Anda di halaman 1dari 15

SKENARIO 2 : IBU KESAKITAN SAAT PERSALINAN

Ny. Risti pasien baru datang ke IGD membawa rujukan bidan dengan diagnosa bidan G1P0A0
19 th hamil 9 bulan Inpartu kala I. Pasien mengatakan sudah kencang – kenceng sering dan
gerak janin berkurang. Pasien terlihat kesakitan dan saat dilakukan pemasangan kateter terlihat
urin bercampur darah. Pada pemeriksaan didapatkan TB 145 cm BB 50 Kg, tanda vital pasien
TD 120/90 mmHg, Nadi 112x/menit, RR 22x/menit, T 37 C. Pada pemeriksaan obstetri
didapatkan TFU 34 cm ~ TBJ 3565 gr. Leopold I-IV : janin I intrauterine preskep belum masuk
PAP puki, His 4-5’(50”). DJJ 170x/menit reguler. Tampak bandle ring. Osborn test (+). VT
pembukaan 4 cm, KK (+) menonjol, bagian bawah kepala masih tinggi, UUK sulit dinilai.

I. Terminologi
1. Osborn test : pemeriksaan cephalopelvic disporportion dengan menempatkan jari
tangan di simfisis pubis, apabila tonjolan > 3 jari diatas simfisis artinya osborn test
positif. Osborn test dilakukan di usia kehamilan 36 minggu dengan mendorong kepala
janin untuk masuk ke PAP dan diukur seperti diatas.
2. Bandle ring : hubungan abnormal antara dua segmen (rahim atas lebih tebal dan rahim
bawah lebih tipis) uterus yang merupakan tanda akhir yang berhubungan dengan partus
macet. Normalnya 2-3 jari diatas simfisis akibat janin yang tidak turun (lingkaran
patologis). Keadaan ini menyebabkan uterus meregang untuk menampung janin, dimana
peregangan ini yang terus menerus dapat menyebabkan ruptur uteri.
3. His : kontraksi otot – otot rahim pada persalinan dimana dapat ditentukan
dengan meraba dinding rahim dari luar menggunakan tangan pemeriksa, his
menyebabkan pembukaan dan penipisan serviks. Interval kontraksi diukur dalam 10
menit. Dari skenario setiap 4-5 menit terjadi kontraksi berdurasi 50 detik dalam 10
menit.
4. Leopold : leopod merupakan pemeriksaan pada bumil yang bertujuan untuk
memperkirakan letak dan presentasi janin. Px leopold rutin dilakukan pada trimester III.

II. Rumusaan Masalah


1. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan obstetri pada skenario?
2. Bagaimana hubungan tinggi badan dan kesulitan bersalin?
3. Mengapa pada pemasangan kateter didapatkan urin bercampur darah?
4. Mengapa bisa terjadi bandle ring?
5. Apakah kasus ini termasuk kegawatdaruratan? Jika iya apa diagnosis yang mungkin
pada skenario?

III. Analisis Masalah


1. TD : batas atas, HR : takikardi, RR : takipneu, tidak demam
Px obstetri : sudah masuk fase aktif karena hisnya sudah reguler dan durasi panjang,
TBJ : relatif normal, presentasi kepala belum masuk PAP, ada CPD, ada kewaspadaan
terjadinya fetal distress, pembukaan belum lengkap (masih 4 cm), ketuban mungkin
belum pecah, ada tanda ruptur uteri.
2. TB ibu 145 cm termasuk dalam perawakan pendek dimana panggulnya sempit, hal ini
menyebabkan kepala bayi sulit melewati panggul ibu sehingga terjadi disporporsi
kepala janin dan pelvis yang dikuatkan dengan px osborn test positif.
3. Pergangan segmen bawah rahim menyebabkan VU ikut meregang karena uterus dan
VU dihubungkan oleh jaringan ikat longgar, kemudian saat dilakukan pemasangan
kateter dapat terjadi perlukaan. Peregangan rahim yang terus menerus dapat
menyebabkan perdarahan yang keluar dari urin.
4. Pada persalinan kala I dan awal kala II ada namanya lingkaran retraksi fisiologis yang
merupakan batas segmen bawah dan atas rahim. Ketika persalinan terjadi, rahim
mengalami kontraksi terus menerus. Apabila saat kontraksi bayi tidak bisa menurun,
segmen rahim akan tertarik ke atas. Ketika lingkaran retraksi fisiologis tersebut tertarik
hingga mendekati pusar akan menjadi lingkaran retraksi yang patologis, lingkaran yang
tampak secara klinis tersebutlah yang dinamakan bandle ring. Bila hal ini dibiarkan,
segmen bawah rahim akan meregang hingga batas elastisitasnya dan bila itu terjadi akan
menyebabkan ruptur.
5. Iya termasuk kegawatdaruratan obstetri karena dapat mengancam jiwa ibu dan harus
ditangani segera. Diagnosis banding komplikasi penanganan yang lambat dari
DKP/CPD. Kegawatdaruratannya yaitu terjadi ruptur uteri imminens, bila tidak
ditangani segera dapat terjadi ruptur uteri komplit.

IV. Skema Belajar


Ny Risti
Wanita 19 tahun

G1P0A0
Uk 9 bulan
Inpartu Kala I

Anamnesis Pemeriksaan Fisik


• Kenceng-kenceng • Hematuri pada pemasangan kateter
• Gerak janin berkurang • TB 145  risiko panggul sempit
BB 50 kg
• TTV
- TD 120/90  normal
Apabila sudah syok  rupture uteri komplit
- HR 112x/menit  takikardi
- RR 22x/menit  takipneu
- T 37 C  normal
• Px Obstetri
- TFU 34  TBJ 3565  besar
- Leopold : janin I, intrauterine, presentasi
kepala, belum masuk PAP punggung kiri
- His 4-5’ (50”)  kala I aktif
- DJJ 170x/menit regular  distress
- Bandl’s ring (+)
- Osborn test (+)  CPD
- Pembukaan 4  fase aktif
- KK (+) menonjol
- Bagian bawah kepala masih tinggi
- UUK sulit dinilai

Ruptur Uteri Iminens

Ruptur Uteri

Patofisiologi Diagnosis Pemeriksaan Pengelolaan


- Anamnesis Penunjang pasien dan
- PF Umum rujukan
- PF obstretri

V. Sasaran Belajar
1. Mahasiswa mampu memahami etiologi dan patofisiologi ruptur uteri serta gawat janin
2. Mahasiswa mampu memahami dan melakukan anamnesis obstetri, pemeriksaan fisik
umum, dan pemeriksaan fisik obstetri untuk diagnosis ruptur uteri
3. Mahasiswa mampu memahami tentang diagnosis banding ruptur uteri
4. Mahasiswa mampu memahami tentang komplikasi ruptur uteri pada ibu dan pada bayi
5. Mahasiswa mampu memahami tentang pemeriksaan penunjang untuk membantu
menegakkan diagnosis ruptur uteri
6. Mahasiswa mampu memahami tentang pengelolaan ruptur uteri dan gawat janin serta
melakukan rujukan ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi

VI. Belajar Mandiri


1. etiologi ruptur uteri

a. Ruptur uteri spontan (non violent)


Ruptur uteri spontan pada uterus normal dapat terjadi karena beberapa
penyebab yang menyebabkan persalinan tidak maju. Persalinan yang tidak maju
ini dapat terjadi karena adanya rintangan misalnya panggul sempit, hidrosefalus,
makrosomia, janin dalam letak lintang, presentasi bokong, hamil ganda dan
tumor pada jalan lahir.
b. Ruptur uteri traumatika (violent)
Faktor trauma pada uterus meliputi kecelakaan dan tindakan. Kecelakaan sebagai
faktor trauma pada uterus berarti tidak berhubungan dengan proses kehamilan
dan persalinan misalnya trauma pada abdomen. Tindakan berarti berhubungan
dengan proses kehamilan dan persalinan misalnya versi ekstraksi, ekstraksi forcep,
alat-alat embriotomi, manual plasenta, dan ekspresi/dorongan.
c. Ruptur uteri jaringan parut
Ruptur uteri yang terjadi karena adanya locus minoris pada dinding uterus sebagai
akibat adanya jaringan parut bekas operasi pada uterus sebelumnya, enukleasi
mioma atau miomektomi, histerektomi, histerotomi, histerorafi dan lain-lain.
Seksio sesarea klasik empat kali lebih sering menimbulkan ruptur uteri daripada
parut bekas seksio sesaria profunda. Hal ini disebakan oleh karena luka pada
segmen bawah uterus yang merupakan daerah uterus yang lebih tenang dalam
masa nifas dapat sembuh dengan lebih baik, sehingga parut lebih kuat.

Patofisiologi ruptur uteri

Saat persalinan kala I dan awal kala II maka batas antara segmen bawah rahim dan
segmen atas rahim dinamakan lingkaran retraksi fisiologis. Saat persalinan kala II
apabila bagian terbawah tidak mengalami kemajuan sementara segmen atas rahim
terus berkontraksi dan makin menebal, maka segmen bawah rahim makin tertarik ke
atas dan menjadi tipis sehingga batas antara segmen bawah rahim dan segmen atas
rahim akan naik ke atas. Apabila batas tersebut sudah melampaui pertengahan antara
pusat dan simfisis maka lingkaran retraksi fisiologis menjadi retraksi patologis (Bandl
Ring). Apabila persalinan tetap tidak ada kemajuan, segmen bawah uterus makin lama
makin teregang sehingga akhirnya pada suatu saat regangan yang terus bertambah ini
melampaui batas kekuatan jaringan miometrium sehingga terjadilah ruptur uteri
Etiologi dan Patofisiologi gawat janin

2. anamnesis obstetri, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan fisik obstetri untuk
diagnosis ruptur uteri

 Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan :

o Adanya riwayat partus yang lama atau macet.

o Adanya riwayat partus dengan manipulasi penolong.

o Adanya riwayat multiparitas.

o Adanya riwayat operasi pada uterus (missal : seksio sesaria,

enukleasi mioma atau miomektomi, histerektomi, histeritomi,

dan histerorafi.

o Ruptur uteri komplit : nyeri abdomen yang intens, perdarahan

pervaginam, nyeri dada akibat hemoperitoneum


o Ruptur uteri imminens : nyeri abdomen yang intens, nyeri

sering tidak tampak jika pasien telah menerima analgesia

untuk meredam nyeri persalinan (painless labor)

 Pemeriksaan Fisik

o Pemeriksaan tanda vital:

a) rupture uteri komplit: tekanan darah menurun, serta nadi

cepat (tanda hipovolemia), tampak tanda anemis

(konjungtiva pucat) dan takipnea.

b) Ruptur uteri iminens : keadaan ibu tampak gelisah, tampak

bandl ring dari luar yang semakin tinggi

o Pemeriksaan luar :

 Nyeri tekan abdominal

 Perdarahan pervaginam

 Kontraksi uterus biasanya akan hilang

 Pada palpasi bagian janin mudah diraba di bawah dinding

perut ibu atau janin teraba di samping uterus

 Di perut bagian bawah teraba uterus kira – kira sebesar

kepala bayi

 Denyut Jantung Janin (DJJ) biasanya negative (bayi sudah

meninggal)

 Terdapat tanda – tanda cairan bebas

 Jika kejadian rupture uteri telah lama, maka akan timbul

gejala – gejala meteorismus dan defans muscular yang

menguat sehingga sulit untuk meraba bagian – bagian

janin.

o Pemeriksaan Dalam

Pada rupture uteri komplit :


 Perdarahan pervaginam disertai perdarahan intraabdomen,

sehingga didapatkan tanda cairan bebas dalam abdomen.

 Pada pemeriksaan pervaginal bagian bawah janin tidak

teraba lagi atau teraba tinggi dalam jalan lahir, selain itu

kepala atau bagian terbawah janin dengan mudah dapat

didorong ke atas, hal ini terjadi karena seringkali seluruh

atau sebagian janin masuk ke dalam rongga perut melalui

robekan pada uterus.

 Kadang – kadang kita dapat meraba robekan pada dinding

Rahim dan jika jari tangan dapat melalui robekan tadi,

maka dapat diraba omentum, usus, dan bagian janin.

 Pada kateterisasi didapatkan urin berdarah.

Pada rupture uteri inkomplit :

 Perdarahan biasanya tidak terlalu banyak, darah berkumpul

di bawah peritoneum atau mengalir keluar melalui vagina.

 Janin umumnya tetap berada dalam uterus.

 Pada kateterisasi didapati urin berdarah.

o Pemeriksaan obstetri

- Ruptur uteri komplit : auskultasi DJJ sering tidak terdengar atau

mengalami deselerasi

- Ruptur uteri iminens : tanda-tanda gawat janin (fetal distress)

3. diagnosis banding ruptur uteri


a. Solusio Plasenta

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan

maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan

desidua endometrium sebelum waktunya, yakni sebelum anak lahir.


Gejala dan tanda klinis klasik dari solusio plasenta adalah terjadinya

perdarahan yang berwarna tua keluar dari vagina (80% kasus), rasa nyeri

perut dan uterus tegang terus – menerus mirip his partus prematurus.

Sejumlah penderita bahkan tidak menunjukkan tanda atau gejala klasik,

gejala yang lahir mirip tanda persalinan premature saja.

b. Plasenta Previa

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah

Rahim sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum.

Ciri yang menonjol pada plasenta previa adalah perdarahan uterus yang

keluar dari vagina tanpa rasa nyeri pada akhir trimester dua ke atas.

Perdarahan terjadi berulang dan setiap berulang perdarahan yang terjadi

menjadi lebih banyak. Pada palpasi abdomen sering ditemui bagian terbawah

janin masih tinggi di atas simfisis dengan letak janin tidak dalam letak

memanjang.

Tabel Perbedaan Solusio Plasenta dan Plasenta Previa

Solusio Plasenta Plasenta Previa


Perdarahan Merah tua sampai Merah segar

dengan coklat hitam Berulang


Terus – menerus Tidak nyeri

Disertai nyeri
Uterus Tegang, bagian janin Tidak tegang

tidak teraba Tidak nyeri tekan

Nyeri tekan
Syok/anemia Lebih sering Jarang

Tidak sesuai dengan Sesuai dengan jumlah

jumlah darah yang darah yang keluar

keluar
Fetus 40 % fetus sudah mati Biasanya fetus hidup

Tidak disertai kelainan Disertao kelainan letak

letak
Pemeriksaan dalam Ketuban menonjol Teraba plasenta atau

walaupun tidak his perabaan fornik, ada

bantalan antara bagian

janin dengan jari

pemeriksa.

c. Vasa Previa

Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah janin berada di

dalam selaput ketuban dan melewati ostium uteri internum untuk kemudian

sampai ke dalam insersinya di tali pusat. Perdarahan terjadi bila selaput

ketuban yang melewati pembukaan serviks robek atau pecah dan vascular

janin pun ikut terputus.

4. pemeriksaan penunjang rupture uteri

a. Pemeriksaan laboratorium

o Hitung darah lengkap dan apusan darah

Batas dasar Hb dan nilai hematokrit tidak dapat menjelaskan banyaknya

kehilangan darah
o Urinalisis

Hematuria sering menunjukkan adanya hubungan dengan perlukaan

kandung kemih

o Golongan darah dan rhesus

4-6 unit darah dipersiapkan untuk transfusi bila diperlukan

b. USG

Tanda-tanda rupture uteri yang bisa ditemukan pada sonografi:

 Identifikasi bagian kantung amnion yang menonjol

 Defek endometrium atau myometrium

 Hematoma ekstra uterus

 Haemoperitoneum atau cairan bebas

USG pasien dengan ruptur uteri menunjukkan adanya robekan di

anterior uterus (panah) dan penonjolan plasenta di sisi kanan (anak

panah). Cairan amnion tampak anekoik. Terdapat satu janin

intrauterin yang masih hidup

c. MRI

Multiplanar MR imaging menunjukkan penilaian menyeluruh terhadap

dinding rahim dan rongga peritoneum

5. komplikasi ruptur uteri pada ibu dan pada bayi

Komplikasi dari ruptur uteri tergantung pada durasi waktu antara diagnosis dan persalinan. Pada kondisi

rupture uteri, bayi dapat menjadi sangat kekurangan oksigen (asfiksia ) dan mengalami cedera otak yang

disebut hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) (HIE), yang dapat menyebabkan kejang, palsi
serebral dan keterlambatan perkembangan. Jika ruptur uteri terjadi saat bayi prematur, asfiksia saat lahir

dapat menyebabkan cedera pada ganglia basalis dan watershed, yaitu cedera otak yang ditandai dengan

kematian dan kerusakan jaringan otak. Rupture uteri juga dapat menyebabkan kematian pada janin.

Menurut sebuah studi oleh A.S. Leung, morbiditas neonatus yang signifikan ditemukan pada kasus

ruptur uteri saat persalinan terjadi lebih dari 18 menit setelah deselerasi berkepanjangan

Komplikasi rupture uteri yang dapat terjadi pada ibu yakni perdarahan hebat, histerektomi dan kematian

ibu. Sekitar 1% ibu yang mengalami rupture uteri meninggal.

6. Penatalaksanaan dari ruptur uteri adalah:


1. Perbaiki keadaan Umum

 Mengganti volume darah yang hilang dengan pemberian infus cairan intrave-
na, baik NaCl 0,9% maupun Ringer laktat, sebelum pembedahan untuk atasi
syok
 Transfusi darah yang disesuaikan dengan volume cairan yang hilang
 Berikan antibiotika spektrum luas dalam dosis tinggi untuk mencegah sepsis

 Oksigen
2. Laparatomi
a. Histerektomi
Histerektomi dilakukan, jika:
- Fungsi reproduksi ibu tidak diharapkan lagi
- Kondisi buruk yang membahayakan ibu

b. Repair uterus (histerorafi)


Histerorafi dilakukan jika:
- Masih mengharapkan fungsi reproduksinya
- Kondisi klinis ibu stabil
- Ruptur tidak berkomplikasi.

Penanganan Gawat Janin pada Persalinan


Sistem Rujukan

Apabila bidan/dokter penolong pertama persalinan, menemukan penyulit dalam

persalinan dan ibu bersalin dikelompokkan dalam kelompok B1 (seperti pada

kasus yaitu persalinan tidak maju dan robekan uterus) , maka penolong pertama

harus memutuskan secara cepat dan tepat untuk melakukan rujukan. Dimana

rujukan diarahkan ke RS PONEK (Pelayanan Obstetrik Neonatal emergency

Komprehensif) 24 jam.

Ibu bersalin kelompok B1 :

o Abortus iminens

o Abortus inkomplet

o Suspek KET

o Suspek mola hidatidosa

o Partus prematurus

o Ketuban pecah dini

o Solusio plasenta
o Plasenta previa

o Perdarahan post partum dini (laserasi jalan lahir, atonia uteri)

o Partus tak maju

o Kala II tak maju

o Fetal distress

o Prolapsusu tali pusat

o Retensio plasenta

o Rupture perineum derajat 3 -4

o Distosia bahu

o Letak lintang kasep

o Sepsis puerpuralis

Anda mungkin juga menyukai