Anda di halaman 1dari 44

9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Sakit

2.1.1. Pengertian rumah sakit

Rumah sakit adalah bagian penting dari suatu sistem kesehatan, karena rumah

sakit menyediakan pelayanan kuratif kompleks, pelayanan gawat darurat, berfungsi

sebagai pusat rujukan, dan merupakan pusat ahli pengetahuan dan keahlian

(teknologi). Kita harus sadar bahwa rumah sakit adalah institusi kesehatan yang padat

modal, padat pakar dan padat teknologi. Dengan kemampuan sumber daya manusia,

sarana peralatan dan keuangan memugkinkan rumah sakit mempunyai daya guna

yang lebih tinggi dari institusi pelayanan kesehatan lainnya (Depkes, 2005).

Menurut Willan sebagaimana dikutip oleh Aditama (2004) istilah rumah sakit

sendiri berasal dari kata hospital yang berasal dari bahasa latin hospitium, yang

memiliki arti suatu tempat atau ruangan untuk menerima tamu. “Rumah sakit bukan

hanya suatu tempat, namun juga sebuah fasilitas, sebuah institusi dan juga sebuah

organisasi”. Rumah sakit harus dibangun, dilengkapi dan dipelihara dengan baik

untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pasiennya serta harus menyediakan

fasilitas yang lapang, tidak berdesak-desakkan dan terjamin sanitasinya bagi

kesembuhan pasien.

9
10

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1204/MENKES/SK/X/2004 bahwa rumah sakit adalah sarana pelayanan kesehatan,

tempat berkumpulnya orang sakit maupun orang yang sehat. Kumpulan banyak orang

ini akan dapat memungkinkan rumah sakit menjadi tempat penularan penyakit,

gangguan kesehatan dan pencemaran lingkungan. Untuk menghindari terjadinya

resiko dan gangguan kesehatan maka diperlukan penyelenggaraan kesehatan

lingkungan rumah sakit (Depkes RI, 2004).

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009

tentang rumah sakit pasal 19 ayat 2 rumah sakit umum adalah rumah sakit yang

memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Pada pasal

10 ayat 1 tentang bangunan rumah sakit harus dapat digunakan untuk memenuhi

kebutuhan pelayanan kesehatan yang paripurna, pendidikan dan pelatihan, serta

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Bangunan rumah sakit

yang dimaksud pada ayat 1 paling sedikit terdiri atas ruang rawat jalan, ruang rawat

inap, ruang gawat darurat, ruang operasi, ruang tenaga kesehatan, ruang radiologi,

ruang laboratorium, ruang sterilisasi, ruang farmasi, ruang pendidikan dan latihan,

ruang kantor dan administrasi, ruang ibadah, ruang tunggu, ruang penyuluhan

kesehatan masyarakat rumah sakit, ruang menyusui, ruang mekanik, ruang dapur,

laundry, kamar jenazah, taman, pengolahan sampah, dan pelataran parkir yang

mencukupi.
11

2.1.2. Tugas dan Fungsi Rumah Sakit

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 dalam

pasal 4 (empat) tugas dari rumah sakit adalah memberikan kesehatan perorangan

secara paripurna. Maksudnya adalah setiap kegiatan pelayanan yang diberikan oleh

tenaga kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan

menyembuhkan penyakit, dan memulihkan kesehatan.

Menurut Depkes tahun 2009 untuk menjelaskan tugas sebagaimana dimaksud

dalam pasal 4 (empat), rumah sakit mempunyai fungsi :

1. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan

standar pelayanan rumah sakit.

2. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan

kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis.

3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka

peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan

4. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang

kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan

memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.


12

2.2. Pengelolaan Tempat Pencucian Linen (Laundry)

2.2.1. Pengertian Laundry

Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1204/MENKES/SK/X/2004, laundry rumah sakit adalah tempat pencucian linen

yang dilengkapi dengan sarana penunjangnya berupa mesin cuci, alat dan

desinfektan, mesin uap (steam boiler), pengering, meja dan mesin setrika.

2.2.2. Persyaratan Laundry

1. Tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran yang memadai, air

panas untuk desinfeksi dengan desinfektan yang ramah terhadap lingkungan.

Suhu air panas untuk pencucian mencapai 70oC dalam waktu 25 menit atau 95 oC

dalam waktu 10 menit untuk pencucian pada mesin cuci.

2. Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran

pembuangan air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis

linen yang berbeda.

3. Tersedia saluran air limbah tertutup yang dilengkapi dengan pengolahan awal

khusus laundry sebelum di alirkan ke IPAL RS.

4. Untuk linen non-infeksius (misalnya dari ruang-ruang administrasi perkantoran)

dibuatkan akses ke ruang pencucian tanpa melalui ruang dekontaminasi.

5. Tidak disarankan untuk mempunyai tempat penyimpanan linen kotor.

6. Penggunaan jenis deterjen dan desinfektan untuk proses pencucian yang ramah

lingkungan agar limbah cair yang dihasilkan mudah terurai oleh lingkungan.
13

7. Standar kuman bagi linen bersih setelah keluar dari proses tidak mengandung

6x103 spora spesies Bacilus per inci persegi.

2.2.3. Tata Laksana Dan Alur Kegiatan

Menurut Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1204/MENKES/SK/X/2004, pengawasan yang dilakukan dalam hal tata laksana

adalah:

1. Di tempat laundry tersedia keran air bersih dengan kualitas dan tekanan aliran

yang memadai, air panas untuk desinfeksi dan tersedia desinfektan.

2. Peralatan cuci dipasang permanen dan diletakkan dekat dengan saluran

pembuangan air limbah serta tersedia mesin cuci yang dapat mencuci jenis-jenis

linen yang tersedia dan mencuci jenis-jenis linen yang berbeda.

3. Tersedia ruangan dan mesin cuci yang terpisah untuk linen infeksius dan non

infeksius.

4. Laundry harus dilengkapi dengan saluran air limbah tertutup yang dilengkapi

dengan pengolahan awal (pre-treatment) sebelum dialirkan ke instalasi

pengolahan air limbah.

5. Laundry harus disediakan ruang-ruang terpisah sesuai kegunaannya yaitu ruang

linen kotor, ruang linen bersih, ruang untuk perlengkapan kebersihan, ruang

perlengkapan cuci, ruang kereta linen, kamar mandi dan ruang peniris atau

pengering untuk alat-alat termasuk linen.


14

6. Untuk rumah sakit yang tidak mempunyai laundry tersendiri, pencuciannya

dapat bekerja sama dengan pihak lain dan pihak lain tersebut harus mengikuti

persyaratan dan tatalaksana yang telah ditetapkan.

7. Perlakuan terhadap linen

a. Pengumpulan, dilakukan :

1) Pemilahan antara linen infeksius dan non-infeksius dimulai dari sumber

dan memasukkan linen ke dalam kantong plastik sesuai jenisnya serta

diberi label.

2) Menghitung dan mencatat linen diruangan.

b. Penerimaan

1) Mencatat linen yang diterima dan telah terpisah antara infeksius dan non

infeksius.

2) Linen dipisah berdasarkan tingkat kekotorannya.

c. Pencucian

1) Menimbang berat linen untuk menyesuaikan dengan kapasitas mesin

cuci dan kebutuhan deterjen dan desinfektan.

2) Membersihkan linen kotor dari tinja, urin, darah, dan muntahan

kemudian merendamnya dengan menggunakan desinfektan.

3) Mencuci dikelompokkan berdasarkan tingkat kekotorannya.

d. Pengeringan

e. Penyetrikaan

f. Penyimpanan
15

1) Linen harus dipisahkan sesuai jenisnya.

2) Linen baru yang diterima ditempatkan di lemari bagian bawah.

3) Pintu lemari selalu tertutup.

g. Distribusi dilakukan berdasarkan kartu tanda terima dari petugas penerima,

kemudian petugas menyerahkan linen bersih kepada petugas ruangan sesuai

kartu tanda terima.

h. Pengangkutan

1) Kantong untuk membungkus linen bersih harus dibedakan dengan

kantong yang digunakan untuk membungkus linen kotor.

2) Menggunakan kereta dorong yang berbeda dan tertutup antara linen

bersih dan linen kotor. Kereta dorong harus di cuci dengan desinfektan

setelah digunakan mengangkut linen kotor.

3) Waktu pengangkutan linen bersih dan kotor tidak boleh dilakukan

bersamaan.

4) Linen bersih di angkut dengan kereta dorong yang berbeda warna.

5) Rumah sakit yang tidak mempunyai laundry tersendiri,

pengangkutannya dari dan ketempat laundry harus menggunakan mobil

khusus.

8. Petugas yang bekerja dalam pengelolaan laundry linen harus menggunakan

pakaian kerja khusus, APD dan dilakukan pemeriksaan kesehatan secara berkala,

serta dianjurkan memperoleh imunisasi hepatitis B.


16

Alur Kegiatan

Alur kegiatan pada instalasi pencucian linen adalah sebagai berikut :

Troll kotor Linen kotor

Penerimaan dan pencatatan

Perbaikan linen
Ruang Dekontaminasi
Pencucian Pengeringan Penyeterikaan
linen linen linen
Bak pembilasan
awal
Melipat linen
Bak desinfeksi
(perendaman)
R. penyimpanan
Bak pembilasan linen bersih
akhir

Ruang dekontaminasi R. penyimpanan Distribusi linen bersih


Troll dan pengeringan Troll bersih

CSSD Tanpa
(Resterilisasi) sterilisasi

Gambar 2.1. Alur kegiatan pada instalasi pencucian linen/ laundry

(Kemenkes, 2010)
17

2.3. Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)

2.3.1. Keselamatan Dan Kesehatan Kerja (K3) Di Rumah Sakit

Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat

kesehatan fisik, mental dan sosial yang setinggi-tingginya bagi petugas di semua jenis

pekerjaan, pencegahan terhadap gangguan kesehatan petugas yang disebabkan oleh

kondisi pekerjaan, perlindungan bagi petugas dalam pekerjaannya dari resiko akibat

faktor yang merugikan kesehatan dan penempatan serta pemeliharaan petugas dalam

suatu lingkungan kerja yang disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan psikologisnya.

Secara ringkas merupakan penyesuaian pekerjaan kepada manusia dan setiap manusia

kepada pekerjaan atau jabatannya.

Menurut Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IV/2007, upaya untuk memberikan

jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para petugas/ buruh dengan

cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di

tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.

Menurut Budiono (2003) keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian

dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat

kerja, serta cara-cara melakukan pekerjaan. Upaya K3 di rumah sakit menyangkut

tenaga kerja, cara/ metode kerja, alat kerja, proses kerja dan lingkungan kerja. Upaya

ini meliputi peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan. Kinerja setiap

petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan resultante dari tiga komponen K3

yaitu :
18

1. Kapasitas kerja adalah kemampuan seorang pekerja untuk menyelesaikan

pekerjaannya dengan baik pada suatu tempat kerja dalam waktu tertentu.

2. Beban kerja adalah suatu kondisi yang membebani pekerja baik secara fisik

maupun non fisik dalam menyelesaikan pekerjaannya, kondisi tersebut dapat

diperberat oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung secara fisik atau non

fisik.

3. Lingkungan kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi faktor

fisik, kimia, biologi, ergonomi dan psikososial yang mempengaruhi pekerja

dalam melaksanakan pekerjaannya.

2.3.2. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Di Rumah Sakit

Menurut Kepmenkes No.432/Menkes/SK/IV/2007, manajemen K3 di rumah

sakit merupakan suatu proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang bertujuan untuk

membudayakan K3 di rumah sakit. K3 perlu dikelola dengan baik agar

penyelenggaraan K3 rumah sakit lebih efektif, efisien dan terpadu diperlukan sebuah

manajemen K3 di rumah sakit bagi pengelola maupun karyawan rumah sakit yang

bertujuan terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman

dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan karyawan di rumah sakit.


19

2.3.3. Sumber Penyebab Dasar

Terdapat beberapa penyebab dasar yang sering terjadi dalam pekerjaan,

penyebab dasar tersebut dapat dibagai dalam dua kelompok, yaitu :

1. Faktor perorangan antara lain: kurang pengetahuan, kurang keterampilan,

motivasi kurang baik, masalah fisik dan mental.

2. Faktor pekerjaan antara lain: standar kerja yang kurang baik, standar perencanaan

yang kurang tepat, standar perawatan yang kurang tepat, standar pembelian yang

kurang tepat, retak akibat pemakaian setelah lama dipakai, pemakaian abnormal.

Dari penjelasan di atas, timbul beberapa kondisi yang sering dijumpai antara

lain pengamanan tidak sempurna, APD yang tidak memenuhi syarat, bahan/

peralatan kerja yang telah rusak, gerak tidak leluasa karena tumpukan benda, sistem

tanda bahaya yang tidak memenuhi syarat, lingkungan kerja yang mengandung

bahaya, seperti iklim kerja panas/ dingin, penerangan tidak memenuhi syarat,

ventilasi kurang baik, tingkat kebisingan tinggi, pemaparan terhadap radiasi (Suardi,

2005).

2.3.4. Tujuan dan Program tentang Manajemen Keselamatan dan Keselamatan

Kerja (K3)

Tujuan dari sistem manajemen K3 adalah :

1. Sebagai alat untuk mencapai derajat kesehatan tenaga kerja yang setinggi-

tingginya, baik buruh, petani, nelayan, pegawai negeri atau pekerja bebas.

2. Sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas penyakit dan kecelakaan-

kecelakaan akibat kerja, memelihara dan meningkatkan kesehatan dan gizi para
20

tenaga kerja, merawat dan meningkatkan efisiensi dan daya produktivitas tenaga

manusia serta memberantas kelelahan.

Program manajemen tentang K3 meliputi :

a. Kepemimpinan dan administrasinya

b. Manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terpadu

c. Pengawasan

d. Analisis pekerjaan dan prosedural

e. Penelitian dan analisis pekerjaan

f. Latihan bagi tenaga kerja

g. Pelayanan kesehatan kerja

h. Penyediaan alat pelindung diri (APD)

i. Peningkatan kesadaran terhadap K3

j. Sistem pemeriksaan

k. Laporan dan pendataan.

Manfaat penerapan Sistem Manajemen K3 adalah melindungi karyawan,

memperlihatkan kepatuhan pada peraturan dan Undang-undang, mengurangi biaya,

membuat sistem manajemen yang efektif, meningkatkan kepercayaan dan kepuasan

pelanggan.
21

2.3.5. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Di Beberapa

Negara

Beberapa negara di dunia sudah mengembangkan Sistem Manajemen K3

(SMK3). Ini menunjukkan adanya perhatian yang kuat dari negara-negara tersebut.

Kebanyakan sistem di buat dalam bentuk sebuah undang-undang atau ketetapan

menteri. Di India dan Malaysia peraturan K3 yang dibuat hanya menyebutkan bahwa

pengusaha bertanggung jawab dalam mengelola K3, dan tidak secara khusus

menjelaskan suatu Sistem Manajemen K3. Pemerintah Australia dan Selandia Baru

telah melakukan kesepakatan normal untuk membuat sebuah organisasi dunia yang

dikenal dengan The Joint Accreditation System of Australia and New Zealand (JAS-

ANZ). Cina dan Thailand membuat sebuah standar Sistem Manajemen K3 yang

dikenal dengan OHSMS Trial Standard dan TIS 18000 Series. Jadi setiap negara

melakukan pendekatan yang berbeda termasuk pihak yang bertanggung jawab dalam

menentukan ketetapan tersebut, walau pada intinya memiliki tujuan yang sama.

Mengingat banyaknya Sistem Manajemen K3 yang dikembangkan, timbul

kebutuhan untuk standarisasi sekaligus memberikan sertifikasi atas pencapaiannya.

Dari sini lahirlah sistem penilaian kinerja K3 yang disebut OHSAS 18000

(Occupational Health and Safety Assessment Series). OHSAS 18000 terdiri dari dua

bagian yaitu OHSAS 18001 sebagai standar atau persyaratan SMK3 dan OHSAS

18002 sebagai pedoman pengembangan dan penerapannya. Sistem ini dapat

disertifikasi melalui lembaga sertifikasi, dan diakui secara global. OHSAS 18001
22

pertama kali diperkenalkan pada tahun 1999 dan disempurnakan pada tahun 2007 dan

disepakati sebagai suatu standar SMK3.

Pemerintah melalui KEPMENAKER 05/1996 telah mengeluarkan pedoman

SMK3. Sebagai contoh menerapkan SMK3 menurut Kepmenaker 05/1996, OHSAS

18001, SMK3 internal, Process Safety Management dan lainnya. Berbagai negara

telah mengembangkan berbagai bentuk SMK3. Dimana semua SMK3 tersebut

mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana mengelola dan mengendalikan

bahaya yang ada dalam operasi organisasi. Oleh karena itu SMK3 (Depnaker) dengan

SMK3 lainnya (OHSAS 18001) tidak perlu dipertentangkan karena semuanya

memiliki tujuan yang sama (Ramli, 2010).


23

Tabel 2.1. Kesesuaian Elemen Standar Sistem Manajemen K3 di Beberapa

Negara

Elemen AS/NZ OHSMS Per Pedo KO OH Kewa TIS


Standar S 4801 Trial 05/M man SH SAS jiban 1800
Sistem Standar en/19 SMK A 1800 SMK 0
Manajemen d 96 3 2000 0 3
K3
negara Australi China Indon Jepan Kore Mal Singa Thai
a, esia g a aysi pura land
Selandi a
a Baru
Tanggung x x x x x x x x
jawab
Kebijakan K3 x - x x x x - x
Tujuan dan x x x x x x x x
Perencanaan
Penilaian x x x x x x x x
Resiko
Pengendalian x x x x x x x x
Resiko
Kesiapan x x x x - x - x
Emergency
Dokumentasi x x x x - x x x
dan Rekaman
Audit x x x x x x x x
Perbaikan x - x x x x - x
Berkelanjuta
n
Tinjauan x x x - x x - x
Manajemen

a. Tanggung Jawab kerja


24

1) Persyaratan OHSAS 18001

Tanggung jawab utama dari K3 terletak pada manajemen puncak. Organisasi

harus menunjuk anggota manajemen puncak (seperti organisasi yang besar, dewan

pengurus atau anggota eksekutif komite) dengan tanggung jawab terpisah untuk

memastikan bahwa Sistem Manajemen K3 diterapkan dan dilaksanakan sesuai

dengan persyaratan semua lokasi dan lingkungan operasi organisasi. Manajemen

harus menyediakan sumber daya yang penting untuk penerapan dan pengendalian dan

perbaikan dari Sistem Manajemen K3.

Anggota manajemen yang ditunjuk harus memiliki aturan, tanggung jawab

dan wewenang, antara lain :

1. Memastikan persyaratan Sistem Manajemen K3 ditetapkan, diterapkan dan

dipelihara sesuai dengan spesifikasi K3 ini.

2. Memastikan bahwa laporan kinerja Sistem Manajemen K3 disampaikan

pada manajemen puncak untuk ditinjau dan sebagai dasar untuk perbaikan

Sistem Manajemen K3.

2) Persyaratan Permenaker 05/MEN/1996

Peningkatan K3 apabila semua hak dalam perusahaan didorong untuk

berperan serta dalam penerapan dan pengembangan Sistem Manajemen K3 serta

memiliki budaya perusahaan yang mendukung dan memberikan kontribusi bagi

Sistem Manajemen K3. Perusahaan harus :

1. Menentukan, menunjuk, mendokumentasikan dan mengkomunikasikan

tanggung jawab dan tanggung gugat K3 dan wewenang untuk bertindak dan
25

menjelaskan hubungan pelaporan untuk semua tingkatn manajemen, tenaga

kerja, kontraktor dan subkontraktor serta pengunjung.

2. Mempunyai prosedur untuk memantau dan mengkomunikasikan setiap

perubahan tanggung jawab dan tanggung gugat yang berpengaruh terhadap

sistem dan program K3.

3. Dapat memberikan reaksi secara cepat dan tepat terhadap kondisi yang

menyimpang atau kejadian-kejadian lainnya.

Tanggung jawab pengurus terhadap K3 adalah :

1. Pimpinan yang ditunjuk untuk bertanggung jawab harus memastikan bahwa

Sistem Manajemen K3 telah diterapkan dan hasilnya sesuai dengan yang

diharapkan oleh setiap lokasi dan jenis kegiatan dalam perusahaan.

2. Pengurus harus mengenali kemampuan tenaga kerja sebagai sumber daya

yang berharga yang dapat ditunjuk untuk menerima pendelegasian

wewenang dan tanggung jawab dalam menerapkan dan mengembangkan

Sistem Manajemen K3.

Tanggung jawab dan wewenang setiap level yang menjadi bagian dari Sistem

Manajemen K3 harus didefenisikan, didokumentasikan dan dikomunikasikan.

Defenisi dari tanggung jawab hubungan fungsi-fungsi yang berbeda juga perlu diatur

secara jelas. Bentuk yang kita kenal dari persyaratan ini adalah uraian jabatan (job

responsibility). Dalam menyusun sebuah uraian jabatan agar memenuhi persyaratan

K3. Item-item yang dapat dijadikan masukan antara lain struktur organisasi, hasil

identifikasi bahaya potensial, penilaian dan pengendalian resiko, sasaran K3,


26

persyaratan peraturan dan perundang-undangan, uraian jabatan yang ada, catatan

kualifikasi personel.

Pekerja dalam istilah K3 adalah orang yang melakukan pekerjaan atau

memberikan jasa yang mendapat upah atas kegiatannya dari perusahaan. Dalam

kaitannya terhadap Sistem Manajemen K3, pekerja memiliki tanggung jawab antara

lain :

1. Bekerja sesuai dengan peraturan dan persyaratan

2. Menggunakan peralatan, alat pelindung yang dipersyaratkan perusahaan

3. Melaporkan pada manajemen puncak atau supervisor atas kehilangan atau

kerusakan peralatan pengendali resiko yang dapat berpengaruh pada K3

4. Melakukan pekerjaan sesuai prosedur atau instruksi kerja

5. Tidak memindahkan/ menggunakan secara tidak benar berbagai peralatan

pelindung/ pengendali yang dipersyaratkan oleh peraturan undang-undang

6. Tidak mengoperasikan atau menggunakan peralatan apapun yang dapat

menimbulkan bahaya bagi pekerja

7. Melaporkan pada manajemen kondisi ketidaksesuaian apapun yang terjadi di

tempat kerja.

b. Kebijakan K3 memenuhi persyaratan

1) Persyaratan OHSAS 18001


27

Harus ada kebijakan K3 yang disahkan oleh manajemen puncak, yang secara

jelas memberikan kerangka sasaran K3 dan komitmen dalam memperbaiki kinerja

K3. Kebijakan harus sesuai dengan sifat dan skala resiko K3 dari organisasi yaitu :

1. Mencakup komitmen untuk perbaikan berkelanjutan

2. Mencakup komitmen ketaatan untuk memenuhi peraturan K3 dan persyaratan

lainnya yang berhubungan dengan organisasi

3. Terdokumentasi, diterapkan, dan dipelihara

4. Didokumentasikan pada seluruh personel dengan menekankan karyawan

utnuk peduli dengan kewajiban K3-nya

5. Tersedia pada pihak terkait

6. Ditinjau secara periodik untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut masih

relevan dan sesuai dengan organisasi.

2) Persyaratan Permenaker 05/MEN/1996

Kebijakan K3 adalah suatu pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh

pengusaha atau pengurus yang memuat keseluruhan visi dan tujuan perusahaan,

komitmen dan tekad melaksanakan K3, kerangka dan program kerja yang mencakup

kegiatan perusahaan secara menyeluruh yang bersifat umum dan operasional.

Kebijakan K3 dibuat melalui proses konsultasi antara pengurus dan wakil

tenaga kerja yang kemudian harus dijelaskan dan disebarluaskan kepada semua

tenaga kerja, pemasok dan pelanggan. Kebijakan K3 bersifat dinamik dan selalu

ditinjau ulang dalam rangka peningkatan kinerja K3. Sesuai dengan persyaratan

standar, kebijakan K3 harus memenuhi beberapa aspek, antara lain :


28

1. Harus sesuai dengan sifat dan skala resiko K3

2. Mencakup komitmen perbaikan berkelanjutan

3. Mencakup komitmen untuk memenuhi persyaratan perundangan dan

persyaratan lainnya

4. Terdokumentasi, diterapkan dan dipelihara

5. Dikomunikasikan kepada seluruh personel

6. Tersedia bagi pihak terkait

7. Ditinjau secara periodik untuk memastikn bahwa kebijakan K3 memastikan

bahwa kebijakan K3 masih relevan dan sesuai dengan organisasi.

Dalam menyusun sebuah kebijakan K3, manajemen dapat mempertimbangkan

beberapa hal yaitu aspek bahaya yang terjadi, persyaratan perundang-undangan,

sejarah dan kinerja K3 organisasi, kebutuhan pihak terkait, peluang dan kebutuhan

perbaikan berkelanjutan, sumber daya yang diperlukan, kontribusi karyawan,

rekanan, pihak luar lainnya.

c. Tujuan dan Perencanaan

1) Persyaratan Permenaker 05/MEN/1996

Tujuan dan sasaran kebijakan K3 yang ditetapkan oleh perusahaan sekurang-

kurangnya harus memenuhi kualifikasi, antara lain dapat diukur, satuan/ indikator

pengukuran, sasaran pencapaian, jangka waktu pencapaian. Penetapan tujuan dan

sasaran kebijakan K3 harus dikonsultasikan dengan wakil tenaga kerja, Ahli K3,

P2K3 dan pihak-pihak lain yang terkait. Tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan

ditinjau kembali secara teratur sesuai dengan perkembangan.


29

Penerapan awal SMK3 yang berhasil memerlukan rencana yang dapat

dikembangkan secara berkelanjutan, dan secara jelas menetapkan tujuan serta sasaran

SMK3 yang dapat dicapai dengan :

1. Menetapkan sistem pertanggungjawaban dalam pencapaian tujuan dan

sasaran sesuai dengan fungsi dan tingkat manajemen perusahaan.

2. Menetapkan sarana dan jangka waktu pencapaian tujuan dan sasaran.

1. Penilaian Resiko dan Pengendalian Resiko

Terdiri dari identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian resiko yang

terkait dengan aktivitas harus dipastikan sesuai, cukup dan selalu tersedia. Untuk itu

sebuah organisasi harus mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengendalikan resiko

K3 semua aktivitasnya, dan semua tahapan ini menjadi dasar dalam pengembangan

dan penerapan SMK3.

1. Identifikasi Bahaya

Menurut persyaratan Permenaker 05/MEN/1996 sumber bahaya yang

teridentifikasi harus dinilai untuk menentukan tingkat resiko yang merupakan

tolak ukur kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.

Identifikasi sumber bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan

kejadian yang dapat menimbulkan bahaya, jenis kecelakaan dan penyakit akibat

kerja yang mungkin dapat terjadi.

Kegiatan yang bisa digunakan dalam mengidentifikasi bahaya antara

lain:
30

a. Berkonsultasi dengan pekerja

b. Berkonsultasi dengan tim K3

c. Mempertimbangkan bagaimana personel menggunakan peralatan dan

material, bagaimana kesesuaian peralatan tersebut yang digunakan pada

aktivitas dan lokasinya, bagaimana personel dapat terluka baik secara

langsung ataupun tidak langsung oleh berbagai aspek tempat kerja.

d. Melakukan safety audit

e. Pengujian, bagian dari perusahaan atau peralatan kerja dan kebisingan

f. Evaluasi tehnis dan keilmuan

g. Menganalisa rekaman data, seperti insiden dan nyaris kena bahaya, keluhan

personel, tingkat penyakit dan turn-over karyawan

h. Pemantauan lingkungan kesehatan

i. Survei yang dilakukan karyawan

2. Penilaian Resiko

Menurut persyaratan Permenaker 05/MEN/1996, penilaian resiko adalah

proses untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap tingkat resiko

kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Tujuan dari langkah ini adalah untuk

menentukan prioritas untuk tindak lanjut karena tidak semua aspek bahaya

potensial yang dapat kita tindak lanjuti.

Sedangkan menurut Rijanto (2010) penilaian resiko adalah suatu roses

analisis untuk menilai resiko serta mengidentifikasi tindakan-tindakan kontrol


31

yang diperlukan untuk menghilangkan atau mengurangi resiko yang ada (Suardi,

2005).

3. Pengendalian Resiko

Berdasarkan persyaratan Permenaker 05/MEN/1996, dalam tindakan

pengendalian perusahaan harus merencanakan pengelolaan dan pengendalian

kegiatan-kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan kecelakaan

kerja yang tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan mendokumentasikan dan

menerapkan kebijakan standar bagi tempat kerja, perancangan pabrik dan bahan,

prosedur dan instruksi kerja untuk mengatur dan mengendalikan kegiatan produk

barang dan jasa.

Hal yang harus kita perhatikan dalam memilih atau menetapkan jenis

tindakan pengendalian resiko adalah memperhatikan tindakan merupakan alat

pengendali yang tepat, tidak menimbulkan bahaya baru/ lain, diikuti oleh semua

pekerja tanpa adanya ketidaknyamanan dan stres. Beberapa pengendalian resiko

antara lain :

a. Menghilangkan Bahaya

Menghilangkan bahaya adalah langkah ideal yang dapat dilakukan, dan

harus menjadi pilihan pertama dalam melakukan pengendalian resiko. Ini

berarti menghentikan peralatan/ prasarana yang dapat menimbulkan bahaya.

Contohnya, menggunakan mesin untuk pekerjaan manual yang berulang atau

menghilangkan asbes dari tempat kerja.

b. Mencegah atau Mengurangi Peluang Terkena Resiko


32

Jika bahaya tidak dapat dihilangkan, maka kiat menggunakan alat

kendali resiko yang lebih rendah tingkatannya. Alat kendali ini dapat digunakan

salah satu saja atau hasil kombinasi. Alat-alat kendali itu adalah:

1. Substitusi/ mengganti

Prinsip dari alat kendali ini adalah menggantikan sumber risio dengan

sarana/ peralatan lain yang tingkat resikonya lebih kurang / tidak ada.

Contohnya penggunaan bahan kimia berbahaya dengan lebih rendah

tingkatan bahayanya seperti mengganti bahan kimia yang berbasis gas

dengan berbasis cair, mengganti kaca dengan plastik.

2. (Engineering)

Langkah ini dilakukan dengan mengubah desain tempat kerja,

peralatan atau proses kerja dalam mengurangi tingkat resiko. Ciri khas dari

tahap ini adalah melibatkan pemikiran yang lebih mendalam bagaimana

membuat lokasi kerja yang lebih aman dengan melakukan pengaturan ulang

lokasi kerja, memodifikasi peralatan, melakukan kombinasi kegiatan,

perubahan prosedur, mengurangi frekuensi dalam melakukan kegiatan

berbahaya. Contohnya memindahkan area penyimpanan kertas fotokopi

kedekat mesin untuk mengurangi resiko pengangkutannya.

3. Isolasi
33

Dalam tahap ini kita melakukan isolasi terhadap area bahaya dari

pekerja atau dari orang yang ingin memasukinya. Contohnya memasang

pagar pengaman disekitar lokasi bahaya.

c. Bahaya tidak dapat dikurangi

1. Pengendalian Secara Administrasi.

Dalam tahap ini menggunakan prosedur, SOP atau panduan sebagai

langkah untuk mengurangi resiko. Contoh dari pengendalian secara

administrasi ini adalah mengurangi rotasi kerja untuk mengurangi efek

resiko, membatasi waktu atau frekuensi untuk memasuki area, melakukan

supervisi pekerjaan.

2. Alat Plindung Diri (APD)

Sarana pengaman diri adalah pilihan terakhir yang dapat kita

lakukan untuk mencegah bahaya dengan pekerja. Akan tetapi penggunaan

APD bukanlah pengendali dari sumber bahaya itu, sebaiknya tidak

digunakan sebagai pengganti dari sarana pengendali resiko lainnya. APD

disarankan hanya digunakan bersamaan dengan penggunaan alat

pengendali lainnya. Dengan demikian perlindungan keamanan dan

kesehatan personel akan lebih efektif. Keberhasilan penggunaan APD jika

peralatan pelindungnya tepat pemilihannya, digunakan secara benar, sesuai

dengan situasi dan kondisi bahaya, senantiasa dipelihara. APD adalah

pengendali yang paling sering digunakan.

2. Kesiapan Emergency
34

1) Persyaratan OHSAS 18001

Organisasi harus menetapkan dan memelihara perencanaan dan prosedur

untuk mengidentifikasi potensi terjadinya insiden dan situasi darurat dan cara

meresponnya, dan untuk mencegah dan menanggulangi kecelakaan yang mungkin

terkait dengan keadaan tersebut.

2) Persyaratan Permenaker 05/MEN/1996

Sesuai dengan sifat penerapan Sistem Manajemen K3, maka organisasi harus

secara aktif melakukan penilaian terhadap kecelakaan yang berpotensi terjadi dan

menyiapkan keperluan tanggap darurat, membuat prosedur dan proses untuk

mengatasinya. Organisasi juga melakukan pengujian sebagai sarana latihan untuk

kondisi sebenarnya serta melakukan perbaikan terhadap hasil yang dicapai.

Organisasi harus mengembangkan emergency plan, melakukan identifikasi dan

menyediakan peralatan darurat yang sesuai, serta melakukan uji coba secara periodik.

Masukan yang digunakan dalam menentukan prosedur yang dibutuhkan antara lain :

a. Hasil identifikasi bahaya potensial, penilaian dan pengendalian resiko

b. Persyaratan peraturan dan perundang-undangan

c. Pengalaman yang terjadi sebelumnya atas kecelakaan, insiden dan darurat

d. Tinjauan yang dilakukan atas kondisi darurat

e. Tanggapan yang dilakukan atas kejadian darurat dan bentuk konsultasi

yang disetujui.

3. Dokumentasi dan Rekaman


35

1) Persyaratan OHSAS 18001

Organisasi harus menerapkan dan memelihara informasi dengan media yang

sesuai, baik dalam bentuk kertas maupun elektronik, dan menjelaskan elemen inti dari

sistem manajemen dan interaksinya, menyediakan petunjuk pada dokumen yang

terkait. Untuk rekaman, organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk

identifikasi, pemeliharaan dan disposisi rekaman K3 sebagai hasil audit dan tinjuan.

Rekaman-rekaman K3 harus dapat dibaca, dapat diidentifikasi dan ditelusuri sesuai

aktifitas yang terkait. Rekaman K3 harus disimpan dan dipelihara untuk sewaktu-

waktu siap ditunjukkan.

2) Persyaratan Permenaker 05/MEN/1996

Pendokumentasian SMK3 mendukung kesadaran tenaga kerja dalam rangka

mencapai tujuan dan evaluasi terhadap sistem dan kinerja K3. Perusahaan harus

mengatur dan memelihara kumpulan ringkasan pendokumentasian untuk :

1. Menyatukan secara sistematik kebijakan, tujuan dan sasaran K3

2. Menguraikan sarana pencapaian tujuan dan sasaran K3

3. Mendokumentasikan peranan, tanggung jawab dan prosedur

4. Memberikan arahan mengenai dokumen yang terkait dan menguraikan unsur-

unsur lain dari sistem manajemen perusahaan

5. Menunjukkan bahwa unsur-unsur Sistem Manajemen K3 yang sesuai untuk

perusahaan telah diterapkan.

Dokumentasi berguna sebagai panduan dalam pelaksanan Sistem Manajemen

K3 di perusahaan. Sedangkan rekaman mungkin satu-satunya bukti bahwa sistem


36

telah dilaksanakan sesuai dengan dokumen yang ada. Karena itu semua dokumen dan

rekaman yang penting harus diidentifikasi dan dikendalikan. Standar persyaratan

minimum yang harus dimiliki sebuah dokumen harus mengacu pada kriteria

minimum, yaitu tanggal terbit, tanggung jawab, persetujuan, judul dokumen, nomor

dokumen, nomor revisi, tujuan pembuatan dokumen, ruang lingkup, refrensi,

defenisi, halaman, uraian dokumen. Rekaman-rekaman yang terkait Sistem

Manajemen K3 diantaranya rekaman pelatihan, laporan inspeksi K3, laporan-laporan

audit, bukti-bukti konsultasi, laporan kecelakaan/ insiden, minutes meeting dari K3,

hasil tes medis, latihan tanggap darurat, tinjauan manajemen, identifikasi bahaya,

penilaian resiko, dan pengendalian resiko.

4. Audit

1) Persyaratan OHSAS 18001

Organisasi harus menetapkan dan memelihara program dan prosedur audit

secara periodik. Audit Sistem Manajemen K3 dilakukan dalam rangka untuk :

1. Menentukan apakah sistem manajemen K3 sesuai perencanaan SMK3

mencakup persyaratan dari spesifikasi K3, telah dipelihara dan diterapkan,

efektif dalam memenuhi kebijakan dan sasaran K3

2. Meninjau hasil audit sebelumnya

Menyediakan informasi hasil audit manajemen. Program audit, mencakup

berbagai jadwal, harus berdasarkan pada hasil penilaian resiko dari aktifitas

organisasi, dan hasil audit sebelumnya. Prosedur audit harus mencakup


37

lingkup, frekuensi, metodologi dan kompetensi, juga tanggung jawab dan

persyaratan untuk melakukan audit dan pelaoran audit.

2) Persyaratan Permenaker 05/MEN/1996

Audit harus dilakukan secara berkala untuk mengetahui keefektifan

penerapannya, secara sistematik dan independen oleh personel yang memiliki

kompetensi kerja dengan menggunakan metodologi yang sudah ditetapkan. Hasil

audit digunakan oleh pengurus dalam proses tinjauan ulang manajemen dan

mengidentifikasi peluang perbaikan. Audit merupakan salah satu cara yang dapat

digunakan oleh organisasi untuk mengevaluasi Sistem Manajemen K3, kesesuaian

dengan persyaratan, dan keefektifan penerapan sistem. Hasil audit yang baik adalah

dicatat dalam media khusus, mendetail dan dapat ditelusuri sumber temuannya.

5. Perbaikan Berkelanjutan

1) Persyaratan OHSAS 18001

Organisasi harus menetapkan dan memelihara prosedur untuk mendefenisikan

tanggung jawab dan wewenang untuk :

1. penanganan dan investigasi dari kecelakaan, insiden, dan ketidaksesuaian

2. Tindakan yang diambil untuk mengurangi berbagai konsekuensi yang

timbul dari kecelakaan, insiden atau ketidaksesuaian

3. Inisiatif dan penyelesaian dari tindakan perbaikan dan pencegahan

4. Konfirmasi dari keefektifan tindakan perbaikan dan pencegahan yang

diambil.
38

Pada keseluruhan proses penilaian resiko, prosedur ini mempersyaratkan

semua usulan tindakan perbaikan dan pencegahan harus ditinjau terlebih dahulu

dalam penerapannya.

2) Persyaratan Permenaker 05/MEN/1996

Semua hasil temuan dari pelaksanaan pemantauan, audit dan tinjauan ulang

SMK3 harus didokumentasikan dan digunakan untuk identifikasi tindakan perbaikan

dan pencegahan serta pihak manajemen menjamin pelaksanaannya secara sistematik

dan efektif.

Tindakan perbaikan adalah tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan

akar penyebab ketidaksesuaian, kecelakaan atau insiden yang ditemukan dalam

rangka mencegah agar tidak terulang lagi. Contoh-contoh elemen yang

dipertimbangkan dalam prosedur tindakan perbaikan adalah :

1. Identifikasi dan penerapan dari tindakan perbaikan dan pencegahan

2. Evaluasi berbagai pengaruh pada hasil identifikasi bahaya potensial dan

penilaian resiko

3. Rekaman berbagai perubahan dalam prosedur yang dihasilkan dari

tindakan perbaikan atau pencegahan

4. Aplikasi pengendalian resiko atau modifikasinya yang sekarang ada, untuk

memastikan tindakan perbaikan yang dilakukan efektif.


39

6. Tinjauan Manajemen

1) Persyaratan OHSAS 18001

Top manajemen harus meninjau Sistem Manajemen K3 pada selang waktu

terencana, untuk memastikan Sistem Manajemen K3 secara terus menerus sesuai,

cukup dan efektif. Proses tinjauan manajemen harus memastikan bahwa informasi

yang diperlukan terkumpul pada manajemen untuk di evaluasi. Tinjauan ini harus

terdokumentasi. Tinjauan manajemen harus diarahkan pada kemungkinan kebutuhan

untuk perubahan kebijakan, sasaran dan elemen Sistem Manajemen K3 lainnya, hasil

audit Sistem Manajemen K3, perubahan organisasi dan komitmen untuk perbaikan

berkelanjutan.

2) Persyaratan Permenaker 05/MEN/1996

Pimpinan yang ditunuk harus melaksanakan tinjauan ulang Sistem

Manajemen K3 secara berkala untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan yang

berkesinambungan dalam pencapaian kebijakan dan tujuan K3. Ruang lingkupnya

harus dapat mengatasi implikasi keselamatan dan kesehatan kerja terhadap seluruh

kegiatan, produk barang dan jasa termasuk dampaknya terhadap kinerja perusahaan.

Tinjauan ulang Sistem Manajemen K3 meliputi :

1. Evaluasi terhadap penerapan kebijakan K3

2. Tujuan, sasaran dan kinerja K3

3. Hasil temuan audit Sistem Manajemen K3

4. Evaluasi efektifitas penerapan Sistem Manajemen K3 dan kebutuhan

untuk mengubah Sistem Manajemen K3 yang sesuai dengan perubahan


40

peraturan perundangan, tuntutan dari pihak yang terkait dan pasar,

peerubahan produk dan kegiatan perusahaan, perubahan strukturorganisasi

perusahaan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk

epidemiologi, pengalaman yang didapat dari insiden K3, pelaporan,

umpan balik khususnya dari tnaga kerja.

Manajemen puncak harus meninjau kinerja Sistem Manajemen K3 organisasi.

Tinjauan manajemen juga menjadi media untuk melakukan evaluasi pencapaian

sasaran K3 dan melakukan perubahan terhadap kebijakan dan sasaran K3. Dalam

melakukan tinjauan manajemen, perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :

topik pembahasan, personel yang hadir, tanggung jawab personel yang berpatisipasi,

informasi yang dibahas.

2.4 Alat Pelindung Diri (APD)

2.4.1 Defenisi Alat Pelindung Diri (APD)

Alat pelindung diri (APD) dapat didefenisikan sebagai alat yang mempunyai

kemampuan melindungi seseorang dalam pekerjaannya, yang fungsinya mengisolasi

pekerja dari bahaya di tempat kerja (Rijanto, 2011).

Pencegahan kecelakaan kerja dapat dilakukan dengan pengendalian secara

tehnis, secara administrasi, dan secara individu. Pengendalian secara tehnis seperti

pemasangan LEV (Local Exhaust Ventilation), merupakan prioritas utama. Jika

pengendalian tehnis tidak bisa dilakukan atau hasilnya tidak memenuhi persyaratan

yang berlaku, maka dilakukan pengendalian secara administrasi seperti pengaturan

jam kerja pada tempat kerja tertentu, rotasi shift, dan lama waktu yang diperbolehkan
41

pada tempat berbahaya. Tetapi dalam upaya lebih menjaga K3 karyawan, maka

personil yang bekerja harus dilengkapi dengan APD (Cahyono, 2004).

Sedangkan menurut Rijanto (2011), metode pengendalian cedera terhadap

pemaparan bahan berbahaya yang ditemukan di lingkungan tempat kerja umumnya

diklasifikasikan menjadi tiga kategori, di mana kadang saling berkaitan, yaitu :

1. Pengendalian Rekayasa

Pengendali rekayasa merupakan tindakan pasif yang dirancang pada

lingkungan kerja untuk mencegah kontak dengan suatu bahan berbahaya, atau bahaya

lain. Contoh pengendali rekayasa adalah menghilangkan penggunaan bahan beracun

atau menggunakan bahan yang kurang beracun, merubah rancangan proses,

penghalang, isolasi atau menutup bahaya, pengaman, dan menggunakan ventilasi

udara setempat.

2. Pengendalian Administrasi

Pengendali administrasi termasuk diantaranya dengan rotasi pekerja untuk

meminimalkan pemaparan, pelaksanaan praktek kerumah tanggaan yang baik,

merencanakan pelatihan yang tepat untuk pekerja.

3. Alat Pelindung Diri (APD)

APD meliputi penggunaan respirator, pakaian khusus, kacamata pelindung,

topi pengaman, atau perangkat sejenis yang bila dipakai dengan benar akan

mengurangi resiko cedera atau sakit diakibatkan oleh bahaya. APD adalah metode

terakhir yang digunakan setelah upaya melakukan metode lainnya (Rijanto, 2011).
42

Persyaratan APD yang digunakan menurut Budiono (2006) yaitu harus

memberikan perlindungan yang tepat terhadap potensi bahaya yang ada, tidak

menyebabkan rasa tidak nyaman berlebihan, bentuknya harus cukup menarik dan

dapat dipakai secara fleksibel, tahan untuk pemakaian yang lama, memenuhi standar

yang sudah ada serta suku cadangnya mudah didapat, dan tidak menimbulkan bahaya

tambahan bagi pemakaian yang tidak tepat atau karena penggunaan yang salah.

Karakteristik APD antara lain APD mempunyai keterbatasan yang umum

yaitu tidak dapat menghilangkan bahaya pada sumbernya, apabila APD tidak

berfungsi dan kelemahannya tidak diketahui, maka resiko bahaya yang timbul dapat

menjadi lebih besar, saat digunakan APD harus sudah dipilih dengan tepat dan harus

selalu dimonitor, pekerja yang menggunakannya harus sudah terlatih (Rijanto, 2011).

2.3.6. Jenis-jenis Alat Pelindung Diri (APD)

Berdasarkan penggunaannya dikategorikan dalam beberapa jenis, antara lain :

pelindung kepala, pelindung telinga, pelindung muka dan mata, pelindung

pernafasan, pelindung tangan dan kaki, dan pelindung tubuh.

1. Pelindung kepala

American National Standard Institute (ANSI)1986 mendefenisikan topi/

helm pengaman sebagai suatu alat yang dipakai untuk memberikan perlindungan

kepada kepala, atau bagian-bagiannya terhadap benturan, benda-benda kecil/

partikel yang berterbangan, sengatan listrik, menahan kepala dari benturan atau

tusukan benda-benda yang jatuh, melindungi kepala dan rambut dari jeratan

mesin, atau terpapar pada lingkungan berbahaya.


43

2. Pelindung telinga

a. Sumbat Telinga (Ear Plug)

Sumbat telinga yang baik adalah yang dapat menahan frekuensi

tertentu saja, sedangkan frekuensi untuk bicara biasa (komunikasi) tidak

terganggu. Sumbat telinga biasanya terbuat dari bahan karet, palstik keras,

plastik lunak, lilin, dan kapas.

Kemampuan daya lindung (Atenuasi) sekitar 25-30 dB (decible). Bila

ada kebocoran sedikit saja dapat mengurangi daya lindung sampai 15 dB.

Daya lindung yang paling kecil adalah yang terbuat dari kapas, antara 2-12

dB. Kelemahan dari sumbat telinga ini adalah tidak tepat ukurannya dengan

lubang telinga pemakai, kadang-kadang lubang telinga kanan tidak sama

dengan yang kiri.

b. Tutup Telinga (Ear Muff)

Ada beberapa jenis atenuasinya, yaitu

1) Atenuasinya pada frekuensi biasa : 25-30 dB.

2) Atenuasinya pada frekuensi 2800-400Hz 35-45 dB.

Untuk kondisi khusus dikombinasikan antara sumbat dan tutup telinga

sehingga diperoleh atenuasi yang lebih tinggi, tetapi tidak lebih dari 50

db. Karena hantaran suara melalui tulang masih ada.


44

3. Pelindung muka dan mata

Fungsi dari pelindung muka dan mata adalah melindungi dari lemparan

benda-benda kecil dan benda panas, pengaruh cahaya, dan pengaruh radiasi tertentu.

Syarat pelindung muka dan mata yaitu :

a. Keamanan terhadap api sama dengan topi pengaman

b. Ketahanan terhadap lemparan benda-benda.

c. Syarat optis adalah lensa tidak boleh mempunyai efek distorsi/ prisma lebih

dari 1/16 prisma dioptri (perbedaan refraksi harus <1/16 dioptri).

d. Alat pelindung mata terhadap radiasi, dengan prinsip adalah kaca mata yang

hanya tahan terhadap panjang gelombang tertentu.

4. Pelindung pernafasan

Alat pelindung pernafasan berfungsi untuk memberikan perlindungan

terhadap sumber-sumber bahaya di udara tempat kerja, seperti kekurangan oksigen,

pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan uap logam), dan pencemaran oleh

gas atau uap. Ada tiga jenis alat pelindung pernafasan, yaitu :

a. Respirator memurnikan udara

1) Mengandung bahan kimia, antara lain :

a) Topeng dengan kanister yang sesuai dengan bahan-bahan kimia

tertentu. Harus dipilih sesuai dengan zat pencemar. Harus

diperhatikan batas waktu dari kanister tersebut. Yaitu isi kanister,

konsentrasi zat pencemar, dan aktifitas pemakainnya.


45

b) Respirator dengan patrum (cartridge) kimia, biasanya menutup

sebagian muka, dengan 1 atau 2 patrum yang mengandung bahan

kimia. Tidak bisa digunakan untuk keadaan darurat dan berfungsi

untuk satu macam golongan gas dan uap.

2) Dengan filter mekanis, bentuknya hampir sama dengan patrum

(cartridge) kimia tetapi pemurni udaranya berupa saringan. Biasanya

digunakan untuk pencegahan terhadap debu.

3) Gabungan, yang mempunyai filter mekanis dan bahan kimia.

b. Respirator dengan suplai udara

Sumber udara dari saluran udara bersih atau kompresor udara, dan

dari tabung bertekanan. Berupa tabung gas yang berisi udara yang

dimampatkan, oksigen yang dimampatkan, oksigen yang dicairkan (Rijanto,

2010).

5. Pelindung tangan

Memiliki fungsi untuk melindungi dari api, panas, dingin, radiasi

elektromagnetik, radiasi mengion, listrik, bahan kimia, benturan dan pukulan, luka,

lecet dan infeksi, serta kotoran.

Jenis dari pelindung tangan antara lain :

a. Gloves (sarung tangan)

b. Mitten : sarung tangan dengan ibu jari terpisah sedangkan jari lainnya

menjadi satu.

c. Hand Pad : melindungi telapak tangan


46

d. Sleeve : melindungi pergelangan tangan sampai lengan, biasanya digabung

dengan sarung tangan.

6. Pelindung kaki

Memiliki fungsi untuk melindungi pekerja dari tertimpa benda-benda berat

atau keras, tumpahan atau genangan logam cair, bahan kimia korosif atau

iritatif, dermatitis/ eksim karena bahan-bahan kimia, kemungkinan tersandung,

tergelincir, dan tertusuk telapak kakinya, pengaruh air panas, dingin, kotor

dan lain-lain.

Sepatu yang digunakan disesuaikan dengan jenis resikonya yaitu:

a. Pada industri ringan/ tempat kerja biasa cukup memakai sepatu yang baik

dan wanita tidak boleh memakai sepatu bertumit tinggi atau sepatu dengan

telapak yang datar dan licin.

b. Sepatu pelindung (safety house) atau sepatu boot dapat terbuat dari kulit,

karet sintetis atau plastik. Berguna untuk melindungi jari-jari kaki terhadap

kejatuhan atau benturan benda-benda keras, sepatu dilengkapi dengan

penutup jari dari baja atau campuran baja dengan karbon.

c. Untuk mencegah tergelincir digunakan sol anti slip luar dari karet alam atau

sintetis dengan permukaannya yang kasar

d. Untuk mencegah tusukan pada telapak kaki dari benda-benda runcing, serta

sol dilapisi dengan logam

e. Sepatu atau sandal yang beralas kayu baik dipakai ditempat kerja yang

lembab, lantai yang panas


47

f. Sepatu boot dari karet sintetis, untuk perlindungan terhadap bahan-bahan

kimia.

7. Pelindung tubuh/ pakaian kerja

Syarat umum pakaian kerja yaitu :

a. Pakaian kerja harus di anggap sebagai APD

b. Pakaian kerja pria yang melayani mesin-mesin harus berlengan pendek, pas

(tidak longgar) pada bagian dada atau punggung, tidak ada lipatan-lipatan

yang menimbulkan bahaya.

c. Pakaian kerja perempuan sebaiknya memakai celana panjang, baju yang pas,

tertutup rambuat dan tidak mengenakan perhiasan-perhiasan.

Pemilihan APD harus dengan seksama, tentukan peralatan dengan kualitas

yang baik. Biarkan pengguna membantu untuk memilih alat yang dapat membuatnya

mau untuk memakainya. Jelaskan pada pengguna mengapa harus memakainya dan

melindungi terhadap bahaya apa saja. Pengguna perlu mengetahui bagaimana alat

tersebut bekerja dan pemeliharaan yang harus dilakukan terhadap alat tersebut.

Mengawasi pengguna untuk memastikan bahwa APD dipakai dan digunakan dengan

benar. Pelihara alat secara periodik dan diperiksa kerusakan yang terjadi. Simpan di

tempat yang kering dan bersih dan ada peralatan pengganti dan cadangannya.

Pastikan APD tidak menjadi sumber pencemaran dengan menjaga bagian dalam

pelindung debu dan sarung tangan tetap bersih. Simpan di dalam kotak atau lemari

yang bersih, dan jangan dibiarkan tergeletak di tempat kerja (Rijanto, 2010).
48

Kebijakan perusahaan tentang APD merupakan pedoman dalam pembuatan

peraturan dan prosedur tentang APD. Begitu manajemen memutuskan untuk

menggunakan APD maka langkah-langkah berikut dapat dilakukan :

1. Buat kebijakan tertulis tentang APD dan mensosialisasikan kepada pekerja dan

tamu

2. Pilih jenis APD yang sesuai

3. Laksanakan suatu program pelatihan agar pekerja mengetahui suatu cara

pemakain dan perawatan yang benar terhadap APD yang digunakannya

4. Terapkan dan kontrol penggunaan APD (Rijanto, 2011).

2.3.7. Masalah Alat Pelindung Diri (APD)

Dalam penggunaan APD sebagai sarana pengendali resiko, organisasi

sebaiknya melakukan evaluasi secara mendalam terhadap peralatan yang digunakan

dalam mengurangi resiko. Penggunaan APD tetap membutuhkan pelatihan atau

instruksi kerja bagi karyawan yang menggunakannya, termasuk pemeliharannya.

Karyawan harus mengerti bahwa penggunaan APD tidak akan menghilangkan bahaya

yang terjadi. Jadi bahaya akan tetap terjadi jika ada kecelakaan.

1. Masalah umum APD

a. Tidak semua APD melalui pengujian laboratoris, sehingga tidak diketahui

derajat perlindungannya.

b. Tidak nyaman dan terkadang membuat si pemakai sulit bekerja

c. APD terkadang dapat menciptakan bahaya baru

d. Kewajiban pemeliharaan APD dialihkan dari pihak manajemen ke pekerja


49

e. Efektifitas APD sering tergantung kondisi kesehatan para pekerja

2. Masalah pemakaian APD

a. Sisi pekerja, tidak mau memakai dengan alasan :

1. Tidak sadar/ tidak mengerti manfaat pemakainnya

2. Panas, sesak, berat

3. Tidak enak dipakai, tidak enak dipandang, mengganggu pekerjaan

4. Tidak sesuai dengan bahaya yang ada

5. Tidak ada sangsi jika tidak menggunakannya

6. Mengikuti sikap atasan yang tidak memakai APD yang disediakan.

b. Sisi perusahaan

1. KetidaK mengertian dari perusahaan tentang APD yang sesuai dengan

jenis resiko yang ada

2. Sikap dari perusahaan yang mengabaikan APD

3. Dianggap hanya pekerjaan yang sia-sia karena tidak adanya pekerja

yang mau memakai

4. Pengadaan APD yang asal beli

3. Masalah Alat Pelindung Telinga

a. Terjadinya resiko inspeksi

b. Timbulnya kesulitan komunikasi antar pekerja

c. Memberatkan kepala

d. Menimbulkan rasa sakit karena jepitan pelindung telinga yang terlalu kuat

e. Tidak nyaman dalam penggunaannya.


50

4. Masalah dalam Peggunaan Sarung Tangan, mengurangi kepekaan tangan dan jari

5. Masalah Dalam Penggunaan Respirator

a. Penutup muka yang buruk seperti dapat menimbulkan jerawat, dapat membuat

rambut jadi terjepit, tidak sesuai dengan ukuran wajah, menimbulkan iritasi

pada bekas luka

b. Pemeliharaan yang tidak baik

c. Tidak nyaman dalam menghirup udara dan menimbulkan sesak nafas

d. Menghirup kembali udara yang dihembuskan

e. Kesulitan komunikasi

f. Tidak memiliki standar filter udara yang sesuai (Suardi, 2005).

2.4. Landasan Teori

Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa

Indonesia), patuh berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan

berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan

aturan.

Menurut Ripley (1985) implementasi dapat dilihat dari dua perspektif, yaitu

perspektif pertama (complience perspective) memahami keberhasilan implementasi

dalam arti sempit yaitu sebagai kepatuhan para implementer dalam melaksanakan

kebijakan yang tertuang dalam dokumen kebijakan (dalam bentuk undang-undang,

peraturan pemerintah, atau program). Dengan cara pandang yang demikian studi

implementasi yang menggunakan perspektif ini juga ingin mengetahui kepatuhan


51

para bawahan dalam menjalankan perintah yang diberikan para atasan sebagai upaya

untuk melaksanakan satu kebijakan.

Perspektif kedua tidak hanya memahami implementasi dari aspek kepatuhan

para implementer kebijakan dalam mengikuti standart operating procedur (SOP)

semata-mata. Perspektif kedua ini berusaha untuk memahami implementasi secara

lebih luas. Menurut Ripley (1985) maka ukuran keberhasilan implementasi tidak

hanya dilihat dari segi kepatuhan para implementer dalam mengikuti SOP namun

demikian juga diukur dari keberhasilan mereka dalam merealisasikan tujuan-tujuan

kebijakan yang wujud nyatanya berupa munculnya dampak kebijakan. Artinya

kepatuhan para implementer dalam mengimplementasikan kebijakan sesuai SOP

bukan satu-satunya alat ukur keberhasilan implementasi. Kepatuhan tersebut

semestinya perlu dipandang sebagai kondisi yang harus dilalui agar tujuan kebijakan

dapat diwujudkan, bukan tujuan akhir dari implementasi itu sendiri. Pencapaian

tujuan kebijakan tidak cukup hanya dengan mengikuti SOP saja akan tetapi akan

sangat dipengaruhi oleh faktor yang lain seperti ketepatan instrumen kebijakan,

kecukupan keluaran kebijakan, kualitas keluaran kebijakan, dan lain-lain (Purwanto

et.al, 2012).
52

2.5. Kerangka Berpikir

Bedasarkan tinjauan kepustakaan, maka dapat disusun kerangka berpikir

dalam penelitian ini sebagai berikut :


Manajemen Keselamatan dan 1. Tata laksana Laundry
Kesehatan Kerja (K3) 2. Kasus Kecelakaan dan

1. Tata laksana di unit laundry penyakit akibat kerja
2. Alur kegiatan pencucian linen 3. Kepatuahan petugas laundry
3. Penggunaan Alat Pelindung Diri pada penggunaan APD
(APD) 4. Kepatuahan petugas laundry
4. Melaksanakan tugas sesuai dengan pada SOP
SOP

Gambar 2.2 Kerangka Berpikir Penelitian

Kerangka berpikir di atas ini merupakan rangkuman sementara dari gambaran

tentang pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di unit

laundry pada Rumah Sakit Umum Haji Medan tahun 2015. Selain melihat

pelaksanaan manajemen K3 di rumah sakit diantaranya tata laksanaan di unit laundry,

alur kegiatan pencucian linen pada unit laundry, penggunaan Alat Pelindung Diri

(APD), dan melaksanakan tugas sesuai dengan SOP. Dari penjelasan di atas

didapatkan tujuan berupa terlaksananya tata laksana di unit laundry sesuai

persyaratan K3 rumah sakit, mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta

kepatuhan petugas laundry dalam pemakaian APD dan kepatuhan dalam bekerja

sesuai dengan SOP.

Anda mungkin juga menyukai