Anda di halaman 1dari 5

MATERI

60 TAHUN UNDANG-UNDANG AGRARIA NO. 50 tahun 1960

Undangan-udang No. 50 tahun 1960 menganai peraturan Dasar udang-udang pokok hukum agraria
( UUPA ) . UUPA bulan kemarin telah genap berusia 60 tahun pada tanggal, 24 September 2020
sesuai dengan kelahiran UUPA pada, 24 September 1960. UUPA selama ini telah memberikan
kontribusi terhadap peraturan Hukum Agraria, atas kekayaan Alam yang terkandung di dalam bumi
Pertiwi Indonesia. Selam 60 tahun UUPA berkontribusi dengan meliputi beberapa pertanyaan ; suda
berapa jauh tujuan pencapaian UUPA dalam berkontribusi ? Apakah UUPA Masi layak untuk
dipertahankan secara hukum ?

Pertama , pada masa kelam Lahirnya UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(UUPA) yaitu tanggal 24 September 1960. Kelahiran UUPA melalui proses panjang, memakan waktu
12 tahun. Dimulai dari pembentukan "Panitia Agraria Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951),
"Panitia Soewahjo" (1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956), "Rancangan Soenarjo" (1958),
"Rancangan Sadjarwo" (1960), akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong
Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung dua makna
besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA bermakna sebagai upaya
mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, "Bumi dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan
penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya. Tujuan
UUPA pada pokoknya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan
kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian
hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Semuanya semata-mata untuk mewujudkan
kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju
masyarakat adil dan makmur. Sebenarnya apa yang tersurat maupun tersirat dari tujuan UUPA, pada
hakikatnya merupakan kesadaran dan jawaban bangsa Indonesia atas keserakahan dan kekejaman
hukum agraria kolonial.
  Pada momen historis tanggal 24 September 1960 diperingati UUPA mulai berlaku dalam upaya
mengatur hubungan tanah dengan manusia dalam ranah dan rejim hukum nasional. Tanggal itu dan
menjadi kebiasaan diperingati sebagai “Hari Tani Nasional”.Riwayat panjang pengaturan hubungan
manusia dengan tanah di Indonesia telah menjadi pertimbangan dan dasar pemikiran penyusunan dan
pemberlakuan UUPA. Adalah kasunyatan sejarah kelam masa kolonial, yang memberikan kisah
penderitaan para leluhur kita. Hal itu dapat dijelaskan dalam karakter hubungan manusia dengan tanah
ketika itu yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Eksploitasi tanah dan manusia menjadi ciri atau
karakter dominan masa itu.

Praktek kebijakan “Cultuur Stelsel” (tanam paksa), penerapan politik “Domain Negara” dalam
Agrarische Besluit sebagai pelaksanaan Agrarische Wet 1870 yang kejam. Prof.Boedi Harsono,SH,
seorang tokoh penting dalam perumusan UUPA memberikan ilustrasi keadaan itu dalam salah satu
sub-bab bukunya dengan judul “Domein Verklaring memperkosa hak-hak rakyat pribumi”. Hal itu
karena dampak pemberlakuan Domein Verklaring, itu adalah sarana mengambil tanah-tanah rakyat
pribumi yang tidak memiliki tanda bukti tertulis. Tanah-tanah itu kemudian menjadi “Tanah Milik
Negara”, yang dipergunakan untuk mendukung politik pertanahan ketika itu bagi kepentingan
penanaman modal terutama sektor perkebunan secara besar-besaran.

Para pendiri Negara yang menjelang kemerdekaan 1945, pun memiliki kesadaran akan kondisi seperti
itu. Sehingga dengan semangat menentang imperialism saat itu dalam rapat-rapat BPUPKI ketika
membicarakan konsepsi dasar-dasar pembentukkan Negara juga membahas hubungan manusia
dengan tanah dan cita-cita keadilan sosial (Misalnya: Muh. Hatta, Soekarno, Soepomo). Ketiganya
pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa hubungan manusia (Bangsa Indonesia)
dengan bumi Indonesia, haruslah bebas dari penindasan, praktek eksploitasi dan justru harus
membawa kemakmuran.

Nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam hubungan manusia dengan tanah di Indonesia itu,
kemudian diwujudkan dalam UUD Negara RI 1945 Pasal 33 ayat (3), dan pada akhirnya bermuara
pada kaedah-kaedah pengaturan dalam UUPA 1960 atau limabelas tahun sesudahnya. Dalam
perjalanan waktu kemudian UUPA, yang mengusung visi-misi membawa ke-arah keadilan sosial pada
ranah hubungan manusia dengan tanah mengalami dinamika fundamental.

Ada beberapa tonggak sejarah yang patut diungkapkan berkenaan dengan keberlakuan UUPA, yaitu
berupa pergolakan politik di negeri ini: pertama, pada dekade 1960 hingga dekade 1990 kedua, pasca
reformasi 1998. Dekade 1960 dampak pergolakan perang dingin yang menimbulkan gejolak politik
dalam negeri Indonesia dan berakhir pada peralihan kekuasan Soekarno kepada Suharto. Dampak
peralihan kekuasaan itu pada ideologi adalah sistem sosialisme Indonesia yang diganti kapitalisme
perusahaan-perusahaan multi-nasional sebagai pelaku investasi dominan. Konfigurasi kekuatan
kapitalisme itu, sebagai bentuk konsesi kemenangan Amerika sebagai pemimpin blok barat-kapitalis
yang mengalahkan pengaruh komunis di Indonesia. Maka visi dan misi UUPA yang menuju
kesejahteraan sosial terpinggirkan. Penguasaan dan pengelolaan sumber daya agraria dibelokkan
kearah liberal-kapitalis. Program-program sosialis-komunal, seperti program landreform menjadi
wacana belaka. Padahal dalam keberlakuan UUPA, landreform adalah salah satu tonggak penting
pembangunan hukum tanah dan pembangunan nasional pada umumnya. Landreform adalah solusi
mutlak kondisi menjelang berlakunya UUPA, bahkan hingga kini dalam hal ketimpangan penguasaan
tanah yang terpusat pada kekuatan-kekuatan ekonomi yang dekat dengan kekuasaan.

Pada pasca reformasi 1998, yang terjadi adalah pemerintahan baru harus melaksanakan program-
program IMF yang memberikan pinjaman pada akhir masa kekuasaan Suharto. Corak liberal dan
dibawah kekuatan kapitalisme internasional, lembaga keuangan dunia. Hal itu dapat dilihat dalam
berbagai program kebijakan yang harus dijalankan, misalnya: privatisasi BUMN, penghapusan subsidi
pertanian, bahan bakar minyak (BBM), kian membuat jauh jangkauan kesejahteraan sosial yang
menjadi visi dan misi UUPA.

Ada harapan baru berkenaan era demokratisasi dalam pengisian jabatan lembaga tinggi Negara,
khususnya eksekutif (presiden dan wapres) dan lembaga legislatif (DPR) melalui pemilihan langsung.
Dalam wacana melaksanakan cita-cita keadilan sosial, maka sistem pemilihan langsung yang
diterapkan pasca reformasi 1998 itu menimbulkan kewajiban moral dan tanggungjawab konstitusional
yang lebih besar pada lembaga tinggi Negara itu. Legitimasi kekuasaan eksekutif dan legislatif amatlah
kuat, adalah modal dasar dan kekuatan politik utama dalam mengupayakan keadilan sosial melalui
pelaksanaan UUPA. Keterikatan dengan kekuatan kapitalis dan liberalis pasca penandatangan LOI-
IMF, dan kesepakatan dalam berbagai forum kerjasama ekonomi global, regional tidak boleh
merugikan kepentingan nasional. Kepentingan nasional yang paling penting adalah kemakmuran
rakyat sebagai refleksi keadilan sosial. Dalam konteks seperti itulah, political will dari penyelenggara
Negara dalam memandang hubungan manusia dengan tanah.

UUPA, sebagai produk hukum yang digodok sejak 1945 itu sarat dengan keadilan sosial
sebagaimana cita-cita pembentukkan Negara RI sebagaimana ditemukan dalam Pembukaan UUD
Negara RI 1945. UUPA memberikan pengaturan supaya hubungan manusia dengan bumi, air,
angkasa dan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya dapat menjangkau tujuan itu. Pengaturan yang
harus dapat memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, di dalam UUPA
harus diterjemahkan dalam nafas nilai-nilai luhur Pancasila adalah tugas Negara (pada organ
kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif). Hal itu mengingat bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
yang terdapat di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada seluruh Bangsa Indonesia
(Pasal 1 UUPA).

Jadi para penyelenggara kekuasan Negara dalam pengartian seperti itu, harus memandang urusan
hubungan manusia dengan sumber agraria adalah bersendikan keadilan. Penguasa Negara adalah
wakil Tuhan di muka bumi dalam mengurusi rakyat-nya. Amanahlah para penyelenggara Negara yang
sudah memperleh mandat dari rakyat, untuk menciptakan keadilan sosial.
Presiden baru Jokowi yang sudah mencanangkan akan menggunakan “Tri Sakti” salah satu ajaran
Soekarno dalam menjalankan political will kemandirian bangsa dan Negara. Tri Sakti adalah ibarat
senjata-pusaka bagi Jokowi untuk bersungguh-sungguh melaksanakan amanat penderitaan rakyat
sebagaimana gagasan Soekarno perihal ideologi membangun negara besar ini di tengah pertarungan
global, regional. Pada akhirnya hal itu kembali pada peranan Negara sebagaimana Pasal 2 ayat (2)
UUPA sebagai terjemahan atau penjabaran kekuasaan Negara di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
Negara RI 1945. UUPA ibaratnya sudah memberikan acuan norma-norma agar hubungan bangsa
Indonesia dengan tanah adalah merefleksikan kondisi murah sandang-pangan, tersedianya lapangan
kerja, dan fasilitas kesejahteraan umum, hingga jaminan hari tua.

Kegagalan masa lalu pelaksanaan UUPA, adalah karena UUPA dibaca dengan ideologi kapitalisme-
liberalisme dan bukan dengan ideologi Pancasila. Nilai-nilai luhur dalam Pancasila dimulai dengan nilai
Ketuhanan yang diakhiri dengan nilai Keadilan Sosial. Dalam pandangan penulis jika Negara ini akan
menjalankan UUPA dengan sungguh-sungguh dalam merealisasikan hubungan manusia dengan tanah
sebagai sebentuk rahmat Tuhan Yang Maha Esa, akan mampu mendekati capaian keadilan sosial. Hal
itu dengan prasyarat: pertama, memahami dan menerapkan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab,
kedua, menjaga solidaritas dan persatuan nasional, ketiga, guyub-rukun, tumbuhnya musyawarah,
lembaga perwakilan. Itulah prasyarat logis-ideologis dalam melaksanakan hukum di Indonesia, karena
Pancasila adalah sumber bagi norma hukum di Indonesia, termasuk UUPA sebagai produk hukum
yang dikenal sebagai produk hukum yang Pancasilais, namun belum dilaksanakan berlandaskan nilai-
nilai luhur Pancasila. Melaksanakan UUPA dengan cara itulah satu-satunya cara akan menggapai cita-
cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan bukan kekayaan di tangan asing atau segelintir
orang serakah.

Kedua , UUPA Tidak dapat di pertahankan lagi secara hukum, UUPA telah melakukan pelanggaran
terhadap Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena
mencantumkan ruang angkasa sebagai bagian dari ruang lingkup UUPA, padahal Pasal 33 ayat 3
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak ada mencantumkan kata ruang
angkasa dalam rumusannya. Pengertian dan ruang lingkup agraria dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang
meliputi bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya melanggar
ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak Membahas mengenai Ruang Angkasa.

pengertian nomenklatur/terminologi/istilah agraria dan ruang lingkup agraria yang diatur oleh UUPA
terlalu luas sehingga menimbulkan kebingungan dan kekacauan. Menurut UUPA pengertian
nomenklatur/terminologi/istilah agraria dan ruang lingkup agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (pengertian agraria menurut UUPA sama dengan
pengertian sumber daya alam, yang meliputi  kehutanan, pertambangan mineral dan batubara, minyak
dan gas bumi, sumber daya air,  perikanan, penataan ruang, lingkungan hidup, dan lain-lain).
Pengertian dan ruang lingkup agraria menurut UUPA ini terlalu luas, sebab di dalam berbagai literatur
di dunia pengertian dan ruang lingkup agraria hanya meliputi tanah atau tanah pertanian saja.

pencantuman ruang angkasa sebagai bagian dari ruang lingkup UUPA juga telah melanggar
Konvensi Internasional Ruang Angkasa 1967 (Space Treaty 1967) yang telah diratifikasi oleh Indonesia
melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2002, karena Konvensi Internasional Ruang
Angkasa 1967 (Space Treaty 1967) melarang ruang angkasa dijadikan wilayah kedaulatan suatu
negara.
Kesimpulan, SesuaiSesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, negara diberi kewenangan untuk menguasai bumi, termasuk tanah, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berkenaan dengan
pertanahan, negara berwenang untuk membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan
melakukan pengawasan terkait dengan: peruntukan, persediaan dan pemeliharaan tanah; hubungan
hukum antara orang dengan tanah; dan hubungan hukum antara orang dan perbuatan hukum
mengenai tanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA) yang terbit pada 24 September 1960 telah mengatur dan menjabarkan tentang pertanahan
dalam pokok-pokoknya atau garis besarnya.Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, sosial-
ekonomi, dan budaya serta kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, UUPA perlu dilengkapi.
Demikian juga karena kebijakan ekonomi pada tahun 1970an cenderung diarahkan pada pertumbuhan,
dalam berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan pertanahan terjadi penyimpangan
dalam penafsirannya karena tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-prinsip dasar UUPA, dan oleh
karena itu perlu ditegaskan kembali. Undang-Undang tentang Pertanahan disusun untuk melengkapi
dan menjabarkan UUPA dan menegaskan penafsiran yang tidak sesuai dengan falsafah dan prinsip-
prinsip UUPA. Untuk mendukung upaya ini, falsafah UUPA dijadikan landasan, dan prinsip-prinsip
UUPA diperkuat dan dikembangkan selaras dengan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria.
PenyusunanPenyusunan Undang-Undang tentang Pertanahan juga dimaksudkan untuk menjadi
“jembatan antara” dalam rangka meminimalkan ketidakkonsitenan antara UUPA dengan UU di
bidangsumberdaya alam terkait pertanahan, sesuai dengan amanat Ketetapan MPR RI No.
IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Saran, Pembentukan Undang-Undang tentang Pertanahan merupakan keniscayaan untuk memberikan


keadilan bagi semua kelompok masyarakat dalam memperoleh dan memanfaatkan tanah, dan
memberikan kepastian hukum dalam penguasaan dan pemilikan tanah sehingga manfaat tanah
sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia dapat dirasakan secara merata oleh seluruh kelompok
masyarakat.

Daftar Pustaka, Hukumonlinecom/Law,UGM.ac.id

Alrip, Ismail, Farida Patittingi, Faisal Abdullah, Pengaturan Pemanfaatan Ruang Bawah
Tanah, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Bachriadi, Dianto, 1998, Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakkan Lembaga Peradilan
Agraria yang Independen, dalam Konsorsium Pembaruan Agraria, 1998, Usulan Revisi
Undang-Undang Pokok Agraria, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan KPA,
Jakarta.
Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.

Hartadi, Irvan Surya, “Pentingnya Penyempurnaan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-
pokok Agraria”, http://unisys.uii.ac.id/index.asp?u=131&b=I&v=1&j=I&id=6

Hasan, Djuhaendah, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan bagi Tanah dan Benda Lainnya
yang Melekat pada Tanah dalam Konsep Penerapan Asas pemisahan horizontal, Aditya
Bakti, Bandung.

Hutagalung, Arie S., 2012, Risalah Rapat Panitia Kerja Penyusunan Rancangan Undang-
Undang tentang Pertanahan, Senin, 19 September 2012.

Ismail, Nurhasan, 2007, Perkembangan Hukum Pertanahan, Pendekatan Ekonomi Politik,


HuMa dan Magister Hukum UGM, Jakarta,.

Konsorsium Pembaharuan Agraria, 1998, Usulan Revisi Undang-Undang Pokok Agraria,


Konsorsium Reformasi Hukum Nasional dan KPA, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai