Anda di halaman 1dari 29

SKRIPSI

“ANALISIS KADAR C-REAKTIVE PROTEIN (CRP) PADA PENDERITA


TUBERKULOSIS LATEN DI RUMAH SAKIT Tk II PELAMONIA
MAKASSAR”

Diajukan Sebagai Syarat Dalam Meraih Sarjana Terapan Kesehaan (S. Tr. Kes)
Pada Program Studi Diploma Empat (D-IV) Teknologi Laboratorium Medis
Fakultas Teknologi Kesehatan Universitas Mega Rezky Makassar

DORTJE LOUISA HUKUBUN


17 3145 353 091

PROGRAM STUDI D-IV TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIS


FAKULTAS TEKNOLOGI KESEHATAN
UNIVERSITAS MEGAREZKY
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus,
karena dengan anugerah dan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul ”Analisis Kadar C-Reactive Protein (CRP) Pada
Penderita Tuberkulosis Laten Di Rs Pelamonia”.
Penyusunan skripsi ini di ajukan sebagai salah satu tugas akhir untuk
mendapatkan gelar Sarjana Terapan Kesehatan pada program studi D-IV
Teknologi Laboratorium Medis Universitas Megarezky Makassar. Dalam
menyusun skripsi penelitian ini, penulis menyadari bukan hanya usaha penulis
semata, namun terdapat ulur tangan dari berbagai pihak.
Limpahan rasa cinta dan hormat panulis persembahkan kepada orang tua
tercinta Kristotaba Hukubun dan Ibu Juliana Teky yang senantiasa mendukung
dalam doa, memberikan kasih sayang, selalu sabar, serta selalu memberikan
motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Buat Kakak Darbin
Hukubun, Kakak Adhitya Hukubun, Kakak Helena Aktawaora dan Kakak
Natasyha Aktawalora dan juga Adik-adik terkasih terima kasih atas kehangatan,
kepedulian, serta kasih sanyang yang selalu terjalin antara kita.
Selain itu, bantuan dari berbagai pihak yang memberikan motivasi dan
dukungan baik moral dan doa demi suksesnya penyusunan skripsi ini dengan
penuh kesungguhan dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Dr. H. Alimuddin, SH, MH., M.Kn selaku Ketua Badan Pembina
Yayasan Pendidikan Islam Megarezky Makassar.
2. Ibu Hj. Suryani, SH., MH selaku Ketua Yayasan Pendidikan Islam Megarezky
Makassar.
3. Bapak Prof. Dr. Dr. Ali Aspar Mappahya, Sp. Pd., Sp. Jp(K) Selaku Rektor
Universitas Megarezky Makassar.
4. Ibu Prof Dr. Asnah Marzuki, M. Si., Apt selaku dekan Fakultas Teknologi
Kesehatan Universitas Megarezky Makassar.

i
5. Ibu Nirmawati Angria, S. Si., M. Kes selaku Ketua Prodi DIV Teknologi
Laboratorium Medik Universitas Megarezky Makassar dan Pembimbing satu
yang telah memberikan saran dan masukkan dalam memperbaiki skripsi ini
6. Ibu Syahruni Hidayatullah S.Si., M. Kes selaku pembimbing kedua yang telah
memberikan saran dan masukkan dalam memperbaiki skripsi ini.
7. Ibu Nurfitri Arfani, S. Si., M.Si selaku penguji yang telah memberikan saran
dan masukkan dalam menyusun skripsi ini.
8. Bapak/ibu dosen program studi DIV Teknologi Laboratorium Medis yang telah
mendidik dan membimbing selama menjalankan program pendidikan DIV
Teknologi Laboratorium Medis.
9. Rekan-rekan seangkatan DIV TLM 2017 yang tidak dapat disebutkan satu
persatukan, telah banyak memberikan motivasi dan informasi kepada penulis.
10. Teman-teman terkasih dan saudara serumah (Yuan, Fajar, & Hasti) telah
banyak memberikan dukungan doa dan semangatnya.
11. Teman-teman TriosGangs (Welna dan Oji) yang telah memberikan dukungan
semangat kepada penulis.
12. Bangtan Sonyeondan (BTS), Kim Namjoon, Kim Seokjin, Min Yoongi, Park
Jimin, Kim Taehyung dan Jeon Jungkook, yang telah banyak memotivasi dan
menyemangati penulis lewat karyanya.
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini masih memiliki
banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan dan saran
yang bersifat membangun dari berbagai pihak.

Makassar, September 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
ABSTRAK.............................................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR............................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................5
C. Tujuan Penelitian.......................................................................................5
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................6
A. Tinjauan Umum Tuberkulosis Paru..........................................................6
B. Tinjauan Umum Mycobacterium tuberculosis........................................20
C. Tinjauan Umum CRP..............................................................................25
D. Kerangka Teori........................................................................................28
E. Kerangka Konsep....................................................................................29
F. Definisi Operasional..................................................................................29
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................30
A. Desain Penelitian.....................................................................................30
B. Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................30
C. Populasi dan Sampel...............................................................................30
D. Kriteria Penelitian....................................................................................31
E. Alat dan Bahan...........................................................................................31
F. Prosedur Kerja Penelitian...........................................................................32
G. Alur Penelitian.........................................................................................33
H. Teknik Pengumpulan Data......................................................................34
I. Analisa Data...............................................................................................34
J. Etika Penelitian..........................................................................................34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..............................................................35
A. Selayang Pandang Lokasi Penelitian.......................................................35
B. Hasil Penelitian........................................................................................36
C. Pembahasan.............................................................................................37
BAB V PENUTUP................................................................................................40
A. Kesimpulan..............................................................................................40
B. Saran........................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................41
LAMPIRAN..........................................................................................................43
ABSTRAK

Dortje Louisa Hukubun, 2021. Analisis Kadar C-Reactive Protein (CRP) Pada
Penderita Tuberkulosis Laten di Rumah Sakit Tk II Pelamonia Makassar.
Dibimbing oleh Nirmawati Angria dan Syahruni Hidayatullah

Tuberkulosis atau TB merupakan suatu penyakit menular yang


disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat mempengaruhi
organ paru-paru, namun dapat juga mempengaruhi organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis Laten merupakan kondisi respon imun persisten terhadap stimulan
antigen tanpa bukti klinis, TB aktif, kelainan radiografik, dan bakteriologis.
C-Reactive Protein (CRP) merupakan suatu protein fase akut yang
terdapat dalam sirkulasi orang sehat dalam jumlah kecil. CRP yang diproduksi di
hati merupakan suatu glycoprotein fase akut yang konsentrasi akan meningkat
pada cedera jaringan, infeksi atau inflamasi. Waktu dilakukannya pemeriksaan
CRP menjadi penting untuk mengetahui berapa lama sudah terjadi resiko
penyakit.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Kadar CRP Pada Penderita
Tuberkulosis Laten di Rumah Sakit Tk II Pelamonia Makassar. Penelitian ini
menggunakan 30 sampel penderita Tb Laten untuk menganalisis kadar CRP. Dari
30 sampel tersebut terdapat 4 sampel yang menunjukkan hasil meningkatnya
kadar CRP pada serum penderita. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa
terdapat peradangan pada organ tubuh penderita Tb Laten.

Kata Kunci : Tuberkulosis Laten, C-Reactive Protein (CRP)


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Mycobacterium tuberculosis...................................................................17

Gambar 2. 2 Kerangka Teori.......................................................................................24

Gambar 2. 3 Kerangka Konsep.................................................................................25Y

Gambar 3. 1 Alur Penelitian........................................................................................30


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis atau dikenal dengan istilah TB merupakan suatu penyakit

menular yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis yang

biasanya mempengaruhi organ paru-paru namun dapat juga mempengaruhi

organ lain selain paru-paru. Penyakit ini dapat menular melalui udara dari

orang yang terinfeksi ke orang lain, salah satunya melalui batuk (Fitria et al.,

2017).

TB Laten adalah kondisi respon imun persisten terhadap stimulan

antigen tanpa bukti klinis, TB aktif, kelainan radiografik, dan bakteriologis.

Tuberkulosis pada umumnya menginfeksi parenkim paru sehingga

menyebabkan TB Paru. Bakteri ini juga memiliki kemampuan menginfeksi

organ tubuh lainnya (TB Ekstra paru) seperti pleura,usus kulit,kelenjar

limfe,tulang,mata, dan ekstra paru lainnya.

Berdasarkan data WHO (World Health Organization) dalam Global

Report Tuberculosis tahun 2020, menjelaskan penyakit TB pada tahun 2019

terbanyak terdapat di Asia Tenggara dengan persentase sebanyak 44%,

Afrika 25%, dan Pasifik Barat 18%, sedangkan negara dengan persentase

terkecil terdapat di Mediterania Timur sebanyak 8,2%, Amerika 2,9%, dan

Eropa 2,5%. Delapan negara menyumbang dua pertiga dari total global yaitu

: India sebanyak 26%, Indonesia 8,5%, Cina 8,4%, Filipina 6,0%, Pakistan

5,7%, Nigeria 4,4%, Bangladesh 3,6%, dan Afrika Selatan 3,6% (WHO,

2020)
Setiap tahun terdapat 250.000 kasus TB baru yang dilaporkan di

Indonesia dengan perkiraan 100.000 kasus kematian. TB merupakan salah

satu penyebab kematian diantara penyakit infeksi lainnya dan menduduki

tempat ketiga sebagai penyebab kematian pada semua umur setelah penyakit

kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran napas akut (I Wayan, et al,

2020)

Berdasarkan Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2020,

jumlah penderita TB Paru di Sulawesi Selatan tahun 2019 sebanyak 19.071

kasus, dengan rincian laki-laki sebanyak 11.226 orang dan perempuan

sebanyak 7.845 orang. Jumlah BTA+ sebesar 11.476 orang (60.17%) yang

terdaftar dan diobati, dengan kesembuhan pada tahun 2019 berjalan

sebanyak 5.366 orang (46.75%).

Prevalensi ILTB di dunia pada tahun 2014 diperkirakan sebanyak

1.700.000.000 orang dimana 35% diantaranya berasal dari wilayah Asia

Tenggara termasuk Indonesia (Kemenkes RI, 2020)

Pasien TB BTA positif merupakan sumber penularan utama dari

penyakit TB itu sendiri. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan

ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk, dapat

menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Umumnya penularan terjadi

dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama.

Sedangkan resiko peningkatan paparan TB terkait dengan jumlah kasus

menular di masyrakat, peluang kontak dengan kasus menular, patogenisitas

dahak sumber penularan, intensitas batuk kedekatan kontak dengan sumber


penularan, konsentrasi atau jumlah kiman yang terhirup, usia seseorang yang

terinfeksi, tingkat daya tahan tubuh seseorang, misalnya infeksi HIV/AIDS

dan malnutrisi (gizi buruk), serta faktor lingkungan terkait konsentrasi

kuman di udara seperti ventilasi, sinar ultraviolet dan penyaringan udara

(Pangestika et al., 2019)

Setelah infeksi pertama, sel pertahanan tubuh orang sehat (makrofag)

akan bergerak menuju tempat infeksi dan memakan bacilli. Namun, tubercle

bacilli sangatlah kuat karena struktur dinding selnya. Perlindungan ini

membuat tubercle bacilli dapat bertahan meskipun makrofag memakannya.

Setelah makrofag memakan tubercle bacilli, bacilli kemudian menginfeksi

makrofag. Bacilli hidup di dalam makrofag hidup yang tumbuh seperti

biasa. Setelah makrofag ditaklukkan oleh tubercle bacilli, system imun

tubuh mencoba strategi pertahanan lain. Sejumlah sel pertahanan sampai di

kelenjar limfa dan mengelilingi area infeksi. Sel-sel ini membentuk

gumpalan sel keras dengan sebutan tubercle. Sel ini membantu untuk

membunuh bacilli melalui pembentukkan dinding pencegah penyebaran

infeksi lebih lanjut. Pada beberapa kasus, sel pertahanan dapat merusak

semua tubercle bacilli secara permanen. Pada beberapa kasus, sel pertahanan

tidak mampu untuk merusak semua tubercle bacilli. Tubercle bacilli yang

bertahan masuk ke dalam status dormant dan dapat bertahan lama.

Sepanjang waktu ini, bakteri tertidur. Pasien tidak menunjukkan gejala dan

tidak dapat menularkannya ke orang lain. Kondisi tersebut dikenal dengan

TB laten (Kusawandi, Yasin M N, 2012)


CRP (C-Reactive Protein) merupakan salah satu metode pemeriksaan

laboratorium sebagai petanda peradangan atau infeksi dan kerusakan

jaringan. Mycobacterium tuberculosis yang masuk kedalam tubuh kemudian

menyebabkan inflamasi. Pelepasan berbagai sitokin pro inflamasi terjadi

invasi bakteri yang selanjutnya menginduksi sel hati untuk mensintetis

protein fase akut seperti CRPdan akan meningkat tajam beberapa saat

terjadinya inflamasi dan selama proses inflamasi sistemik berlangsung

(Nurmawan et al., 2020)

CRP adalah anggota dari protein pentraxin dan dikenalkan pertama kali

oleh Tillet dan Francis pada tahun 1930. Alasan dinamakan C-Reactive

Protein dikarenakan senyawa ini dapat bereaksi dengan polisakarida C-

somatic Streptococcus pneumonia. Kadarnya akan meningkat 100x dalam

kurun waktu 24-28 jam setelah terjadi luka pada jaringan. 11 tahun

kemudian, Mac Leod don Avery memperkenalkan istilah “fase akut” pada

penderita infeksi akut untuk menunjukkan sifat dari CRP . Pemeriksaan ini

biasanya digunakan untuk menentukan sejauh mana proses infeksi (Arif

Muttaqin, 2012)

Hasil penelitian (Nurmawan, Aini,Jumari Ustiawaty, 2019) di Wilayah

Kerja Puskesmas Alas Barat rata-rata kadar CRPpada penderita tuberkulosis

dengan BTA positif adalah sebesar 36 mg/L. sedangkan rata-rata kadar CRP

pada penderita TBC dengan BTA negatif adalah sebesar 0,9 mg/L. Hasil

korealsi bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kadar CRP dengan

penderita TB.
Sehingga dari ulasan diatas, mendorong peneliti dalam melakukan

penelitian untuk menganalisis kadar CRPpada pasien penderita tuberkulosis

di Rumah Sakit Pelamonia Makassar.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana kadar CRP pada pasien tuberkulosis laten ?

C. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis kadar CRP pada pasien tuberkulosis laten di Rumah

Sakit Pelamonia Makasssar

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis

Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pemeriksaan CRP dapat

dijadikan sebagai salah satu pemeriksaan untuk meninjau penyakit

tuberkulosis laten

2. Manfaat Praktisi

Membagikan bukti penerapan bahwa pemeriksaan CRP dapat dijadikan 

sebagai salah satu pemeriksaan untuk meninjau penyakit tuberkulosis laten

.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tuberkulosis Paru


1. Definisi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis Paru (TB Paru) adalah penyakit menular yang disebabkan

oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. TB paru merupakan salah satu

penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih merupakan

masalah kesehatan diberbagai negara di dunia. Menurut World Health

Organitation (WHO) tahun 2016, ada sekitar 8,6 juta orang jatuh sakit

dengan TB Paru dan 1,3 juta meninggal akibat TB Paru. Lebih dari 95%

kematian akibat TB Paru di negara berpenghasilan rendah dan menengah

(Sukirawati, 2020)

Tuberkulosis dianggap sebagai salah satu penyakit tertua sejalan dengan

tuanya sejarah manusia itu sendiri.Temuan kerangka manusia prehistoric di

Jerman sekitar tahun 8000 SM membuktikan adanya penyakit ini. Tiga dari

beberapa temuan kerangka neolitik mengarah ke penyakit Pott, walaupun

tidak dapat dibuktikan dengan bakteri tahan asam. Tahun 1964 ditemukan

sekitar 31 mumi orang mesir yang berumur sekitar tahunn 3700-1000 SM

oleh Morse dan kawan-kawan yang menunjukkan bukti adanya penyakit

ini,yaitu bentuk tulang belakang kifosis. Bukti terpenting adalah

ditemukannya bakteri tahan asam pada tulang belakang (vertebrata lumbal)


mumi anak laki-laki berumur 8 tahun, hidup kira-kira 700 tahun SM dan

menunjukkan adanya penyakit Pott (Arif Muttaqin, 2012)

Fracastoro yang lahir tahun 1478 telah memperkirakan bahwa penularan

penyakit ini pada manusia terjadi melalui partikel hidup yang terdapat

diudara. Hipotesis fracastoro ini telah dikemukakan jauh sebelum ditemukan

bakteri TB (yang dikenal bakteri tahan asam oleh Robert Koch pada April

1882). Penemuan ini merupakan awal dari kemajuan penelitian di bidang TB

baik secara teoritis,klinis dan terapi. Hipotesis fracastoro ini kemudian

terbukti dengan diketahuinya bahwa penularan utama penyakit TB adalah

oleh bakteri yang terdapat dalam droplet yang dikeluarkan penderita sewaktu

batuk, bersin, bahkan berbicara.Sehingga tidak mengherankan jika

dilingkungan yang populasinya sangat padat, angka kejadian TB yang baru

(insidensi) tinggi (Arif Muttaqin, 2012)

2. Penyebab Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh

kuman mycobacterium tuberculosis. Terdapat beberapa spesies

Mycobacterium, antara lain: M.tuberculosis, M.afri canum, M. bovis, M.

Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang

bisa menimbulkan gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT


(Mycobacterium Other Than Tuberculosis) yang terkadang bias mengganggu

penegakan diagnosis dan pengobatan TB.

Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB antara

lain:

a. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini diakibatkan

karena masih kurangnya komitmen pelaksana pelayanan, pengambil

kebijakan, dan pendanaan untuk operasional, bahan serta sarana

prasarana.

b. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang belum

menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman nasional dan

ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak baku, paduan obat

yang tidak baku, tidak

c. Dilakukan pemantauan pengobatan, tidak dilakukan pencatatan dan

pelaporan yang baku.

d. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor dalam

penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.

e. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB khususnya di

Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), serta daerah

risiko tinggi seperti daerah kumuh di perkotaan, pelabuhan, industri,

lokasi permukiman padat seperti pondok pesantren, asrama, barak dan

lapas/rutan.
f. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik dalam

penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan pengobatan,

pencatatan dan pelaporan.

g. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh terhadap risiko

terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi buruk, diabetes

mellitus, merokok, serta keadaan lain yang menyebabkan penurunan

daya tahan tubuh.

h. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang akan

meningkatkan pembiayaan program TB.

i. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya tingkat

pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi, papan, sandang

dan pangan yang tidak memadai yang berakibat pada tingginya risiko

masyarakat terjangkit TB.Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia

sudah berhasil menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB di

tahun 2015 jika dibandingkan dengan tahun 1990. Angka prevalensi TB

yang pada tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, pada tahun

2015 menjadi 647 per 100.000 penduduk. Dari semua indikator MDG’s

untuk TB di Indonesia saat ini baru target penurunan angka insidens

yang sudah tercapai. Untuk itu perlu upaya yang lebih besar dan

terintegrasi supaya Indonesia bisa mencapai target SDG’s pada tahun


2030 yang akan datang (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia,

2016)

3. Epidemiologi Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu

masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan

TB telah dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995. Menurut laporan

WHO tahun 2015, ditingkat global diperkirakan 9,6 juta kasus TB baru

dengan 3,2 juta kasus diantaranya adalah perempuan. Dengan 1,5 juta

kematian karena TB dimana 480.000 kasus adalah perempuan. Dari kasus

TB tersebut ditemukan 1,1 juta (12%) HIV positif dengan kematian 320.000

orang (140.000 orang adalah perempuan) dan 480.000 TB Resistan Obat

(TB-RO) dengan kematian 190.000 orang. Dari 9,6 juta kasus TB baru,

diperkirakan 1 juta kasus TB Anak (di bawah usia 15 tahun) sebanyak

140.000 kematian/tahun.Jumlah kasus TB di Indonesia,diperkirakan ada 1

juta kasus TB baru pertahun (399 per 100.000 penduduk) dengan 100.000

kematian pertahun (41 per 100.000 penduduk). Diperkirakan 63.000 kasus

TB dengan HIV positif (25 per 100.000 penduduk).Angka Notifikasi Kasus

(Case Notification Rate/CNR) dari semua kasus, dilaporkan sebanyak 129

per 100.000 penduduk.Jumlah seluruh kasus 324.539 kasus, diantaranya

314.965 adalah kasus baru. Secara nasional perkiraan prevalensi HIV

diantara pasien TB diperkirakan sebesar 6,2%. Jumlah kasus TB-RO


diperkirakan sebanyak 6700 kasus yang berasal dari 1,9% kasus TB-RO dari

kasus baru TB dan ada 12% kasus TB-RO dari TB dengan pengobatan

ulang (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2016)

4. Patogenesis Tuberkulosis Paru

Ketika seorang klien TB paru batuk, bersin atau berbicara, maka

secara tak sengaja keluarlah droplet nuklei dan jatuh ke tanah, lantai atau

tempat lainnya. Akibat terkena sinar matahari atau suhu udara yang panas,

droplet nuklei tadi menguap. Menguapnya, droplet bakteri ke udara dibantu

dengan pergerakan angin akan membuat bakteri tuberkulosis yang

terkandung dalam droplet nuklei terbang ke udara. Apabila bakteri ini

terhirup oleh orang sehat, maka orang itu berpotensi terkena infeksi bakteri

tuberkulosis. Penularan bakteri lewat udara disebut dengan istilah air-borne

infection. Bakteri yang terisap akan melewati pertahanan mukosilier saluran

pernapasan dan masuk hingga alveoli. Pada titik lokasi dimana terjadi

implantasi bakteri, bakteri akan menggandakan diri (multiplying). Bakteri

tuberkulosis dan fokus ini disebut fokus primer atau lesi primer atau fokus

ghon. Reaksi juga terjadi pada jaringan limfe regional, yang beersama

dengan fokus primer disebut sebagai kompleks primer. Dalam waktu 3-6

minggu, inang yang baru terkena infeksi akan menjadi sensitif terhadap

protein yang dibuat bakteri tuberkulosis dan bereaksi positif terhadap tes

tuberkulin atau tes Mantoux.


Berpangkal dari kompleks primer,infeksi dapat menyebar keseluruh

tubuh melalui berbagai jalan, yaitu :

a. Percabangan bronkus

Penyebaran infeksi lewat percabangan bronkus dapat mengenai area paru

atau melalui sputum menyebar ke laring (menyebabkan ulserasi laring),

maupun ke saluran pencernaan.

b. Sistem saluran limfe

Penyebaran lewat saluran limfe menyebabkan adanya regional limfa

denopati atau akhirnya secara tak langsung mengakibatkan penyebaran

lewat darah melalui duktus limfatikus dan menimbulkan tuberkulosis

milier.

c. Aliran darah

Aliran vena pulmonalis yang melewati lesi paru dapat membawa atau

mengangkut material yang mengandung bakteri tubekulosis dan bakteri

ini dapat mencapai berbagai organ melalui aliran darah yaitu

tulang,ginjal, kelenjar adrenal,otak, dan meningen.

d. Reaktivasi infeksi primer (infeksi pasca-primer)

Jika pertahanan tubuh (inang) kuat maka, infeksi primer tidak

berkembang lebih jauh dan bakteri tuberculosis tidak dapat berkembang

biak lebih lanjut dan menjadi dorman atau tidur. Ketika suatu saat kondisi

inang melemah akibat sakit lama/keras atau memakai obat yang


melemahkan daya tahan tubuh terlalu lama, maka bakteri tuberkulosis

yang dorman dapat aktif kembali.Inilah yang disebut reaktivasi infeksi

primer atau infeksi pasca-primer.Infeksi ini dapat terjadi bertahun-tahun

setelah infeksi primer terjadi.Selain itu, infeksi pasca-primer juga dapat

diakibatkan oleh bakteri tuberkulosis yang baru masuk kedalam tubuh

(infeksi baru), bukan bakteri dorman yang aktif kembali. Biasanya organ

paru tempat timbulnya infeksi pasca primer terutama berada di daerah

apeks paru (Arif Muttaqin, 2012)

5. Gejala Klinis

Gejala dan tanda TB yang meliputi:

a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu

atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak

bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa

kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien dengan

HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB yang khas,

sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau lebih.

b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru

selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan

lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,

maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut


diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan

pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan pada orang

dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien TB, tinggal di

daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan orang

yang bekerja dengan bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan

infeksi paru. (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2016)

6. Klasifikasi Tuberkulosis Paru

a. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :

1) Tuberkulosis paru : Adalah TB yang berlokasi pada parenkim

(jaringan) paru. Milier TB dianggap sebagai TB paru karena adanya

lesi pada jaringan paru. Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus

juga menderita TB ekstra paru, diklasifikasikan sebagai pasien TB

paru.

2) Tuberkulosis ekstraparu: Adalah TB yang terjadi pada organ selain

paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe, abdomen, saluran kencing, kulit,

sendi, selaput otak dan tulang. Limfadenitis TB dirongga dada (hilus

dan atau mediastinum) atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran

radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB

ekstra paru. Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan

hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru


harus diupayakan secara bakteriologis dengan ditemukannya

Mycobacterium tuberculosis. Bila proses TB terdapat dibeberapa

organ, penyebutan disesuaikan dengan organ yang terkena proses TB

terberat.

b. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:

1) Pasien baru TB: adalah pasien yang belum pernah mendapatkan

pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah menelan OAT namun

kurang dari 1 bulan (˂ dari 28 dosis).

2) Pasien yang pernah diobati TB: adalah pasien yang sebelumnya pernah

menelan OAT selama 1 bulan atau lebih (≥ dari 28 dosis). Pasien ini

selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB terakhir,

yaitu Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan

sembuh atau pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB

berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena

benar-benar kambuh atau karena reinfeksi). Pasien yang diobati

kembali setelah gagal adalah pasien TB yang pernah diobati dan

dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir. Pasien yang diobati

kembali setelah putus berobat (lost to follow-up) adalah pasien yang

pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up. (Klasifikasi ini

sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus


berobat /default). Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati

namun hasil akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui. Adalah

pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2).

c. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat

Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji

Mycobacterium tuberculosisterhadap OAT dan dapat berupa:

1) Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap salah

satu jenis OAT lini pertama saja.

2) Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap lebih

dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R)

secara bersamaan.

3) Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap

Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa

diikuti resitan OAT lini pertama lainnya.

4) Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga

mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah satu OAT golongan

fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan

(Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin).

5) Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosisresistan terhadap

Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi

menggunakan metode genotip (tes cepat molekuler) atau metode fenotip

(konvensional).
d. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV

1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah

pasien TB dengan:

a) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau

b) Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:

a) Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau

b) Hasil tes HIV negative pada saat diagnosis TB.

Catatan:Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV

menjadi positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai

pasien TB dengan HIV positif.

e. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada

bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.

Catatan:Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes

HIV pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan

hasil tes HIV terakhir (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2016)

7. Tuberkulosis Laten

Seseorang dengan Latent Tuberculosis Infection (LTBI) memiliki

Mycobacterium tuberculosis didalam tubuh mereka. Akan tetapi, mereka

dikatakan tidak memiliki peyakit TB dan tidak dapat menularkannya ke

orang lain. Kondisi ini sering disebut juga dengan TB Laten. Proses LTBI

dimulai ketika bacilli ekstraseluler dimakan oleh makrofag dan


diperkenalkan ke sel darah putih. Hal tersebut memicu respon imun tubuh.

Sel darah putih membunuh atau mengenkapulasi sebagian besar bacilli.

Kemudian granuloma akan terbentuk. Pada kondisi ini, LTBI telah terjadi.

LTBI dapat dideteksi dengan menggunakan tuberculin skin test (TST) atau

interferon gamma release assay (IGRA). Sistem imun tubuh memerlukan

waktu selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi TB awal agar mampu

bereaksi terhadap tuberculin, sehingga LTBI tetap dapat dideteksi oleh TST

atau IGRA. Satu minggu setelah infeksi, sistem biasanya mampu untuk

menghentikan perbanyakan tubercle bacilli, sehingga perkembangan

penyakit dapat dicegah. Pada beberapa orang, tubercle bacilli dapat

mengalahkan sistem imun tubuh dan memperbanyak diri, sehingga terjadi

progresi dari LTBI menjadi penyakit TB atau TB aktif. Seseorang dengan

penyakit TB aktif biasanya menular dan dapat menyebarkan bakteri TB ke

orang lain. Perkembangan LTBI ke penyakit TB dapat terjadi kapanpun,

baik segera maupun beberapa tahun kemudian. Cairan tubuh atau jaringan

dari area sumber penyakit harus diambil untuk AFB smear dan kultur.

Kultur positif dari Mycobacterium tuberculosis mengkonfirmasi diagnosis

penyakit TB.
8. Perbedaan TB Laten dan TB Aktif

Infeksi TB adalah suatu tahap atau kondisi dimana terdapat sedikit

jumlah Mycobacterium tuberculosis di dalam tubuh. Bakteri tersebut tidak

mampu tumbuh karena adanya kendali dari system imun. Bakteri bersifat

inaktif, namun tetap hidup di dalam tubuh dan nanti dapat menjadi aktif.

Kondisi ini disebut sebagai Laten Tuberculosis Infection (LTBI) atau TB

Laten. TB laten tidak menyebabkan seseorang merasa sakit, tidak adagejala

maupun tanda terdeteksi pada evaluasi medis, Tuberculin skin test adalah

metode utama untuk mendiagnosis TB jenis ini. Hasil positif biasanya

menunjukkan adanya infeksi TB. Namun seseorang dengan HIV-associated

immunosupression dan seseorang penerima vaksin BCG dapat memberikan

hasil negatif pada skin test. Hanya 1 dari 10 orang dengan TB laten dan

sistem imun normal akan mengalami perkembangan menjadi penyakit TB

pada masa hidup mereka. Terapi TB Laten dengan obat anti-TB isoniazid

dapat mengurangi resiko perkembangan menjadi penyakit TB, walaupun

keuntungan perlindungan hanya bertahan selama kurang lebih 2 tahun.

Sebagian besar penyakit TB aktif terjadi di paru-paru. Namun, pada

seseorang dengan infeksi HIV, hampir setengah kasus TB memiliki penyakit

di bagian lain dari tubuh. Berbeda dengan TB laten, seseorang dengan

penyakit TB di paru-paru biasanya mengalami batuk dan terkadang batuk

berdarah. Gejala umum penyakit TB atau dikenal juga dengan TB aktif


meliputi demam, berkeringat pada malam hari, kehilangan nafsu

makan,kehilangan berat badan, dan kelelahan. Penyakit TB dapat

disembuhkan dengan terapi standar, meskipun pada penderita dengan

infeksi HIV, tuberkulosis tidak tertangani sering berdampak fatal,

khususnya pada penderita dengan infeksi HIV.

B. Tinjauan Umum Mycobacterium tuberculosis


1. Klasifikasi Menurut Irianti, R et al., 2016

Kingdom : Bacteria

Phylum : Actinobacteria

Ordo : Actinomycetales

Subordo : Corynebacterineae

Keluarga : Mycobacteriaceae

Genus : Mycobacterium

2. Morfologi

Mycobacterium tuberculosis ini berbentuk batang dengan ukuran 2-4

µm x 0,2-0,5 µm,tidak berspora. Pada biakan, terlihat bentuknya bervariasi

mulai dari bentuk kokoid sampai berupa filament. Beberapa strain tertentu

berbeda dalam pertumbuhannya, yaitu berbentuk batang dan tersusun seperti

tali yang disebut cord formation (Arif Muttaqin, 2012)

Dinding selnya mengandung lipid sampai 60% dari berat seluruhnya ,

sehingga sangat sukar diwarnai dan perlu cara khusus agar terjadi penetrasi

zat warna. Ada beberapa teknik pewarnaan tahan asam untuk mewarnai
bakteri ini. Salah satu jenis pewarnaan yang lazim digunakan adalah

pewarnaan Ziehl-Neelsen. Cara lainnya adalah pewarnaan Kinyoun-Gabbet

atau pewarnaan Than Thiam Hok. Pada pewarnaan tersebut bakteri akan

tampak berwarna merah dengan lbatar belakang biru. Pada pewarnaan

berfluoresensi dengan warna kuning oranye (Arif Muttaqin, 2012)

Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel menyebabkan bakteri ini

sangat tahan terhadap asam,basa,dan kerja antibiotic bakterisidal. Selain itu,

bahan-bahan makanan juga sukar mengadakan penetrasi melalui dinding

selnya sehingga untuk pertumbuhannya perlu waktu yang cukup lama.

Tuberculin positif dapat ditransfer oleh sel monosit dari seseorang dengan

tuberculin positif kepada seorang dengan tuberkulin negative. Tuberkulin

positif mempunyai anti pada infeksi sebelumnya dengan mycrobacterium,

akan tetapi tidak menunjukkan bahwa penyakitnya dalam keadaan aktif

kecuali hasil tes positif pada anak-anak. Tes ini menunjukkan reaktivitas

sebulan setelah infeksi dan akan menetap sampai beberapa tahun (Arif

Muttaqin, 2012)

Anda mungkin juga menyukai