BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Anak adalah permata harapan keluarga. Setiap orang mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab terhadap anak agar tumbuh sehat dengan baik, sehat walafiat baik tubuh maupun jiwanya.
Masa kanak – kanak adalah masa yang rentan terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Pada
masa ini sering kali anak ditimpa berbagai macam gejala penyakit salah satu gejalanya adalah
Menurut Abdoerrachman ( 2007 ) kejadian kejang demam banyak terjadi pada bayi dan
anak yang berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun, dimana kejang ini disebabkan oleh demam
yang semakin tinggi (suhu mencapai 38oC atau lebih), waktu terjadinya tidak lebih dari 30 menit.
Kejang demam ini terbagi menjadi Kejang Demam Sederhana (KDS) dan Kejang Demam
Kompleks (KDK).
Kejadian kejang demam ini sendiri tidak terlalu banyak hanya 2 - 5%. Walaupun penderita
kejang demam hanya sedikit tetapi masyarakat kerap kali mengganggap remeh hal tersebut.
Mereka percaya anak yang tiba-tiba kejang itu menderita epilepsi ataupun kerasukan bahkan
beranggapan bahwa hal tesebut merupakan suatu hal yang wajar yang akan sembuh dengan
sendirinya tanpa perlu mendapatkan pengobatan intensif dari tenaga kesehatan ( Lumbantobing,
2007 ).
Prevalensi kejang demam sekitar 2 - 5 persen pada anak balita. Umumnya terjadi pada
anak umur 6 bulan sampai 5 tahun. Ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi. Diantaranya;
usia, jenis kelamin, riwayat kejang dan epilepsi dalam keluarga, dan normal tidaknya
perkembangan neurologi. Menurut Nadirah (2011), di antara semua usia, bayi yang paling rentan
terkena step atau kejang demam berulang. Risiko tertinggi pada umur di bawah 2 tahun, yaitu
sebanyak 50 persen ketika kejang demam pertama. Sedang bila kejang pertama terjadi pada umur
lebih dari 2 tahun maka risiko berulangnya kejang sekitar 28 persen. Selain itu, dari jenis
kelamin juga turut mempengaruhi. Meskipun beberapa penelitian melaporkan bahwa anak laki-
laki lebih sering mengalami kejang demam dibanding anak perempuan. Namun risiko
berulangnya kejang demam tidak berbeda menurut jenis kelamin. Riwayat kejang dalam
keluarga merupakan risiko tertinggi yang mempengaruhi berulangnya kejang demam, yaitu
sekitar 50 - 100 persen. Dan anak-anak yang mengalami keterlambatan perkembangan neurologi
Kejang dapat terjadi pada waktu demam. Dikatakan demam jika suhu mencapai 37,8
derajat celcius atau lebih yang diukur secara rektal. Kejang demam dapat dipicu karena faktor
infeksi di bagian ekstrakranial (luar otak). Di antaranya karena penyakit diare, otitis media,
pneumonia, faringitis. Beberapa penelitian, melaporkan kejang terjadi pada suhu 38 derajat
celcius. Tapi ada juga demam suhu rendah, namun bisa membuat anak kejang (Teriosa, 2011).
Komplikasi dari kejang demam ini masih kontraversi, ada beberapa peneliti mengatakan
bahwa kejang demam ini tidak mengakibatkan kerusakan otak yang berarti seperti hasil
penelitian dari The National Collaborative Perinatal Project di Amerika yang mengikuti 1706
anak kejang demam sampai berumur usia 7 tahun dan hasilnya tidak didapatkan adanya kematian
sebagai akibat dari kejang demam. IQ anak kejang demam ini juga dibandingkan dengan saudara
kandungnya yang normal dengan menggunakan WICS, hasilnya angka rata-rata untuk IQ pada
setiap anak tidak berbeda dengan saudara kandung yang tidak menderita kejang demam, tetapi
ada beberapa peneliti seperti Aicadi dan chevrie yang meneliti 402 anak yang menderita kejang
demam dan didapat hasil 131 mendapatkan sekuele, yaitu : 114 penderita epilepsi, 54 retadansi
menderita skuele ini sebelum kejang demam adalah anak yang normal (Lumbantobing, 2007).
Berdasarkan data yang diperoleh dari ruang Anak RSUD M.Yunus Bengkulu tercatat pada
tahun 2010 ditemukan sebanyak 789 anak dirawat, sedangkan pada tahun 2011 ditemukan
sebanyak 934 anak dirawat di ruang Anak RSUD M.Yunus. Sedangkan untuk kejang demam di
RSUD M. Yunus Bengkulu penyakit kejang demam termasuk 5 besar penyakit yang paling
banyak diderita disana. Hal ini terbukti dengan adanya peningkatan jumlah kasus kejang demam
pada anak yang terjadi pada tahun 2010 sebanyak 127 kasus sedangkan pada tahun 2011 tercatat
Tabel 1
Daftar frekuensi anak yang terserang Kejang Demam
di Ruangan anak RSUD. M. Yunus tahun 2010 dan 2011
Tahun
No Bulan
2010 2011
1 Januari 16 15
2 Februari 14 9
3 Maret 18 10
4 April 4 11
5 Mei 5 12
6 Juni 14 12
7 Juli 12 8
8 Agustus 12 18
9 September 11 16
10 Oktober 4 9
11 November 5 11
12 Desember 12 9
JUMLAH 127 140
Sumber : Rekam medik RSUD. M. Yunus
Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa penderita kejang demam untuk untuk daerah
Bengkulu pada dua tahun belakang ini mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang jumlah
penderita 127 meningkat menjadi 140 pada tahun 2011 sehingga dapat disimpulkan bahwa
penderita kejang demam masih tinggi, untuk itu masih perlu dapat perhatian yang lebih dari
tenaga kesehatan.
Berdasarkan data yang diambil dari ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten
Bengkulu Utara penyakit kejang demam masih cukup tinggi. Hal ini terbukti dengan adanya 23
2010 dan 32 anak terserang kejang demam pada tahun 2011 dengan rincian sebagai berikut :
Tabel 2
Daftar frekuensi anak yang terserang Kejang Demam
di Ruangan Melati RSUD Arga Makmur Tahun 2010 dan 2011
Tahun
No Bulan
2010 2011
1 Januari 2 2
2 Februari 1 1
3 Maret 1 4
4 April 5 1
5 Mei 1 4
6 Juni - 2
7 Juli 2 3
8 Agustus 2 3
9 September 1 3
10 Oktober - 5
11 November 5 1
12 Desember 2 3
JUMLAH 23 32
Sumber : Register Ruang Melati RSUD Arga Makmur
Pada tabel diatas dapat kita lihat bahwa penderita kejang demam pada dua tahun
belakang ini mengalami kenaikan dari tahun 2010 yang jumlah penderita 23 meningkat menjadi
32 pada tahun 2011 sehingga dapat disimpulkan bahwa penderita kejang demam masih tinggi,
untuk itu masih perlu dapat perhatian yang lebih dari tenaga kesehatan.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik dan berkeinginan untuk mengetahui adakah “
Hubungan Umur Dan Suhu Tubuh Dengan Kejadian Kejang Demam Di Ruang Melati RSUD
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang akan peneliti
1. Apakah ada hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD
2. Apakah ada hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejang demam pada balita di Ruang
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran umur balita yang dirawat di Ruang Melati RSUD Arga Makmur
b. Untuk mengetahui gambaran suhu tubuh balita yang dirawat di Ruang Melati RSUD Arga
c. Untuk mengethaui gambaran kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga
d. Untuk mengetahui gambaran kejadian kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD Arga
e. Untuk mengetahui hubungan umur dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati RSUD
f. Untuk mengetahui hubungan suhu tubuh dengan kejang demam pada balita di Ruang Melati
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pelaksanakan penanganan
Sebagai bahan bacaan untuk mahasiswa dan sumber pustaka tentang kejang demam.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi yang sangat berguna bagi penelitian
E. Keaslian Penelitian
1. “Faktor-faktor yang mempengaruhi rekurensi kejang demam pada anak di RSUD Saras Husada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Kejang Demam adalah kejang yang terjadi pada saat suhu badan tinggi, suhu badan yang
Kejang demam adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh rektal
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai dengan 5
tahun dan berhubungan dengan demam serta tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan
2. Etiologi
a. Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan, otitis media,
Seperti yang dikemukakan Syaifuddin ( 1997) system saraf terdiri dari system saraf pusat
(sentral nervous system) yang terdiri dari cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak)
serta medulla spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral nervous system)
yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan semua cabang dari medulla spinalis,
system saraf gaib (autonomic nervous system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis)
Otak berada di dalam rongga tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput otak
yang disebut meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama terhadap resiko
benturan atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid dan
piamater.
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan superior rongga tengkorak di
mana cerebrum ini mengisi cavum cranialis anterior dan cavum cranialis media.
Cerebrum terdiri dari dua lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari
cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat pendengaran / auditorik, pusat
Sebagian kecil substansia gressia masuk ke dalam daerah substansia alba sehingga tidak
berada di corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah medulla cerebri. Pada setiap
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali impuls pembau yang langsung
sampai ke kortex cerebri. Fungsi thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III hypothalamus terdiri dari beberapa
merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam seperti mengatur metabolisme,
alat genital, tidur dan bangun, suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya.
Bila terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-perubahan. Seperti pada kasus
kejang demam, hypothalamus berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang
ekstrakranium.
3) Formation Reticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang otak (superior dan pons
varoli) ia berperan untuk mempengaruhi aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio
reticularis ini terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang akan dikirim ke cortex
cerebri.
b. Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati fossa cranial posterior.
Terletak di superior dan inferior dari cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi
otot rangka.
System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang langsung keluar dari otak atau
batang otak dan mensarafi organ tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang :
1) N. I : Nervus Olfaktorius
2) N. II : Nervus Optikus
4) N. IV : Nervus Troklearis
5) N. V : Nervus Trigeminus
6) N. VI : Nervus Abducen
9) N. IX : Nervus Glossofaringeus
System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf pusat dan system saraf
otonom dihubungkan dengan urat-urat saraf aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf
otonom ada 2 di mana keduanya mempunyai serat pre dan post ganglionik yaitu system simpatis
dan parasimpatis.
4. Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi
yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi
paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah
glukosa yang melalui proses oksidasi menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran
yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat
sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida. Akobatnya konsentrasi
kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi ion natrium rendah, sedangkan diluar sel neuron
terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar
sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-
ATPase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah
oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya
mendadak misalnya mekanis dan kimiawi, perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena
penyakit atau keturunan. Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak berumur 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan orang dewasa yang hanya
15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion kalium maupun ion natrium
melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnay sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya
dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai
ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak
yang menderita kejang demam pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang
yang rendah, kejang terjadi pada suhu 38°C sedangkan anak dengan ambang kejang yang tinggi,
a. Faktor umur
Faktor umur merupakan salah satu faktor resiko utama yang berhubungan dengan kejang
demam karena hal ini erat kaitannya dengan kematangan otak, tingkat kematangan otak dalam
proloferasi neuron, organisasi dan mielinisasi. Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai
pada fase neurulasi sampai migrasi neural. Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih
berlanjut sampai bertahun-tahun sampai pascanatal. Sehingga kejang demam terjadi pada fase
perkembangan tahap organisasi sampai mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase
yang rawan apabila mengalami bangkitan kejang terutama fase perkembangan organisasi
meliputi: diferensiasi dan pemantapan neuron pada subplate, pencocokan, orientasi, dan
peletakan neuron pada korteks, pembentukkan cabang neurit dan dendrit, pemantapan kontak di
sinapsis, kematian sel terprogram, proliferasi dan diferensiasi sel glia. Pada proses diferensiasi
dan pemantapan neuron pada subplate, terjadi diferensiasi neurotransmitor eksitator dan
inhibitor. Pembentukan reseptor untuk eksitator lebih awal dibandingkan inhibitor. Pada proses
pembentukkan cabang-cabang akson ( dendrit dan neurit ) serta pembentukan sinapsis, terjadi
kematian sel terprogram dan plastisitas.Terjadi proses eliminasi sel neuron yang tidak terpakai.
Sinapsis yang dieleminasi sekitar 40%. Proses ini disebut regeresif.Sel neuron yang tidak terkena
proses kematian program bahkan terjadi pembentukan sel baru disebut palstisitas. Proses tersebut
terjadi sampai anak berusia 2 tahun. Apabila masa proses regresif terjadi bangkitan kejang
demam dapat mengakibtakan trauma pada sel neuron sehingga mengakibatkan modifikasi
proses regresif. Apabila pada fase organisasi ini terjadi rangsangan berulang-ulang seperti kejang
demam akan mengakibatkan aberran palstisity, yaitu penurunan fungsi GABA-ergic dan
desensitisasi reseptor GABA dan serta sensitisasi reseptor esksitator. Pada keadaan otak belum
matang, reseptor untuk asam glutamat sebgaai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya
reseptor GABA sebagai inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang eksitasi lebih
eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus
tinggi. Kadar CRH tinggi di hipokampus berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila
terpicu oleh demam. Mekanisme homeostatis pada otak belum matang atau masih lemah, akan
berubah sejalan dengan perkembangan otak dan pertambahan usia, meningkatkan eksitabilitas
neuron. Atas dasar uraian di atas, pada masa otak belum matang mempunyai eksitabilitas neural
lebih tinggi dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini disebut developtmental
window dan rentan terhadap bangkitan kejang. Eksitator lebih dominan dibandingkan inhibitor
sehingga tidak ada keseimbangan antara eksitator dan inhibitor. Anak mendapat serangan
bangkitan kejang pada usia awal developmental window mempunyai waktu lebih lama fase
eskitabilitas neural dibandingkan anak yang mendapatkan serangan kejang demam pada usia
akhir masa developmental window. Apabila anak mengalami stimulasi demam pada otak fase
Soetomenggolo, 2007 ).
hidup. Kerentanan terhadap infeksi berubah, bayi sangat rentan terhadap infeksi, lahir dengan
hanya memiliki anti body dari ibu, sistem imunimatur bayi belum mampu menghasilkan
sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak 6 bulan sampai 5 tahun ( Ngastiyah
2007 ).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lennox Buchthal didapatkan sebagian besar kejang
demam yaitu 83,5% terjadi pada usia 0 bulan sampai 2 tahun dan 16,5 % terjadi pada usia diatas
Demam apabila hasil pengukuran suhu tubuh mencapai diatas 37,8°C aksila atau 38°C
rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering disebabkan oleh
infeksi. Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Perubahan kenaikan
temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan ekstabilitas neural, karena
kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP.
Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-
15% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk
jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus skreb normal, satu molekul glukosa akan
menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme anaerob, satu
molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan
kekurangan energi, hal ini akan mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam
glutamat oleh sel glia. Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel
meningkat dan timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan
meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel dipermudah
dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas dan benturan ion terhadap
membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan
perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi.
Selain itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu (
Abdoerrachman, 2007).
Friedrichsen dan Melchior dalam penelitiannya membagi anak yang demam dalam 2
kelompok yaitu yang mempunyai suhu dibawah 39°C dan yang di atasnya. Didapatkannya
bahwa insiden kejang demam pada kelompok anak demam yang bersuhu dibawah 39°C adalah
24% dan di atas 39°C adalah 64%. Tingginya suhu tubuh pada keadaan demam sangat
berpengaruh terjadinya bangkitan kejang demam karena pada suhu tubuh yang tinggi dapat
meningkatkan metabolisme tubuh sehingga terjadi perbedaan potensial membran di otak yang
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa demam mempunyai peranan untuk
terjadi perubahan potensial membran dan menurunkan fungsi inhibisi sehingga menurunkan nilai
ambang kejang. Penurunan nilai ambang kejang memudahkan untuk timbul bangkitan kejang
demam.
kandung, didapatkan tingkat kesesuaian 56% pada monozigot dan 14% pada kembar dizigot.
Pewarisan multifaktorial lebih banyak muncul pada kebanyakan keluarga, dan hanya sedikti
yang melalui autosomal dominan. Walaupun demikian tsuboi mungkin sekali terdapat suatu sub
kelompok anak yang mempunyai cara pewarisan autosomal dominan untuk kejang demam.
Untuk mengetahui jenis gen dan linkage yang berpengaruh pada kejang demam amak perlu
terlebih dahulu diketahui bebrapa sindrom yang terkait dengan kejang demam, karena masing-
Mekanisme peranan faktor riwayat keluarga pada terjadinya kejang demam terutama
disebabkan oleh adanya mutasi gen-gen tertentu yang mempengaruhi esktabilitas ion-ion pada
membran sel. Mekanisme yang mempengaruhi peristiwa tersebut sangat kompleks. Secara
teoritis defek yang diturunkan pada tiap-tiap gen pengkode protein yang menyangkut ekstabilitas
oleh lumbantobing mendapatkan hasil bahwa 20-25% penderita kejang demam mempunyai
Menurut Soetomenggolo(2007), usia ibu pada saat hamil sangat menentukan status kesehatan
bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat
diantaranya hipertensi dan eklampsia, sedangkan ggangguan pada persalinan adalah trauma
persalinan. Komplikasi kehamilan dan persalinan dapat menyebabkan prematuritas, bayi berat
lahir rendah, penyulit persalinan dan partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin
dengan asfiksia. Pada asfiksia terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia dapat mengakibatkan
rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi sehingga mudah timbul
Makin pendek jarak antar mulainya demam dengan terjadinya kejang demam, makin besar
6. Manifestasi Klinis
Menurut Sujono (2009) manifestasi klinis yang muncul pada penderita kejang demam adalah
b. Timbul kejang yang bersifat tonik-klonik, klonik, fokal atau akinetik. Beberapa detik setelah
kejang berhenti anak tidak memberikan reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan
Sedangkan menurut Arief Mansjoer ( 2008 ) umumnya kejang demam berlangsung singkat,
berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Kejang yang lain juga terjadi seperti
mata terbalik ke atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa
1) Kejang demam yang berlangsung singkat, umumnya serangan akan berhenti sendiri dalam
3) Kejang akan terjadi dengan peningkatan suhu 37,8 0C sampai dengan 38 0C.
4) Tidak berulang dalam waktu 24 jam, atau hanya terjadi sekali dalam 24 jam.
6) EEG ( electro enchephalography-rekaman otak ) yang dibuat setelah tidak demam adalah
normal.
2) Kejang fokal (parsial satu sisi), atau kejang umum didahului kejang parsial lebih dar 1 kali
dalam 24 jam.
3) Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam dengan suhu dengan ambang kejang tinggi
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
2) Elektrolit
3) Glukosa darah
4) Kalsium serum
5) Urinalisis
b. Pemeriksaan Lumbal
1) Jika bayi < 12 bulan, sangat dianjurkan dilakukan pungsi lumbal karena gejala meningitis sering
tidak jelas.
2) Jika bayi antara 12-18 bulan, dianjurkan pungsi lumbal kecuali pasti bukan meningitis.
3) Jika bayi > 18 bulan, tidak rutin. Bila pasti bukan meningitis, pungsi lumbal tidak dianjurkan.
c. Elektro Pemeriksaan foto kepala, CT Scan dan/ atau MRI (Magnetic Resonance Imaging).
4) Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel
anterior menonjol, paresis saraf otak VI, edema papil) ( Arief Mansjoer, 2008).
8. Komplikasi
b. Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita demam kejang
Bila terdapat paling sedikit 2 atau 3 faktor tersebut diatas, maka dikemudian hari akan
mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13 % dibandingkan bila hanya 1 atau tidak ada
sama sekali faktor tersebut. Serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja. Hemiparesis
biasanya terjadi pada klien yang mengalami kejang lama ( berlangsung lebih dari 30 menit) (
Ngastiyah, 2007).
Dari suatu penelitian, demam kejang sederhana menyebabkan kelainan pada IQ tetapi pada
klien demam kejang yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan
neurologist akan didapat IQ yang lebih rendah disbanding dengan saudaranya, jika demam
kejang diikuti dengan terulangnya kejang tanpa demam, retardasi mental akan terjadi 5 kali lebih
besar. Demam kejang yang beralngsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
9. Penatalaksanaan
1) Saat timbul kejang maka penderita diberikan diazepam intravena secara perlahan dengan dosis
untuk berat badan yang kurang dari 10 kg dosisnya 0,5-0,75 mg/kg BB, di atas 20 kg 0,5 mg/kg
BB. Dosis rata-rata yang diberikan adalah 0,3 mg/kg BB/ kali pemberian dengan dosis
pemberian maksimal 5 mg pada anak yang kurang dari 5 tahun dan maksimal 10 mg anak yang
berumur lebih dari 5 tahun. Pemberian tidak boleh melebihi 50 mg persuntikan. Setelah
pemberian pertama diberikan masih timbul kejang 15 menit kemudian dapat diberikan injeksi
diazepam secara intravena dengan dosis yang sama, Apabila masih kejang maka tunggu 15 menit
lagi kemudian diberikan injeksi diazepam ketiga dengan dosis yang sama secara intramuskuler.
2) Pembebasan jalan nafas dengan cara kepala dalam posisi hiperekstensi miring, pakaian
dilonggarkan, dan pengisapan lendir. Bila tidak membaik dapat dilakukan intubasi endotrakel
atau trakeostomi.
4) Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan dalam pemberian
terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena pemantauan intake dan output cairan selama
24 jam perlu dilakukan, karena pada penderita yang berisiko terjadinya peningkatan tekanan
intrakranial kelebihan cairan dapat memperberat penurunan kesadaran pasien. Selain itu pada
pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial juga pemberian cairan yang mengandung
natrium ( Na Cl ) perlu dihindari. Kebutuhan cairan rata-rata untuk anak terlihat pada tabel
sebagai berikut
Tabel 3
Kebutuhan cairan pada anak
Kebutuhan Cairan
Umur BB kg
Kg BB
0-3 hari 3 150
3-10 hari 3,5 125-150
3 bulan 5 140-160
6 bulan 7 135-155
9 bulan 8 125-145
1 tahun 9 120-135
2 tahun 11 110-120
4 tahun 16 100-110
6 tahun 20 85-100
10 tahun 28 70-85
14 tahun 35 50-60
5) Pemberian kompres air hangat untuk membantu menurunkan suhu tubuh dengan metode
konduksi yaitu perpindahan panas dari derajat yang tinggi ke derajat yang lebih rendah. Kompres
diletakkan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti anyaman kelenjar limfe di ketiak,
leher, lipatan paha, serta area pembuluh darah yang besar seperti di leher. Tindakan ini dapat
dikombinasikan dengan pemebrian antipiretik seperti prometazon 4-6 mg/kg BB/hari terbagi
6) Apabila terjadi peningkatan tekanan intrakranial maka perlu diberikan obat-obatan untuk
mengurangi odema otak seperti deksametason 0,5-1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan
membaik. Posisi kepala hiperekstensi tetapi lebih tinggi dari anggota tubuh yang lain dengan
perlu diberikan obat fenobarbital dengan dosis awal 30 mg pada neonatus, 50 mg pada anak usia
1 bulan – 1 tahun, 75 mg pada anak usia 1 tahun keatas dengan teknik pemberian intramuskuler.
b. Penatalaksanaan di rumah.
1) Saat anak mengalami kejang demam, letakkan anak di lantai atau tempat tidur. Jauhkan semua
benda yang keras, tajam, yang bisa membahayakan atau dapat menimbulkan luka.
2) Jangan memasukkan atau menaruh apapun ke dalam mulut anak, misalnya jari tangan, sendok
4) Bila anak sudah berhenti kejang, miringkan tubuh anak atau palingkan kepalanya ke salah satu
sisi sehingga saliva atau muntah dapat mengalir keluar dari mulut.
5) Bila kejnag berlangsung lebih dari lima menit, penanganan gawat darurat harus dilakukan segera
untuk mengehntikan kejang. Bila perlu panggil petugas medis untuk memberikan penanganan
tersebut atau bawa anak ke rumah sakit ataupu pusat kesehatan masyarakat terdekat.
10. Pencegahan
fenobarbital serta fenitoin dengan indikasi khusus yang dapat diberikan 2 tahun bebas kejang
atau sampai usia 6 tahun. Jika anak sudah diketahui mempunyai riwayat kejang demam,
hindarkan anak dari penyebab-penyebab yang memungkinkan demam, hindarkan juga anak dari
anggota keluarga yang sedang demam, misalnya influenza. Memberikan imunisasi yang lengkap
merupakan salah satu cara yang efektif untuk mengurangi resiko sakit. Jika anak mengalami
demam, sesegera mungkin berikan obat penurun panas untuk mencegah kemungkinan terjadinya
Kerangka konsep pada suatu penelitian pada dasarnya adalah gabungan atau
menghubungkan bebrapa teori sehingga membentuk sebuah pola pikir atau kerangka pikir
Untuk mengetahui bagaimana hubungan umur dengan kejang demam di ruang Melati
RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara, maka peneliti membuat kerangka konsep
Bagan 1
Variabel Penelitian
Kejang demam
3. Riwayat keluarga
4. Usia ibu saat hamil
5.Lama demam
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
C. Hipotesis
1. Ada hubungan antara umur dengan kejadian kejang demam pada balita yang dirawat di ruang
2. Ada hubungan anatara suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita yang dirawat di
ruang melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
penelitian dan mengantisipasi beberapa kesulitan yang mungkin timbul selama proses penelitian
(Nursalam, 2008)
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode analitik dengan
rancangan cross sectional, dimana variabel sebab (umur dan suhu tubuh) dan variabel akibat
(kejang demam) diukur dan dikumpulkan secara simultan atau dalam waktu yang bersamaan
(Nursalam, 2008). Penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan umur dengan kejadian
kejang demam di ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011.
riabel penelitian
Variabel adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok
1. Variabel independen
Variabel independen (variabel bebas) adalah variabel yang diduga sebagai faktor yang
Variabel independen pada penelitian ini adalah umur dan suhu tubuh balita yang dirawat
2. Variabel dependen
Variabel dependen (variabel terikat) adalah variabel yang berubah karena variabel bebas
((Prof.DR.Elfindri,2011). Variabel dependen pada penelitian ini adalag kejadian kejang demam
C. Defenisi Operasional
Definisi operasional adalah batasan yang harus dibuat oleh peneliti dalam istilah yang
operasional sehingga untuk mengarahkan kepada pengukur atau pengamatan terhadap variabel-
Tabel 4
Defenisi Operasional
1. Populasi
Populasi dalam penelitian adalah subjek yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan (
Nursalam, 2008 ). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita yang dirawat karena
demam dengan kejang demam maupun yang demam tanpa kejang demam di ruang Melati RSUD
2. Sampel
adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian
melalui sampling ( Nursalam, 2008 ). Sedangkan sampling adalah proses menyeleksi porsi dari
Menurut Prof. Dr Sunarsini Arikunto prosedur penelitian (2007), cara menentukan sampel,
yaitu: a) Jika jumlah subjeknya kurang dari 100, lebih baik sampel diambil semua b) Jika jumlah
subjeknya besar, dapat di ambil antara 10-15 % dan 20-25%. Penetapan sampel pada penelitian
ini berdasarkan teknik total sampling,dimana sampel diambil secara keseluruhan dari total
1. Tempat
1. Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder (untuk memperoleh data umur, suhu tubuh,
Data dikumpulkan dengan cara melihat status pasien dan buku register di ruang Melati RSUD
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data ini adalah dengan menggunakan format
pengumpulan data.
Untuk memperoleh pengolahan data dlakukan teknik – teknik pengolahan data sebagai berikut :
Langkah ini dilakukan peneliti untuk memeriksa kembali kelengkapan data yang diperlukan
untuk mecapai tujuan penelitian maka dilakukan pengelomokkan dan penyusunan data.
b. Koding ( Pengkodean )
Coding adalah mengalokasikan jawaban – jawaban yang ada menurut macamnya kedalam
bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode – kode agar lebih muda dan sederhana.
1) Kejang demam :1
3) Suhu Tubuh ≥ 39 ° C : 1
Tabulasi yaitu melakukan tabulasi dari data yang diperoleh dengan menggunakan rumus
distribusi frekuensi
d. Entri data
Data yang telah dikelompokkan kemudian dimasukkan kedalam program statistic computer (
SPSS ).
e. Cleaning
Data yang sudah benar – benar tidak ada kesalahan dilanjutkan dengan pengujian data dengan
2. Analisa Data
a. Analisa Univariat
Analisa univariat yaitu seluruh variabel yang akan digunakan kemudian ditampilkan ke
dalam distribusi frekuensi dari masing – masing variabel dengan menggunakan rumus :
P= x 100%
N
Keterangan :
b. Analisa Bivariat
Analisa Bivariat adalah analisa yang digunakan untuk melihat hubungan antara umur dan
suhu tubuh dengan kejang demam dengan menggunakan uji statistic menggunakan rumus Chi-
1) Bila pada tabel 2 x 2 dijumpai nilai E ( harapan ) kurang dari 5, maka uji yang digunakan adalah
fisher exact
2) Bila pada tabel 2 x 2 dan tidak ada nilai E < 5, maka uji yang pakai adalah Continuity Corection
3) Bila pada tabel lebih dari 2x2 misalnya 3 x 2, 3 x 3 maka digunakan uji Pearson Chi – Square
Keterangan :
X : Chi – Square
n : Jumlah sampel
3. Kriteria pengujian
Hasil perhitungan diterjemahkan apabila X2 hitung > X2 tabel atau р < α = 0,05 maka
hipotesis diterima berarti hasil uji bermakna sehingga ada Hubungan Umur Dan Suhu Tubuh
Dengan Kejang Demam di Ruang Melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara
Tahun 2011. Akan tetapi jika X2 hitung < X2 tabel atau р > α = 0,05 maka hipotesis ditolak
sehingga tidak menyatakan adanya hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejang demam.
4. Teknik Penyajian Data
Setelah dianalisa, data – data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan narasi,
kemudian diinterpretasikan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN
RSUD Arga Makmur merupakan rumah sakit tipe C yang beralamatkan di jalan Siti
Jumlah ketenagaan RSUD Arga Makmur berjumlah 365 orang yang terdiri dari dokter
spesialis 9 orang, dokter umum 8 orang,dokter gigi 1 orang, Strata 2 6 orang, strata 1 73 orang,
Diploma IV 7 orang, Diploma III 168 orang, Diploma 1 2 orang , SLTA 79 orang ,SLTP 6 orang
dan SD 6 orang. Saat ini RSUD Arga Makmur memiliki 8 unit rawat inap yang terdiri dari ruang
bedah, ruang penyakit dalam, ruang anak, ruang Jamkesmas, ruang isolasi, ruang kebidanan,
ruang VIP, ruang VVIP dan ruang ICU. Selain itu RSUD memiliki instalasi gawat darurat ( IGD
), instalasi laboratorium, instalasi radiologi, ruang operasi dan instalasi rawat jalan yang terdiri
dari poli umum, poli anak, poli penyakit dalam, poli paru, poli kulit, poli syaraf, dan poli
kandungan .
B. Jalannya Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap
pelaksanaan. Pada saat persiapan meliputi kegiatan konsultasi dengan pembimbing, studi pustaka
untuk menentukan acuan penelitian, menyiapkan instrumen penelitian dan mengurus surat izin
tanggal 11 s.d 13 Juni 2012 dengan mengumpulkan data sekunder yaitu berupa data yang
diambil dari status pasien yang berjumlah 70 pasien selama penelitian. Data yang telah
dikumpulkan selanjutnya dilakukan pengolahan data secara univariat dan bivariat yang kemudian
hasilnya diinterpretasikan.
C. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian
kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara
tahun 2011.
1. Analisa Univariat
yang diteliti baik independen (umur dan suhu tubuh) maupun variabel dependen ( kejadian
kejang demam). Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah dengan hasil sebagai berikut :
Tabel 5
Distribusi Frekuensi Umur Balita di Ruang Melati
RSUD Arga Makmur Tahun 2011.
No Umur Frekuensi Presentase ( % )
2 2 – 5 Tahun 32 45,72 %
Jumlah 70 100 %
Tabel 5 menunjukkan bahwa dari 70 balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga
Makmur tahun 2011 umur < 2 tahun berjumlah 38 balita ( 54,28 % ) dan umur 2 – 5 tahun
Tabel 6
Distribusi Frekuensi Suhu Tubuh Balita di Ruang Melati RSUD
Arga Makmur tahun 2011.
No Suhu Tubuh Frekuensi Presentase ( % )
1 ≥ 39 ° C 33 47,14 %
2 < 39 ° C 37 52,86 %
Jumlah 70 100 %
Tabel 6 menunjukkan bahwa dari 70 balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga
Makmur tahun 2011 suhu tubuh ≥ 39°C berjumlah 33 balita ( 47,14 % ) dan suhu tubuh < 39°C
Tabel 7
Distribusi Frekuensi Kejadian Kejang Demam Balita di Ruang Melati RSUD Arga Makmur
tahun 2011.
No Kejadian Kejang Demam Frekuensi Persentase
Jumlah 70 100%
Tabel 7. menunjukkan bahwa dari 70 balita yang dirawat di ruang Melati RSUD Arga
Makmur tahun 2011 kejang demam berjumlah 32 balita ( 45,7 % ) dan tidak kejang demam
Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan variabel independen ( umur dan suhu
tubuh ) dan variabel dependen ( kejadian kejang demam ) yaitu menggunakan analisis Chi-
Square dengan derajat kepercayaan 95% (α = 0,05) adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 8.
Hubungan Umur Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Balita di Ruang Melati RSUD Arga
Makmur tahun 2011.
Tidak
Kejang
Kejang
No Umur Demam X2 P OR
Demam Total
N % N % N %
<2
1 Tahun 23 32,85 15 21,43 38 54,28
2-5 6,101 0,014 3,9
2 Tahun 9 12,86 23 32,86 32 45,72
Jumlah 32 45,71 38 54,29 70 100
Berdasarkan tabel 8 diketahui bahwa balita dengan umur < 2 tahun yang mengalami kejang
demam yaitu 23 balita ( 32,85% ) dan yang tidak mengalami kejang demam yaitu 15 balita (
21,43 ). Balita dengan umur 2-5 tahun yang mengalami kejang demam yaitu 9 balita ( 12,86 % )
Selanjutnya berdasarkan uji Chi-Square didapat X2 hitung :6,101 > X2 tabel : 3,481 nilai =
0,014 karena nilai < 0,05 pada taraf signifikansi 5% ( = 0,05) sehingga hipotesis diterima
dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur dengan kejadian kejang demam
pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011. OR 3,9 artinya balita usia kurang
dari 2 tahun mempunyai resiko mengalami kejang demam 3,9 kali lebih besar dibandingkan
Tabel 9.
Hubungan Suhu tubuh Dengan Kejadian Kejang Demam Pada Balita di Ruang Melati RSUD
Arga Makmur tahun 2011.
Tidak
Kejang
Suhu Kejang
No Demam X2 P OR
Tubuh Demam Total
N % N % N %
1 ≥ 39°C 23 32,85 10 14,29 33 47,14
2 < 39°C 9 12,86 28 40 37 52,86 12,69 0,000 7,15
Jumlah 32 45,71 38 54,29 70 100
Berdasarkan tabel 9 diketahui bahwa balita yang mengalami kejang pada suhu tubuh ≥39°C yaitu
23 balita ( 32,85% ) dan pada suhu tubuh <39°C yaitu 9 balita ( 12,86% ). Balita yang tidak
mengalami kejang demam pada suhu tubuh ≥39°C yaitu 10 balita ( 14,29% ) dan pada suhu
Selanjutnya berdasarkan uji Chi-Square didapat X2 Hitung : 12,69 > X2 tabel : 3,481 nilai =
0,000 karena nilai < 0,05 pada taraf signifikansi 5% ( = 0,05) sehingga hipotesis diterima
dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang
demam pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011. OR 7,15 artinya balita
dengan suhu tubuh ≥39°C mempunyai resiko mengalami kejang demam 7,15 kali lebih besar
D. Pembahasan
1. Hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga
berumur < 2 tahun menderita kejang demam dan yang tidak menderita kejang demam 15 balita (
21,43% ). Sedangkan untuk balita yang berumur 2-5 tahun yang menderita kejang demam
sebanyak 9 balita ( 12,86% ) dan yang tidak menderita kejang demam sebanyak 23 balita (
32,85% ). Selanjutnya dari hasil analisis chi- square diperoleh X2 Hitung : 6,101 > X2 tabel :
3,481 nilai = 0,014 karena nilai < 0,05 pada taraf signifikansi 5% ( = 0,05) sehingga
hipotesis diterima dimana hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan umur dengan
kejadian kejang demam pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011.
Pada penelitian ini diketahui sebagian besar kejadian kejang demam terjadi pada usia <
2 tahun sebanyak 23 balita ( 32,85% ). Hal ini sesuai dengan pendapat Nadirah ( 2011 ) yang
mengatakan bahwa resiko tertinggi untuk terjadi bangkitan kejang demam adalah pada anak usia
dibawah 2 tahun sebanyak 50 %, sedangkan resiko terjadinya bangkitan kejang demam pada usia
2-5 tahun hanya 28%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lennox Bucthal yang meneliti faktor-
faktor yang mempengaruhi bangkitan kejang demam pada balita didapat hasil sebagian besar
yaitu 83,5% terjadi pada usia 0 sampai 2 tahun dan 16,5% terjadi pada usia diatas 2 tahun sampai
5 tahun. Sedangkan penelitian oleh Prasojo Nugroho yang meneliti faktor-faktor yang
mempengaruhi rekurensi kejang demam pada anak di RSUD Purworejo tahun 2010 didapatkan
hasil sebagian besar kejang demam terjadi pada usia < 17 bulan ( 58,9 % ). Pada keadaan otak
belum matang, reseptor asam glutamat baik ionotropik meliputi NMDA, AMPA dan KA maupun
metabopropik sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai
inhibitor kurang aktif, sehingga otak belum matang ekstitasi lebih dominan dibanding inhibisi.
prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di hipokampus tinggi. Kadar CRH tinggi
berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang demam apabila terpicu oleh demam. Mekanisme
homeostatis pada otak belum matang dan masih lemah. Hal ini akan berubah sejalan dengan
perkembangan otak dan pertambahan umur. Masa perkembangan otak yaitu pada waktu anak
berumur kurang dari 2 tahun. Sehingga anak yang berumur dibawah 2 tahun mempunyai resiko
bangkitan kejang demam ( Soetomenggolo, 2007 ). Sedangkan untuk umur diatas 2-5 tahun
bangkitan kejang demam bisa disebabkan oleh karena faktor riawayat keluarga. Lumbantobing (
2007 ) mengatakan 20-25% penderita kejang demam mempunyai keluarga dekat ( orang tua dan
2. Hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kejadian kejang demam
pada balita terjadi pada suhu ≥ 39°C sebanyak 23 balita ( 32,85% ) . Selanjutnya dari hasil
analisis chi- square diperoleh didapat X2 Hitung : 12,699 > X2 tabel : 3,481 nilai = 0,000
karena nilai < 0,05 pada taraf signifikansi 5% ( = 0,05) sehingga hipotesis diterima dimana
hasil ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam
pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur tahun 2011. Hal ini sesuai dengan pendapat
Abdoerrachman ( 2007 ) yang mengatakan bahwa kejang demam disebabkan oleh demam yang
semakin tinggi, yakni suhu tubuh mencapai diatas 38°C. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Prasojo Nugroho ( 2010 ) didapat bahwa bangkitan kejang demam terjadi pada suhu rata-rata
mencapai 38,8°C.
Demam merupakan faktor utama timbul bangkitan kejang demam. Pada penelitian ini
kami mengambil batas tinggi demam 39°C sebagai rata-rata. Perubahan kenaikan temperatur
tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan ekstabilitas neural, karena kenaikan suhu
tubuh berpengaruh pada kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan
suhu tubuh satu derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga
dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan glukosa dan
oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada
keadaan metabolisme di siklus skreb normal, satu molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP,
sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme anaerob, satu molekul glukosa hanya
akan menghasilkan 2 ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal ini akan
mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia. Kedua hal
tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan timbunan asam glutamat
ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan mengakibatkan permeabilitas membran sel
terhadap ion Na+ sehingga semakin meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion
Na+ ke dalam sel dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan
mobilitas dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel dan
ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga
membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu demam dapat merusak neuron GABA-ergik
Sedangkan suhu dibawah 39°C terjadi bangkitan kejang demam bisa disebabkan oleh
lamanya demam dan cepatnya suhu menaik. Penelitian yang dilakukan oleh wegman
mendapatkan bila anak kucing diberikan kenaikan suhu yang cepat maka serangan kejang sering
terjadi.
BAB V
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang hubungan umur dan suhu tubuh dengan kejadian
kejang demam pada balita di ruang Melati RSUD Arga Makmur kabupaten Bengkulu Utara
1. Dari 70 balita, sebagian besar mengalami kejang demam yaitu sebanyak 32 balita .
2. Dari 70 balita yang mengalami kejang demam umur < 2 Tahun yaitu 23 balita .
3. Dari 70 balita yang mengalami kejang demam pada suhu tubuh ≥39 0C yaitu sebanyak 23 balita.
4. Terdapat hubungan umur dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD Arga
Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011. Semakin muda usia balita maka semakin tinggi
5. Terdapat hubungan suhu tubuh dengan kejadian kejang demam pada balita di ruang melati RSUD
Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara tahun 2011. Semakin tinggi suhu tubuh balita maka
B. Saran
Diharapkan perawat dapat memberikan penyuluhan kepada orang tua balita tentang penanganan
kejang demam karena pada balita sangat rentan untuk terjadi kejang demam.
2. Institusi Pendidikan.
Diharapkan dapat melengkapi referensi tentang kejang demam pada perpustakaan D-3
Peneliti lain hendaknya dapat mengembangkan penelitian ini dengan meneliti variabel lain
.
Diposkan oleh elvan amd Kep di 19.19