Anda di halaman 1dari 3

Nama : Fathiyyah Yasmin

NIM : 06111181924013

Merdeka Belajar Sebagai Kebijakan Baru

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, memberikan kebijakan


baru dalam sistem Pendidikan Indonesia. Pada presentasinya di Jakarta 11 Desember 2019,
Nadiem Makarim menetapkan empat program pokok kebijakan pendidikan dalam Merdeka
Belajar. Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional
(UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru
(PPDB) Zonasi. Adapun empat program pokok tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Ujian Standar Berstandar Nasional (USBN) diganti ujian (asesmen), penyelenggaraan
USBN pada tahun-tahun sebelumnya tidak sesuai dengan semangat UU Sisdiknas yang
mana tercantum bahwa penilaian kelulusan siswa diberikan seluruhnya oleh sekolah. Sistem
USBN sebelumnya hanya berupa soal-soal pilihan ganda yang hampir sama seperti format
ujian nasional dan hanya mengasah kompetensi kognitif saja. Sedangkan dalam kurikulum
2013 semangat belajarnya ialah semangat mengasah kompetensi, dan kompetensi-
kompetensi dasar tersebut sulit untuk dinilai hanya dengan soal pilihan ganda saja. Untuk
arah kebijakan barunya, pada tahun 2020 USBN akan diganti dengan ujian (asesmen).
Sistem USBN akan dikembalikan kepada esensinya yaitu dikembalikan kepada pihak
sekolah untuk menyelenggarakan ujian kelulusanya sendiri dan tetap sesuai dengan
kompetensi-kompetensi dasar sesuai dengan kurikulum 2013. Dimana bentuk ujian
dibebaskan, baik dalam bentuk tes tertulis maupun dalam bentuk penilaian lain yang lebih
komprehensif seperti portofolio dan penugasan (tugas kelompok, karya tulis dan
sebagainya). Dengan begitu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam menilai hasil belajar
siswa. Bahkan diharapkan anggaran USBN dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru
dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran. Namun sistem ini juga bukan
pemaksaan bagi sekolah-sekolah yang belum nyaman atau belum siap untuk
menerapkannya.
2. Ujian Nasional (UN) akan dihapuskan pada tahun 2021 dan dirubah menjadi Asesmen
kompetensi Minimun dan Survey Karakter. Menurut Nadiem Makarim, materi UN terlalu
padat sehingga hanya berfokus pada pengujian kompetensi kognitif saja, itupun tidak
seluruhnya. Kebanyakan soal UN hanya berfokus pada menghafal materi bukannya
kompetensi pelajaran. Sehingga pada tahun 2020 UN sistem lama akan dilaksanakan
terakhir kalinya dan akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survey
Karakter. Yang memiliki tolak ukur sebagai berikut :
a. Asesmen Kompetensi Minimum, penilaian kompetensi yang benar-benar minimum.
Memiliki dua aspek yang harus dipenuhi yaitu literasi dan numerasi. Literasi yang
dimaksud disini bukan hanya kemampuan membaca, literasi merupakan kemampuan
menganalisa dan memahami suatu bacaan. Adapun numerasi ialah kemampuan
menganalisa, menggunakan angka-angka dan matematika. Sehingga ujian nasional tidak
hanya berdasarkan penguasaan konteks lagi, tetapi berdasarkan kompetensi-kompetensi
dasar yang dibutuhkan murid-murid agar bisa belajar apapun mata pelajarannya.
b. Survey Karatker, untuk mengetahui bagaimana ekosistem sekolahnya, implementasi
gotong royongnya, level toleransinya, apakah ada bullying yang terjadi diantara siswa-
siswi di sekolah tersebut. Tolak ukur agar bias memberikan feedback kepada sekolah-
sekolah untuk melakukan perubahan-perubahan untuk mengatasi kekurangan sekolah
tersebut.
Adapun pelaksanaa Asesmen Kompetensi Minimum tersebut akan dilaksanakan ditengah
jenjang, tujuannya supaya pihak sekolah masih bisa melakukan perbaikan kepada murid-
murid yang membutuhkan bantuan. Karena dilaksanakan ditengah jenjang, maka Asesmen
Kompetensi Minimum ini tidak akan dijadikan sebagai alat seleksi dan tidak memberikan
stress baik kepada orang tua maupun anak. Asesmen ini juga dibantu oleh organisasi-
organisasi di dalam Indonesia maupun di luar Indonesia (OECD dan World Bank) agar
setara dengan standar internasional tetapi masih dengan kearifan lokal. Asesmen ini
bertujuan untuk mengasah kemampuan siswa menganalisa materi dan bisa mengaplikasikan
materi yang diterima baik secara abstrak maupun konkrit.
3. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), yang sebelumnya sangat padat (memiliki 13
komponen) sehingga menjadi beban bagi guru akan diubah menjadi format yang lebih
sederhana menjadi satu halaman (terdiri dari 3 komponen saja). Komponen-komponen
tersebut ialah tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen (penilaian)
pembelajaran. Karena sejatinya RPP memiliki esensi sebagai proses refleksi seorang guru
apakah rencana pembelajaran yang ditulisnya terlaksana atau tidak. Sehingga
pembelajaran dapat terjadi dengan maksimal.
4. Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tentang Zonasi, penerimaan peserta
didik baru berdasarkan zonasi yang awalnya 80% diturunkan menjadi 50%, jalur prestasi
15 % dinaikkan menjadi 30%, jalur afirmasi (pemegang KIP) minimal 15%, dan jalur
perpindahan 5%. Sehingga bagi siswa-siswa yang berprestasi memiliki pilihan untuk
bersekolah dimana tidak hanya terpaku pada beberapa sekolah saja. Zonasi bukan hanya
untuk pemerataan siswa, tetapi juga untuk mengkoordinir perbedaan situasi di daerah-
daerah. Untuk melakukan pemerataan pendidikan bukan hanya dilakukan dengan zonasi,
yang memberikan dampak yang lebih besar bagi pemerataan pendidikan yaitu pemerataan
kuantitas dan kualitas guru. Sehingga diharapkan untuk segera melakukan evaluasi
pemerataan kuantitas guru, apabila di suatu sekolah kelebihan tenaga pengajar agar dapat
didistribusikan ke sekolah yang kekurangan tenaga pengajar.
Kebijakan-kebijakan di atas merupakan bagian pertama dari merdeka belajar, ada pula bagian
kedua yaitu Kampus Merdeka yang membahas kebijakan-kebijakan untuk Perguruan Tinggi.
Tidak ada perubahan yang nyaman-nyaman saja, semua perubahan pasti ada
ketidanyamanannya. Sekarang sudah saatnya Indonesia melompat ke depan bukan hanya
melangkah saja. Semoga dengan kebijakan-kebijakan ini Indonesia dapat menyusul
ketertinggalannya di dunia Pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai