Anda di halaman 1dari 3

NAMA : ALISYA FEBRINI MAGDALENA KOROMPIS

NIM : 20101109

SUMMARY “ ALIRAN RASIONALISME DALAM PSIKOLOGI “


1. Dasar aliran rasionalisme

Rasionalisme ialah faham filsafat yang menyatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting untuk
memperoleh pengetahuan dan menetes pengetahuan. Rasionalisme percaya bahwa cara untuk
mencapai pengetahuan adalah menyandarkan diri pada sumber daya logika dan intelektual. Penalaran
demikian tidak berdasarkan pada data pengalaman, tetapi diolah dari kebenaran dasar yang tidak
menuntut untuk menjadi dan mendasarkan diri pada pengalaman. Pengalaman indera diperlukan untuk
merangsang akal dan memberikan bahanbahan yang menyebabkan akal dapat bekerja. Akan tetapi,
untuk sampainya manusia kepada kebenaran, adalah semata-mata dengan akal.

Rene Descartes yang mendirikan aliran rasionalisme ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya adalah akal. Hanya oengetahuan yang diperoleh lewat akallah yang memenuhi syarat
yang dituntut oleh semua ilmu pengetahuan ilmiah. Dengan akal, dapat diperoleh kebenaran dengan
metode deduktif, seperti yang dicontohkan dalam ilmu pasti. Ada anggapan bahwa kaum rasionalis
adalah sebagai filosof yang mengawangawang tidak seluruhnya salah, karena pendekatan mereka
kepada filsafat menyarankan bahwa seluruh kebenaran penting tentang realitas bisa ditemukan hanya
dengan berpikir, tanpa kebutuhan untuk berangkat dan menguji dunia. Rasionalisme bisa memunculkan
sedikit bintik pada pikiran modern, yang digunakan untuk ide bahwa pengatahuan yang menekankan diri
pada percobaan dan pengamatan, adalah penting untuk mengetahui selanjutnya.

Rasionalisme tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai
sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya, aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di
dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide
yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam
pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.

Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah pernyataan yang sudah pasti. Aksioma dasar yang dipakai
membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas
dan pasti dalam pikiran manusia. Pikiran manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide
tersebut, namun manusia tidak menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman. Ide
tersebut kiranya sudah ada “di sana” sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia.

Kaum rasionalis berdalil bahwa karena pikiran dapat memahami prinsip, maka prinsip itu harus ada,
artinya prinsip harus benar dan nyata. Jika prinsip itu tidak ada, orang tidak mungkin akan dapat
menggambarkannya. Prinsip dianggap sebagai sesuatu yang apriori, dan karenanya prinsip tidak
dikembangkan dari pengalaman, bahkan sebaliknya pengalaman hanya dapat dimengerti bila ditinjau
dari prinsip tersebut.
2. Pertentangan rasionalisme dan aliran lain

Rasionalisme  pada dasaranya mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari kesadaran atau pikiran.
Bahkan dia menanggap dirinya hanya terdiri dari pikiran semata. Dan ia menganggap indera itu keliru,
karena hanya implikasi dari pikiran artinya ketika dia tidak berpikir maka tidak akan ada dunia inderawi.

Kemudian aliran rasionalisme diklaim terlalu subjektif dan keliru. Karena terlalu mengandalkan akal atau
rasio, sedangkan pada kenyataanya rasio tidak bisa apa-apa tanpa adanya pengalaman. Aliran yang
mengkalim akan hal itu adalah empirisme. Empirisme pertama kali di usung oleh seorang Jhon Locke.
Locke membantah argumentasi dari Descrates. Menurut Locke pada dasarnya manusia itu terlahir
seperti kertas kosong, yang tidak mengetahui apa-apa. Kemudian dia menjalani kehidupan dan
mendapatkan pengalaman dari kehidupan yang ia jalani. Pengalaman tersebutlah yang mengisi
kekosongan dalam pikiran manusia.

Pikiran sebagai alat utama yang digunakan Descrates ia sebut sebagai ide bawaan (res cogitans) yang
sudah melekat sejak manusia lahir. Sedangkan jasmani atau materi yang terlihat dan nyata, pada
dasarnya juga adalah ide bawaan yang disbut dengan res extensa. Terakhir bagi Descrates Allah juga
adalah ide bawaaan. Jadi ide bawaan terdiri dari tiga, res cogitans (pikiran), res extensa (materi) dan ide
tentang Allah.

Berdasarkan argumen awalnya bahwa dunia inderawi adalah fenomenan mental. Ini berdampak juga
terhadap ide bawaan yang di sebutkan diatas tadi. Bagi Descrates pikiran (res cogitans) adalah subtansi,
materi (res extensa) juga sama adalah subtansi dan terakhir ide Allah juga adalah subtansi, oleh karena
itu Allah ada. maka dari itu ciri pemikiran Descrates lebih condong subjektif.

Berbeda dengan rasionalisme yang mengdepankan pikiran sebagai segalanya. Empirisme lebih
mengedepankan pengalaman inderawi sebagai lat untuk mendapatkan pengetahuan. Bagi Jhon Locke
pendiri empirisme dia mengatakan bahwa argumentasi rasionalisme mengenai ide bawaan itu sangat
keliru. Karena bagi dia pikiran itu sama sekali tidak berguna tanpa adanya pengalaman inderawi. Locke
mengatakan bahwa manusia sedari lahir itu bagaikan kertas kosong yang kemudian akan di isi dengan
pengalaman sebagai pengetahuan.

Untuk menjawab apa yang dia kritik terhadap rasionalisme. Locke mulai dengan membuktikan
kesahihan pengalaman dalam membentuk ide. Pengalaman dalam mengindera seperti melihat warna,
bau, bentuk, dan mendengar sesuatu itu membentuk ide-ide dalam internal manusia. Ide-ide itu disebut
dengan ide-ide simpleks yang akan membentuk sebuah ide kompleks.

Terkahir dia membahas dunia yang objektif. Jika rasionalis lebih condong subjektif, maka empirisme
seperti locke lebih mengandaikan dunia yang objektif. Dunia yang objektif adalah hasil dari persepsi
setiap orang mengenai pengalaman inderawi yang mereka alami. Locke membedakannya menjadi dua
kualitas primer dan sekunder. Kulaitas primer adalah objek yang memberikan sebuah ide terhadap
subjek. Sedangkan, kulitas sekunder adalah persepsi subjek terhadap objek. Contohnya, gunung
berwarna hijau, berbentuk segitiga, dikelilingi pepohonan dan memiliki pemandangan yang alami dan
indah. Objek gunung tersebut memberikan sebuah ide terhadap subjek untuk kemudian di persepsi
melalui kulaitas sekunder. Walaupun, persepsi orang akan berbeda-beda ketika mengindera objek.
Namun, pada dasarnya objektifitas itu terkandung dalam objek. Artinya objek memberikan sebuah
kesepakatan kepada subjek, mengenai kebenaran objektif.
Di atas sudah dipaparkan bagaimana kontradiski antara rasionalisme dan empirisme. Seperti yang kita
ketahui rasionalisme mengutamakan pikiran sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan sedangkan
empirisme lebih mengutamakan pengalaman inderawi sebagai alat untuk mendaptkan pengetahuan.
Dalam hal ini Immanuel Kant mencoba untuk mendamaikan pertentangan diantara keduanya.

Buku terpenting Kant ialah The Critique of Pure Reason (edisi pertama, 17/81) edisi kedua, 1787). Tujuan
dari karya ini adalah untuk membuktikan bahwa, kendati pengetahuan kita tak satu pun yang mampu
melampaui pengalaman, ia sebagian a priori (atau teoretik) dan tidak disimpulkan secara induktif dari
pengalaman. Menurutnya, bagian pengetahuan kita yang a priori tidak hanya meliputi logika, namun
juga banyak hal yang tidak bisa dimasukkan ke dalam logika atau disimpulkan darinya. Dia memisahkan
dua pembedaan yang, dalam karya Leibniz, bercampuraduk. Di satu sisi, ada pembedaan antara
proposisi “analitik” dan “sintetik”, di sisi lain, ada pembedaan antara proposisi “a priori” dan “a
posteriori”. Ada yang mesti dijelaskan tentang masing-masing pembedaan ini.

Setelah membandingkan antara sintetik dan analitik, a priori dan aposteriori. Dapat disimpulkan bahwa
Kant tidak semata-mata menyebutkan pengetahaun berasal dari analitik dan a priori seperti
rasionalisme. Tidak juga menyebutkan pengetahuan itu berasal dari sintetik dan a posteriori seperti
empirisme. Justru Kant menggabungkannya dengan sebuah teori, yaitu sintesis a priori. Kenapa tidak
analitik a posteriori dan malah sintesis a priori.

Karena, analitik itu apa yang sudah terkandung dalam subjek, seperti lelaki hitam adalah lelaki. Artinya
jika memaksakan hanya dengan apa yang terkandung dalam subjek, maka pengetahuan tidak akan
bertambah atau akan condong (subjektif). Dan a posteriori membutuhkan indera untuk melakukan
penginderaan. Maka, dari itu a posteriori pasti ujung-ujungnya memakai presepsi yang notabennya tidak
universal, sebab setiap persepsi orang terhadap objek berbeda-beda (subjektif).

Sedangkan jika menggunakan sintesis a priori. Pengetahuan sebagaimana yang di inginkan oleh Kant,
harus bersifat universal dan mutlak, maka bisa terealisasi. Karena sintesis itu tidak terkandung dalam
subjek, otomatis semua pengetahuan baru yang ada dalam sensabilitas bisa didaptkan dengan
menggunakanya. Karena sisntesis ini sifatnya partikular seperti contoh di atas, baju itu berwarna merah.
Untuk menguniversalkannya maka Kant memakai a priori, sebagaimana Descrates mengatakan bahawa
a priori itu universal. Sebab proposisinya bersifat general dan tidak empiris. Sebagai contoh 2 + 5 = 7.
Konsep tujuh tidak terkandung dalam lima dan dua maka bukan analitis. Dan ketika kita menentukan
jawabannya 7, itu adalah hasil a priori.

Immanuel Kant layakanya seorang pahlawan yang berhasil mengawinkan gadis di timur dan pria di
barat, yang tidak bisa bisa menikah karena tidak bisa melewati arus sungai yang begitu deras dan lebar.
Dengan pemikirannya yang begitu cerdas Kant akhirnya membuat jembatan yang bisa menghubungkan
diantara keduanya. Akhirnya gadis di timur dan pria di barat bisa melangsungkan perkawinan dengan
jasa dari Immanuel Kant. Walaupun, dalam sepanjang hidupnya dia tidak menikah.

Anda mungkin juga menyukai