuat pembelajaran sains lebih relevan bagi siswa; (2)
mengarahkan hasil belajar, seperti pemahaman tentang sifat sains; (3) memperbaiki argumen dialog; (4)
meningkatkan kemampuan untuk mengevaluasi informasi ilmiah; dan (5) mengembangkan literasi
ilmiah (Sadler & Zeidler, 2004: 4). Umumnya, kasus-kasus yang melibatkan SSI menimbulkan banyak
perdebatan sehingga tidak ada solusi yang mudah (Kolstø et al., 2006). Hal ini karena SSI tidak hanya
terpaku pada konsep sains, namun melibatkan implikasi moral dan etika (Lee et al., 2014). Dengan
memberikan kesempatan bagi siswa untuk mendiskusikan dan memperdebatkan isu SSI yang
kontroversial, Keterampilan berpikir kritis akan semakin meningkat (Domenech & Márquez, 2013). Ini
mewakili kelebihan SSI yang tidak dapat ditemukan dalam pembelajaran konvensional yang cenderung
guru menjadi sebagai pusat pembelajaran.

Tujuan pendekatan konstruktivisme berdasarkan pada siswa sebagai pusat pembelajaran adalah
membuat siswa dilibatkan secara aktif dalam proses pembelajaran. Dengan melibatkan mereka dalam
kegiatan ini, mereka akan memiliki kesempatan lebih besar untuk melatih kemampuan berpikir kritis
mereka. Salah satu model pembelajaran yang mendukung proses pembelajaran adalah model
pembelajaran kooperatif. Model ini memiliki batasan tertentu yang membedakannya dengan
pembelajaran kelompok pada umumnya. Johnson & Stanne (2000) menyatakan bahwa pembelajaran
kooperatif menggunakan kelompok kecil siswa, maka siswa dapat secara kolaboratif membagikan
gagasan mereka, belajar bersama, bertukar gagasan, dan bertanggung jawab atas pencapaian hasil
belajar secara individual atau berkelompok. Melalui pembelajaran kooperatif, siswa didorong untuk
bekerja sama secara maksimal dengan semua anggota kelompok untuk kesuksesan kelompok
ditentukan oleh keberhasilan setiap individu sebagai anggota kelompok. Bergabung dengan Johnson &
Johnson (di Ferder & Brent, 2007), kelima elemen dasar pembelajaran kooperatif diperlukan untuk
pencapaian keberhasilan: (1) saling ketergantungan positif (interdepensi positif); (2) interaksi langsung /
wajah (interaksi promosional); (3) tanggung jawab individu (pertanggung jawaban individu); (4)
keefektifan dari proses kelompok (pengolah kelompok); dan (5) keterampilan interaksi antara individu
dan kelompok (keterampilan sosial). Dengan terlibat aktif dalam diskusi selama pembelajaran
kooperatif, siswa dapat berinteraksi untuk membawa strategi pemecahan masalah yang efektif
mengenai masalah sosio ilmiah yang disajikan dengan semua aspek yang terlibat di dalamnya. Dengan
demikian, keterampilan berpikir kritis siswa dapat berkembang. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa pembelajaran kooperatif berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa, seperti
penelitian dilakukan oleh Klimovienė dkk. (2006), Nezami et Al. (2013), dan Valdezet al (2015).

Salah satu materi pembelajaran kimia di kelas XI sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari
dan mengandung banyak masalah sosio ilmiah yaitu laju reaksi. Beberapa topik yang diangkat di SSI
misalnya belajar tentang penggunaan racun nuklir sebagai sumber energi listrik, dampak penggunaan
kalsium karbida dalam pemasakan buah, kontroversi minuman beralkohol, dan industri rokok di
Indonesia. Melalui kegiatan kooperatif, para siswa mendiskusikan untuk memberikan umpan balik
mengenai masalah ini dan mengambil solusi paling efektif untuk masalah yang akan timbul sebagai
akibat dari keputusan tersebut. Dengan mendiskusikan socioscientific tersebut, diharapkan kemampuan
berpikir kritis siswa akan dilatih. Oleh karena itu, tujuan penelitian berikut adalah menggunakan konteks
sosio ilmiah untuk mengukur pengaruhnya terhadap kemampuan berpikir kritis siswa SMA.

Anda mungkin juga menyukai