Anda di halaman 1dari 15

PERSPEKTIF ANTROPOSENTRISME, BIOSENTRISME

DAN EKOSENTRISME SEBAGAI ETIKA DALAM


LINGKUNGAN HIDUP

Etika lingkungan hidup dapat dipahami sebagai ilmu yang berbicara mengenai
nilai, norma dan kaedah moral yang mengatur perilaku manusia yang berhubungan
dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam
berhubungan dengan alam tersebut. Etika lingkungan hidup memasukkan semua
makhluk selain manusia ke dalam perhatian moral manusia. Albert Schweitzer
menegaskan bahwa kesalahan terbesar pemikir selama ini menganggap etika sebagai
sesuatu yang hanya kaitannya dengan manusia saja dan hanya berbicara mengenai
hubungan antara manusia dengan manusia saja.
Pada konteks luasnya etika lingkungan hidup tidak hanya berbicara mengenai
perilaku manusia terhadap alam. Etika lingkungan hidup juga berbicara mengenai
semua relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara manusia dengan
manusia yang mempunyai dampak pada alam dan antara manusia dengan mkhluk
hidup lain atau dengan alam secara keseluruhan. Termasuk di dalamnya berbagai
kebijakan politik dan ekonomi yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung
terhadap alam.

Etika lingkungan hidup menawarkan cara pandang atau paradigma baru sekaligus
perilaku baru terhadap lingkungan hidup atau alam, yang bisa dianggap sebagai solusi
terhadap krisis ekologi. Berbagai teori etika lingkungan dapat menjelaskan pola
perilaku manusia dalam kaitan dengan lingkungan. Beberapa teori etika lingkungan ini
merupakan perkembangan pemikiran di bidang etika lingkungan, yaitu Shallow
Environmental Ethic, Intermediate Environmental Ethic, dan Deep Environmental Ethic.
Keempat teori ini dikenal sebagai antroposentrisme, biosentrisme, ekosentrisme, dan
teosentrisme. Ketiga teori ini mempunyai cara pandang yang berbeda tentang manusia,
alam, dan hubungan manusia dengan alam.

1. Antroposentrisme (Shallow Environtmental Ethics)

Antroposentrisme adalah teori etika


lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara
langsung atau tidak langsung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya.
Hanya manusia yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang
lain di alam semesta ini hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang
dan demi kepentingan manusia. Oleh karena itu, alam pun dilihat hanya sebagai obyek,
alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Alam hanya alat
bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri.
Antroposentrisme juga dilihat sebagai sebuah teori filsafat yang mengatakan bahwa
nilai dan prinsip moral hanya berlaku bagi manusia, dan bahwa kebutuhan dan
kepentingan manusia mempunyai nilai paling tinggi dan paling penting. Bagi teori
antroposentrisme, etika hanya berlaku bagi manusia. Maka, segala tuntutan mengenai
perlunya kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap lingkungan hidup
dianggap sebagai tuntutan yang berlebihan, tidak relevan dan tidak pada tempatnya.
Kalaupun tuntutan seperti itu masuk akal, itu hanya dalam pengertian tidak langsung,
yaitu sebagai pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap
sesama. Maksudnya, kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap
lingkungan hidup-kalaupun itu ada-itu semata-mata demi memenuhi kepentingan
sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam hanya merupakan
perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral terhadap sesama manusia. Bukan
merupakan perwujudan kewajiban dan tanggung jawab moral manusia terhadap alam
itu sendiri.
Selain bersifat antroposentris, etika ini sangat instrumentalistik, dalam pengertian
pola hubungan manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumental. Alam dinilai
sebagai alat bagi kepentingan manusia. Kalaupun manusia mempunyai sikap peduli
terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi menjamin kebutuhan hidup manusia,
bukan karena pertimbangan bahwa alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga
pantas untuk dilindungi. Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi
kepentingan manusia, alam akan diabaikan begitu saja. Dalam arti itu, antroposentrisme
juga disebut sebagai etika teleologis karena mendasarkan pertimbangan moral pada
akibat dari tindakan tersebut bagi kepentingan manusia. Suatu kebijakan dan tindakan
yang baik dalam kaitan dengan lingkungan hidup akan dinilai baik kalau mempunyai
dampak yang menguntungkan bagi kepentingan manusia. Konservasi, misalnya, hanya
dianggap serius sejauh itu bisa dibuktikan mempunyai dampak menguntungkan bagi
kepentingan manusia, khususnya kepentingan ekonomis.
Teori semacam ini juga bersifat egoistis, karena hanya mengutamakan kepentingan
manusia. Kepentingan makhluk hidup lain, dan juga alam semesta seluruhnya, tidak
menjadi pertimbangan moral manusia. Kalaupun mendapat pertimbangan moral, sekali
lagi, pertimbangan itu bersifat egoistis: demi kepentingan manusia.
Karena berciri instrumentalistik dan egoistis, teori ini dianggap sebagai sebuah etika
lingkungan hidup yang dangkal dan sempit (shallow environmental ethics).
Dibandingkan dengan dua teori lain dalam bab-bab berikut, etika ini terlalu sempit dan
dangkal dalam memandang keseluruhan ekosistem, termasuk manusia dan tempatnya
di dalam alam semesta.
Sejauh ini, teori tersebut dituduh sebagai salah satu penyebab, bahkan penyebab
utama, dari krisis lingkungan hidup yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan hidup
yang kita alami sekarang. Krisis lingkungan hidup dianggap terjadi karena perilaku
manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang antroposentris. Cara pandang
antroposentris ini menyebabkan manusia mengeksploitasi dan menguras alam semesta
demi memenuhi kepentingan dan kebutuhan hidupnya, tanpa cukup memberi perhatian
kepada kelestarian alam. Pola perilaku yang eksploitatif, destruktif dan tidak peduli
terhadap alam tersebut dianggap berakar pada cara pandang yang hanya
mementingkan kepentingan manusia. Cara pandang ini melahirkan sikap dan perilaku
rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua kebutuhannya dari
alam tanpa mempertimbangkan kelestariannya, karena alam dipandang hanya ada demi
kepentingan manusia. Apa saja boleh dilakukan manusia terhadap alam, sejauh tidak
merugikan kepentingan.
Argumen antroposentrisme yang lain kita temukan pada tradisi Aristotelian
sebagaimana dikembangkan oleh Thomas Aquinas dengan fokus utama pada rantai
Kehidupan (the Great Chain of Being). Menurut argumen ini, semua kehidupan di bumi
membentuk dan berada dalam sebuah rantai kesempurnaan kehidupan, mulai dari yang
paling sederhana sampai kepada yang Maha Sempurna, yaitu Allah sendiri. Dalam rantai
kesempurnaan kehidupan tadi, manusia menempati posisi sebagai yang paling
mendekati Maha Sempurna. Itu berarti, manusia menempati urutan teratas dari rantai
ciptaan, sehingga dianggap lebih superior dari semua ciptaan lainnya, termasuk di
antara semua makhluk hidup lainnya. Argumen ini sesungguhnya menggarisbawahi apa
yang telah dikemukakan oleh Aristoteles dalam bukunya The Politics. Dalam buku ini,
pemikiran antroposentrisme Aristoteles jelas terlihat dari kutipan ini : “tumbuhan
disiapkan untuk kepentingan binatang, dan binatang disediakan untuk kepentingan
manusia.” Jadi, ada semacam teleologi-rangkaian urutan menuju kesempurnaan, dimana
ujung dari kesempurnaan itu adalah Yang Maha Sempurna, Allah.
Berdasarkan argumen ini, setiap ciptaan yang lebih rendah dimaksudkan untuk
kepentingan ciptaan yang lebih tinggi. Karena manusia adalah ciptaan yang lebih tinggi
dari semua ciptaan yang lain, ia berhak menggunakan semua ciptaan, termasuk semua
makhluk hidup lainnya, demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya sebagai
makhluk ciptaan yang lebih tinggi kedudukannya. Manusia boleh memperlakukan
ciptaan yang lebih rendah sesuai dengan kehendaknya dan menggunakan sesuai dengan
keinginannya. Dan itu sah, karena demikianlah kodrat kehidupan dan tujuan
penciptaan. Pada gilirannya, manusia adalah alat dan siap untuk digunakan sesuai
dengan kehendak Allah.
Manusia lebih tinggi dan terhormat dibanding dengan makhluk ciptaan lain karena
manusia adalah satu-satunya makhluk bebas dan rasional (the free and rational being)
sebagaimana dipahami oleh Thomas Aquinas, Rene Descartes dan Immanuel Kant.
Termasuk dalam argumen ini adalah manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup
yang mampu menggunakan dan memahami bahasa, khususnya bahasa simbol, untuk
berkomunikasi.
Dalam argumen ini, manusia dilihat sebagai satu-satunya makhluk hidup yang
mampu menguasai dan menggerakkan aktivitasnya sendiri secara sadar dan bebas. Ia
adalah makhluk berakal budi yang mendekati keilahian Tuhan sekaligus mengambil
bagian dalam keilahian Tuhan. Manusia menentukan apa yang ingin dilakukan dan
memahami mengapa ia melakukan tindakan tertentu. Demikian pula, ia mampu
mengkomunikasikan isi pikirannya dengan sesama manusia melalui bahasa.
Kemampuan-kemampuan ini tidak ditemukan pada binatang dan makhluk lainnya,
sehingga manusia dianggap lebih tinggi kedudukannya daripada ciptaan yang lain.
Sebagai makhluk yang lebih tinggi, karena bebas dan rasional, Tuhan menciptakan dan
menyediakan segala sesuatu di bumi ini demi kepentingan manusia.
Secara lebih spesifik lagi, dalam pemikiran Rene Descartes, manusia mempunyai
tempat istimewa di antara semua makhluk hidup, karena manusia mempunyai jiwa
yang memungkinkannya untuk berpikir dan berkomunikasi dengan bahasa. Sebaliknya,
binatang adalah makhluk yang lebih rendah dibandingkan dengan manusia, karena
binatang hanya memiliki tubuh, yang dianggap Descartes sebagai sekadar mesin yang
bergerak secara otomatis. Binatang tidak mempunyai jiwa yang memungkinkannya bisa
bergerak berdasarkan pemikiran atau pengetahuannya sendiri. Binatang lebih
bertindak secara mekanis dan otomatis, seperti halnya jam, seakan telah disetel oleh
Tuhan untuk bergerak secara tertentu.
Sejalan dengan itu, menurut Immanuel Kant, karena hanya manusia yang merupakan
makhluk rasional, manusia diperbolehkan secara moral untuk menggunakan makhluk
non rasional lainnya untuk mencapai tujuan hidup manusia, yaitu mencapai suatu
tatanan dunia yang rasional. Karena makhluk bukan manusia dan semua entitas
alamiah lainnya tidak memiliki akal budi, mereka tidak berhal untuk diperlakukan
secara moral. Maka, manusia tidak mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral
terhadap makhluk lainnya. Bahkan dalam konteks teori deontologi, terlihat jelas bahwa
bagi Kant hanya manusia yang perlu mendapat perlakuan moral sebagai tujuan pada
dirinya sendiri. Segala sesuatu yang lain hanya alat dan sah untuk diperlakukan sebagai
alat demi memenuhi tujuan hidup manusia. Kalaupun manusia mempunyai kewajiban
terhadap binatang atau alam semesta, kewajiban tersebut merupakan kewajiban tidak
langsung terhadap manusia yang lain, bukan terhadap binatang atau alam semesta itu
sendiri.
Dengan ini terlihat jelas bahwa etika-khususnya etika Barat-yang dikenal dalam
masyarakat modern hingga sekarang dibatasi hanya berlaku bagi manusia. Etika seperti
ini sangat antroposentris. Etika ini tidak berlaku bagi makhluk lain di luar manusia.
Oleh karena itu, tidak ada yang salah secara moral pada perilaku manusia terhadap
binatang dan tumbuhan, serta makhluk hidup lainnya, apa pun perilaku manusia itu.
Semua makhluk hidup selain manusia hanya sekadar alat dan tidak mempunyai nilai
dan status moral untuk diperlakukan secara bermoral oleh manusia. Memberlakukan
etika dan moralitas bagi makhluk hidup lain merupakan sebuah kesalahan kategoris.
Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori antroposentrisme, yang dituding sebagai
sumber krisis ekologi sekarang ini, teori ini dibela dan dipahami secara lebih kritis dari
perspektif yang agak lain, antara lain oleh W.H. Murdy dan F. Frase Darling. Murdy,
seorang ahli botani, mengajukan sebuah argumen antroposentris yang agak lunak.
Menurut Murdy, sesungguhnya setiap spesies ada dan hidup sebagai tujuan pada
dirinya sendiri. Jadi, berbeda dengan Kant yang hanya menganggap manusia sebagai
tujuan pada dirinya sendiri. Jadi, berbeda dengan Kant yang hanya menganggap
manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, Murdy justru berpendapat bahwa semua
makhluk di dunia ini ada dan hidup sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Atas dasar itu,
adalah hal yang alamiah dan wajar kalau manusia menilai dirinya lebih tinggi dari
spesies atau makhluk lainnya. Begitu pula dengan makhluk lain, akan menilai dirinya
dan spesiesnya lebih tinggi dan lebih berharga daripada manusia. Tetapi yang menarik,
menurut Murdy, demi mencapai tujuannya itu, manusia mau tidak mau akan menilai
tinggi alam semesta beserta seluruh isinya, karena kelangsungan hidup manusia dan
kesejahteraannya sangat tergantung dari kualitas, keutuhan, dan stabilitas ekosistem
seluruhnya,
Dengan argumen ini, Murdy ingin mengatakan bahwa yang menjadi masalah
bukanlah kecenderungan antroposentris pada diri manusia yang memperalat alam
semesta untuk kepentingannya. Yang menjadi masalah dan sumber malapetaka krisis
lingkungan hidup adalah tujuan-tujuan tidak pantas dan berlebihan yang dikejar oleh
manusia, di luar batas toleransi ekosistem itu sendiri. Akhirnya, dengan itu manusia
bunuh diri. Sejauh manusia menggunakan alam semesta dan seluruh isinya demi
memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang berguna dan tepat (proper ends), ini
dibenarkan secara moral. Kehidupan dan kesejahteraan manusia bergantung pada alam
semesta, sebagaimana halnya spesies lain di alam semesta juga tergantung dari
keberadaan spesies lain lagi.
Jadi, menurut Murdy, krisis lingkungan hidup akan disebabkan oleh pendekatan
antroposentris per se, melainkan oleh pendekatan antroposentris yang berlebihan. Yang
salah bukan pendekatan antroposentris, karena antroposentrisme menegaskan teori
bahwa manusia bukanlah entitas yang terpisah dan bertindak lepas dari konteks
ekologis.
Antroposentrisme merupakan sebuah teori etika yang cukup kontroversial dan
menimbulkan perdebatan seru di antara banyak filsuf hingga sekarang. Di satu pihak
antroposentrisme dituduh sebagai biang keladi krisis lingkungan hidup hingga
sekarang. Di, pihak lain antroposentrisme juga dibela, pertama, karena validitas
argumennya sulit dibantah, dan karena itu yang salah bukanlah antroposentrisme itu
sendiri, melainkan antroposentrisme yang berlebihan. Kedua, antroposentrisme
menawarkan etika lingkungan hidup yang mempunyai daya tarik kuat untuk
mendorong manusia menjaga lingkungan hidup.
Dalam kaitan dengan etika lingkungan hidup yang ditawarkannya, ada beberapa
kelemahan yang perlu disinggung di sini. Pertama, model etika ini mengabaikan
masalah-masalah lingkungan hidup yang tidak langsung menyentuh kepentingan
manusia. Maka, manusia, misalnya, akan tetap membuang limbah ke sungai atau
menebang pohon untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama tidak ada manusia
tertentu yang terkena dampak negatifnya. Kedua, kepentingan manusia selalu berubah-
ubah dan berbeda-beda pula kadarnya. Konsekuensinya, sejauh dipandang menyangkut
kepentingan manusia maka alam akan dipertimbangkan secara serius dari segi moral.
Sebaliknya, sejauh tidak menyangkut kepentingan manusia maka akan diabaikan.

2. Biosentrisme (Intermedite Environtmental Ethics)

Biosentrisme berasal dari gabungan kata Yunani “bios” (hidup) dan kata latin
“centrum” (pusat). Secara harfiah, biosentrisme diartikan sebagai suatu keyakinan
bahwa kehidupan manusia erat hubungannya dengan kehidupan seluruh kosmos.
Manusia dipandang sebagai salah satu organisme hidup dari alam semesta yang
mempunyai rasa saling ketergantungan dengan penghuni alam semesta lainnya.
Biosentrisme merupakan suatu pandangan yang menempatkan alam sebagai yang
mempunyai nilai dalam dirinya sendiri, lepas dari kepentingan manusia. Dengan
demikian biosentrisme menolak teori antroposentrisme yang menyatakan bahwa hanya
manusialah yang mempunyai nilai dalam dirinya sendiri. Teori biosentrisme
berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada banyak hal dan
jenis mahluk hidup yang memiliki kehidupan. Hanya saja, hal yang rumit dari
biosentrisme, atau yang disebut juga life-centered ethic, terletak pada cara manusia
menanggapi pertanyaan: ”Apakah hidup itu?” . Pandangan biosentrisme mendasarkan
moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada mahluk hidupnya.
Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan,
maka secara moral berlaku prisip bahwa setiap kehidupan dimuka bumi ini mempunyai
nilai moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Oleh karena itu,
kehidupan setiap mahluk hidup pantas diperhitungkan secara serius dalam setiap
keputusan dan tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan untung rugi bagi
kepentingan manusia.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan
kehidupan sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth
Goodpaster. Menurut Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada
dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk
hidup atau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan
standar moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang harus dihargai
secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan
binatang secara moral dapat dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan
untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Biosentrisme menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan
bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun
spesies lain dimuka bumi ini. Prinsip atau perintah moral yang berlaku disini dapat
dituliskan sebagai berikut: ”adalah hal yang baik secara moral bahwa kita
mempertahankan dan memacu kehidupan, sebaliknya, buruk kalau kita menghancurkan
kehidupan”.
Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam
dirinya sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung
didalamnya. Kewajiban terhadap alam tidak harus dikaitkan dengan kewajiban
terhadap sesama manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata
didasarkan pada pertimbangan moral bahwa segala spesies di alam semesta
mempunyai nilai atas dasar bahwa mereka mempunyai kehidupan sendiri, yang harus
dihargai dan dilindungi.
Biosentrisme memandang manusia sebagai mahluk biologis yang sama dengan
mahluk biologis yang lain. Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari
keseluruhan kehidupan yang ada dimuka bumi, dan bukan merupakan pusat dari
seluruh alam semesta. Maka secara biologis manusia tidak ada bedanya dengan mahluk
hidup lainnya. Salah satu tokoh yang menghindari penyamaan begitu saja antara
manusia dengan mahluk hidup lainnya adalah Leopold. Menurut dirinya, manusia tidak
memiliki kedudukan yang sama begitu saja dengan mahluk hidup lainnya.
Kelangsungan hidup manusia mendapat tempat yang penting dalam pertimbangan
moral yang serius. Ahanya saja, dalam rangka menjamin kelangsungan hidupnya,
manusia tidak harus melakukannya dengan cara mengorbankan kelangsungan dan
kelestarian komunitas ekologis. Manusia dapat menggunakan alam untuk
kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggung jawab untuk tidak mengorbankan
integrity, stability dan beauty dari mahluk hidup lainnya. unjtuk mengatasi berbagai
kritikan atas klaim pertanyaan antara manusia dengan mahluk biologis lainnya, salah
seorang tokoh biosentrisme, Taylor, membuat pembedaan antara pelaku moral (moral
agents) dan subyek moral (moral subjects). Pelaku moral adalah manusia karena dia
memiliki kemampuan untuk bertindak secara moral, berupa kemampuan akal budi dan
kebebasan. Maka hanya manusialah yang memikul kewajiban dan tanggung jawab
moral atas pilihan-pilihan, dan tindakannya. Sebaliknya, subyek moral adalah mahluk
yang bisa diperlakukan secara baik atau buruk, dan itu berarti menyangkut semua
mahluk hidup, termasuk manusia. Dengan demikian semua pelaku moral adalah juga
subyek moral, namun tidak semua subyek moral adalah pelaku moral, di mana pelaku
moral memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap mereka .
Teori biosentrisme, yang disebut juga intermediate environmental ethic, harus
dimengerti dengan baik, khususnya menyangkut kehidupan manusia dan mahluk-
mahluk hidup yang lain di bumi ini. Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral
yang sama kepada semua mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala
kehidupan yang terkandung didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan dan
kepedulian moral. Manusia tidak mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas
dasar pemahaman bahwa alam dan segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.
Biosentrisme mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga
komunitas moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia.
Mencakup alam sebagai ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup
(biotic community).
Inti pemikiran biosentrisme adalah bahwa setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik
dan keberadaannya memiliki relevansi moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas
mendapatkan keprihatinan dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan
inti pokok dari konsern moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan
serta memlihara kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan
menghancurkan kehidupan adalah jahat secara moral”
Biosentrisme memiliki tiga varian, yakni the life centered theory (hidup sebagai
pusat), yang dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor ;land ethic (etika
bumi), dikemukakan oleh Aldo Leopold ; dan equal treatment (perlakuan setara),
dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel.
a. The Life Centered Theory
The life centered theory adalah teori lingkungan yang berpusat pada lingkungan. Teori
yang dikemukakan oleh Albert Schweizer, mengajukan empat prinsip etis pokok, yaitu :
manusia adalah anggota dari komunitas hidup yang ada di bumi ini, bumi adalah suatu
sistem organik dimana manusia dan ciptaan lain saling berkaitan dan bergantung,
setiap ciptaan dipersatukan oleh tujuan bersama demi kebaikan dan keutuhan
keseluruhan, dan menolak superioritas manusia dihadapan makhluk ciptaan lain .
Semua makhluk hidup dalam bionsentrisme adalah anggota dari komunitas hidup,
dalam arti bahwa setiap ciptaan berhak diperlakukan dengan baik secara moral.
Manusia sebagai pelaku atau subjek moral harus memperlakukan dengan baik dan
tangging jawab moral terhadap makhluk lainnya.

b. The Land Ethic (Etika Bumi)


The Land Ethic (etika bumi) Teori etika bumi yang dikemukakan oleh Aldo Leopold
menjadi teori etika lingkungan klasik pada abad ini. Etika bumi menekankan pentingnya
keutuhan ciptaan dan bahwa setiap ciptaan merupakan bagian integral dari komunitas
kehidupan (Light-Holmes III, 2003:39/BASIS:2007:edisi 05-06:12-13). Bumi dan segala
isinya adalah subjek moral yang harus dihargai, tidak hanya alat dan objek yang bisa
dimanfaatkan manusia sesuka hati karena bumi bernilai pada dirinya sendiri.
Teori etika bumi menekankan bahwa keutuhan seluruh makhluk ciptaan tidak
bertentangan dengan kepentingan masing-masing ciptaan. Aldo Leopold mengatakakan
bahwa tugas manusia untuk menata dan memelihara sehingga kepentingan manusia
sebagai bagian dari komunitas kehidupan bisa sejalan dan tidak bertentangan dengan
kebaikan seluruh kebaikan komunitas kehidupan. Prinsip moral menurut Leopold
adalah bahwa setiap tindakan akan banar secara moral jika melindungi dan
mengupayakan keutuhan, keindahan, dan stabilitas seluruh komunitas kehidupan
(Palmer dalam Light, 2003:24, BASIS : 12-14). Manusia harus berhenti mengeksploitasi,
merusak makhluk ciptaan lain karena tindakan ini akan merusak keutuhan, stabilitas,
keindahan ciptaan alam.

c. Equal Treatment (perlakuan yang setara)


Equal treatment (perlakuan setara/sama) Equal treatment dikenal sebagai anti
spesiesisme yang dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel. Anti spesiesme
adalah sikap membela kepentingan dan kelangsungan hidup semua spesies di bumi
karena didasarkan pada mempunyai hak hidup yang sama dan pantas mendapatkan
perlindungan dan perhatian yang sama.
Peter Singer mendasarkan teorinya kepada prinsip moral perlakuan yang sama dalam
kepentingan. Perlakuan yang sama dalam relasi anta manusia didasarkan pada
pertimbangan bahwa manusia mempunyai kepentingan yang sama. Kesadaran dan
tanggung jawab moral sangat penting terhadap makhluk ciptaan bukan manusia.
Tanggung jawab dan pertimbangan moral berlaku bagi seluruh komunitas kehidupan.
Prinsip moral harus konsisten diterapkan dalam seluruh komunitas kehidupan demi
kebaikan keseluruhan komunitas kehidupan.
Dalam pandangan filsafat timur yang diwakili hinduisme alam menjadi sesuatu yang
makrokosmos, dimana manusia hidup didalamnya sebagai mikrokosmos. Sedangkan
pandangan Konfuisme, mengajak manusia kembali kepada alam semesta demi
memperoleh kebahagiaan. Dalam aliran Zen di Jepang manusia berusaha mencari
keheningan dalam alam dan menyatu dengan dirinya sendiri.
Dalam pandangan filsafat Islam meletakkan pada etika / moral manusia terhadap
alam, yakni mengajak manusia hidup dalam keseimbangan dengan alam dan sebagai
makhluk bumi yang diberi mandat oleh Sang Pencipta untuk tetap memelihara dan
menjaga bumi dari segala ancaman. Sikap memelihara dan menjaga bumi merupakan
penerapan tanggung jawab manusia kepada Sang Pencipta alam dengan segala isinya.

3. Ekosentrisme (Deep Environtmental Ethics)

Ekosentrisme merupakan kelanjutan


dari teori etika lingkungan biosentrisme (teori ini menganggap setiap kehidupan dan
makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri). Sebagai
kelanjutan, ekosentrisme sering disamakan begitu saja dengan biosentrisme, karena
adanya banyak kesamaan di antara kedua teori ini. Kedua teori ini mendobrak cara
pandang antroposentrisme (teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai
pusat dari sistem alam semesta) yang membatasi keberlakuan etika hanya pada
komunitas manusia. Keduanya memperluas keberlakuan etika untuk mencakup
komunitas yang lebih luas. Pada biosentrisme, etika diperluas iuntuk mencakup
komunitas biosentrisme. Sementara pada ekosentrisme etika diperluas untuk
mencakup komunitas ekologis seluruhnya. Jadi berbeda dengan biosentrisme yang
hanya memusatkan etika pada biosentrisme, pada kehidupan seluruhnya, ekosentrisme
justru memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun
yang tidak. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling
terkait satu sama lain.
Salah satu versi teori ekosentrisme ini adalah teori etika lingkungan yang
sekarang ini populer di kenal sebagai Deep Ecology (DE). Sebagai istilah, Deep
Ecology pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, pada
1973, di mana prinsip moral yang dikembangkan adalah menyangkut seluruh
komunitas ekologis.
Istilah Deep Ecology (DE)menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada
manusia, tetapi berpusat pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya
mengatasi persoalan lingkungan hidup. Deep Ecology (DE) tidak mengubah sama sekali
hubungan antara manusia dengan manusia. Yang baru dari Deep Ecology (DE) adalah,
pertama, manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain.
Manusia bukan lagi pusat dari dunia moral. Deep Ecology (DE) justru memusatkan
perhatian kepada semua spesies termasuk spesies bukan manusia. Singkatnya,
biosphere seluruhnya. Demikian pula, Deep Ecology(DE) tidak hanya memusatkan
perhatian pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. Maka, prinsip moral
yang dikembangkan Deep Ecology (DE) menyangkut kepentingan seluruh komunitas
ekologis. Kedua, bahwa etika lingkungan hidup yang dikembangkan Deep Ecology (DE)
dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah gerakan. Artinya, prinsip-
prinsip moral etika lingkungan harus diterjemahkan dalam aksi nyata dan
konkret. Deep Ecology (DE) menyangkut suatu gerakan yang jauh lebih dalam dan
komprehensif dari sekedar sesuatu yang instrumental dan ekspresionis sebagaimana
ditemukan pada antroposentrisme dan biosentrisme. DE menuntut suatu pemahaman
yang baru tentang relasi etis yang ada dalam semesta ini disertai adanya prinsip-prinsip
baru sejalan dengan relasi etis baru tersebut, yang kemudian diterjemahkan dalam
gerakan atau aksi nyata di lapangan.
Hakekat pembangunan adalah pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan seluruh Masyarakat Indonesia. Ini berarti bahwa pembangunan
mencakup: pertama, kemajuan lahiriah seperti pangan, sandang, perumahan, dan lain-
lain; kedua, kemajuan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, rasa keadilan, rasa sehat;
dan ketiga, kemajuan yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam
perbaikan hidup berkeadilan sosial. Karena luasnya ruang lingkup pembangunan, maka
uraian pada bagian ini lebih memberat kepada ekosentrisme dan pembangunan
berwawasan lingkungan (termasuk sumber alam). Jika lingkungan Indonesia sekarang
dibandingkan dengan 30 Tahun yang lalu, secara terasa ada perbedaan menyolok.
Pembangunan telah membawa kemajuan besar. Di samping itu terjadi juga perubahan
lingkungan. 1) Kota dan desa lebih padat dan kotor; 2) mobil dan sepeda motor lebih
banyak dan lebih bising; 3) pohon rindang dan kicauan burung sudah berkurang; 4)
hutan semakin sempit dan gunung-bukit semakin gundul; 5) tanah kering beralang-
alang semakin luas; 6) musim kemarau lebih panas dan musim hujan lebih banyak
banjir sehingga hati terasa senang bercampur cemas. Hati senang melihat
pembangunan membawa kemajuan. Tapi hati cemas melihat lingkungan hidup
terganggu.
Bagaimanakah menjelaskan perkembangan ini, dan apakah yang bisa diperbuat
untuk mengatasinya? Berbagai gangguan lingkungan hidup ini mempunyai satu ciri
sama, yaitu bahwa manusialah penyebab utama timbulnya bencana ini. Sungai, gunung,
harimau, gajah, ikan dan lain-lain isi lingkungan alam, sudah lama berkelanjutan
(sustainable) tanpa gangguan yang berarti. Namun setelah manusia muncul mengolah
sumber alam tanpa mengendalikan pengaruh negatifnya kepada lingkungan sehingga
merusak alam dan mengusik lingkungan pemukiman binatang maka alam bereaksi
kembali.
Masalah sekarang ialah, bagaimana menumbuhkan kesadaran lingkungan manusia
supaya pengolahan sumber alam bagi pembangunan dapat dilakukan sejalan dengan
pengembangan lingkungan, bagaimana menyebarluaskan penghayatan dan penglibatan
manusia pada proses pembangunan tanpa kerusakan lingkungan. Dan bagaimana
menumbuhkan di kalangan masyarakat lua penglihatan dan orientasi pembangunan
dengan pengembangan lingkungan. Untuk itu perlu ditelusuri pokok-pokok masalah
lingkungan untuk kemudian menjajaki kemungkinan peran serta masyarakat umum
dalam menanggapi masalah lingkungan ini. Teori ekosentrisme (Deep Ecology (DE))
adalah salah satu jawaban.
Ada beberapa prinsip yang dianut oleh Deep Ecology (DE), antara lain
adalah biospheric egalitarianism – in principle, yaitu pengakuan bahwa semua
organisme dan makhluk hidup adalah anggota yang sama statusnya dari suatu
keseluruhan yang terkait sehingga mempunyai martabat yang sama. Pengakuan ini
menunjukan adanya sikap hormat terhadap semua cara dan bentuk kehidupan alam
semesta. Ini menyangkut suatu pengakuan dan penghargaan terhadap “hak yang sama
untuk hidup dan berkembang”, yang tidak hanya berlaku bagi semua makhluk hayati
tetapi juga bagi yang non-hayati.
Dengan prinsip ini sekaligus mau dikatakan bahwa nilai sebuah benda di alam
semesta ini tidak hanya berkaitan dengan kebutuhan atau kepentingan manusia. Prinsip
ini mengacu pada pengakuan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini harus dihargai
karena mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Manusia hanya salah satu bentuk
kehidupan yang pada prinsipnya sama kedudukannya dalam tatanan ekologis dengan
semua bentuk kehidupan lain. Bahwa semua bentuk kehidupan mempunyai keunikan
sendiri-sendiri termasuk manusia itu justru memperkaya kehidupan dan bukan
dimaksudkan yang satu lebih tinggi dan bernilai sehingga mendominasi yang lain

Jadi dapat disimpulkan bahwa:

Ø Etika lingkungan merupakan kebijaksanaan moral manusia dalam bergaul dengan


lingkungannya.etika lingkungan diperlukan agar setiap kegiatan yang menyangkut lingkungan
dipertimbangkan secara cermat sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Ø Manusia adalah bagian dari lingkungan yang tidak bisa dipisahkan, maka diperlukan menjaga,
menyanyangi, dan melestarikan lingkungan. Karena lingkungan ini diciptakan tidak hanya untuk manusia
saja, tetapi seluruh komponen alam di dunia ini.

Ø Etika lingkungan disebut juga etika ekologi. Etika ekologi dibedakan menjadi etika ekologi
dangkal dan etika ekologi dalam.

Ø Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa
lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, sedangkan etika ekologi dalam adalah
pendekatan terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan
kehidupan.

Ø Teori lingkungan diantaranya adalah: Antroposentrisme, Biosentrisme, Ekosentrisme,


Zoosentrisme, dan hak asasi alam.

Ø Prinsip-prinsip lingkungan adalah: sikap hormat terhadap alam, tanggung jawab, solidaritas,
kasih saying dan kepedulian, tidak merugikan alam secara tidak perlu, hidup sederhana dan selaras
dengan alam, keadilan, demokrasi, dan integritas moral.

3. Paradigma Ekosentrisme

Sebagaimana paradigma biosentrisme, paradigma ekosentrisme ini

merupakan paradigma yang menentang cara pandang yang dikembangkan oleh

antroposentrisme, yang membatasi keberlakuan etika pada komunitas manusia.

Ekosentrisme sering kali disebut sebagai kelanjutan dari biosentrisme, karena

keduanya memiliki kesamaan dasar pandangan.

Paradigma ekosentrisme menyampaikan pandangannya bahwa secara

ekologis, makluk hidup dan benda-benda abiotis lainnya saling terkait satu sama

lainnya. Kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makluk

hidup, tetapi juga berlaku terhadap semua realitas ekologis.

Arne Naess, seorang filsuf asal Norwegia, yang merupakan salah satu

tokoh paradigma ekosentrisme, mengemukakan sebuah pandangan yang dikenal

dengan Deep Ecology. Pandangan ini adalah suatu etika baru yang tidak berpusat

pada manusia, tetapi berpusat pada makluk hidup seluruhnya dalam kaitan untuk

mengatasi persoalan lingkungan hidup.pandangan ini mengajak semua orang

8
Paul Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethicts, (Princeton: Princeton

Univ. Press), hlm. 13. Ibid. hlm. 53.

Sutoyo, Paradigma Perlindungan Lingkungan Hidup 203

untuk melakukan perubahan mendasar pada semua bidang dalam rangka

menyelamatkan lingkungan.

Terdapat dua hal yang mendasar dalam Deep Ecology, yaitu:

1) Manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain.

Manusia bukan pusat dari dunia moral, tetapi memusatkan perhatian pada

biosphere seluruhnya, yakni kepentingan seluruh komunitas ekologis.

Perhatian bersifat jangka panjang.

2) Etika lingkungan hidup yang dikembangkan dirancang sebagai sebuah etika

praktis, berupa sebuah gerakan yang diterjemahkan dalam aksi nyata dan

konkret. Pemahaman baru tentang relasi etis yang ada dalam alam semesta,

disertai adanya prinsip-prinsip baru sejalan dengan relasi etis tersebut, yang

kemudian diterjemahkan dalam aksi nyata di lapangan.

Deep Ecology memiliki filsafat pokok ecosophy. Eco berarti rumah tangga

dan sophy berarti kearifan. Ecosophy diartikan sebagai bentuk kearifan mengatur

hidup selaras dengan alam sebagai sebuah rumah tangga dalam arti luas.

Ecosophy meliputi pergeseran dari sebuah ilmu (science) menjadi sebuah

kearifan (wisdom), berupa cara hidup, pola hidup yang selaras dengan alam. Hal

ini berupa gerakan seluruh penghuni alam semesta untuk menjaga secara arif

lingkungannya sebagai rumah tangga. Gerakan ini juga dikenal sebagai sebuah

gerakan filsafat, filsafat lingkungan hidup.9

Naess sangat menekankan perlunya perubahan gaya hidup, karena melihat

krisis ekologi yang kita alami sekarang ini berakar pada perilaku manusia yang

salah satu manifestasinya adalah pola produksi dan pola konsumsi yang sangat

eksesif dan tidak ekologis, tidak ramah lingkungan, serta sangat konsumeristis.
Salah satu kesalahan fatal para ekonom adalah adanya anggapan bahwa

ekonomi sebagai segala-galanya dan bukan sebagai salah satu aspek dari

kehidupan yang begitu kaya. Ini adalah kesalahan reduksionistis yang mereduksi

kehidupan manusia dan maknanya hanya sebatas makna ekonomis, dimana

pertumbuhan ekonomi sebagai hal utama yang harus dikejar. Artinya bahwa akan

9Dalam tulisannya, Arne Naess mengungkapkan bahwa faham dasar deep ecology yaitu

ekologi harus menjadi sebuah gaya hidup dan gerakan dari komunitas. Bahkan ia benar-benar

menghayati hidupnya sebagai seorang pemikir sekaligus aktivis, karena dibawah pengaruh

Spinoza dan Gandhi, maka baginya berpikir dan melakukan aksi nyata terkait satu sama lain.

204 ADIL : Jurnal Hukum Vol. 4 No.1

semakin banyak sumber daya ekonomi yang dieksploitasi, dan semakin banyak

terjadi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Hal ini mengakibatkan suatu pola

hidup yang secara psikologis menyebabkan manusia menjadi maniak dan mabuk

harta.

Tidak mengherankan apabila ekonom dianggap sebagai musuh dari para

aktivis dan pemerhati lingkungan. Oleh karena itu perubahan gaya hidup harus

mencakup perubahan pola produksi dan pola konsumsi yang eksesif sebagaimana

berlaku dalam masyarakat modern sekarang ini.

Deep ecology melihat permasalahan lingkungan dalam suatu perspektif

relasional yang lebih luas dan holistik. Akar permasalahn kerusakan dan

pencemaran lingkungan dilihat secara lebih komprehensif dan holistik, untuk

kemudian diatasinya secara lebih mendalam.

Krisis lingkungan yang terjadi dewasa ini, secara filosofis lebih

disebabkan oleh kesalahan fundamental pada cara pandang manusia tentang

dirinya, alam dan tempat manusia di alam. Oleh karena itu, yang dibutuhkan

adalah sebuah perubahan fundamental dan revolusioner yang menyangkut


transformasi cara pandangdan nilai, baik secara pribadi maupun budaya, yang

mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik.

Perubahan komitmen dan kebijakan politik yang pro lingkungan sangatlah

diperlukan. Hal ini juga perlu didorong dengan perubahan radikal yang berakar

pada perubahan cara pandang (a radical transformation in worldvew), yang

diikuti oleh perubahan mental dan perilaku, yang tercermin dalam gaya hidup baik

sebagai individu maupun kelompok budaya. Berupa penyadaran kembali akan

kesadaran ekologis yang mengakui kesatuan, keterkaitan dan saling

ketergantungan antara manusia, tumbuhan dan hewan serta seluruh alam semesta

Anda mungkin juga menyukai