Anda di halaman 1dari 24

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


Jl. Arjuna Utara No.6 Kebun Jeruk – Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA dr. ESNAWAN ANTARIKSA
Nama : Jonathan Kurnia Wijaya Tanda Tangan
NIM : 11.2015.304 .................

Dr Pembimbing : dr. Indraka P, Sp.PD ................

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. TD Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat / Tanggal Lahir : 09/05/1963 (53 tahun) Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Sudah Kawin Agama : Islam
Pekerjaan : PNS Luar Pendidikan :S2
Alamat :Jatiwaringin Townhouse I No B2, Jl. DMC Tanggal masuk RS : 23 Januari 2016
VI Tangga keluar RS : 25 Januari 2016

1.1. ANAMNESIS
Diambil dari : Autoanamnesis, Tanggal 25 Januari 2016, Jam 14.30 WIB
Keluhan utama : Mual muntah >10x 1 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD dengan keluhan mual muntah sebanyak lebih dari 10x 1 jam
SMRS. Konsistensi muntah cair kekuningan. Jumlah muntah kurang lebih sebanyak 1 gelas
air mineral. Keluhan disertai nyeri perut sejak pagi hari. Nyeri perut hanya dirasakan
didaerah ulu hati tidak menyeluruh dan dirasakan seperti melilit. Keluhan disertai adanya rasa
pusing berputar saat perubahan posisi dan membaik saat sedang menutup mata. Pasien
merasakan seluruh tubuh terasa dingin namun riwayat demam disangkal. Keluhan nyeri dada
disangkal pasien. BAB dan BAK juga dirasakan tidak ada keluhan.
Sebelum keluhan muncul pasien mengatakan hanya mengkonsumsi nasi dengan lauk
pauk biasa. Pasien mengatakan rutin meminum kopi di pagi hari. Keluhan seperti rasa pahit

1
dilidah, kembung, nyeri menelan dan berat badan menurun disangkal pasien.. Pasien tidak
memiliki riwayat darah tinggi, kencing manis, jantung dan alergi namun memiliki riwayat
penyakit vertigo. Pasien sudah mengkonsumsi obat histigo dan domperidone.

Riwayat Penyakit Dahulu


(-) Batu Empedu (-) Malaria (-) Batu ginjal/Sal.kemih
(-) Cacar Air (-) Disentri (-) Hernia
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Rematik
(-) Batuk Rejan (-) Tifus Abdominalis(-) Wasir
(-) Campak (-) Skrofula (-) Diabetes
(-) HIV (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Khorea (-) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Pendarahan Otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Operasi (-) Kecelakaan
Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan yang sama seperti sekarang sekitar 1
tahun yang lalu dan sudah berobat untuk penyakit vertigo. Sekitar 1 tahun SMRS pasien
sering mengalami keluhan nyeri di ulu hati dan cepat kenyang.
Riwayat Keluarga
Adakah kerabat yang menderita:
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi 
Asma 
Tuberkulosis 
Arthritis 
Rematisme 
Hipertensi 
Jantung 
Ginjal 
Lambung 
Diabetes mellitus 

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit ringan

2
Kesadaran : Compos mentis
Tinggi Badan : 173 cm
Berat Badan : 63 kg
IMT : 21.04 (normal)
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80x/menit, regular, kuat angkat
Suhu : 36.6OC
Pernapasan : 20x/menit
Keadaan gizi : Cukup
Sianosis : Tidak ada
Udema umum : Tidak ada
Cara berjalan : Normal
Mobilitas (aktif/pasif) : Aktif
Umur menurut taksiran pemeriksa : Sesuai dengan usia sebenarnya

Aspek Kejiwaan
Tingkah laku : Wajar
Alam perasaan : Biasa
Proses pikir :Wajar

Kulit
Warna : Sawo matang
Effloresensi : Tidak ada
Jaringan parut : Tidak ada
Pigmentasi : Normal
Pertumbuhan rambut : Merata, tidak mudah rontok, tidak berketombe
Lembab/kering : Kering
Suhu raba : Normotermi
Pembuluh darah : Normal
Keringat : Umum (+)
Setempat (-)
Turgor : Baik
Ikterus : Tidak ada

3
Lapisan lemak : Merata
Oedem : Tidak ada

Kelenjar Getah Bening


Submandibula : Tidak teraba pembesaran
Supraklavikula : Tidak teraba pembesaran
Lipat paha : Tidak teraba pembesaran
Leher : Tidak teraba pembesaran
Ketiak : Tidak teraba pembesaran

Kepala
Ekspresi wajah : Sesuai emosi
Simetri muka : Simetris
Rambut : Hitam, distribusi merata
Pembuluh darah temporal : Teraba

Mata
Exopthalmus : Tidak ada Sklera : Ikterik (-)
Enopthalmus : Tidak ada Gerakan mata : Normal
Kelopak : Normal Lapangan penglihatan : Normal
Lensa : Jernih Tekanan bola mata : Normal
Konjungtiva : Anemis (-) Nistagmus : Tidak ada
Visus : Normal

Telinga
Tuli : Tidak tuli
Selaput pendengaran : Intak
Lubang : Lapang luas
Penyumbatan : Tidak ada
Serumen : Ada (sedikit), kering
Pendarahan : Tidak ada
Cairan : Tidak ada

Mulut

4
Bibir : Sedikit kering
Tonsil : T1-T1 tidak hiperemis
Langit-langit : Tidak hiperemis
Bau pernapasan : Tidak ada
Gigi geligi : Tidak tampak kelainan
Trismus : Tidak ada
Faring : Tidak hiperemis
Selaput lendir : Tidak tampak kelainan
Lidah : normoglosi

Leher
Tekanan vena jugularis (JVP) : 5-2 cmH2O
Kelenjar tiroid : Tidak teraba membesar

Thoraks
Bentuk : Simetris
Pembuluh darah : Tidak tampak kelainan

Depan Belakang

Kiri simetris saat statis dan dinamis simetris saat statis dan dinamis
Inspeksi
Kanan simetris saat statis dan dinamis simetris saat statis dan dinamis
Kiri sela iga normal, sela iga normal,
benjolan (-), benjolan (-),
nyeri tekan (-), nyeri tekan (-),
Palpasi fremitus normal fremitus normal
Kanan sela iga normal, benjolan (-), sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-), fremitus normal nyeri tekan (-), fremitus
normal
Kiri Sonor Sonor
Perkusi
Kanan Sonor Sonor
Auskultas Kiri Vesikuler, Vesikuler,
i Ronkhi-, Ronkhi -,
Wheezing - Wheezing -

5
Kanan Vesikuler, Vesikuler,
Ronkhi -, Ronkhi -,
Wheezing - Wheezing -

Jantung
Ictus cordis tidak terlihat, tidak terdapat bekas luka, warna kulit kuning
Inspeksi
langsat
Palpasi Ictus cordis teraba pada sela iga 5, garis mid-clavicularis kiri, sebesar 2,5 cm
Batas atas: sela iga 2 garis parasternalis kiri
Perkusi Batas kanan: sela iga 4 garis parasternalis kanan
Batas kiri: sela iga 5, garis mid-clavicularis kiri
Auskultasi BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh Darah
Arteri temporalis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri karotis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri brakhialis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri radialis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri femoralis : Teraba pulsasi, reguler
Arteri poplitea : Teraba pulsasi, reguler
Arteri tibialis posterior : Teraba pulsasi, reguler
Arteri dorsalis pedis : Teraba pulsasi, reguler

Perut
Inspeksi : Datar, tidak tampak pembuluh darah kolateral, tidak ada bekas luka operasi
Palpasi Dinding perut : Supel, nyeri tekan epigastrium (+), massa (-)
Hati : Tidak membesar
Limpa : Tidak membesar
Ginjal : Ballotemen (-), bimanual (-)
Perkusi : Timpani-redup, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : Bising usus normoperistaltik, 8x/menit

Anggota Gerak
Lengan

6
Kanan Kiri
Otot Tonus Normotonus Normotonus
Massa Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 (baik) 5 (baik)
Edema Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada

Tungkai dan Kaki


Kanan Kiri
Luka Tidak ada Tidak ada
Varises Tidak ada Tidak ada
Otot massa Normal Normal
Sendi Normal Normal
Gerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 (baik) 5 (baik)
Edema Tidak ada Tidak ada
Lain-lain Tidak ada Tidak ada
Refleks patologis Tidak ada Tidak ada

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaaan laboratorium 23 Januari 2017
Hematologi Nilai normal Hasil
Hb 13.2 – 17.3 gr/dl 13.4 gr/dl
Leukosit 3800 – 10600/mm3 10800 mm3
Hematrokrit 40 – 52 % 41 %
Trombosit 150 – 440 ribu/mm3 201000 mm3
Ureum 10 - 50 mg/dl 25 mg/dl
Kreatinin 0.9 – 1.3 mg/dl 0,8 mg/dl
Glukosa Sewaktu <120 mg/dl 148 mg/dl

 Pemeriksaan rontgen thorax ( 27/1/2017 )

7
- Cor CTR >50%
- Tidak tampak proses aktif pada paru-paru
- Sinus dan diafragma baik
Kesan : Kardiomegali
 Pemeriksaan EKG 27/1/2017 )
Kesan : Normal

Diagnosa Banding dan Diagnosa Kerja


No Diagnosis Kerja Diagnosis Banding
1. Vertigo Gastritis akut
2. Dispepsia Ulkus Peptikum
3. Pre-hipertensi

BAB II DASAR TEORI BERDASARKAN BASIS BUKTI


Dispepsia
Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan –peptein (pencernaan).
Berdasarkan konsensus International Panel of Clinical Investigator, dispepsia didefinisikan
sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan didaerah perut bagian atas,
sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai
sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh
setelah makan, cepat kenyang atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya 3

8
bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Istilah
dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang
menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa
tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan
atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang
mengenai lambung, atau yang lebih dikenal sebagai penyakit maag.1

Epidemiologi
Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari pelayanan
dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis gastroenterologi. Berdasarkan hasil
penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura,
Taiwan, Thailand, dan Vietnam) didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah
dispepsia fungsional.
Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia dalam beberapa senter
di Indonesia pada Januari 2003 sampai April 2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan
minimal pada gastritis dan duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada
8,2% kasus.
Di Indonesia, data prevalensi infeksi H. Pylori pada pasien ulkus peptikum (tanpa
riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100%
dan untuk pasien dispepsia fungsional sebanyak 20- 40% dengan berbagai metode diagnostik
(pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi).
Prevalensi infeksi H. Pylori pada pasien dispepsia yang menjalani pemeriksaan
endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (2003-2004)
ditemukan sebesar 10.2%. Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011
(55%), Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013 (23,5%),
serta prevalensi terendah di Jakarta (8%).2

Etiologi
Etiologi sindroma dispepsia antara lain:3
1. Obat-obatan
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), antibiotik (makrolides, metronidazole),
besi, KCl, digitalis, estrogen, Etanol (alkohol), kortikosteroid, levodopa, niacin,
gemfibrozil, narkotik, quinidine, theophiline

9
2. Idiosinkrasi makanan (intoleransi makanan)
a. Alergi : susu sapi, putih telur, kacang, makanan laut, beberapa jenis produk kedelai
dan beberapa jenis buah-buahan
b. Non-alergi
- Produk alam: laktosa, sucrosa, galactosa, gluten, kafein, dan lain-lain.
- Bahan kimia: monosodium glutamate (vetsin), asam benzoat, nitrit, nitrat, dll.
3. Kelainan struktural
a. Penyakit oesophagus
b. Penyakit gaster dan duodenum
c. Penyakit saluran empedu
d. Penyakit pankreas
e. Penyakit usus
4. Penyakit metabolik / sistemik
a. Tuberculosis
b. Gagal ginjal
c. Hepatitis, sirosis hepatis, tumor hepar
d. Diabetes melitius
e. Hipertiroid, hipotiroid, hiperparatiroid
f. Ketidakseimbangan elektrolit
g. Penyakit jantung kongestif
5. Lain-lain
a. Penyakit jantung iskemik
b. Penyakit kolagen
Dispepsia biasanya diderita sudah beberapa minggu atau bulan yang sifatnya hilang
timbul atau terus menerus. Dispepsia disebabkan oleh : Menelan udara (aerofagi),
Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung, iritasi lambung (gastritis), Ulkus
gastrikum atau Ulkus duodenalis, kanker lambung, peradangan kandung empedu
(kolesistitis), intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan produknya), kelainan
gerakan usus, pengeluaran asam lambung berlebih pertahanan dinding lambung yang lemah,
infeksi Helicobacter pylori ( sejenis bakteri yang hidup di dalam lambung, dalam jumlah
kecil ) ketika asam lambung yang dihasilkan keluar lebih banyak kemudian pertahanan
dinding lambung menjadi lemah, bakteri ini bisa bertambah banyak jumlahnya, apalagi
disertai kebersihan makanan yang kurang, gangguan gerakan saluran cerna dan stres
psikologis.3

10
Faktor resiko
Individu dengan karakteristik berikut ini lebih berisiko mengalami dispepsia:
konsumsi kafein berlebihan, minum minuman beralkohol, merokok, konsumsi steroid dan
OAINS, serta berdomisili di daerah dengan prevalensi H.pylori tinggi.1

Klasifikasi
Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan dispepsia
fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieklusi. Dispepsia fungsional
dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress syndrome dan epigastric pain
syndrome. Postprandial distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan “begah”
setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan
rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya
postprandial distress syndrome. Dispepsia organik sebagian besar diakubatkan kelainan
esofagogastroduodenal yaitu gastritis, tukak peptic,dan karsinoma SCBA ( saluran cerna
bagian atas). 4

Patofisiologi
Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh H. Pylori dan obat-obatan anti-
inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui. Dispepsia fungsional disebabkan oleh
beberapa faktor utama, antara lain gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi H. Pylori, asam
lambung, ambang rangsang persepsi, disfungsi autonomy, aktivitas miolektrik lambung,
hormonal, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik,
gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.1
1. Sekresi asam lambung
Pada kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi asam lambung,
baik sekresi basal maupun dengan stimulasi pentagastrin, yang rata-rata normal.
diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang
menimbulkan rasa tidak enak diperut.5
2. Helicobacter pylori (H. Pylori)
Prevalensi infeksi H. Pylori pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai
87%. Hubungan infeksi H. Pylori dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun
eradikasi H. Pylori memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional. 2 Penanda biologis
seperti ghrelin dan leptin , serta perubahan ekspresi muscle-specific microRNAs

11
berhubungan dengan proses patofisiologi dispepsia fungsional, yang masih perlu
diteliti lebih lanjut
3. Gangguan motilitas gastroduodenal
Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung dalam
menerima makanan (impaired gastric accommodation), inkoordinasi antroduodenal,
dan perlambatan pengosongan lambung. Gangguan motilitas gastroduodenal
merupakan salah satu mekanisme utama dalam patofisiologi dispepsia fungsional,
berkaitan dengan perasaan begah setelah makan, yang dapat berupa distensi abdomen,
kembung, dan rasa penuh.1
4. Ambang rangsang persepsi
Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor kimiawi, reseptor
mekanik, dan nocireceptor. Pada kasus dispepsia terjadi hipersensitivitas visceral
terhadap distensi balon digaster dan duodenum, tetapi mekanismenya masih belum
diketahui.
5. Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas gastrointestinal
pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati vagal juga diduga berperan dalam
kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung waktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
6. Aktivitas miolektrik lambung
Adanya disaritmia mioelektrik lambung pada pemeriksaan elektrogastrogafi berupa
tachygastria, bradygastria pada 40% kasus dispepsia fungsional, tai hal ini bersifat
inkosisten.
7. Hormonal
Peran hormone pada dispepsia fungsional masih belum jelas . Dilaporkan adanya
penurunan kadar hormone motilin yang menyebabkan gangguan motilitas
antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesterone, estradiol,dan prolactin
mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit
gastrointestinal.5
8. Psikologis
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan dalam
dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan dengan tingkat

12
keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa depresi dan ansietas
berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.1
9. Genetik
Pada beberapa penelitian ditemukan adnaya interaksi antara polimorfisme gen-gen
terkait respon imun dengan infeksi Helicobacter pylori pada pasien dispepsia
fungsional.

Gambaran klinis
Karena bervariasinya jenis keluhan dan kuantitas/ kualitasnya pada setiap pasien,
maka banyak disarankan untuk mengklarifikasi dispepsia fungsional menjadi beberapa
subgroup didasarkan pada keluhan yang paling mencolok atau dominan.
 Bila nyeri ulu hati yang dominan dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dispepsia).
 Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan, dikategorikan menjadai dispepsia fungsional tipe seperti
dismotilitas (dismotility like symptom).
 Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai dispepsia
non-spesifik.5

Diagnosis
Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional.
Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi, gastritis,
duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma
III.Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012)
memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan
gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejala
dispepsia fungsional.
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih
gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
• Nyeri epigastrium
• Rasa terbakar di epigastrium
• Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan

13
• Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir
dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Kriteria Roma III membagi
dispepsia fungsional menjadi 2 subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial
distress syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat tumpang tindih
diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia.1
Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi pasien-pasien yang
datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada dispepsia yaitu:
• Penurunan berat badan (unintended)
• Disfagia progresif
• Muntah rekuren atau persisten
• Perdarahan saluran cerna
• Anemia
• Demam
• Massa daerah abdomen bagian atas
• Riwayat keluarga kanker lambung
• Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun
Pasien-pasien dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih
dahulu dengan endoskopi.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi yaitu, OMD dengan kontras ganda, serologi Helicobacter
pylori, dan urea breath test (belum tersedia di Indonesia). Endoskopi merupakan pemeriksaan
baku emas, selain diagnostik sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan
endoskopi adalah:
- CLO (rapid urea test)
- Patologi anatomi (PA)
- Kultur mikoorganisme (MO) jaringan
- PCR (polymerase chain reaction), hanya dalam rangka penelitian.

1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan, setidak-tidaknya perlu diperiksa
darah, urine dan tinja secara rutin. Dari hasil pemeriksaan darah bila ditemukan
leukositosis berarti ada tanda tanda infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair

14
berlendir atau banyak mengandung lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung.
Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa pertanda tumor, misalnya dugaan
karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan kearah karsinoma pankreas perlu diperiksa
CA 19-9. Dan lain lain pemeriksaan laboratorium yang ada relevansi terhadap penyakit
yang menimbulkan sindroma dispepsia.6

2. Radiologi
Pemeriksaan radiologi banyak menunjang diagnosis sesuatu penyakit di
saluran makan. Setidak - tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi terhadap
saluran makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda. Pada refluks
gastroesofageal akan tampak peristaltik di esophagus yang menurun terutama dibagian
distal, tampak antiperistaltik di antrum yang meninggi serta sering menutupnya pylorus,
sehingga sedikit barium yang masuk ke intestine.
Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat gambar yang
disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk niche dari
tukak yang jinak umumnya regular, semisirkuler, dengan dasar licin.
Kanker di lambung secara radiologi, akan tampak massa yang ireguler tidak
terlihat peristaltic di daerah kanker, bentukdari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu
dibuat foto polos abdomen, yang akan terlihat ganda seperti terpotongnya usus besar, atau
tampak dilatasi dari intestine terutama di yeyenum yang disebut Sentinel loops.

3. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi dari saluran makan bagian atas akan banyak
membantu menentukan diagnosis. Yang perlu diperhatikan ada tidaknya kelainan di
esofagus, lambung, dan duodenum. Di tempat tersebut perlu diperhatikan warna mukosa ,
lesi tumor jinak atau ganas. Kelainan di esofagus yang sering ditemukan dan perlu
diperhatikan di antaranya ialah: esofagitis, tukak esofagus, varises esofagus, tumor jinak
atau ganas yang umumnya lokasinya di bagian distal esofagus. Lokasi kelainan di
lambung yang terbanyak ialah disekitar angulus, antrum, dan prepilorus, diantaranya
berupa gastritis, tukak lambung, tumor jinak atau ganas. Kelaianan di duodenum yang
sering ditemukan ialah tanda peradangan (duodenitis), tukak yang lokasinya terbanyak di
bulbus dan pars desenden.

15
Bila pada endoskopi ditemukan tukak baik di esofagus , lambung maupun di
duodenum, maka dapat dibuat diagnosis dispepsi tukak. Sedangkan bila tidak ditemukan
tukak tetapi hanya tanda peradangan maka dapat dibuat diagnosis dispepsia bukan tukak.6

4. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) merupakan sarana diagnostik yang tidak invasif, akhir-
akhir ini makin banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnosis dari sesuatu
penyakit. Apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat
dan pada kondisi pasien yang beratpun dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada
sindroma dispepsia terutama bila ada dugaan kearah kelainan di traktus biliaris , pankreas,
kelainan di tiroid, bahkan juga ada dugaan tumor di esofagus dan lambung.

5. Waktu Pengosongan Lambung


Dapat dilakukan dengan scintigrafi atau dengan pellet radioopak. Pada
dispepsia terdapat perlambatan pengosongan lambung 30-40%.6
Tatalaksana
 Dispepsia belum diinvestigasi
Strategi tata laksana optimal pada fase ini adalah memberikan terapi empirik selama 1-4
minggu sebelum hasil investigasi awal, yaitu pemeriksaan adanya H. Pylori. Untuk daerah
dan etnis tertentu serta pasien dengan faktor risiko tinggi, pemeriksaan H. Pylori harus
dilakukan lebih awal.
Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lambung (PPI misalnya
omeprazole, rabeprazole dan lansoprazole dan/atau H2-Receptor Antagonist [H2RA]),
prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipide), di mana pilihan ditentukan berdasarkan
dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu
pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton pump yang
diharapkan memiliki mekanisme kerja yang lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411.
Terkait dengan prevalensi infeksi H. Pylori yang tinggi, strategi test and treat diterapkan
pada pasien dengan keluhan dispepsia tanpa tanda bahaya.1
Test and treat dilakukan pada:
• Pasien dengan dispepsia tanpa komplikasi yang tidak berespon terhadap perubahan gaya
hidup, antasida, pemberian PPI tunggal selama 2-4 minggu dan tanpa tanda bahaya.
• Pasien dengan riwayat ulkus gaster atau ulkus duodenum yang belum pernah diperiksa.
• Pasien yang akan minum OAINS, terutama dengan riwayat ulkus gastroduodenal.

16
• Anemia defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan, purpura trombositopenik idiopatik
dan defisiensi vitamin B12.
Test and treat tidak dilakukan pada:
• Penyakit refluks gastroesofageal (GERD)
• Anak-anak dengan dispepsia fungsional

 Dispepsia organik
Apabila ditemukan lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi
dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke dalam
kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik, duodenitis, ulkus gaster,
ulkus duodenum, atau proses keganasan. Pada ulkus peptikum (ulkus gaster dan/ atau ulkus
duodenum), obat yang diberikan antara lain kombinasi PPI, misal rabeprazole 2x20 mg/
lanzoprazole 2x30 mg dengan mukoprotektor, misalnya rebamipide 3x100 mg.1

 Dispepsia fungsional
Apabila setelah investigasi dilakukan tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat
diberikan sesuai dengan gangguan fungsional yang ada. Terapi medikamentosa dapat berupa:
o Obat penetralisir asam lambung: Antasida, dosis 3 x 30mg
o Obat penghambat asam: Antagonis reseptor H2 (H2RA) seperti ranitidine
2x150mg dan simetidin 2 x 400mg, atau inhibitor pompa proton (PPI) seperti
omeprazole 1 x 20mg, lansoprazole 1 x 30mg, dan pantoprazole 1x 40mg.
o Sitoprotektor ( Sukralfat 2 x 2gram, rebamipide 3x 100mg, teprenone 3x
50mg)
o Prokinetik ( metokloperamid 4 x 10mg, domperidon 4 x 10mg, cisapride 3x
5mg)
o Antidepresan ( Sertralin 1x 25mg)
o Psikoterapi4

 Dispepsia dengan infeksi H. Pylori


Eradikasi H. Pylori mampu memberikan kesembuhan jangka panjang terhadap gejala
dispepsia. Penelitian prospektif oleh Syam AF, dkk tahun 2010 menunjukkan bahwa terapi
eradikasi H. Pylori dengan triple terapi (rabeprazole, amoksisilin, dan klaritromisin) selama 7
hari lebih baik dari terapi selama 5 hari.1

17
Pada daerah dengan resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk melakukan kultur dan
tes resistensi (melalui sampel endoskopi) sebelum memberikan terapi. Tes molekular juga
dapat dilakukan untuk mendeteksi H. Pylori dan resistensi klaritromisin dan/atau
fluorokuinolon secara langsung melalui biopsi lambung.
Setelah pemberian terapi eradikasi, maka pemeriksaan konfirmasi harus dilakukan dengan
menggunakan UBT atau H. pylori stool antigen monoclonal test. Pemeriksaan dapat
dilakukan dalam waktu paling tidak 4 minggu setelah akhir dari terapi yang diberikan. Untuk
H. PyloriSA, ada kemungkinan hasil false positive.1

 Diet
Merupakan peranan yang terpenting. Pada garis besarnya yang dipakai adalah cara
pemberian diet seperti yang diajukan oleh Sippy 1915 hingga dikenal pula Sippy Diet.
Sekarang lebih dikenal dengan diit lambung yang sudah disesuaikan dengan masyarakat
Indonesia. Dasar diet ialah makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak
mengandung susu dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah
dicerna, tidak merangsang dan kemungkinan dapat menetralisir asam HCl. Pemberiannya
dalam porsi kecil dan berulang kali. Hindari makanan pencetus serangan seperti pedas,
asam, kafein dan alkohol.

Prognosis
Sindrom dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat, mempunyai prognosis yang baik. 5

18
BAB III ANALISA BERDASARKAN DASAR TEORI DAN BASIS BUKTI
Dasar Diagnosa, Alasan Rencana Tatalaksana, Komplikasi & Prognosa, Edukasi
 Problem : Dispepsia
- Mual muntah >10x 1 jam SMRS disertai rasa nyeri pada ulu hati
- Keluhan nyeri bagian ulu hati dan rasa cepat kenyang sejak 1 tahun SMRS.
- Riwayat mengkonsumsi kopi setiap pagi hari selama 3 tahun terakhir.
 Assesment
o WD : Dispepsia
o DD :
A. Gastritis
Mendukung : nyeri panas/ terbakar di ulu hati , mual, muntah
Melemahkan : tidak adanya kelainan laboratorium, adanya riwayat keluhan rasa cepat
kenyang dan terbakar di ulu hati selama 1 tahun SMRS.
B. Ulkus Peptikum
Mendukung: Nyeri pada ulu hati yang sering berulang, muntah
Melemahkan: Tidak ada kelainan hasil laboratorium, tidak ada hematemesis melena,
belum dilakukan endoskopi

19
 Initial Plan Diagnostik (IPDX)
- Endoskopi dan biopsy
 Initial Plan Theraphy (IPTX)
- Infus Ringer laktat 28 tpm
- Diet makanan (lembek dan mudah dicerna) sedikit berulang kali
- Ondansetron inj 3x1
- Omeprazole inj 2x1
- Mertigo 3x8mg
- Initial Plan Monitoring (IPMX)
- TTV
- Keluhan pasien
 Initial Plan Education (IPEX)
- Menjelaskan penyakit kepada pasien dan keluarganya.
- Atur pola makan, olahraga teratur, dan istirahat cukup.
- Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pengosongan isi lambung
(coklat, keju, dan lain-lain).
- Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol, kubis, kentang, melon,
semangka, dan lain-lain) dan makanan yang terlalu pedas.
- Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.
- Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti obat antiinflammatory,
misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin, naproxen, dan ketoprofen.
Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk mengobati nyeri karena tidak
mengakibatkan iritasi pada dinding lambung.
- Kelola stres psikologi se-efisien mungkin.
 Initial Plan Prognosis (IPPX)
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

20
FOLLOW UP
24 Januari 2017 S : Os mengatakan masih nyeri di ulu hati namun sudah sedikit
Pukul 11.00 WIB berkurang. Os mengatakan keluhan pusing berputar sudah
berkurang dan tidak muntah lagi, namun masih merasa mual
O : KU = Tampak sakit ringan
Kesadaran = Compos mentis
TD = 130/80 mmHg; HR = 80x/menit;
RR = 20x/menit; Suhu = 36,6oC
Abdomen: I = Perut rata, lesi kulit (-)
P = Supel, Nyeri tekan epigastrium (+)
P = Timpani pada seluruh lapang perut
Organ hati, limpa tidak membesar.
A = Bising usus normal (+)
A : Dispepsia + Vertigo + Pre-hipertensi
P : Terapi : Ringer Laktat 20 tpm
Ondansetron inj. 3 x 1 amp
Omeprazole 2 x 1 amp

21
Mertigo 3 x8 mg
Konsul Sp.S
25 Januari 2017 S : Os mengatakan sudah tidak ada keluhan mual dan pusing sudah
Pukul 10.00 WIB berkurang
O : KU = Tampak sakit ringan
Kesadaran = Compos mentis
TD = 110/80 mmHg; HR = 84x/menit;
RR = 20x/menit; Suhu = 36,4oC
Abdomen: I = Perut rata, lesi kulit (-)
P = Supel, Nyeri tekan epigastrium (-)
P = Timpani pada seluruh lapang perut
Organ hati, limpa tidak membesar.
A = Bising usus normal (+)
A : Dispepsia + Vertigo + Prehipertensi
P : Boleh pulang

BAB IV PENUTUP

Pada anamnesis didapatkan hasil pasien laki-laki berusia 53 tahun datang dengan
keluhan utama mual muntah >10x sejak 1 jam SMRS. Keluhan disertai pusing berputar nyeri
ulu hati yang dirasakan melilit dan ada rasa terbakar. Keluhan lain yang dialami pasien yaitu
rasa cepat kenyang. Pasien memiliki kebiasaan meminum kopi setiap pagi selama 1 tahun
terakhir Selama 1 tahun terakhir pasien sering mengeluh nyeri di ulu hati dan rasa cepat
kenyang. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri bagian ulu hati (+) dan sisanya dalam
batas normal. Pemeriksaan penunjang yang dlakukan yaitu laboratorium dan EKG dimana
hasilnya semua dalam batas normal. Hasil foto rontgen thorax tampak ada kardiomegali dan
tekanan darah agak tinggi di 130/80 mengarah ke arah pre-hipertensi meski pasien tidak ada
keluhan. Diketahui bahwa pasien memiliki riwayat vertigo dan rutin mengkonsumsi obat-
obat vertigo.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka dapat
dikatakan pasien menderita vertigo, dispepsia dan pre-hipertensi. Dispepsia didefinisikan
sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut
penuh setelah makan, cepat kenyang atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung

22
sedikitnya 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum
diagnosis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), Kelompok Studi Helivobacter pylori
Indonesia (KSH. PYLORII). Konsensus Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori. 2014.
2. Murdani A, Jeffri G. CDK : Dispepsia. Volume 39 no.9. Jakarta; 2012.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA., editor. Kapita Selekta Kedokteran:
Dispepsia, Edisi ke-4. Jakarta: Media Aesculapius; 2014.
4. Suzanna N. Bahan Ajar Gastroenterohepatologi: Dispepsia. Jakarta: Bagian Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Ukrida; 2013.
5. Dharmika D. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Dispepsia Fungsional. Jilid I. Edisi ke-
5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
6. Pengarapen T. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Tukak Gaster .Jilid I. Edisi ke-5.
Jakarta : Interna Publishing; 2009.

23

Anda mungkin juga menyukai