Anda di halaman 1dari 4

Waspada!

Terpendamnya Energi Sesar


Lembang Sejak Tahun 1500-an

Kota Bandung merupakan suatu kota di Jawa Barat yang memiliki


penduduk kurang lebih 2,5 juta jiwa dengan wilayahnya yang dikelilingi oleh
pegunungan. Hal ini mengakibatkan wilayanya berupa cekungan seperti
mangkuk yang sering disebut dengan cekungan Bandung. Cekungan ini tidak
bulat sempurna, akan tetapi berbentuk elips. Dengan ujungnya di arah timur
tenggara dan barat laut, Cekungan bandung atau yang lebih dikenal dengan
Sesar Lembang ini membentag dengan jarak kurang lebih 29 km dari kecamatan
Padalarang wilayah Bandung Barat sampai kecamatan Cilengkrang, Bandung
Timur.

Cekungan ini semakin jelas dengan jajaran gunung yang mengelilinginya.


Walaupun di bagian barat cekungan ini hanya dibatasi oleh batuan gamping.
Berdasarkan penelitian yang berjudul Potensi Sumber Daya Geologi di Daerah
Cekungan Bandung dan Sekitarnya oleh Geolog dari Pusat Geologi, Sukito dan
Udi Hartono di tahun 2006, menyebutkan bahwa Cekungan Bandung terbentuk
dari endapan material gunung api sejak 126.000 tahun yang lalu. Material ini
berupa tanah purba dan batuan sedimen yang terletak di bagian terbawah
Cekungan Bandung. Selain itu adanya lapisan abu gunung api juga menandai
adanya kegiatan gunung api yang menjadi awal dari pembentukan Danau
Bandung Purba ini.
Air di danau ini menghilang diduga karena terbendungnya aliran air
Sungai Citarum oleh lontaran batuan Gunung Sunda yang dulunya turut mengisi
cekungan raksasa ini. Selain itu pendangkalan oleh mengendapnya material
yang terbawa ke danau, juga menjadi penyebab raibnya danau ini. Menurut Eko
Yulianto, gembur dan lunaknya tanah di kawasan ini menjadi salah bukti bahwa
daerah ini dulunya adalah danau purba.

Selain itu, Setikno Bronto dan Udi Hartono menyatakan bahwa pada
Cekungan Bandung atau yang kini lebih dikenal dengan Sesar Lembang,
terdapat pola menyerupai busur yang memanjang yang dikenal dengan Patahan
Bandung Raya yang merupakan gabungan dari Patahan Cimandiri, Karawang,
Subang, dan Baribis. Setiap patahan pada lempeng bumi sudah dapat dipastikan
bahwa dulunya bersumber dari aktivitas tektonik yang pada akhirnya
menghasilkan patahan. Tidak hanya diawal pembentukanya yang berkaitan
dengan aktivitas tektonik, kedepanya nanti pun patahan akan memiliki
mekanisme pergerakan yang pastinya berhubungan erat dengan aktivitas
tektonik.

Ujar Mudrik Rahmawan Daryono, peneliti geoteknologi Lembaga Ilmu


Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Diskusi Terbuka Pembelajaran Gempa
Lombok dan Gempa Palu 2018 Untuk Mitigasi Bahaya Kegempaan dan
Tsunami di Jawa Barat, menjelaskan bahwa kecepatan pergeseran Sesar
Lembang adalah sekitar 3 milimeter per tahun. Sehingga dapat dipastikan
bahwasanya Sesar Lembang adalah sesar yang aktif melakukan pergeseran.

Berdasarkan studi paleoseismology dan vulkanostratigrafi yang dikaji


oleh Mudrik dan timnya sejak tahun 2011, gempa tua di sesar lembang
berkekuatan 6,5 sampai 7 richter yang terjdi pada abad ke-15. Walaupun gempa
berkekuatan besar yang terjadi terakhir kalinya di Sesar Lembang ini sudah
sangat lama, yakni 6 abad yang lalu. Bukan berarti Sesar Lembang terbebas dari
ancaman gempa bumi. Hasil penelitian Mudrik justru mengatakan hal yang
tidak mengenakan. Bahwasanya Sesar Lembang memiliki periode ulang antara
170 sampai 670 tahun dengan kekuatan yang tidak berbeda jauh dari gempa
yang terjadi 6 abad lalu.

Ditambah lagi, pada bulan Agustus 2019 lalu telah terjadi gempa bumi di
Sesar Lembang. Dengan kekuatan 3,3 SR dan pusat gempanya yang berada di
kedalaman 15 Km, cukup untuk menghancurkan 384 rumah warga di
Perkampungan Muril . Sebenarnya dengan kekuatannya tersebut, gempa
tersebut masih termasuk ke dalam gempa kecil (lindu). Akan tetapi karena letak
perkampungan tersebut yang berada persis di Sesar Lembang, gempa sekecil itu
mampu menghancurkan ratusan rumah warga.
Menurut Mudrik Lindu yang terjadi pada tanggal 11 Agustus 2019 ini,
adalah salah satu bentuk pelepasan energi, atas bayaran ketenangan Sesar
Lembang dari gempa besar sejak tahun 1400-an lalu. Dan juga menjadi salah
satu indikasi bahwa akan ada energi yang lebih besar lagi akan dilepaskan.
Sayangnya, kemajuan teknologi saat ini belum dapat memprediksi kapan gempa
besar tersebut akan terjadi dimasa depan nanti.

Dengan gempa berkekuatan besar tersebut, sudah pastinya kehancuran


massal dan kerugian besar akan terjadi, apabila tidak dilakukan mitigasi
sebelum gempa tersebut terjadi. Mengingat kota Bandung adalah kota dengan
kepadatan yang tinggi baik penduduknya maupun pembangunannya, tak terkira
lagi kerugiannya. Bahkan kota Palu yang kepadatan penduduknya kira-kira
hanya seperlima dari kota Bandung, pada September 2018 lalu, mengalami
kerugian hingga 18.4 triliun rupiah atas terjadinya gempa berkekuatan 7,4 SR.
Lalu bagaimana jika kota Bandung yang mengalaminya disaat sekarang sedang
gencar-gencarnya melakukan pembangunan besar-besaran?

Sebenarnya yang berbahaya bukanlah seberapa besar gempa itu terjadi,


akan tetapi material yang roboh akibat gempa itu yang berbahaya. Walaupun
hanya gempa kecil yang terjadi, akan tetapi material yang berdiri di atasnya
adalah material rapuh, mematikan sudah sebuah gempa kecil.

Oleh karena itu, Koordinator Pusat Studi Gempa Nasional Masyhur


Irsyam, menekankan pentingnya masyarakat di Sekitar Sesar Lembang untuk
mendirikan bangunan tahan gempa. Bangunan tahan gempa adalah bangunan
yang dipersiapkan untuk menghadapi guncangan gempa. Dengan perhitungan
yang sedemikian rupa yang mengaitkan percepatan gerakan horizontal dan
massa sebuah bangunan, akan menghasilkan bangunan yang dinamakan dengan
bangunan yang tahan gempa.

Selain dengan bangunan yang tahan gempa, pemahaman cara


menghadapi gempa saat berada di luar maupun di dalam ruangan juga sangat
penting. Terutama bagi warga kampung Muril dan perkampungan lain yang
berada di sekitar Sesar Lembang. Selain itu, menurut Avianto Amri, praktisi
kebencanaan Indonesia juga penting untuk meningkatkan kesadaran orang-
orang akan bahayanya Sesar Lembang. Yakni dengan mendesak pemerintah
agar memberikan informasi peta zona berbahaya Sesar lembang, bukan semata-
mata untuk menakut-nakuti tapi juga memberi solusi.

Jangan sampai, kata Anto, informasi seperti ini baru disebarluaskan


setelah gempa besar terjadi. Seperti gempa bumi di Palu yang menewaskan
2000 jiwa manusia, bencana telah terjadi dan baru diinformasikan lokasi Sesar
Paru-Koro dan daerah rawan likuefaksi di Palu. Jangan sampai menyesal,
penelitian telah dilakukan, ribuan jiwa seharusnya bisa diselamatkan, akan
tetapi karena tidak diinformasikan dengan jelas, tidak berguna sudah penelitian
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai