Anda di halaman 1dari 17

KEJANG DEMAM

DOSEN PEMBIMBING : Ns. Apriani S.Kep,M.kes

Disusun oleh : kelompok 2

Alhavista bella Rosa nalurita

Diera lita sabiva Selvi widayanti

Indah lestari Siswanto

Meilinda kurnia putri Syavirea maznia

Monica dwi agustina Tri arif wahyudi

Rizka zahro Yongki anggara

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

SITI KHADIJAH PALEMBANG


T.A 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmatnya, kami dapar menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Kejang demam
pada anak” ini dapat selesai pada waktunya.

Didalam penyusunan makalah ini, kami merasa masih banyak hambatan


yang dihadapi, namun berkat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak,
habatan-hambatan tersebut dapat kami atasi sedikit demi sedikit.

Disamping itu, penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaa. oleh karena sebab itu, kami mohon maaf apabila ada kesalahan-
kesalahan didalam penulisan makalah ini. Demikian pula halnya kami juga
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan
makalah ini untuk selanjutnya dapat menjadi lebih baik dan mempunyai potensi
untuk .dikembangka
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejang demam

2.1.1 Definisi

2.1.2 Etiologi

2.1.3 Klasifikasi

2.1.4 Manifestasi

2.1.5 Patofisiolgi

2.1.6 Pemeriksaan penunjang

2.2 Faktor resiko kejang demam

2.3 Penanganan pertama kejang demam

BAB III PEMBAHASAN

BAB 1V PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat 21,65 juta penderita


kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal. Selain itu di
Kuwait dari 400 anak berusia 1 bulan – 13 tahun dengan riwayat kejang, yang
mengalami kejang demam sekitar 77% (WHO, 2005 dalam Ervina Tri Untari,
2013).Menurut Hernal, 2010 dalam Ervina Tri Untari, 2013. Insiden terjadi nya
kejang demam di perkirakan mencapai 4-5% dari jumlah penduduk di Amerika
Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia angka kejadian kejang
lebih tinggi , seperti di jepang di laporkan antara 6-9% kejadian kejang demam, di
india yaitu 5-10%, dan di Guam adalah 14% (Ervina, 2013)

Negara yang sedang berkembang, termasuk Indonesia terdapat dua factor


yaitu gizi dan infeksi yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap
pertumbuhan anak (Hasan, 2007).Saat ini 70% kematian balita disebabkan karena
pneumonia, campak, diare,malaria, dan malnutrisi. Ini berarti bahwa penyakit
infeksi masih menjadi penyebab kematian balita (Hasan, 2007).

Terjadinya proses infeksi dalam tubuh menyebabkan kenaikan suhu tubuh


yang biasa disebut dengan demam. Demam merupakan faktor resiko utama
terjadinyakejang demam (Selamihardja, 2008).Insiden dan prevalensi kejang
demam di Eropa pada tahun 2006 berkisar 2-5%, di Asia prevalensi kejang
demam meningkat dua kali lipat bila dibandingkan dengan Eropa sebesar 8,3%-
9,9% pada2tahun yang sama (Hasan 2007).

Berdasarkan hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun


2007,di Indonesia tahun 2005 kejang demam termasuk sebagai lima penyakit anak
terpenting yaitu sebesar 17,4%,meningkat pada tahun 2007 dengan kejadian
kejang sebesar 22,2% (Hasan,2007).
Selanjutnya tingginya kasus kejang demam di Bali khususnya di RSUP
Sanglah Denpasar Sepanjang tahun 2011, terdapat 1.178 kunjungan ke Triage
anak, dengan berbagai permasalahan seperti panas, kejang, sesak dan tidak
sadar.Tahun 2010 terdapat 342 kasus anak dengan kejang demam dan meningkat
menjadi 386 kasus pada tahun 2011. Rata-rata kunjungan anak dengan kejang
demam per bulan pada 2011 sebesar 32kasus (RSUP Sanglah, 2010).

1.2 Rumusan masalah

1.3 Tujuan

1. untuk mengetahui faktor apa saja yang berhubungan dengan penanganan


pertama pada kejadian kejang demam anak usia 6 bulan-5 tahun
2. untuk mengetahui hubungan antara pertolongan pertama pada anak dengan
kejadian kejang demam
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KEJANG DEMAM

2.1.1 Definisi

Kejang demam (febris convulsion/stuip/step) yaitu kejang yang timbul


pada waktu demam yang tidak di sebabkan oleh proses di dalam kepala (otak:
seperti meningitis atau radang selaput otak, ensifilitis atau radang otak) tetapi
diluar kepala misalnya karena ada nya infeksi di saluran pernapasan, telinga atau
infeksi di saluran pencernaan. Biasanya dialami anak usia 6 bulan sampai 5 tahun.
Bila anak sering kejang, utamanya dibawah 6 bulan, kemungkinan besar
mengalami epilepsy ( Airlangga Universty Press (AUP), 2015). Kejang demam
adalah serangan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di
atas 38) (Sujono Riyadi, 2013).

Kejang demam merupakan kedaruratan medis yang memerlukan


pertolongan segera, pengelolaan yang tepat sangat diperlukan untuk menghindari
cacat yang lebih parah, yang diakibatkan bangkitan kejang yang sering. Sehingga
pertolongan pertama untuk menangani korban segera dilakukan untuk mencegah
cedera dan komplikasi yang serius pada anak (Candra, 2009)

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38℃) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium
(Budiman, 2006)

2.1.2 Etiologi

Tasmin (2013), menjelaskan bahwa penyebab kejang demam hingga saat


ini belum diketahui dengan pasti. Kejang demam tidak selalu timbul pada suhu
yang tinggi dikarenakan pada suhu yang tidak terlalu tinggi juga dapat
menyebabkan kejang. Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam
diantaranya adalah infeksi yang mengenai jaringan ekstrakranial seperti otitis
media akut, bronkitis dan tonsilitis (Riyadi, 2013). Sedangkan Ikatan Dokter Anak
Indonesia (IDAI) (2013), menjelaskan bahwa penyebab terjadinya kejang demam
antara lain obat-obatan, ketidak seimbangan kimiawi seperti hiperkalemia,
hipoglikemia, asidosis, demam, patologis otak dan eklamsia (ibu yang mengalami
hipertensi prenatal, toksimea gravidarum).

Selain penyebab kejang demam menurut data profil kesehatan Indonesia


(2012) yaitu didapatkan 10 penyakit yang sering rawat inap di Rumah Sakit
diantaranya adalah diare dan penyakit gastroenteritis oleh penyebab infeksi
tertentu, demam berdarah dengue, demam tifoid dan paratifoid, penyulit
kehamilan, dispepsia, hipertensi esensial, cidera intrakranial, indeksi saluran
pernafasan atas dan pneumonia. Kejang pada neonatus dan anak bukanlah suatu
penyakit, namun merupakan suatu gejala penting akan adanya penyakit lain
sebagai penyebab kejang atau adanya kelainan susunan saraf pusat. Penyebab
utama kejang adalah kelainan bawaan di otak sedangkan penyebab sekundernya
adalah gangguan metabolik atau penyakit lain seperti penyakit infeksi. Negara
berkembang, kejang pada neonatus dan anak sering disebabkan oleh tetanus
neonatus, sepsis, meningitis, ensefalitis, perdarahan otak dan cacat bawaan.
Penyebab kejang pada neontaus, baik primer maupun sekunder umumnya
berkaitan erat dengan kondisi bayi didalam kandungan dan saat proses persalinan
serta masa-masa bayi baru lahir. Menurut penelitian yang dilakukan diIran,
penyebab kejang demam dikarena infeksi virus dan bakteri (Dewi,2014)

2.3. Klasifikasi

Klasifikasi Kejang Demam Menurut American Academy of Pediatrics


(2011), kejang demam dibagi menjadi dua jenis diantaranya adalah simple febrile
seizureatau kejang demam sederhana dan complex febrile seizure atau kejang
demam kompleks. Kejang demam sederhana adalah kejang general yang
berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk kejang umum (tonik dan atau
klonik) serta tidak berulang dalam waktu 24 jam dan hanya terjadi satu kali dalam
periode 24 jam dari demam pada anak yang secara neorologis normal. Kejang
demam sederhana merupakan 80% yang sering terjadi di masyarakat dan sebagian
besar berlangsung kurang dari 5 menit dan dapat berhenti sendiri. Sedangkan
kejang demam kompleks memiliki ciri berlangsung selama lebih dari 15 menit,
kejang fokal atau parsial dan disebut juga kejang umum didahului kejang parsial
dan berulang atau lebih dari satu kali dalam waktu 24 jam. Menurut Chung
(2014), pada kejang demam sederhana umumnya terdiri dari tonik umum dan
tanpa adanya komponen fokus dan juga tidak dapat merusak otak anak, tidak
menyebabkan gangguan perkembangan, bukan merupakan faktor terjadinya
epilepsi dan kejang demam kompleks umumnya memerlukan pengamatan lebih
lanjut dengan rawat inap 24 jam.

2.4 Manifestasi

Manifestasi Klinis Kejang Demam Ngastiyah (2014), menyebutkan bahwa


kejang pada anak dapat terjadi bangkitan kejang dengan suhu tubuh mengalami
peningkatan yang cepat dan disebabkan karena infeksi di luar susunan saraf pusat
seperti otitis media akut, bronkitis, tonsilitis dan furunkulosis. Kejang demam
biasanya juga terjadi dalam waktu 24 jam pertama pada saat demam dan
berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, klonik,
tonik dan fokal atau akinetik.

Pada umumnya kejang demam dapat berhenti sendiri dan pada saat
berhenti, anak tidak dapat memberikan reaksi apapun untuk sejenak tetapi setelah
beberapa detik atau bahkan menit kemudian anak akan sadar kembali tanpa
adanya kelainan saraf. Djamaludin (2010), menjelaskan bahwa tanda pada anak
yang mengalami kejang adalah sebagai berikut :

1. suhu badan mencapai 39 derajat Celcius


2. saat kejang anak kehilangan kesadaran, kadang-kadang napas dapat
terhenti beberapa saat
3. tubuh termasuk tangan dan kaki jadi kaku, kepala terkulai ke belakang
disusul munculnya gejala kejut yang kuat;
4. warna kulit berubah pucat bahkan kebiruan dan bola mata naik ke atas
5. gigi terkatup dan terkadang disertai muntah
6. napas dapat berhenti selama beberapa saat
7. anak tidak dapat mengontrol untuk buang air besar atau kecil.
2.5 Patofisiologi

Patofisiologi Kejang Demam Ngastiyah (2014), menjelaskan bahwa untuk


mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak terpenting adalah
glukosa. Sifat proses ini adalah oksidasi dengan perantara fungsi paru-paru dan
diteruskan ke otak melalui kardiovaskular. Dari uraian tersebut dapat diketahui
bahwa sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipercah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan
dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neoron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium dan sangat sulit
dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya kecuali ion klorida. Akibatnya
konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi natrium rendah,
sedangkan di luar sel terdapat keadaan sebaliknya. Pada keadaan demam kenaikan
suhu 1 derajat Celcius akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basar 10-15%
dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun
sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang
dewasa yang hanya 15%. Oleh karena itu, kenaikan suhu tubuh dapat mengubah
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi
difusi dari ion kalium maupun ion natrium melalui membran tersebut dengan
akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan
bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadi kejang.

Faktor genetik merupakan peran utama dalam ketentanan kejang dan


dipengaruhi oleh usia dan metoritas otak. Kejang demam yang berlangsung lebih
dari 15 menit biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan
akhirnya terjadi hipoksemia., hiperkapnia, asidodosis laktat disebabkan oleh
matabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak
teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan makin meningkatnya
aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat. Hal ini
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada neuron dan terdapat gangguan
perederan darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggalkan
permeabilitas kapiler dan timbul edema otak. Kerusakan pada daerah medial lobus
temporalis setelah mendapatkan serangan kejang sedang berlangsung lama di
kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Karena itu kejang
demam yang berlansung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
hingga terjadi epilepsi (Nurindah,2014)

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang Kejang Demam Dinas Kesehatan Jawa Barat


tahun 2012 menjelaskan bahwa pemeriksaan penunjang merupakan penelitian
perubahan yang timbul pada penyakit dan perubahan ini bisa sebab atau akibat
serta merupakan ilmu terapan yang berguna membantu petugas kesehatan dalam
mendiagnosis dan mengobati pasien. Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk
menyingkirkan diagnosis yang serius atau setidaknya data laboratoris yang
menunjang kecurigaan klinis (Ginsberg, 2008).

Pemeriksaan penunjang pada anak yang mengalami kejang demam adalah


sebagai berikut: 1.Pemeriksaan laboratorium pada anak yang mengalami kejang
demam yang bertujuan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam atau
keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam dan pemeriksaan
laboratorium antara lain pemeriksaan darah lengkap, elektrolit serum (terutama
pada anak yang mengalami dehidrasi, kadar gula darah, serum kalsium, fosfor,
magnesium, kadar Bloof Urea Nitrogen (BUN) dan urinalisis. Pemeriksaan lain
yang mungkin dapat membantu adalah kadar antikonvulsan dalam darah pada
anak yang mendapat pengobatan untuk gangguan kejang serta pemeriksaan kadar
gula darah bila terdapat penurunan kesadaran berkepanjangan setelah kejang
(Arief, 2015). 2.Pungsi lumbal Pada anak kejang demam sederhana yang berusia
<18 bulan sangat disarankan untuk dilakukan observasi dan pemeriksaan lebih
lanjut seperti pungsi lumbal karena merupakan pemeriksaan cairan serebrospinal
yang dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis
serta pada anak yang memiliki kejang demam kompleks (karena lebih banyak
berhubungan dengan meningitis) dapat dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal dan
dilakukan pada anak usia 12 bulan karena tanda dan gejala klinis kemungkinan
meningitis pada usia ini minimal bahkan dapat tidak adanya gejala. Pada bayi dan
anak dengan kejang demam yang telah mendapat terapi antibiotik, pungsi lumbal
merupakan indikasi penting karena pengobatan antibiotik sebelumnya dapat
menutupi gajala meningitis (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016).

2.2 FAKTOR RESIKO KEJANG DEMAM

Faktor resiko merupakan penyebab langsung atau suatu pertanda terhadap


hal yang merugikan dan memudahkan terjadinya suatu penyakit serta mempunyai
hubungan yang spesifik dengan akibat yang dihasilkan (Nurwijaya, 2010).
Menurut Susilowati (2011) Anak yang mengalami kejang demam kemungkinan
besar akan menjadi penderita epilepsi jika adanya kelainan neurologis sebelum
kejang demam pertama dan kejang demam bersifat kompleks.

Riwayat keluarga dengan kejang demam sudah banyak diteliti sebagai


salah satu faktor risiko kejang demam, kejang demam diturunkan secara dominan
autosal (Lumbantobing, 2002).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bethune et al di Halifax, Nova
Scosia, Canada mengemukakan bahwa 17% kejadian kejang demam dipengaruhi
oleh faktor keturunan. Hal ini juga di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Talebian dan Mohammadi yang memperoleh hasil bahwa sebesar 42,1% kejadian
kejang demam pada bayi disebabkan oleh riwayat keluarga yang juga positif
kejang demam.
Faktor penting lain terjadinya kejang demam pada anak adalah suhu
badan. Tingginya suhu tubuh pada keadaan demam sangat berpengaruh terhadap
terjadinya kejang demam karena pada suhu tubuh yang tinggi dapat meningkatkan
metabolisme tubuh sehingga terjadi perbedaan potensial membran di otak yang
akhirnya melepaskan muatan listrik dan menyebar ke seluruh tubuh
Kejang demam pada anak memiliki beberapa faktor resiko diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. .Resiko kekambuhan kejang demam merupakan kejang demam yang
terjadi kedua kalinya sebanyak setengah dari pasien tersebut. Usia pada
saat kejang demam pertama merupakan faktor resiko yang paling penting
dalam kekambuhan ini, karena semakin muda usia pada saat kejang
demam pertama, semakin tinggi resiko keambuhan terjadi dan sebagai
perbandingan, sebanyak 20% yang memiliki kekambuhan kejang demam
pertama adalah usia tua lebih dari 3 tahun (Gupta, 2016).
2. Resiko epilepsi merupakan resiko mengembangnya kejang setelah terjadi
kejang demam dan berdampak pada keterlambatan perkembangan atau
pemeriksaan neurologis yang abnormal sebelum terjadi kejang demam,
riwayat kejang demam kompleks dan terjadi kejang demam
berkepanjangan serta menjadi resiko epilepsi. Resiko epilepsi ini
merupakan faktor bawaan yang sudah ada sebelumnya seperti perinatal,
genetik atau keturunan (Panteliadis, 2013).
3. Resiko perkembangan, kecacatan perilaku dan akademik pada anak
kejang demam adalah tidak lebih besar dari pada populasi umum dan anak
dengan kejang demam berkepanjangan dapat mengembangkan
konsekuensi neurologis jangka panjang (Bagiella, 2011).
4. Status demam epileptikus adalah kejang demam yaang memiliki durasi
lebih dari 30 menit dan merupakan bentuk paling parah dan berpotensi
mengancam nyawa dengan konsekuensi jangka panjang dan bersifat
gawat darurat. Anak dengan kejang demam pertama memiliki potensi
status demam epileptikus dimana dikaitkan dengan usia yang lebih muda
dan suhu tubuh lebih rendah serta durasi yang lebih lama (Gupta, 2016)
5. Faktor genetik atau keturunan misalnya pada orang tua dengan riwayat
kejang demam (pada masa kanak-kanak), saudara kandung dengan
riwayat kejang demam dan orang tua dengan riwayat epilepsi tanpa
demam (Handy, 2016). Hal ini menunjukkan bahwa anak yang
mempunyai riwayat kejang dalam keluarga terdekat mempunyai resiko
untuk bangkitan kejang demam 4,5 kali lebih besar dibandingkan dengan
yang tidak memiliki riwayat dan faktor riwayat kejang pada ibu, ayah dan
saudara kandung menunjukkan hubungan yang bermakna karena
mempunyai sel yang kosong (Wijayahadi, 2010).
6. Konsekuensi kejang demam, anak yang mengalami kejang demam
sederhana memiliki resiko yang sangat rendah dibandingkan dengan
kejang demam kompleks karena pada kejang demam kompleks memiliki
durasi selama lebih dari 15-20 menit dan berulang dalam penyakit yang
sama (Camfield, 2015).
7. Faktor statistik yaitu faktor resiko kejang demam yang berhubungan
dengan pendidikan orang tua, ibu merokok pada saat sebelum melahirkan
atau menggunakan minuman beralkohol, tingkat demam dan memiliki
penyakit gastroenteritis. Faktor resiko yang paling penting untuk kejang
demam adalah usia, karena semakin muda usia pada saat kejang demam
pertama semakin tinggi resiko kekambuhan (Salam, et al, 2012)

2.3 PENANGANAN PERTAMA KEJANG DEMAM


Langkah awal yang dapat dilakukan dalam melakukan pertolongan
pertama untuk mencegah terjadinya kejang demam pada anak adalah segera
memberi obat penurun panas , kompres air biasa atau hangat yang diletakkan
didahi, ketiak dan lipatan paha. Beri anak banyak minum, dan makan makanan
yang berkuah atau buah buahan yang mengandung air bisa berupa jus, susu teh,
dan minuman lainnya. Jangan selimuti anak dengan selimut tebal dan pakaian
tebal karna justu akan meningkatkan suhu tubuh dan menghalangi penguapan
( Candra, 2009).
Setelah terjadi kejang demam dan tidak berhenti selama lima menit,
sebaiknya anak segera dibawa ke fasilitas kesehatan, Jika anak pernah mengalami
kejang demam diusia pertama kehidupannya , maka ada kemungkinan ia akan
kembali mengalami kejang demam meskipun temperature demam nya lebih
rendah (Candra, 2009).
Sebagian besar orang tua yang melakukan pertolongan pertama dengan
baik memiliki anak dengan kejadian kejang demam sederhana sebesar 40%
dibandingkan dengan orang tua yang melakukan pertolongan pertama cukup dan
kurang.
Kemampuan orang tua dalam pemberian pertolongan pertama pada anak
dengan kejang demam dipengaruhi oleh banyak factor seperti umur, pendidikan
dan pekerjaan. Dilihat dari umur terkait dengan masa produktif dan semakin
dewasa seseorang pengalaman hidup juga semakin bertambah serta dimungkinkan
kemampuan analisis dari seseorang akan bertambah sehingga pengetahuan juga
semakin bertambah ( Elizabet dalam Mubarak, 2006).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kejang demam merupakan kejang yang terjadi pada saat seorang bayi atau
anak mengalami demam tanpa infeksi system saraf pusat. Kejang terjadi apabila
demam disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan atas roseola atau infeksi
telinga. Namun pada beberapa kasus tertentu, kejang demam terjadi sebagai gejala
dari penyakit meningitis atau masalah serius lainya. Selain demam yang tinggi,
kejang-kejang juga bisa terjadi akibat penyakit radang selaput otak, tumor, trauma
atau benjolan dikepala serta gangguan elektrolit dalam tubuh (Candra, 2009)

4.2 Saran
Adapun saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah :
1. Diharapkan agar para orang tua khususnya ibu hamil yang mempunyai
riwayat kejang demam untuk selalu waspada terhadap anaknya apabila
anak mengalami demam, karena apabila suhu tubuh anak tinggi maka akan
berisiko untuk terjadinya kejang demam.
2. Diharapkan agar orang tua tidak menyepelehkan apabila terjadi kenaikan
suhu tubuh yang sangat tinggi terhadap anaknya. Segera periksakan ke
dokter apabila suhu tubuh anak tinggi agar bisa mencegah terjadinya
kejang demam. Karena apabila suhu tubuh anak tinggi, maka akan berisiko
untuk terjadinya kejang demam.
3. Diharapkan pada orang tua khususnya ibu hamil agar memperhatikan
asupan makanannya. Makanlah makanan yang bergizi sesuai dengan
kebutuhan. Asupan gizi yang cukup memungkinkan bayi lahir dengan
berat badan normal. Sehingga apabila bayi lahir dalam keadaan normal,
akan mengurangi risiko untuk terjadinya kejang demam pada anak.
4. Diharapkan agar institusi kesehatan lebih mensosialisasikan tentang
penanganan dan pencegahan kejadian kejang demam kepada orang tua
anak.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, 2006,Faktor Resiko Kejang Demam Berulang,Jakarta:EGC
Candra, 2009,Kejang Demam. Available:http//www.scrib.com/doc/156894, 29
Desember 2011.
Kharis, Abdul. 2010,Defensiensi Besi dengan Parameter sTfR sebagai Faktor
Resiko Bangkitan Kejang Demam.
Pusponegoro HD, Widodo DP, Ismael S. 2006, Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam. UKKNeurologi PP IDAI : Jakarta.
Dewanti Attila, Joanne Angelica Widjaja, Anna Tjandrajani, Amril A Burhany.
2012, Kejang Demam Dan Faktor Yang Mempengaruhi Rekurensi. J, Sari
Pediatri, Vol. 14, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai