BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
7672 YC di jalan raya Desa Tanjung Harapan Kec. Semidang Gumay Kab.
Kaur pada hari minggu tanggal 02 Agustus 2015 seperti yang telah diuraikan
tersebut
tersebut meliput gejala tingkah laku kolektif yang sangat luas, seperti
1
Adrianus Eliasta Meliala, Et.al, Bunga Rampai Kriminologi : Dari Kejahatan &
Penyimpangan,
Usaha Pengendalian, Sampai Renungan Teoritis, Jakarta : Departemen Kriminologi FISIP-UI, 2010,
Hal, 140.
50
kepanikan, gerakan sosial, revolusi, pemogokan, bahkan termasuk cita rasa dan
mode.
juga disebut tindakan main hakim sendiri pada contoh kasus yang telah
atau media massa lain, mulai sering terlihat masyarakat cenderung memiliki
persepsi bahwa tindakan kekerasan terhadap sesuatu yang salah atau dianggap
salah oleh masyarakat tersebut merupakan sesuatu yang benar, seperti tindakan
yang dilakukan oleh masyarakat seperti merusak sesuatu atau barang orang lain
seperti pada contoh yang disebutkan sebelumnya diatur dalam ketentuan pasal
a. dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, bila dia dengan
sengaja menghancur-kan barang atau bila kekerasan yang
digunakan itu mengakibatkan luka-luka;
b. dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, bila
kekerasan itu mengakibatkan luka berat;
c. dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, bila
kekerasan itu mengakibat-kan kematian. 2
kolektif, bisa saja terjadi tanpa mereka sadari, akan tetapi setiap aksi main
3
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung : PT. Eresco, 1992, Hal.
140.
52
Indonesia, ialah : (1) perihal (yang bersifat, berciri) keras; (2) perbuatan
orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; (3)
dilarang oleh aturan hukum yang berlaku disertai ancaman sanksi bagi
KAUR yang juga merupakan polisi yang bertugas di POLRES Kaur, tindakan
4
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2001, Hal. 425
5
Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU Nomor 2 Tahun 2002.
LN Nomor 2 Tahun 2002, TLN Nomor 4168.
53
dan amanah jabatan termasuk diskresi. dalam tugas kepolisian sebagai penegak
hukum dan penjaga tujuan hukum dalam sistem peradilan pidana, tugasnya
terdiri dari Prefentif yaitu tugas pengawasan, Pre-emptif yaitu tugas pembinaan,
dan tugas represif yaitu penindakan apabila telah terjadi tindak pidana.
sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat secara bersama sama atau
Tetapi hanya ada satu pilihan bahwa kekerasan harus dihentikan karena sangat
bahwa ketika kekerasan itu terjadi tidak diawali dengan gejala-gejala wajar atau
penanganan terhadap tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga
tersebut biasanya juga menjadi pedoman untuk menangani masalah unjuk rasa.
agar anarki dapat ditangani secara cepat dan tetap untuk mengeliminir dampak
yang lebih luas, perlu disusun Prosedur Tetap untuk dijadikan pedoman seluruh
anggota Polri. Perlunya tindakan tegas dalam menangani tindakan anarkis yang
8 Oktober 2010.
sifat, pelaku, akibat anarki, dasar hukum tindakan tegas, cara bertindak
anggaran. Dengan tujuan Agar tercapai keseragaman pola tindak dan tidak
Tindakan Kepolisian yang diatur dalam PROTAP adalah upaya paksa dan/ atau
tindakan lain yang dilakukan secara bertanggung jawab menurut hukum yang
raga, harta benda atau kehormatan kesusilaan, guna mewujudkan tertib dan
tindakan tegas yang dilakukan Kepolisian yang diatur dalam KUHP, yaitu :
kepentingan umum”.
Prinsip Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api Oleh Aparat
Penegak Hukum, yaitu : 1) untuk membela diri atau orang lain terhadap
ancaman kematian atau luka parah yang segera terjadi; 2) untuk mencegah
tindakan kejahatan yang sangat serius; dan 4) apabila cara yan kurang ekstrim
6
C. De Rover, To Serve And To Protect, (Penerjemah : Supardan Mansyur), Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2000, Hal. 318.
57
umum atau hak milik orang lain”. Mengenai batasan bentuk, sifat, pelaku dan
7
Ibid.
8
Prosedur Tetap Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia/ (PROTAP). Nomor : Protap/ 1
/ X / 2010 Tentang Penaggulangan Anarki.
58
9) penculikan;
10) pengeroyokan;
11) sabotase;
12) penjarahan;
13) perampasan;
14) pencurian; dan
15) melawan/menghina petugas dengan menggunakan atau tanpa
menggunakan alat dan/atau senjata.
dikategorikan menjadi : 9
setiap aggota Polri dalam melakukan tindakan harus sesuai dengan prosedur
melakukan tindakan harus didasari oleh suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan
hukum; dan d. Asas akuntabilitas, yaitu etiap anggota Polri yang melakukan
tugas senantiasa harus bertanggug jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.10
penegakan hukum. Posisi strategis Polri dalam hal ini berkaitan dengan
pada umumnya mula-mula yang dihadapi adalah kepolisian. Hal ini sesuai
dengan prosedur sistem peradilan pidana yang dirancang dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apakah seseorang tersebut akan terus
10
Ibid, Hal. 5
11
Chaerul Huda, “Tindak Kekerasan Dan Radikalisme Dalam Perspektif Penegakan Hukum Di
Indonesia”, http://huda-drchairulhudashmh.blogspot.com/2009/02/tindak-kekerasan-danradikalisme
dalam.html, di akses 30 September 2016
60
komponen kepolisian, dalam hal ini apakah perbuatan seseorang berbuntut pada
represif, melalui penyelidikan dan penyidikan, namun yang lebih penting tetapi
terjadinya kejahatan. Dalam hal ini Polri adalah lembaga yang tujuan
itu, kinerja kepolisian tidak hanya diisi oleh upaya untuk menemukan fakta-
fakta yang mendukung tentang telah terjadinya tindak pidana dan menemukan
tersangkanya, tetapi juga pencegahan aktif atas segala potensi yang mungkin
menimbulkan kejahatan.
pidana sebagai sarana utama yang sifatnya penal dalam memberi memberi
“due process model” tentu akan melahirkan penegak hukum yang berbeda
apabila hal itu didasarkan pada paradigma “crime control model”, sebagaimana
digagas Packer.12 Hal ini dikarenakan “due process model” sebagai paradigma
sistem peradilan pidana yang terutama akan membawa sistem tersebut pada
pencapaian tujuan proses yang wajar, dan akan menempatkan pelaku kejahatan
kekerasan.
12
Herbert L. Packer, The Limit of Criminal Sanction, Stanford : Stanford University
Press, 1968 : Hal. 55.
62
peradilan pidana yang berparadigma “due process model”. Jenis, bentuk dan
normal tidak lagi dapat digunakan. Demikian pula halnya keadaan “tanpa
diterapkan pada situasi dan dalam menghadapi bentuk tindak pidana tertentu,
13
Chaerul Huda, “Tindak Kekerasan Dan Radikalisme Dalam Perspektif Penegakan Hukum Di
Indonesia”,http://huda-drchairulhudashmh.blogspot.com/2009/02/tindak-kekerasandanradikalisme
dalam.html, di akses 30 September 2016
63
berarti Polri harus memilih salah satu bentuk pendekatan yang digambarkan di
hukum.
bagaimana idealnya wajah kepolisian. Pada satu sisi Polri adalah organisasi
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat (to protect society), yaitu dengan
perlindungan masyarakat. Pada sisi lain Polri dapat menjadi organisasi yang
tertib dan tegaknya hukum, maka hal itu merupakan tujuan yang sifatnya
(to protect and serve society). Hal ini menjadi dasar hubungan yang sifatnya
penegakan hukum. Lantaran melihat polisi sebagai aparat penegak hukum tidak
berdampak buruk. Eskalasi itu sebenarnya dapat dideteksi sejak dini. Tapi
apakah polisi mampu untuk mendeteksi itu? Kekerasan massa masih juga
sering terjadi dan polisi kecolongan. Ada pikiran lain, jangan-jangan polisi
14
Kemampuan Polisi Mendeteksi Kekerasan Massa Dipertanyakan, dalam
http://www.hukumonline.com /berita/bac a/ hol19688/ kemampuan-polisi-mendeteksi-
kekerasanmassa-dipertanyakan. di unduh 25 Oktober 2010
65
diartikan polisi tak bisa mendeteksi atau tak ada di lapangan. Erlangga tidak
Hal ini justru sangat berbeda dari wajah senyatanya dari keseharian
Polri. Bahkan tindakan yang berlebihan kerap masih terjadi dalam pelaksanaan
kekerasan”
tersebut
15
Ibid.
66
sebagai tidak legitim, karena dengan leluasa dilakukan dan dipertunjukkan oleh
aparat penegak hukum. Ditambah lagi peran media massa, baik cetak maupun
aparat
penegak hukum.
menjadi terjebak pada tindakan secara berlebihan atau kekerasan, atau bahkan
Pada kasus kecelakaan lalu lintas pada hari minggu tanggal 02 Agustus
2015 sekira pukul 16.30 WIB di jalan raya Desa tanjung harapan Kec.
Semidang Gumay Kab. Kaur, dimana lokasi tempat kejadian saat itu tepat
berada di depan markas brimob, salah seorang anggota brimob bernama Yadi,
yang pada saat kejadian berlangsung melihat secara langsung kejadian tersebut,
menabrak terhenti dan sopir beserta para penumpang langsung keluar dari
mobil, akan tetapi warga desa Tanjung Harapan yang menyaksikan dan
dan berusaha menghakimi sang sopir, akan tetapi sopir berhasil diamankan
didalam markas brimob, akan tetapi warga kemudian menjatuhkan mobil dan
penumpang yang masih tertinggal didalam mobil. Anggota brimob yang ada
pada saat itu tidak dapat menghentikan tindakan warga karena personil yang
ada tidak sebanding dengan jumlah warga yang mengamuk.” Akibat hal
pelakunya. Rata-rata penduduk sekitar mengaku tidak mengaku dan tidak tahu
siapa saja yang ikut menghancurkan dan membakar mobil. Beberapa warga
namun hal ini juga menyulitkan apabila hendak membuktikan adanya aktor
adalah “selama ini pihak penegak hukum hanya dibatasi gerakannya hanya
kurangnya segi personil dan sarana yang sangat kurang memadai dalam
hukum diberi ruang untuk mencapai tujuan dan dengan pengawasan ketat,
akan cenderung merasa benar apabila suatu tindakan yang mereka lakukan
di Desa Padang Harapan, sehingga hal ini akan menyulitkan polisi untuk
dalam pengrusakan barang yang dilakukan oleh warga masyarakat (dalam kasus
Revieuw terhadap Pasal 160 KUHP. Dalam Risalah Sidang Perkara Nomor :
16
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya
Bakti, 2002, Hal 1-2.
17
Bryan A. Garner,. Ed, Black Law Dictionary (eight Edition), USA : Thompson Bussines,
2004, Hal. 280.
18
Ibid.
72
limitatif yaitu harus memuat keempat materi perbuatan berupa :20 (i) melakukan
tindak pidana, (ii) melakukan suatu kekerasan kepada penguasa umum, (iii)
Hal ini berarti bahwa perbuatan penghasutan tidak boleh ditafsirkan secara
meluas atau tidak terbatas atau serba meliputi, melainkan hanya yang terkait
penguasa :21
terdapat rangkaian kalimat yang telah diucapkan oleh seseorang dan bernilai
menghasut;
yang diucapkannya melainkan harus dibuktikan terlebih dahulu akibat dari apa
dasar hukum untuk mencegah orang-orang yang berniat untuk menghasut orang
21
Ibid
74
perundang-undangan;
Substansi norma hukum pidana yang dimuat dalam Pasal 160 KUHP
terdiri atas unsur: Pertama, dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghasut
penguasa umum, dan ketiga, tidak menuruti perintah jabatan yang diberikan
yang dikehendaki oleh penghasut, maka dalam perbuatan penghasutan ada dua
kelompok yakni orang yang melakukan penghasutan dan orang yang dihasut.
Oleh karena itu sumber niat untuk melakukan perbuatan tertentu yang dilarang
Perbuatan yang dilarang dalam delik penghasutan adalah menghasut orang lain
perundangundangan.22
Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, “Negara Indonesia
adalah negara hukum”, merupakan satu kesatuan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD,
22
Ibid, Hal. 11
75
sehingga prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip negara hukum tersebut telah
negara hukum karenan kedua prinsip tersebut saling berjalin berkelindan antara
satu dan yang lain. Artinya, negara harus tetap menjamin, melindungi, dan
Bahwa salah satu hak warga negara yang diakui dan dijunjung tinggi
oleh negara Indonesia sebagai negara berkedaulatan rakyat adalah hak untuk
perlakuan yang sama di hadapan hukum bagi seluruh warga negara. Tetapi
sebagai prinsip negara hukum, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28J ayat (1) UUD
1945 memberikan jaminan yang sangat luas. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
23
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
76
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya”. Sementara itu, Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
perintah jabatan; Meskipun tidak ada penjelasan resmi terhadap makna kata
supaya marah (untuk melawan atau memberontak)” 24, atau menurut Black’s
24
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia,( Jakarta : Balai Pusataka, 1990), Hal. 392.
77
affects a person’s reason and self-control, esp. causing the person to commit a
crime impulsively”25
pidana, masih tetap sesuai dengan kebutuhan hukum Indonesia saat ini. dalam
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat baik dengan lisan atau tulisan. Dalam
hal ini harus dibedakan antara pelaksanaan hak untuk mengeluarkan pendapat
dengan lisan atau tulisan yang dapat berupa kritikan kepada pemerintah dan
bagian dari hak setiap warga negara dalam menyampaikan kritik kepada
25
Bryan A. Garner . ed. In chief. Black’s Law Dictionary, 7th ed. (St. Paul Minn: West Group,
1999), hal. 1.262.
78
pemerintah secara lisan ataupun tulisan atau bahkan unjuk rasa tidak dilarang
umum wajib menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, wajib tunduk
massa yang tidak jelas berapa jumlahnya, akhir-akhir ini semakin banyak
yang integral tidak hanya melalui hukum pidana saja (penal) tetapi juga dengan
penanggulangan yang lain, karena dengan adanya hukum pidana saja orang-
orang bukan takut untuk melakukan perbuatan pidana tapi malah semakin
dilakukan.
menabrak warganya tersebut, lalu lintas di jalan raya Kaur masih berjalan
pinggir jalan, sehingga unsur mengganggu ketertiban umum pada pasal 170
KUHP tidak terpenuhi. Oleh karena itu, penerapan pasal 170 KUHP harus
KUHP.26
Solusi lainnya dapat kita lihat dalam rumusan RUU KUHP dalam
Pasal 21, 22 dan khususnya pada Pasal 306 Paragraf 5 tentang melakukan
26
Ceramah Kuliah Didiek Darmanto (Mantan Kajati DKI Jakarta) pada Pendidikan Pelatihan
dan Pembentukan Jaksa Angkatan 74 Gelombang 2, Agustus 2017 di Badan Diklat Kejaksaan RI
Ragunan Jakarta Selatan .
80
sebagai berikut :
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling
dengan :
hukum pidana, namun entah kapan RUU KUHP dapat direalisasikan sebagai
sebabnya.27
hakikat dan fungsi dari hukum pidana itu sendiri, karena sanksi hukum pidana
melainkan sekedar untuk mengatasi gejala/ akibat dari penyakit. Dengan kata
kemanusiaan maupun dari sisi sosial maka menurut G.P. Hoefnagels upaya
27
Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hal. 72
28
Ibid, Hal. 42.
82
jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum
penentuan, “Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan Sanksi
Masalah sentral ini tidak dapat dilepaskan dari konsepsi integral antara
pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang integral tidak hanya dalam
hukum pidana tetapi juga pada pembangunan hukum pada umumnya. 31 Usaha
29
Ibid.
30
Ibid, Hal. 12.
31
Ibid, Hal. 29.
83
nasional yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur yang merata
pengayoman masyarakat.
masyarakat.
32
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, (Jakarta :
Djambatan, 2004), hal. 30
33
Ibid, Hal. 37.
34
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan..., Op.Cit., hal. 30-31
84
hemat, selektif dan limitatif, dengan kata lain sarana penal tidak harus
digunakan dalam setiap produk legislatif. Masalah sentral yang kedua dari
hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
35
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal. 76
85
Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global,
maka upaya non-penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan
36
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan..., Op.cit., hal. 42-54
37
Mardjono Reksodiputro, Pengantar : Arah Hukum Pidana Dalam RUU KUHP, dalam
seminar dengan tema “ Pembaharuan KUHP: Melindungi Hak Asasi Manusia, Kepentingan Umum
dan Kebijakan Negara”, yang diselenggarakan oleh KOMNAS HAM, ELSAM, PUSHAM Ubaya,
KAHAM Undip, PAHAM Unpad, Jakarta 24 November 2005. hal. 1.
86
dapat diatasi semata-mata dengan penal dan disiniah keterbatasan jalur penal.
Oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur non penal. Jadi dalam mewujudkan
membutuhkan kerja sama dan koordinasi dari subsistem maupun diluar sistem
peradilan pidana, yaitu dalam lapisan pertama masyarakat, dan lapisan kedua
pidanakah atau tidak, ataukah karena kasus pidana jadi wajib ditegakkan
dengan hukum pidana juga. Padahal realita yang terjadi menunjukkan bahwa
38
La Patra J.W., Analyzing of Criminal Justice System, (Lexington Books, 1978), hal.86.
87
keras. Masyarakat Kaur sejak dahulu dikenal sebagai orang yang sangat fanatik
sosial, ekonomi dan politik yang mereka dalam keseharian hidupnya; Kedua,
praktek praktek kolusi, korupsi den rnanipulasi yang intensitasnya makin tinggi,
dan kelima ketimpangan distribusi aset ekonomi yang cenderung dirasakan oleh
39
Ikrar Nusa Bakti dan Moch Nurhasim, Kekerasan Massa: Hipotesis Dan Analisis,
http://katalog.pdii.lipi.go.id/ index.php/searchkatalog/ downloadDatabyId/ 6468/6469. pdf. Op.Cit. hal.
61
88
hukum tersebut.
pasti akan selalu akan melibatkan manusia di dalamnya dan dengan demikian
akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Hukum tidak bisa tegak dengan
Janji dan kehendak seperti itu, misalnya adalah untuk memberikan hak kepada
karena penegakan hukum ini dilakukan dan ditujukan pada tingkah laku
Tujuan hukum pidana harus mengacu pula pada tujuan hukum secara
40
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Bandung : Sinar
Baru, , hal. 11
89
sendiri”41 Dalam tindakan kekerasan secara kolektif, maka dapat dilihat bahwa
perbuatan pidana yang dilakukan lebih dari 1 orang yang dilakukan disebabkan
sosial budaya, dan lain-lain. Maka tidak dapat kita pungkiri bahwa massa
hanya sebatas apa yang dilanggar dan kenapa ia melanggar tetapi juga
yang memainkan peran penting di Kaur hingga saat ini. Dalam penegakan
Baharuddin Lopa, Seri Tafsir Al-Qur’an Bil-Ilmi 03, Al-Qur’an dan Hak-Hak Asasi Manusia,
41
dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tujuan dimaksud, dapat
bersifat baik dan tidak baik bagi masyarakat.42 Bagi hukum yang penting untuk
Bila suatu pelanggaran hukum dilakukan oleh satu atau dua orang saja,
penegak hukum lebih besar dari kekuatan si pelanggar hukum. Akan tetapi, bila
yang melanggar hukum itu suatu “massa”, dalam arti banyak orang yang
seharusnya.
Salah satu tujuan penegakan hukum adalah sebagai social control atas
social forces, sebab integrasi dan keteraturan dalam masyarakat tidak hanya
disebabkan oleh adanya hukum, kan tetapi justru mungkin karena adanya jenis-
42
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007). hal. 33.
91
pemerintah yang sering dinamakan hukum tidak jalan, maka bentuk lain dari
dilakukan oleh individu dan kelompok yang dari segi hukum dapat digolongkan
secara parsial dan sempit oleh penguasa dan aparat penegak hukum, serta
kekerasan kolektif lahir dalam suatu lingkungan yang kondusif, baik secara
rambu-rambu hukum yang telah ada, namum dalam prektek justru tidak
berdaya. Hal tersebut karena doktrin hukum secara umum tidak dibekali
diharapkan tindakan yang tegas dan professional oleh aparat penegak hukum
43
Ibid, Hal. 59.
92
terhadap para pelaku kekerasan secara kolektif, namun dipihak lain penanganan
secara mendasar pada akar masalahnya juga harus ditangani agar efeknya tidak
menyebar.
meninjau :44
bangsa.
44
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-masalahSosial,.
Loc.Cit., hal. 302.
93
digabung.45 Secara budaya, sifat masyarakat Kaur tampak pada semangat yang
oleh Nina herlina,46 telah dibahas, yaitu semangat bersatu, menjaga harga diri
yang sangat tinggi dalam membela dan mengagungkan pada persaingan simbol-
simbol antara lain simbol kesukuan dan keluarga/ kerabat. Hal ini kemudian
melebar sampai pada persaingan dalam struktur yang lebih luas, seperti sektor
ekonomi, politik. Tidak hanya pentas nasional, ditingkat lokal sekalipun, ajang
Kaur.
hukum, sudah teramat buruk. Dan sudah menjadi suatu efek, apabila tingkat
45
Lihat dalam Nitibaskara, Kejahatan Kekerasan dalam Perspektif Kriminologis (Suatu
Pendekatan Interdisipliner). Op.Cit, hal. 8.
46
Lihat pada hal. 91.
47
Dikutip dalam Achmad Ali, Menyoal Anarki dan Penegakan Hukum,
http://www.kompas.com /kompas-cetak /0006/26/ nasional/ meny08.htm, diakses 19 Oktober 2010.
94
Periode otoritarian selama empat dasawarsa pada masa orde lama dan orde baru
telah menghasilkan sistem hukum yang represif yang tidak saja diraasakan
akibatnya secara langsung oleh masyarakat, tetapi secara tidak langsung telah
pandangan Zainuddin Ali, ialah bahwa masyarakat sudah tidak lagi mengenali
referensi lain dalam kehidupan sosialnya selain kekerasan itu sendiri. Pola
kekerasan.50
namun kesadaran perilaku sosial serta struktur sosial yang dikenali hanya
50
Zainuddin Ali, Op.Cit, hal 74.
96
menjadi tumpul dan tidak dikenali dengan baik, dan model-model tersebut baru
korban.
kolektif akan sulit disidik oleh polisi karena mereka mengganggap hal itu
suatu yang harus dilakukan sebagai bentuk harga diri atas keyakinannya. Itulah
dan damai diharapkan dapat dicapai apabila ada “saling kepercayaan” dalam
Belum diaturnya secara spesifik sebagai tindak pidana kekerasan kolektif dalam
KUHP, terbukti hukum pidana saat ini dapat dikatakan kurang efektif
(Collective Violence), dimana secara substansi aturan yang ada hanya mengatur
51
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan & Pengembangan Hukum
Pidana, Edisi Revisi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), hal. 56
98
telah ditempuh dalam mengatasi masalah kekerasan kolektif yang digagas oleh