Anda di halaman 1dari 5

Pertanyaan

Saya adalah karyawan di sebuah perusahaan yang berdomisili di Cimahi dengan status
kontrak. Saya telah bekerja dari bulan Maret 2006 hingga kini tahun 2018 status saya
masih karyawan kontrak dengan diperbaharui perjanjian kontrak setiap tahun. Dalam
setiap 3 tahun masa kerja ada masa jeda-diberhentikan 1 bulan. Begitulah siklus
perjanjian kontrak kerjanya. Apakah saya bisa menuntut menjadi karyawan tetap?
Apakah setelah jeda tersebut hak-hak (cuti, THR dll) saya sebagai karyawan tidak
dipenuhi oleh perusahaan dibenarkan?
 
Ulasan Lengkap
 
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama dibuat
oleh Dimas Hutomo, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 06
November 2018 .
 
Status Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”)
Mengenai status Anda sebagai karyawan kontrak (PKWT), berdasarkan Pasal 59 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”), PKWT hanya dapat dibuat untuk pekerjaan yang menurut jenis
dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;


b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu
lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk
tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.

Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya


Terjangkau
Mulai Dari
Rp 149.000
Lihat Semua Kelas 
 
Kemudian, Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa PKWT
dapat diperpanjang atau diperbaharui. Berikut penjelasannya:
 

1. Perpanjangan PKWT

PKWT ini hanya boleh dilakukan paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh
diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.[1]
 
Jika pengusaha melakukan perpanjangan PKWT, maka perusahaan harus
memberitahukan secara tertulis maksud perpanjangan pada pekerja paling lama 7 hari
sebelum PKWT berakhir secara tertulis kepada karyawan, dengan menyatakan bahwa
akan diperpanjang kontrak kerjanya.[2]
 
Jika pengusaha tidak memberitahukan perpanjangan PKWT ini dalam waktu 7 (tujuh)
hari maka perjanjian kerjanya demi hukum menjadi Perjanjian Kerja dengan Waktu
Tidak Tertentu (“PKWTT”).[3]
 
Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 3 ayat (2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep-100/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“Kepmenakertrans
100/2004”) bahwa PKWT hanya dibuat untuk paling lama 3 tahun.
 
Juga dalam hal PKWT dilakukan melebihi waktu 3 (tiga) tahun, maka demi hukum
perjanjian kerja tersebut menjadi PKWTT.[4]
 

2. Pembaruan PKWT

Sedangkan pembaruan PKWT hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang
waktu 30 hari berakhirnya PKWT yang lama, pembaruan PKWT ini hanya boleh
dilakukan 1 kali dan paling lama 2 tahun.[5]
 
Pembaharuan PKWT ini dilakukan dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya
pekerjaan tertentu, namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat
diselesaikan.[6]
 
Penjelasan selengkapnya mengenai perpanjangan dan pembaharuan PKWT dapat
Anda simak dalam artikel Ketentuan Perpanjangan dan Pembaharuan PKWT Bagi
Karyawan Kontrak.
 
Hak Karyawan Tetap/ Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”)
Jika dikaitkan dengan kondisi kontrak kerja Anda (PKWT) yang dilakukan dalam jangka
waktu dari tahun 2006 hingga kini tahun 2018 (12 tahun), dan diperbaharui setiap tahun
kemudian dalam 3 tahun masa kerja diberikan masa jeda diberhentikan 1 bulan, tentu
hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perpanjangan dan pembaharuan PKWT
sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas.
 
Berdasarkan penjelasan kami di atas dan dihubungkan dengan keterangan yang Anda
sampaikan, maka kami asumsikan sebagai berikut:

 Anda mulai bekerja Maret 2006 untuk jangka waktu 2 tahun, yaitu selesai pada
Maret 2008. Karena alasan tertentu, kontrak Anda diperpanjang 1 tahun sampai
Maret 2009. (sesuai Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagkerjaan
tentang Perpanjangan PKWT). Sehingga total 3 tahun;
 Setelah itu, Anda diberikan jeda selama 30 hari (sebulan) yakni sampai April
2009 kemudian ada pembaharuan kontrak, yang mana hal tersebut
dikategorikan sebagai Pembaharuan PKWT sebagaimana dimaksud Pasal 59
ayat (6) UU Ketenagakerjaan;
 Berdasarkan Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan, pembaharuan PKWT hanya
boleh dilakukan 1 kali dan paling lama 2 tahun. Maka kami asumsikan PKWT
yang diperbaharui itu selesai pada April 2011;
 Jadi, demi hukum, terhitung setelah April 2011 status Anda seharusnya
sudah menjadi karyawan dengan PKWTT atau menjadi karyawan
tetap berdasarkan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan . Oleh karena itu Anda
dapat menuntut perusahaan untuk menetapkan Anda menjadi karyawan tetap.

Patut diperhatikan bahwa ketentuan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan telah


diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
72/PUU-XIII/2015 yang menerangkan bahwa ketentuan tersebut bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 53):
Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas
ketenagkerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat:

1. Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut


tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan
2. Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan
berdasarkan peraturan perundang-undangan

Maka, penetapan Anda menjadi karyawan dengan PKWTT harus melalui prosedur yang
ditetapkan oleh putusan tersebut.
 
Hak Cuti, THR, dan Hak lainnya
Mengenai hak cuti dan Tunjangan Hari Raya (“THR”) Anda, adanya jeda selama 1
bulan pembaharuan PKWT, tidak menghapus kewajiban perusahaan untuk
memberikan hak cuti dan hak THR kepada Anda. Karena sebenarnya Anda masih
dalam hubungan kerja dengan pengusaha pada masa jeda tersebut.
 
Mengenai hak cuti tahunan, diatur dalam Pasal 79 ayat (2) huruf c UU
Ketenagakerjaan dimana perusahaan wajib memberikan istirahat dan cuti pada
pekerja. Untuk cuti tahunan diberikan sekurang kurangnya 12 hari kerja setelah
karyawan yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.
Pelaksanaan waktu istirahat tahunan lebih lanjut diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama di masing-masing perusahaan.[7]
 
Kemudian, mengenai kewajiban perusahaan memberikan THR, pada dasarnya, THR
merupakan hak bagi semua pekerja/buruh dalam hubungan kerja, baik karyawan
kontrak (PKWT) maupun karyawan tetap (PKWTT), yang telah mempunyai masa kerja
1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih.[8]
 
THR keagamaan kepada karyawan diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun
2015 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”) THR tersebut wajib dibayarkan paling
lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.[9]
 
Bagi pekerja kontrak, jika kontrak kerja telah berlangsung lebih dari 1 (satu) bulan saat
“hari H” pelaksanaan hari raya keagamaan, tetapi tidak sampai 1 (satu) tahun bekerja,
maka hanya berhak THR secara proporsional.[10] Akan tetapi, jika kontrak kerja sudah
berlangsung 1 (satu) tahun atau lebih (termasuk perpanjangannya) saat “hari H”
pelaksanaan hari raya keagamaan, maka pekerja berhak atas THR secar full (penuh).
[11] Perlu diingat, jika kontrak sudah berakhir sebelum pelaksanaan hari raya
keagamaan, maka Anda tidak mendapatkan THR.
 
Jika perusahaan terlambat/ tidak membayar THR, maka perusahaan dikenakan denda
sebesar 5% (lima persen) dari total tunjangan THR yang harus dibayar sejak
berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar.[12]
 
Langkah Hukum yang Bisa Dilakukan
Sebagai langkah awal, Anda dapat meminta hak yang Anda miliki kepada pengusaha
secara kekeluargaan atau yang dikenal dengan perundingan secara bipartit secara
musyawarah untuk mencapai mufakat, yang diatur di Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (“UU PPHI”). Jangka waktu bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari
sejak diadakannya perundingan bipartit.[13] Apabila salah satu pihak menolak untuk
berunding, atau tidak sepakat maka perundingan bipartit dianggal gagal.[14]
 
Perundingan bipartit yang gagal tersebut dicatatkan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya
perundingan bipartit telah dilakukan.[15]
 
Apabila penyelesaian secara bipartit tidak berhasil dilakukan, cara yang dapat ditempuh
adalah dengan melalui mediasi hubungan industrial, yaitu melalui musyawarah
antara pekerja dan pengusaha yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang
netral,[16] salah satu penyelesaian yang dilakukan melalui mediasi adalah masalah
perselisihan hak.
 
Penjelasan lebih lanjut mengenai mediasi hubungan industrial dapat Anda simak dalam
artikel Meniti Perdamaian di Jalur Hubungan Industrial (1).
 
Jika mediasi gagal atau tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak
dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[17]
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;


2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan ;
5. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan
Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan;
6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-100/Men/VI/2004
Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XIII/2015.
 

[1] Pasal 59 ayat (4) UU Ketenagakerjaan


[2] Pasal 59 ayat (5) UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan
[5] Pasal 59 ayat (6) UU Ketenagakerjaan
[6] Pasal 3 ayat (5) Kepmenakertrans 100/2004
[7] Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
[8] Pasal 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang
Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker
6/2016”)
[9] Pasal 7 ayat (2) PP Pengupahan
[10] Pasal 3 ayat (1) huruf b Permenaker 6/2016
[11] Pasal 3 ayat (1) huruf a Permenaker 6/2016
[12] Pasal 56 ayat (1) PP Pengupahan
[13] Pasal 3 ayat (2) UU PPHI
[14] Pasal 3 angka 3 UU PPHI
[15] Pasal 4 ayat (1) UU PPHI
[16] Pasal 1 angka 11 UU PPHI
[17] Pasal 5 UU PPHI
Lihat Intisari Jawaban

Anda mungkin juga menyukai