Syari’ah Islam

Secara makna, syar’iah islam berarti aturan-aturan serta ketentuan yang bersumber dan
ditetapkan oleh Allah S.W.T. kepada umat-Nya dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah,
amaliyah dan akhlaqiyah. Seluruh aturan ini berasal dari Allah, dan disampaikan melalui Rasulullah;
termasuk halal, sunnah, makruh, mubah dan haramnya sesuatu. Dalam perkembangannya, syar’iah
islam mengerucut pada hukum amaliyah yang dipatuhi oleh setiap hambanya untuk Allah S.W.T.,
yang sering disebut sebagai fiqih islami.
Sebagai seorang muslim, kita perlu memiliki pemahaman yang baik terhadap perbedaan
antara aqidah dan syari’ah. Dalam urusan aqidah, semua Nabi dan Rasul, dari Adam sampai
Muhammad S.A.W.,memiliki prinsip yang sama, yaitu mengesakan Allah sebagai Tuhan semesta
alam. Namun, dalam urusan syari’ah, setiap Nabi dan Rasul membawa syar’iah masing-masing
untuk menyembah Allah. Perbedaan syar’iah ini akan bergantung dari kondisi zaman saat para Nabi
dan Rasul tersebut diutus.
Dalam agama islam, terdapat beberapa sumber syar’iah islam. Sumber utama berupa Al-
Qur’an, meluas lagi menjadi sunnah Rasul, kemudian Ijma’, dan Qiyas. Dari perspektif ilmu Ushul
fiqh, Al-Qur’an didefinisikan sebagai lafadz Allah yang diturunkan kepada Rasulullah S.A.W., yang
diriwayatkan secara mutawaatir, dan bernilai ibadah apabila kita membacanya. Fokus yang paling
penting, yang dibahas dalam Al-Qur’an dan dikaji oleh para ulama adalah ayat-ayat Ahkam, yang
merupakan perkataan Allah yang memuat tentang hukum islam sebagai sumber utama dari syar’iah
islam.
Kemudian, ada sunnah Rasulullah sebagai sumber kedua dari syar’iah islam, yang
didefinisikan sebagai perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasulullah, yang darinya kemudian dijadikan
sumber dari hukum islam. Dalam ilmu ushul fiqh, fokus ulama akan ditujukan pada hadis-hadis
ahkam, yang merupakan sunnah Nabi yang dijadikan sumber syar’iah islam. Sehingga, hadis-hadis
yang menerangkan sifat Nabi saja tanpa ada kaitannya terhadap hukum (aturan), tidak digolongkan
sebagai hadis ahkam.
Selanjutnya, Ijma’ merupakan sumber ketiga dari syar’iah islam. Secara harafiah, Ijma’
berarti perkumpulan, yang secara makna didefinisikan sebagai kesepakatan para Mujtahid dalam
sebuah masalah hukum islam setelah wafatnya Rasulullah S.A.W. Contohnya adalah Ijma’ dalam
penulisan mushaf Al-Qur’an. Selain itu, Ijma’ tidak boleh berlawanan dengan Al-Qur’an dan sunnah.
Kemudian, ada dalil Qiyas sebagai sumber terakhir dari syar’iah islam. Qiyas diartikan
sebagai ‘analogi’, yaitu dengan menganggap sama antara sesuatu yang tidak dinyatakan langsung
dalam Al-Qur’an dengan sesuatu yang tidak tertera dalam Al-Qur’an secara langsung, dikarenakan
adanya Illat (sebab) hukum tertentu. Terdapat rukun dalam membuat dalil Qiyas, yaitu Al-Aslu,
hukum asal al-far’u, hukum al-far’u dan illat hukum. Apabila semuanya ditemukan, maka dalil
Qiyas dapat dibuat. Walaupun, ketika kita mengkaji ilmu ushul fiqh terdapat perbedaan pendapat
antar ulama mengenai penafsirannya terhadap sumber-sumber tersebut, hal itu merupakan hal yang
wajar; karena adanya perbedaan kapabilitas ilmu diantara mereka. Sehingga, perbedaan secara
khilafiyah tersebut harus kita hadapi secara lapang dada.
Syar’iah islam apabila dipersempit menuju fiqh islam, maka terdapat unsur-unsur yang
saling berurutan, yaitu: ibadah, mu’amalah, nikah, mawaris dan jinayah. Secara khusus, terdapat dua
jenis ibadah, yaitu: (1) mahdah (tata cara, tempat dan waktunya telah ditetapkan oleh Allah melalui
rasul-Nya; serta murni hubungan antara Allah sebagai khalik, dan manusia sebagai makhluk), dan
(2) Ghairu mahdah (tata cara tidak ditentukan secara detail, serta tidak murni hubungan antara
khalik-makhluk, tetapi bisa hubungan antara makhluk-makhluk). Dalam ibadah mahdah, apabila
ibadah yang kita lakukan tidak sesuai dengan ketentuan dan tatacara yang telah ditetapkan, maka
ibadah tersebut tidak akan diterima. Sedangkan pada ibadah Ghairu mahdah, selama niatnya
disandarkan pada Allah dan dengan cara yang baik dandibenarkan, tidak ada ketentuan yang khusus
dan menentu.