Anda di halaman 1dari 5

Manusia sebagai Makhluk Simbolik (Homo

Symbolicum)

Manusia adalah makhluk sosial. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan masyarakat umum
tentang definisi manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena tak ada satupun
manusia yang mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau bahkan bantuan makhluk hidup
lainnya. Misalnya, anjing yang dapat membantu manusia untuk menjaga rumahnya. Oleh sebab itu,
manusia dalam kehidupan sehari-harinya pasti melakukan interaksi dengan orang lain maupun
makhluk hidup lainnya. Dalam interaksi tersebut, manusia memiliki sistem simbol dalam
berkomunikasi, sehingga manusiapun tidak hanya dikatakan sebagai makhluk sosial, tetapi juga
sebagai makhluk simbolik atau Homo Symbolicum.

Dalam komunikasi dikenal sebuah teori tentang interaksi manusia, yaitu teori interaksi
simbolik. Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang menjadi ciri khas manusia, yaitu
komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik berasal dari pemikiran
George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal, yaitu “The Theoretical
Perspective” yang merupakan cikal bakal Teori Interaksi Simbolik. Teori ini juga sering disebut
dengan Mazhab Chicago, karena Mead tinggal di Chicago selama kurang lebih 37 tahun.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang
subjek. Perspektif ini mengatakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang
memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan
ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka. Teori interaksi simbolik ini memiliki tujuh prinsip
sebagai berikut:

1)      Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. Manusia dan
hewan adalah makhluk hidup, tetapi manusia diberkahi dengan kemampuan berpikir, sedangkan
hewan tidak. Oleh sebab itu, setiap manusia dapat berinteraksi dengan hal-hal di sekelilingnya
dengan menggunakan aturan seperti saat seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, dia
harus meminta maaf kepada orang tersebut. Akan tetapi, hewan tidak perlu meminta maaf kepada
hewan lainnya ketika melakukan kesalahan, karena hewan tidak memiliki akal untuk berpikir bahwa
mereka harus berinteraksi dengan hewan lainnya dengan menggunakan aturan.

2)      Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. Manusia memiliki kemampuan berpikir yang
memang sudah diberikan oleh sang pencipta, tetapi kemampuan berpikir manusia tersebut dapat
terbentuk dan semakin berkembang melalui interaksi sosial. Dalam berinteraksi, manusia
menggunakan akal mereka untuk memahami hal-hal yang ada di sekeliling mereka dan melalui
pemahaman tersebut kemampuan berpikir manusia terbentuk dan semakin berkembang.
3)      Dalam interaksi sosial, manusia mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka
menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yaitu berpikir. Manusia berpikir untuk
menginterpretasi makna dari simbol-simbol yang mereka temukan dalam kehidupan mereka.

4)      Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan dan interaksi yang khas manusia.
Makna dan simbol yang telah diinterpretasi melalui berpikir oleh manusia kemudian dilanjutkan
dengan tindakan dan interaksi-interaksi selanjutnya yang kemudian menjadi kebiasaan manusia
dalam sehari-harinya.

5)      Manusia mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam
tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Dengan berpikir pula, manusia
kemudian tidak hanya menginterpretasi makna dan simbol dalam kehidupan mereka, tetapi juga
memodifikasi atau mengubah makna dan simbol tersebut, atau bahkan menciptakan simbol-simbol
mengenai hal-hal yang ada di sekeliling mereka.  

6)      Manusia mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena kemampuan mereka berinteraksi
dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai
keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya.

7)      Pola-pola tindakan dan interaksi yang berkelanjutan ini membentuk kelompok dan masyarakat.
Kelompok masyarakat ini lalu membuat kesepakatan atas hal-hal yang ada di sekeliling mereka
mengenai simbol-simbol dan maknanya yang kemudian mereka gunakan dalam kehidupan sehari-
hari sebagai makhluk simbolik.

Simbolik merupakan hal-hal yang mengandung simbol-simbol. Jadi, dapat dikatakan bahwa
makhluk simbolik merupakan makhluk yang menggunakan hal-hal yang simbolik atau mengandung
simbol-simbol. Simbol-simbol yang dimaksud disini bukan sekedar simbol-simbol tak bermakna,
tetapi hal-hal tersebut memiliki makna masing-masing dan tidak satupun simbol yang tercipta tanpa
memiliki makna tersendiri. Misalnya, warna merah dan warna putih pada bendera Indonesia, warna
merah pada bendera tersebut dianggap sebagai simbol keberanian dan warna putih dianggap
sebagai simbol kesucian.

Simbol merupakan salah satu bagian dari semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tentang
tanda. Semiotika ini pertama kali diprkenalkan oleh dua filsuf bahasa yaitu Ferdinand de Saussure
dan Charles Sanders Pierce. Menurut Saussure, setiap tanda itu terbagi atas dua bagian,
yaitu signifier  (penanda) dan signified (petanda). Menurut pendapatnya, tanda merupakankesatuan
dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Sedangkan
menurut Pierce, semiotika terbagi atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, dan simbol.

Ikon merupakan hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa hubungan kemiripan,
seperti sebuah foto dan orangnya. Indeks merupakan hubungan antara tanda dengan acuannya yang
timbul karena adanya kedekatan eksistensi, seperti sebuah tiang penunjuk jalan dan sebuah gambar
panah penunjuk arah. Indeks juga dapat menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan
penanda yanf bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada
kenyataan, misalnya adanya asap karena ada api. Simbol merupakan hubungan yang berbentuk
konvensional, yaitu suatu tanda merupakan suatu hasil kesepakatan masyarakat.

Manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik karena dalam kehidupan sehari-hari, mereka
sering menggunakan simbol-simbol. Salah satu contoh penggunaan simbol dalam kehidupan sehari-
hari adalah simbol-simbol pada peraturan lalu lintas, misalnya lampu lalu lintas atau lebih sering
disebut lampu merah oleh masyarakat luas yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, kuning, dan
hijau. Warna-warna tersebut masing-masing memiliki makna tersendiri yakni warna merah yang
memerintahkan para pengguna jalan untuk berhenti, warna kuning yang memerintahkan untuk
berhati-hati, dan lampu hijau yang memerintahkan untuk kendaraan jalan.

Lampu lalu lintas ini diciptakan oleh penemunya Garrett Augustus Morgan setelah ia melihat
tabrakan antara mobil dan kereta kuda pada suatu hari yang kemudian membuatnya berpikir untuk
membuat sesuatu yang dapat mengatur lalu lintas yang lebih aman dan efektif. Sebenarnya pada
saat itu, telah ada suatu sistem pengaturan lalu lintas dengan sinyal stop and go. Sinyal lampu ini
pernah digunakan di London pada tahun 1863. Namun, pada penggunaannya sinyal lampu ini tiba-
tiba meledak, sehingga tidak dipergunakan lagi. Berdasarkan pengalamannya tersebut Morgan
kemudian menciptakan suatu pengatur lalu lintas yang terdiri dari tiga jenis warna, yaitu merah,
kuning, dan hijau.

Simbol-simbol dalam kehidupan manusia juga erat kaitannya dengan budaya. Dalam suatu
kebudayaan, masyarakat dalam kebudayaan tersebut sering menggunakan simbol-simbol dalam
melambangkan sesuatu. Misalnya, dalam budaya Mandar yang menggunakan beru’-beru’  (bunga
melati) sebagai simbol untuk perempuan. Hal ini sudah menjadi hal yang umum dalam masyarakat
Mandar dan telah digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Mandar dalam kehidupan
sehari-hari. Simbol tersebut dapat saja ditemukan dalam percakapan sehari-hari mereka ataupun
dalam karya sastra-karya sastra Mandar seperti lagu-lagu Mandar atau puisi tradisional Mandar.

Berdasarkan beberapa contoh di atas, dapat dikatakan bahwa manusia dalam menggunakan
atau menciptakan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka  berasal
dari pengalaman hidup mereka. Seperti Garrett Augustus Morgan yang menciptakan lampu lalu
lintas setelah melihat kecelakaan lalu lintas. Maka dari itu, manusia dikatakan sebagai makhluk
simbolik.

Pernyataan manusia sebagai makhluk simbolik membuat salah satu sarjana feminis Luce
Irigaray menempatkan dunia simbolik dalam kehidupan manusia pada lapis puncak piramida dalam
abstraksi piramidal yang dibuatnya. Abstraksi piramidal tersebut terdiri atas dunia biologis pada lapis
pertama, kemudian dunia sosial dan budaya pada lapis tengah.

Dunia biologis ditempatkan pada lapis pertama, karena menurut Irrigaray jika dilihat dari sisi
biologis semua manusia memiliki kesetaraan, dan hal tersebut tidak menimbulkan konflik dalam diri
manusia sehingga perbedaan biologis dalam diri manusia adalah sesuatu yang bersifat statis.
Perempuan dan laki-laki telah memiliki perannya masing-masing.

Kemudian dunia sosial dan budaya ditempatkan pada lapis kedua. Menurut Irigaray, dalam
dunia sosial dan budaya manusia mulai menemukan konflik di dalamnya. Perempuan dan laki-laki
dalam konteks sosial dan budaya sering kali menampakkan diri mereka dengan cara yang berbeda.
Pendapat masyarakat umumpun mengenai posisi perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial dan
budaya berbeda. Misalnya, pada acara adat dalam masyarakat Bugis. Perempuan dan laki-laki pasti
menempatkan diri mereka masing-masing dan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya pasti
berbeda.. Sehingga dalam konteks sosial dan budaya, perbedaan jender dalam diri manusia mulai
ditampakkan yang dapat menyebabkan adanya konflik dalam diri manusia. Konflik tersebut dapat
saja muncul ketika salah satu dari mereka ada yang menempatkan diri di tempat yang tidak
seharusnya. Contohnya, seorang laki-laki yang mengambil alih tugas perempuan.

Selanjutnya, dalam dunia simbolik yang ditempatkan oleh Irigaray pada lapis puncak
piramida, posisi perempuan dal laki-laki semakin nampak perbedaannya. Dalam dunia simbolik,
Irigaray mengatakan bahwa tubuh lelaki dipersepsi dan diekspresikan sebagai tubuh yang mewakili
kualitas Tuhan (the Authority Principle of God) dan tubuh perempuan dianggap mewakili kualitas
pemberontakan setan (the Rebellious Principle of Satan). .oleh sebab itu, Irigaray menempatkan
dunia simbolik ini pada puncak abstraksi piramidal yang dibuatnya. Melalui hal ini, Irigaray juga
menunjukkan bahwa hal tersebutlah yang menjadi penyebab timbulnya kekerasan terhadap
perempuan. Selain itu, dalam beberapa kebudayaan, simbol-simbol akan kebutuhan laki-laki
diekspresikan melalui tubuh perempuan.  

Melalui abstraksi piramidal ini, Irigaray ingin menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk
biologis memiliki kesetaraan dan perempuan dan laki-laki sudah memiliki peran mereka masing-
masing. Sehingga, perempuan dan laki-laki tidak perlu bersaing dan menimbulkan konflik di antara
mereka. Kemudian, manusia sebagai makhluk sosial dalam konteks sosial dan budaya harus
melakukan interaksi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Akan tetapi, dalam konteks
tersebut, manusia biasanya menemui konflik dengan sesamanya karena adanya perbedaan
pendapat di antara mereka dalam interaksinya. Lalu, manusia sebagai makhluk simbolik merupakan
puncak dari adanya konflik-konflik antar manusia, terutana antar perempuan dan laki-laki yang
dapat menyebabkan adanya kekerasan terhadap perempuan.

Referensi:

§  Kaelan, 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Paradigma: Yogyakarta.


§  Hoed, Benny H. 2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Komunitas Bambu: Depok.

§  http://alwyrachman.blogspot.com/

§  http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/17/mahluk-simbolik-229756.html

§  http://kuliahsosial.blogspot.com/2010/07/interaksionisme-simbolik.html

Anda mungkin juga menyukai