Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani “autos” yang berarti sendiri, dan “nomos” yang
berarti hokum atau aturan. Dalam konteks etimologi otonomi diartikan sebagai “perundangan sendiri”.
Menurut Syarif Saleh, otonomi sebagai hak mengatur dan memerintahkan daerah sendiri, hak mana yang
diperoleh dari pemerintah pusat.
Otonomi pendidikan merupakan kekuasaan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah untuk mengatur, mengelolah, mengorganisir urusan pendidikan yang secara tidak langsung di
awasi oleh pemerintah pusat. Otonomi juga diartikan sebagai kemandirian suatu daerah untuk mengatur
daerahnya secara mandiri.
Pelaksanaan otonomi pendidikan ini berlangsung karena adanya kewenangan yang diberikan langsung
dari pemerintah pusat untuk didirikannya otonomi daerah suatu daerah. Adapun hak yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu tidak langsung diberikan sepenuhnya. Pemerintah pusat
disini bertugas mengawasi pelaksanaan otonomi pendidikan ini. Dalam proses pembuatan makalah ini
saya menggunakan cara eksplorasi internet dan buku-buku rujukan. Untuk lebih lanjutnya akan dibahas
dalam makalah ini.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah di angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa konsep otonomi pendidikan ?
2. Bagaimanakah yang pelaksanaan otonomi pendidikan di Indonesia?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A.Konsep Otonomi Pendidikan Islam
Otonomi atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti
Hukum atau aturan. Dalam konteks etimologis ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang
otonomi. Otonomi diartikan sebagai “perundangan sendiri, mengatur atau rnemerintah sendiri”.
Secara konseptual banyak konsep tentang otonomi yang diberikan oleh para pakar dan penulis, di
antaranya Syarif Saleh mengartikan otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak
mana diperoleh dari pemerintah pusat. Wayong mengemukakan bahwa otonomi daerah adalah kebebasan
untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus daerah, dengan keuangan sendiri, menentukan
hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. Sugeng Istanto menyatakan bahwa otonomi diartikan sebagai
hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Sementara itu, Ateng Syafruddin
mengemukakan bahwa istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan
kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang
harus dipertanggungjawabkan.
B.Otonomi/ Desentralisasi Pendidikan Islam
1. Konsep Otonomi Pendidikan
Otonomi berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti “sendiri” dan nomos yang berarti “hukum” atau
“atauran”. Sedangkan menurut Ateng Syafrudin mengatakan bahwa istilah otonomi mempunyai makna
kebebasan dan kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan.
Otonomi pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 adalah terungkap pada
hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan
kewajiban masyarakat pasal 8 disebutkan bahwa “masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat berkewajiban
memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian
keempat hak dan kewajiban pemerintah, dan pemerintah daerah pasal 11 ayat 2 “Pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi warga
negara yang berusia 7-15 tahun.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian
yang luas, mencakup filosifi, tujuan, format dan isi pendidikan serta menejemen pendidikan itu sendiri.
Impikasi dari semua itu adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidkan yang jelas
dan jauh kedepan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang tren perkembangan
penduduk dan masyarakat untuk memperoleh masyarakat yang lebih baik kedepannya serta merancang
sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa indonesia yang bineka tunggal ika.
2. Otonomi Pendidikan sebagai Optimalisasi Potensi Daerah
UUD tahun 45 menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak. Pemerintah menyusun dan menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang
diatur oleh negara. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari APBN
dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelanggaraan pendidikan nasional. Dengan adanya UU
Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 telah

2
terjadi perubahan sistem pemerintahan yang sentrallistik menjadi desentralistik, dimana setiap daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sistem pemerintahannya sendiri guna
mensejahterakan masyarakat di daerahnya.
Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah memiliki nilai strategis bagi daerah untuk
berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan daerah-daerah diseluruh Indonesia, terutama
yang berkaitan langsung dengan SDM dan SDA masing-masing daerah dalam upaya menggali dan
mengoptimalkan potensi-potensi masyarakat yang selama ini masih terpendam. Begitu juga adanya
desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah baik tingkat I maupun tingkat II dapat memulai peranannya
sebagai basis pengelolaannya sebagai pendidikan dasar. Untuk itu perlu adanya lembag non struktural
yang melibatkan masyarakat luas untuk memberikan pertimbangan pendidikan dan kebudayaan yang
disesuaikan dengan kebutuhan kemampuan daerah tersebut.
Di era otonomi ini, sudah saatnya kita berpikir kritis untuk membangun sebuah masyarakat yang
berpendidikan, humanis, demokratis dan berperadaban. Agar masyarakat selama ini dimarjinalkan dalam
lubang berpikir yang ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan tatanan masyarakat dinamis dan
progesif. Maka bila hal ini bisa terwujud, masyarakat juga akan merasa bangga dengan dirinya sendiri dan
pada nantinya akan respek terhadap kemajuan dan pekembangan yang terjadi dalam lingkungan sosial
maupun pendidikan. Karena masyarakat telah diberikan penghargaan yang tinggi sebagai mahluk sosial
dan sebagai hamba Tuhan. Sehingga pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh komponen
masyarakat dan sekolah itu dapat berjalan dengan sinergis, beriringan dan selaras sesuai dengan tujuan
pendidikan itu sendiri.
3. Permasalahan dalam pelaksanaan otonomi pendidikan
Pembagian kewenangan dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, memberikan
fokus bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah didaerah kabupaten dan daerah kota. Dalam situasi yang
demikian ini, baik dari segi kewenangan maupun sumber pembiayaan dibidang pendidikan, daerah
kabupaten atau kota akan memegang peranan penting terutama dalam pelaksanaannya. Sementara itu
koordinasi dan singkronisai program pendidikan perlu di tingkatkan agar mampu menghindari ego
kewilayahan. Untuk itu pelaksanaan desentralisasi pendidikan, menjadi penting kiranya kita
mengantisipasi masalah-masalah yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya,[6] dan diantara masalah
itu adalah:
a. Kepentingan Nasional
Salah satu tujuan nasional yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 45, yaitu “Mencerdaskan
kehidupan bangsa” . Untuk mencapai hal tersebut pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan segala
amandemennya menegaskan demokratisasi dan pemenuhan hak-hak dasar bagi semua warga negara
untuk memperoleh pendidikan. Kemungkinan yang terjadi adalah bagaimana dengan masing-masing
daerah kabupaten atau kota, yang potensi sumber pembiyayaannya berbeda, dapatkah menjamin agar tiap
warga negara memperoleh hak pendidikan tersebut. Hal lain yang berkaitan dengan kepentingan nasional
adalah bagaimana melalui pendidikan dapat tetap dikembangkan dalam satu kesatuan arah dan tujuan.
b.Peningkatan mutu
Salah satu dasar pemikiran yang melandasi lahirnya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah adalah untuk menyesuaikan
dengan perkembangan baik eksternal maupun internal khususnya menghadapi tantangan persaingan
global dan persaingan pasar bebas. Ada tiga kemampuan dasar yang diperlukan agar masyarakat

3
indonesia dapat ikut dalam persaingan global, yaitu kemampuan menejemen, teknologi dan kualitas SDM
yang semua itu dapat dicapai melalui pendidikan yang bermutu. Mutu yang dimaksud disini bukan hanya
yang memenuhi Standar Nasional tetapi juga internasional. Persoalannya adalah dengan adanya otonomi
pelaksanaan pendidikan sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah kabupaten atau kota yang kualitas
sumberdaya,prasarana dan kemampuan pembiayaannya bagi masyarakat akankah dapat menghasilkan
mutu yang dibawah atau diatas standar?
c.Efisiensi pengelolaan
Guna memacu peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dalam kondisi keterbatasan sumber dana
yang kemudian dibagi-bagi pada daerah otonomi, pelaksanakanotonomi daerah juga diharapkan dapat
meningkatkan efesiensi pengelolaan (technical efficiency) maupun efisiensi dalam mengelolakan
anggaran (economic efficiency). Sistem pengelolahan yang sangat sentralistik selama ini akan
mempunyai potensi problem efisiensi pengelolaan didaerah, apalagi diseolah,jika tidak dilakukan secara
profesional dan proporsional.
d. Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan implementasi otonomi
pendidikan. SDM selama ini belum memadai, maksudnya yaitu berhubungan dengan kuantitas dan
kualitas SDM tersbut. Masih ada daerah yang belum dapat memahami, menganalisis, serta
mengaplikasikan konsep otonomi pendidikan. Demikian halnya yang berkaian dengan kuantitas atau
jumlah SDM yang ada.[8]
e.Pemerataan
Pelaksanaan otonomi pendidikan dapat meningkatkan aspirasi masyarakat akan pendidikan yang
diperkirakan akan juga meningkatkannya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan. Tetapi yang
jadi permasalahan adalah semakin tingginya jarak antara daerah dalam pemerataan akan fasilitas
pendidikan yang akhirnya akan mendorong meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil pendidikan.
f. Peranserta Masyarakat
Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan
kreatifitas, meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan sumber dan dalam
menyelanggarakan pendidikan. Peran serta masyarakat dalam pendidikan dapat berupa
perorangan,kelompok ataupun lembaga seperti dunia usaha dan industri.
g.Pengawasan Pendidikan
Sistem pendidikan nasional termasuk aspek kepengawasannya diharapkan memiliki kemampuan untuk
merespon berbagai tuntutan daerah, terus bersaing secara global. Sistem pengawasan hendaknya menitik
beratkan kepada pengembangan mutu, mewujudkan efisiensi dan efektivitas layanan manejemen.
Pengawasan pendidikan hendaknya juga juga tidak hanya sekedar diposisikan sebagai perilaku birokratis
dan perundang-undangan saja. Lebih dari itu hendaknya diperlakukan sebagai bagian dari budaya
profesional dalam organisasi pendidikan. Sekalipun pengawasan itu merupakan rangkaian atau siklus dari
proses menejemen, akan tetapi makna pengawasan melekat, dan pengawasan masyarakat harus selalu
bersinergi dengan pengawasan fungsional
h.Masalah Kurikulum

4
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kondisi masyarakat indonesia sangat heterogen dengan berbagai
macam keragamannya, seperti budaya, adat, suku, SDA dan bahkan SDM-nya. Masing-masing daerah
mempunyai esiapan dan kemampuan yang berbeda dalam pelaksanaan otonomi penidikan. Dalam
konteks otonomi daerah, kurikulum suatu lembaga pendidkan tidak sekedar daftar mata pelajaran yang
dituntut dalam suatu jenis jenjang pendidikan, dalam pengertian yang luas kurikulum berisi kondisi yang
telah melahirkan suatu rencana atau program pelajaran tertentu.
Sedangkan menurut Hasbullah, kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan kegiatan suatu
lembaga pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan visi dan misi lembaganya.
4. Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
Desentralisasi pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 sudah nampak beberapa
hal positif pelaksanaanya, misalanya banyaknya daerah terutama daerah yang kaya memiliki semangat
memajukan pendidikan bagi masyarakatnya dengan meningkatkan anggara pendidikan pada Anggara
Pendapatan dan Belanja Negara (APBD). Langkah yang dilakukan adalah menyederhanakan dan
mempersingkat birokrasi pendidikan di daerah, meningkatkan inisiatif dan kreativitas derah dalam
mengelola pendidikan yang lebih memungkinkan tercapainya pemerataan pendidikan pada daerah-daerah
terpencil, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung pendidikan. Ini adalah hal yang wajar
karena pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dan dengan didukung dengan biaya dengan
porsi yang lebih besar dalam upaya pembangunan bidang pendidikan termasuk bidang administrasi,
kelembagaan, keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk dapat
menjalankan peran yang lebih besar menjadi lebih sentral dalam desentralisasi pendidikan.
Desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya, di mana
disentralisasi pada bidang pemerintahan berada pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan desentralisasi
pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat kabupaten/kota saja, tatapi justru sampai pada lembaga
pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.
Sehubungan dengan itu, maka konsepsi desentralisasi pendidikan harus dikemas dalam program school
based management (MBS), yakni suatu sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi serta
kebutuhan sekoleh setempat. Sekolah diharapkan mengenali seluruh infrastruktur yang berada di sekolah,
seperti guru, siswa, sarana prasarana, finansial, kurikulum, dan sistem informasi. Unsur-unsur manejemen
tersebut harus difungsikan secara optimal dalam arti perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan,
dekendalikan dan dikontroL.
desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak
kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah sebagaimana
disebutkan oleh Hasbullah antara lain:
a. Masalah Kurikulum
Kondisi masyarakat Indonesia adalah heterogen dan masing-masing daerah mempunyai kesiapan dan
kemampuan yang berbeda-beada dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Permasalahan relevansi
pendidikan selama ini diarahkan kurangnya kepercayaan pemerintah pada daerah untuk menata sistem
pendidikannya yang sesuai dengan kondisi objektif di daerahnya. Untuk itu kurikulum suatu lembaga
pendidikan jangan hanya sekedar daftar mata pelajaran saja yang dituntut di dalam suatu jenis dan jenjang
pendidikan, tetapi lebih luas lagi yakni berisi kondisi yang sesuai dengan karakteristik daerah. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Armida S. Sjahbana bahwa perlu kejelasan tentang kebijakan
perumusan kurikulum, apakah hanya kurikulum inti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sedangkan

5
muatan lokal dalam persentase yang cukup signifikan diserahkan pada masing-masing daerah atau bahkan
langsung pada msing-masing sekolah. Saat ini kurikulum sepenuhnya ditentukan oleh Pemerintah Pusat
dan daerah hanya dapat mengisi bagian kurikulum yang berupa muatan lokal dal persentase yang sangat
kecil.[15]
b. Masalah Sumber Daya Manusia (SDM)
SDM merupakan pilar utama dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan, karena SDM yang
kurang profesional akan menghambat pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Penataan SDM yang tidak
sesuai dengan latar belakang pendidikan dan keahliannya menyebabkan pelaksanaan pendidikan tidak
profesional. Misalnya ada beberapa tenaga kependidikan bahkan Kepala Dinas Pendidikakan diangkat
dari mantan camat, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan lain-lain. Meskipun para mantan pejabat itu
pernah mengurus orang banyak, tatapi berbeda dengan karakteristik dengan peserta didik adan orang-
orang yang berkecimpung dalam dunia pendidikan.
c. Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana Pendidikan
Persolan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam perbaikan dan pembangunan sistem
pendidikan di Indonesia. Selama ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikanrendah karena dana yang tidak
mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih rendah. Hal ini semestinya tidak perlu terjadi di era
desentralisasi pendidikan karena anggaran pendidikan sudah diserahkan kepada pemerintah daerah
dengan dikelurakannya UU-PKPD Tahun 2004. Begitu pula telah ditegaskan dalan UU Sisdiknas Nomor
20 Tahun 2003 Pasal 49 ayat (1) dikemukakan bahwa “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20%
dari APBD.[16] Sayangnya, amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum hingga saat ini
belum bisa dilaksanakn dengan baik. Karena pemerintah daerah eksekutif dan legislatif belum
menganggap pendidikan sebagai prioritas dalam pembangunan.
d. Masalah Organisasi Kelembagaan
Dalam hal kelembagaan kependidkian antar kabupaten/kota dan provinsi tidak sama dan terkesan berjalan
sendiri-sendiri, baik manyangkut struktur, nama organisasi kelembagaan, dan lainsebagainya. Menurut
undang-undang memang ada kewenangan lintas kabupaten/kota, tetapi kenyataannya itu hanyalah dalam
tataran konsep, praktiknya tidak berjalan.
Sebagai gejala umum, jenjang dan jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga
tampak satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Kelembagaan pendidikan tinggi misalnya seolah-olah
tidak berkaitan dengan kelembagaan menengah.[17]
Disamping itu juga memiliki sisi kelemehan, antara lain:
1)Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan
desentralisasi pendidikan dan kesiapan daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu
implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh menjadi masalah tersendiri di daerah
tersebut.
2)Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD) dalam menopang
pembiayaan pendidikan di daerahn ya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.
3)Belum adanya pengalaman dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri
pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga
dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan bagi sekolah dan orang tua akan

6
memperbanyak sumber pendanaan dan memperbesar akses terhadap informasi yang pada gilirannya akan
dapat melahirkan beragam metode, kreteria, pilihan-pilihan dan juga hasil. Secara perlahan-lahan,
keragaman ini akan menimbulkan ketidaksetaraan sekolah antar daerah.
Dengan demikian dalam konteks desentralisasi, peran masyarakat sangat diperlukan, terutama aparatur
pendidikan baik di pusat maupun di daerah untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional.
Karena titik berat disentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota, untuk itu peningkatan kualitas aparatur
pendidikan di daerah sangatlah mendasar, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang akan
memebrikan pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga
penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan.[19]
Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, namun dalam realitas, pelaksanaanya
terkesan suatu tindakan agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat dari belum memadainya
sumber daya manusia (SDM) daerah, sarana prasarana yang kurang memadai, menajemen pendidikan
yang belum optimal, di samping itu juga masih banyak permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan di
daerah.
Di antara persoalan yang dihadapi pendidikan di daerah sekarang adalah menyangkut mutu lulusan yang
masih rendah, kondisi fisik sekolah yang memprihatinkan, kekurangan guru dan kualifikasinya yang tidak
sesuai, ketidakmerataan penyelenggaraan pendidikan, kurikulum dan lain-lain. Merupakan pekerjaan
rumah yang cukup berat bagi pemerintah daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.
Apabila otonomi daerah menunjuk pada hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat, maka hal tersebut hanya
mungkin jika Pemerintah Pusat mendesentralisasikan atau menyerahkan wewenang pemerintahan kepada
daerah otonom. Inilah yang disebut dengan desentralisasi. Mengenai asas desentralisasi, ada banyak
definisi. Secara etimologis, istilah tersebut berasal dari bahasa Latin “de”, artinya lepas dan “centrum”,
yang berartipusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No.
32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa:
“Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI”. Istilah
desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah yang pelaksanaannya dilatarbelakangi
oleh keinginan segenap lapisan masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang
pemerintahan.
Otonomi pendidikan Islam berawal dari masa klasik, masa Rasulullah, masa Khulafaurrasyidin, sampai
pada masa sekarang ini. Untuk lebih lanjut akan saya bahas satu persatu dalam makalah ini.
1.Sistem, Metode, dan Kurikulum Pendidikan Islam Klasik
System pendidikan itu tidak berdiri sendiri, untuk melihatnya dibutuhkan informasi yang menyajikan
konstruk social, politik, dan keagamaan yang terjadi pada masa-masa tertentu seingga menunjukkan
adanya hubungan fungsional dan substansial antara dunia pendidikan dengan keadaan yang terjadi ketika
itu.
Metode pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk: (1) metode perolehan (acquisition) dan
metode penyampaian (transmission). Metode perolehan lebih ditekankan sebagai cara yang ditempuh oleh
peserta didik ketika mengikuti proses pendidikan, sedangkan metode penyampaian diasosiasikan sebagai
cara pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dengan demikian, metode perolehan ditekankan kepada
peserta didik sedangkan metode penyampaian dititik beratkan kepada guru.

7
Kurikulum pendidikan Islam klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum pendidkan
modern. Pada kurikulum pendidikan modern ditentukan oleh pemerintah dengan standar tertentu yang
terdiri dari beberapa komponen: tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Untuk itu kurikulum pendidikan
Islam klasik dipahami dengan subjek-subjek ilmu pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan.
[20]
2.Pendidikan Islam masa Rasulullah (611-632 M/12 SH- 11 H)
Rasulullah SAW sebagai suru teladan dan rahmatan lil’alamin bagi orang yang mengharapkan rahmat dan
kedatangan hari kiamat dan banyak menyebut Allah (al-ahzaab:21) adalah pendidik pertama dan terutama
dalam dunia pendidikan Islam. Proses transformasi ilmu pengetahuan, internalisasi nilai-nilai
spiritualisme dan bimbingan emosional yang dilakukan Rasulullah dapat dikatakan sebagai mukjizat luar
biasa, yang manusia apa dan dimanapun tidak dapat melakukan hal yang sama.
Hasil pendidikan Islam periode Rasulullah terlihat dari kemampuan murid-muridnya (para sahabat) yang
luar biasa, misalnya Umar Ibn Khatab ahli hokum dan pemerintahan, abu Hurairah ahli hadis, Salman al-
Farasi ahli perbandingan agama: Majusi, Yahudi, Nasrani, dan Islam. Dan Ali bin Abi Thalib ahli hokum
dan tafsir Al-Qur’an, kemudian murid dari para sahabat di kemudian hari, tai-tabiin, banyak yang ahli
berbagai bidang ilmu pengetahuan sains, teknologi, astronomi, filsafat yang mengantarkan Islam ke pintu
gerbang zaman keemasan
3.Pendidikan Islam masa Khulafa al-Rasyidin [632-661 M/12-41 H]
Sistem pendidikan Islam pada masa Khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak dikelola oleh
pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn Khatab yang turut campur dalam menambahkan
kurikulum di lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan membuka majelis
pendidikan masing-masing, sehingga pada masa Abu Bakar lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat
kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika masyarakat muslim telah
menaklukkan beberapa daerah dan menjalin kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga
pendidikan ini menjadi sangat penting.[27]
a Masa Khalifah Abu Bakar as-Siddiq
Setelah nabi wafat, sebagai pemimpin umat Islam adalah Abu Bakar as-Siddiq sebagai khalifah. Khalifah
adalah pemimpin yang diangkat setelah Nabi wafat untuk menggantikan Nabi dan melanjutkan tugas-
tugas sebagai pemimpin agama dan pemerintahan.[28]
Masa kekhalifahan Abu Bakar diguncang pemberontakan oleh orang-orang murtad, orang-orang yang
mengaku sebagai nabi dan orang-orang yang enggan membayar zakat. Berdasarkan hal ini Abu Bakar
mamusatkan perhatiannya untuk memerangi para pemberontak yang dapat mengacaukan keamanan dan
mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya untuk menyimpang dari ajaran Islam.
Dengan demikian, dikirimlah pasukan untuk menumpas para pemberontak di Yamamah. Dalam
penumpasan ini banyak umat Islam yang gugur, yang terdiri dari sahabat dekat Rasulullah dan para hafiz
al-Qur’an, sehingga mengurangi jumlah sahabat yang hafal al-Qur’an. Oleh karena itu, Umar ibn Khatab
menyarankan kepada khalifah Abu Bakar untuk mengupulkan ayat-ayat al-Qur’an, kemudian untuk
merealisasikan saran tersebut diutuslah Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua tulisan al-Qur’an.
Pola pendidikan pada masa Abu Bakar as-Siddiq masih seperti pada masa Nabi, baik dari segi materi
maupun lembaga pendidikannya.[29]
Dari segi materi pendidikan Islam terdiri dari pendidikan tauhid atau keimanan, akhlak, ibadah,
kesehatan, dan lain sebagainya.[30] Ada juga materi pendidikan yang diajarkan pada masa Abu Bakar

8
untuk kuttab yaitu belajar membaca dan menulis, membaca al-Qur’an dan menghafalnya, dan belajar
pokok-pokok agama Islam.[31]
b.Masa Khalifah Umar ibn Khatab
Sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia, pikiran, perasaan dan kemampuan
berbuat, merupakan komponen dari kemuliaan dan kesempurnaan yang melengkapi ciptaan manusia.
Abu Bakar telah menyaksikan persoalan yang timbul di kalangan kaum muslimin setelah Nabi wafat,
berdasarkan hal inilah Abu Bakar menunjuk penggantinya yaitu Umar ibn Khatab, yang tujuannya adalah
untuk mencegah supaya tidak terjadi perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam, kebijakan Abu
Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat. Pada masa khalifah Umar ibn Khatab kondisi politik dalam
keadaan stabil, usaha perluasan wilayah Islam memperoleh hasil yang gemilang. Wilayah Islam pada
masa Umar ibn Khatab meliputi semenanjung Arabia, Palestina, Syiria, Irak, Persia, dan Mesir.[32]
Pada masa khalifah Umar ibn Khatab, mata pelajaran yang diberikan adalah membaca dan menulis al-
Qur’an dan menghafalnya serta belajar pokok-pokok agama Islam. Pendidikan pada masa Umar ibn
Khatab ini lebih maju dibandingkan dengan sebelumnya. Pada masa ini tuntutan untuk belajar bahasa
Arab juga mulai tampak, orang yang baru masuk Islam dari daerah yang ditaklukkan harus belajar bahasa
Arab, jika ingin belajar dan memahami pengetahuan Islam.
c. Masa Kahlifah Usman bin Affan
Pada masa khalifah Usman bin Affan, pelaksanaan pendidikan Islam tidak jauh berbeda dengan masa
sebelumnya. Pendidikan dimasa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada, namun hanya sedikit terjadi
perubahan yang mewarnai pendidikan Islam. Para sahabat yang berpengaruh dan dekat dengan Rasulullah
yang dulu pada masa Khalifah Umar tidak diperbolehkan keluar dari Madina kini diberikan kelonggaran
untuk keluar dan menetap di daerah-daerah yang mereka sukai. Kebijakan ini sangat besar pengaruhnya
bagi pelaksanaan pendidikan di daerah-daerah.
Proses pelaksanaan pola pendidikan pada masa Usman ini lebih ringan dan lebih mudah dijangkau oleh
seluruh peserta didik yang ingin menuntut dan belajar Islam dan dari segi pusat pendidikan juga lebih
banyak, sebab pada masa ini para sahabat bisa memilih tempat yang mereka inginkan untuk memberikan
pendidikan kepada masyarakat.
d.Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib adalah putra dari paman Rasulullah dan suami dari Fatimah anak
Rasulullah. Ali bin Abi Thalib diasuh dan dididik oleh Nabi. Ali terkenal sebagai anak yang mula-mula
beriman kepada Rasulullah.
Ali adalah khalifah yang keempat setelah Usman bin Affan. Pada pemerintahannya sudah diguncang
peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) beserta Talhah dan Abdullah bin Zubair karena kesalahpahaman
dalam menyikapi pembunuhan terhadap Usman, peperangan diantara mereka disebut peperangan Jamal
(untah) karena aisyah menggunakan kendaraan untah. Setelah pemberontakan Aisyah, muncul
pemberontakan lain, sehingga masa kekuasaan khalifah Ali tidak pernah mendapatkan ketenangan dan
kedamaian.
Pusat-pusat pendidikan pada masa khulafaur rasyidin antara lain: Mekkah, Madinah, Basrah, Kuffah,
Damsyik, dan Mesir.[33]

9
Dari masa khulafa al-Rasidin ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, sebagai perkembangan
pemikiran dan pedaban Islam, yaitu:
1)Setelah Rasul wafat muncul sistem pemerintahan Islam yang disebut dengan Khalifah.
2)Sistem pemelihan khalifah, yaitu : Abu Bakar dipilih melalui musyawarah,Umar ibn Khattab melalui
wasiat dari Abu Bakar,Usman ibn Affan melalui musyawarah enam orang sahabat untuk memilih, dan
Ali ibn Abi Thalib dibaiat langsung oleh masyarakat Islam.
3) Kemajuan dari aspek perluasan kekuasaan dan da’wah serta aspek peradaban Islam,
4.) Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan secara cultural pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak
berbeda, semuanya hidup dalam upaya yang bermaksud mengangkat dan menegakkan martabat manusia
melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of knowledge dan transfer value

10
BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan makalah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pada saat ini indonesia telah ditetapkan
otonomi daerah dan juga berdampak adanya otonomi pendidikan. Dimana daerah berhak mengatur
pendidikan di daerahnya sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat secara langsung. Walaupun
demikian pemerintah pusat juga bertugas mengontrol dan mengawasi pelaksanaan otonomi pendidikan
tersebut.
Otonomi pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan potensi-potensi daerah yang ada dimasina-
masing daerah tersebut. Karena potensi masing-masing daerah di indonesia sangat beragam dan tidak
sama antara yang satu dengan yang lainnya. Potensi tersebut dikembangkan dan dimasukkan dalam
kurikulum pendidikan disekolah, agar nantinya outputnya sesuai dengan kondisi yang ada didaerah
tersebut. Tapi dalam kenyataannya dilapangan, otonomi pendidikan yang dilaksanakan tidak semudah
teorinya, karena masih banyaknya hambatan serta permasalahan yang dihadapi sebagai mana yang telah
disebutkan diatas yang masih perlu di perbaiki lagi. Dalam pendidikan terdapat mutu pendidika, dimana
mutu pendidikan perlu ditingkatkan untuk menghasilkan pendidikan yang lebih baik. Juga terdapar
prinsip-prinsip peningkatan mutu pendidikan.

11
DAFTAR PUSTAKA

[1] Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007) h. 7
[2] http:// re-searchengines.com/kunluthfi.html, 27/03/2013, jam 10.30
[3] http://karpet guru.blogspot.com/2009/09/optimalisasi-potensi-daerah. html,1/04/2013.jam 10.35
[4] Hasbullah, Otonomi Pendidikan; Kebijakan Otonomi Daerah Dan Implikasinya Terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan, h.18
[5] Khoirul umam, mempertegas otonomi pendidikan; menuju masyarakat edukatif,http://re-
searching.com.20/11/2010, jam 10.40
[6] M. Nurdin Matry, Implimentasi Dasar-Dasar Manajemen Sekolah Dalam Era Otonomi Daerah,
(Makasar: Aksara Madani, 2008) h. 7
[7] M. Nurdin Matry, Implimentasi Dasar-Dasar Manajemen Sekolah Dalam Era Otonomi Daerah, h. 8

12

Anda mungkin juga menyukai