Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASKEP PENYAKIT DIARE

PADA KEPERAWATAN GERONTIK DI PUSKESMAS WATAMPONE

KABUPATEN BONE

DISUSUN OLEH :

NAMA : IDAWATI

NIM : 2020032202

PRESEPTOR LAHAN PRESEPTOR INSTITUSI

( Irfan Nur, S.Kep ) (Ns.Meriem Meisyaroh,S.Kep.,M.Kes)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS INSTITUT TEKNOLOGI

KESEHATAN DAN SAINS MUHAMMADIYAH SIDRAP


TAHUN 2020/2021LAPORAN PENDAHULUAN
DIARE

I. KONSEP MEDIS
A. Definisi
Hipocrates mendefinisikan diare sebagai pengeluaran tinja yang tidak
normal dan cair. Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RSCM, diare
diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang
encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan
diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan untuk
bayi berumur 1 bulan dan anak, bila frekuensinya lebih dari 3kali.
Diare adalah keadaan kekerapan dan keenceran buang air besar
dimana frekuensinya lebih dari tiga kaliper hari dan banyaknya lebih dari
200 – 250 gram.

B. Etiologi
1. Faktor infeksi
a. Infeksi bakteri: Vibrio coma, Ecserchia coli, Salmonella, Shigella,
Compilobacter, Yersenia dan Acromonas.
b. Infeksi virus: Entero virus (Virus echo, Coxechasi dan
Poliomyelitis), Adeno virus, Rota virus dan Astrovirus.
c. Infeksi parasit: Cacing, protozoa dan jamur.
d. Infeksi enteral yaitu infeksi saluran pencernaan yang merupakan
penyebab utama diare pada anak.
e. Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat
pencernaan, seperti Otitis Media Akut (OMA), Tonsilofaringitis,
Bronkopneumonia, Ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama
terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah 2 tahun.
2. Faktor malabsorbsi
a. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan
sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, fluktosa dan galaktosa).
Pada bayi dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi
laktosa.
b. Malabsorbsi lemak.
c. Malabsorbsi protein.
3. Obat-obatan seperti antibiotik.
4. Penyakit usus seperti Colitis ulserative, crohn disease dan enterocolitis.
5. Faktor makanan: makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
6. Faktor psikologis: rasa takut dan cemas. Walaupun jarang, dapat
menimbulkan diare terutama pada anak yang lebih besar.
C. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare adalah:
1. Gangguan osmotik
Akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan
menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga
terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga
usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya
sehingga timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misal oleh toksin) pada dinding usus
akan terjadi peningkatan sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus
dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga
usus.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan
usus untuk menyerap makanan, sehingga timbul diare. Sebaliknya bila
peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan
yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Patogenesis diare akut
1. Masuknya jasad renik yang masih hidup ke dalam usus halus setelah
berhasil melewati rintangan asam lambung.
2. Jasad renik tersebut berkembang biak (multiplikasi) di dalam usus halus.
3. Oleh jasad renik dikeluarkan toksin (toksin diaregenik)
4. Akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan
menimbulkan diare.
Patogenesis diare kronis
Lebih kompleks dan faktor-faktor yang menimbulkannya ialah infeksi
bakteri, parasit, malabsorbsi, malnutrisi dan lain-lain.
Klasifikasi Diare
Tahapan dehidrasi menurut Ashwill dan Droske (1977):
1. Dehidrasi ringan: dimana berat badan menurun 3-5 % dengan volume
cairan yang hilang kurang dari 50 ml/kgBB.
2. Dehidrasi sedang: dimana berat badan menurun 6-9 % dengan volume
cairan yang hilang kurang dari 50 – 90 ml/kgBB.
3. Dehidrasi berat: dimana berat badan menurun lebih dari 10 % dengan
volume cairan yang hilang sama dengan atau lebih dari 100 ml/kgBB.
D. Tanda dan Gejala
Mula-mula bayi dan anak menjadi cengeng, gelisah, suhu tubuh
biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada, kemudian
timbul diare. Sering buang air besar lebih dari 3 kali dan dengan jumlah
200-250 gram. Tinja cair dan mungkin disertai lendir dan atau darah. Warna
tinja makin lama berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur dengan
empedu. Anus dan daerah sekitarnya lecet karena seringnya defekasi dan
tinja makin lama makin asam sebagai akibat makin banyaknya asam laktat,
yang berasal dari laktosa yang tidak dapat diabsorbsi usus selama diare.
Gejala muntah dapat terjadi sebelum atau sesudah diare dan dapat
disebabkan oleh lambung yang turut meradang atau akibat gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit. Bila penderita telah kehilangan
banyak cairan dan elektrolit, maka gejala dehidrasi mulai tampak. Berat
badan turun, turgor kulit berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi
cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.
Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi
dehidrasi ringan, sedang dan berat, sedangkan berdasarkan tonisitas plasma
dapat dibagi menjadi dehidrasi hipotonik, isotonik dan hipertonik.
Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/ RSCM biasanya dirawat penderita
dehidrasi berat dengan rata-rata kehilangan cairan sebanyak 12½ %. Pada
dehidrasi berat, volume darah berkurang sehingga dapat terjadi renjatan
hipovolemik dengan gejala-gejalanya yaitu denyut jantung menjadi cepat,
denyut nadi cepat, kecil, tekanan darah menurun, penderita menjadi lemah,
kesadaran menurun (apatis, somnolen dan kadang-kadang sampai
soporokomateus). Akibat dehidrasi, diuresis berkurang (oliguria sampai
anuria). Bila sudah ada asidosis metabolik, penderita akan tampak pucat
dengan pernapasan yang cepat dan dalam (pernapasan kussmaul).
Asidosis metabolik terjadi karena:
1. Kehilangan NaHCO3 melalui tinja
2. Ketosis kelaparan
3. Produk-produk metabolik yang bersifat asam tidak dapat dikeluarkan
(oleh karena oliguria atau anuria)
4. Berpindahnya ion natrium dari cairan ekstrasel ke cairan intrasel
5. Penimbunan asam laktat (anoksia jaringan tubuh)
Dehidrasi hipotonik (dehidrasi hiponatremia) yaitu bila kadar natrium
dalam plasma kurang dari 130 mEq/l, dehidrasi isotonik (dehidrasi
isonatremia) bila kadar natrium dalam plasma 130-150 mEq/l, sedangkan
dehidrasi hipertonik (hipernatremia) bila kadar natrium dalam plasma lebih
dari 150 mEq/l.
E. Pemeriksaan Diagnostik/ Penunjang
1. Pemeriksaan tinja
a. Makroskopis dan mikroskopis.
b. pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet
clinitest, bila diduga terdapat intoleransi gula.
c. Bila perlu dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam-basa dalam darah, dengan
menentukan pH dan cadangan alkali atau lebih tepat lagi dengan
pemeriksaan analisa gas darah.
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar natrium, kalium, kalsium dan
fosfor dalam serum (terutama pada penderita diare yang disertai kejang).
5. Pemeriksaan intubasi duodenum untuk mengetahui jenis jasad renik atau
parasit secara kualitatif dan kuantitatif, terutama dilakukan pada
penderita diare kronik.
F. Komplikasi
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak,
dapat terjadi berbagai macam komplikasi seperti:
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
2. Renjatan hipovolemik.
3. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah,
bradikardi, perubahan pada elektrokardiogram).
4. Hipoglikemia.
5. Intoleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase
karena kerusakan vili mukosa usus halus.
6. Kejang, terutama pada dehidrasi hipertonik.
7. Malnutrisi energi protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga
mengalami kelaparan.
G. Penatalaksanaan/ Pengobatan
Prinsip pengobatan diare ialah menggantikan cairan yang hilang
melalui tinja dengan atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung
elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain (gula, air tajin, tepung beras dan
sebagainya).
Dasar pengobatan diare adalah:
1. Pemberian cairan (rehidrasi awal dan rumat)
a. Formula lengkap mengandung NaCl, NaHCO3. KCl dan glukosa
(untuk pencegahan dehidrasi).
b. Formula sederhana hanya mengandung NaCl dan sukrosa atau
karbohidrat lain; larutan gula garam, larutan air tajin garam, larutan
tepung beras garam (sebelum ada dehidrasi maupun setelah dehidrasi
ringan).
c. DG aa (1 bagian larutan Darrow + bagian glukosa 5%)
d. RL g (1 bagian Ringer Laktat + 1 bagian glukosa 5%)
e. RL (Ringer Laktat)
f. 3 @ (1 bagian NaCl 0,9% + 1 bagian glukosa 5% + 1 bagian Na-laktat
1/6 mol/l)
g. DG 1:2 (1 bagian larutan Darrow + 2 bagian glukosa 5%)
h. RLg 1:3 (1 bagian Ringer Laktat + 3 bagian glukosa 5-10%)
i. Cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5-10% + 1 bagian NaHCO3 1½% atau 4
bagian glukosa 5-10% 1 bagian NaCl 0,9%)
2. Dietetik
a. Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan berat
badan kurang dari 7 kg.
Jenis makanan:
- Susu (ASI dan atau susu formula yang mengandung laktosa rendah
dan asam lemak tidak jenuh, misalnya LLM, Almiron)
- Makanan setengah padat (bubur susu) atau makanan padat (nasi
tim) bila anak tidak mau minum susu karena di rumah sudah biasa
diberi makanan padat.
- Susu khusus yaitu susu yang tidak mengandung laktosa atau susu
dengan asam lemak berantai sedang/ tidak jenuh, sesuai dengan
kelainan yang ditemukan.
b. Untuk anak di ata 1 tahun dengan berat badan lebih dari 7 kg.
Jenis makanan:
- Makanan padat atau makanan cair/ susu sesuai dengan kebiasaan
makan di rumah.
3. obat-obatan
a. Obat anti sekresi
1) Asetol
Dosis: 25 mg/tahun dengan dosis minimum 30 mg
2) Klorpromazin
Dosis: 0,5-1 mg/kgbb/hari
b. Antibiotika
1) Tetrasiklin 25-50 mg/kgbb/hari (diare yang disebabkan oleh
kolera).
2) Eritromisin 40-50 mg/kgbb/hari (diare yang disebabkan oleh
Campylobacter).
3) Penisilin prokain 50.000 U/kgbb/ hari (diare disertai penyakit
infeksi ringan misal OMA, faringitis).
4) Penisilin prokain atau ampisilin 50 mg/kgbb/hari (diare disertai
penyakit infeksi sedang misal bronkhitis).
5) Penisilin prokain dengan kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari atau
ampisilin 75-100 mg/kgbb/hari ditambah gentamisin 6
mg/kgbb/hari atau derivat sefalosforin 30-50 mg/kgbb/hari (diare
disertai penyakit infeksi berat misal bronkopneumonia).
Pada dehidrasi ringan diberikan:
a. Oralit + cairan
b. ASI/ susu yang sesuai
c. Antibiotika (hanya kalau perlu saja)
Pada dehidrasi sedang, penderita tidak perlu dirawat dan diberikan:
a. Seperti pengobatan dehidrasi ringan
b. Bila tidak minum ASI:
1) Kurang dari 1 tahun LLM dengan takaran 1/3, 2/3 penuh ditambah
oralit.
2) Untuk umur 1 tahun lebih, BB 7 kg lebih: teh, biskuit, bubur dan
seterusnya selain oralit. Formula susu dihentikan dan baru dimulai lagi
secara realimentasi setelah makan nasi.
Pada dehidrasi berat, penderita harus dirawat di rumah sakit
Pengobatan diare lebih mengutamakan pemberian cairan, kalori dan
elektrolit yang bisa berupa larutan oralit (garam diare) guna mencegah
terjadinya dehidrasi berat, sedangkan antibiotika atau obat lain hanya
diberikan bila ada indikasi yang jelas. Spasmolitika dan obstipansia pada
diare tidak diberikan karena tidak bermanfaat bahkan dapat memberatkan
penyakit.

II. KONSEP KEPERAWATAN


A. Pengkajian
Gagal untuk tumbuh: deselerasi pola pertumbuhan yang ada atau secara
konsisten berada di bawah persentil ke-5 grafik pertumbuhan standar untuk
tinggi dan berat badan, disertai perlambatan perkembangan.
Muntah atau regurgitasi: transfer pasif isi lambung ke dalam esofagus
atau mulut.
Muntah: ejeksi kuat isi lambung, melibatkan kompleks di bawah kontrol
sistem saraf pusat yang menyebabkan salivasi, pucat, berkeringat, dan
takikardia; biasanya disertai mual.
Muntah projektil: muntah yang disertai gelombang peristaltik kuat dan
secara khas berhubungan dengan stenosis pilorik atau pilorospasme.
Mual: rasa tidak enak yang secara samar menyebar ke tenggorok atau
abdomen dengan kecenderungan untuk muntah.
Diare: peningkatan jumlah feses yang disertai dengan peningkatan
kandungan air sebagai akibat dari perubahan transpor air dan elektrolit
melalui saluran GI, dapat bersifat akut atau kronik.
Hiperaktif bising usus: bukti masalah motilitas usus yang dapat disebabkan
oleh inflamasi.
Nyeri abdomen: nyeri yang berhubungan dengan abdomen yang mungkin
terlokalisasi atau menyebar, akut atau kronis yang disebabkan oleh
inflamasi.
Perdarahan GI: dapat berasal dari sumber GI bagian atas atau bawah dan
dapat bersifat akut atau kronis.

Hematokezia: keluarnya darah merah terang melalui rectum, biasanya


menunjukkan perdarahan saluran GI bawah.
Demam: manifestasi umum dari penyakit pada anak-anak dengan gangguan
GI; biasanya berhubungan dengan dehidrasi, infeksi, atau inflamasi.
Dehidrasi: terjadi karena kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah
besar ke dalam usus.
Distres pernapasan: terjadi saat diafragma terdorong ke atas masuk rongga
pleural.
Syok: volume plasma berkurang saat cairan dan elektrolit hilang dari aliran
darah masuk ke dalam lumen usus.
Sepsis: disebabkan oleh proliferasi bakteri dengan invasi ke dalam sirkulasi.
Bantu dengan prosedur diagnostik, mis., seri GI atas/ bawah, endoskopi
serat optik, esofagoskopi, sigmoidoskopi, kolonoskopi, manometri,
radiografi, biopsi mukosa.
Tampung spesimen untuk pemeriksaan feses, analisis darah (SDM, SDP,
studi enzim).
B. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi
2. Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan GI berlebihan
melalui feses atau emesis
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kehilangan cairan melalui diare, masukan yang tidak adekuat
4. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang
menembus saluran GI
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena diare
6. Cemas/ takut berhubungan dengan perpisahan dengan orangtua,
lingkungan tidak dikenal, prosedur yang menimbulkan stres
7. Perubahan proses keluarga behubungan dengan krisis situasi, kurang
pengetahuan
C. Intervensi Keperawatan dan Rasional
1. Hipertermia b/d proses inflamasi
Tujuan: pasien mempertahankan suhu dalam batas normal.
Hasil: suhu tubuh tetap berada dalam batas yang dapat diterima
Intervensi:
a. Berikan obat antipiretik dalam dosis yang sesuai dengan berat badan
anak
R: menghilangkan atau menurunkan demam
b. Gunakan tindakan pendinginan di bawah ini, lebih baik 1 jam setelah
pemberian antipiretik:
- Tingkatkan sirkulasi udara
- Kurangi suhu lingkungan
- Kenakan pakaian yang tipis
- Pajankan kulit pada udara
R: untuk menurunkan titik set.
c. Berikan kompres biasa (mis., dahi)
R: mengurangi demam
d. Hindari menggigil
R: bila anak kedinginan, berikan lebih banyak pakaian atau selimut
karena kedinginan meningkatkan laju metabolisme tubuh.
e. Pantau suhu
R: untuk menentukan keefektifan tindakan
2. Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan GI berlebihan
melalui feses atau emesis
Tujuan: pasien menunjukkan tanda-tanda rehidrasi dan mempertahankan
hidrasi adekuat
Hasil: anak menunjukkan tanda-tanda hidrasi yang adekuat.
Intervensi:
a. Beri larutan rehidrasi oral (LRO)
R: untuk rehidrasi dan penggatian kehilangan cairan melalui feses
b. Beri LRO sedikit tapi sering, khususnya bila anak muntah
R: karena muntah, kecuali jika muntah itu hebat, bukanlah
kontraindikasi untuk penggunaan LRO
c. Beri dan pantau cairan IV sesuai ketentuan
R: untuk dehidrasi hebat dan muntah
d. Beri agens antimikroba sesuai ketentuan
R: untuk mengobati patogen khusus yang menyebabkan kehilangan
cairan yang berlebihan
e. Setelah rehidrasi, beri diet reguler pada anak sesuai toleransi
R: karena penelitian menunjukkan pemberian ulang diet normal secara
dini bersifat menguntungkan uttuk menurunkan jumlah defekasi dan
penurunan berat badan secara pemendekan durasi penyakit
f. Ganti LRO dengan cairan rendah natrium seperti air, ASI, formula
bebas laktosa, atau formula yang mengandung setengah laktosa
R: untuk mempertahankan terapi cairan
g. Pertahankan pencatatan yang ketat terhadap masukan dan keluaran
(urine, feses dan emesis)
R: untuk mengevaluasi keefektifan intervensi
h. Timbang berat badan anak
R: untuk mengkaji dehidrasi
i. Kaji tanda-tanda vital, turgor kulit, membran mukosa, dan status
mental setiap 4 jam atau sesuai indikasi
R: untuk mengkaji hidrasi
j. Hindari masukan cairan jernih seperti jus buah, minuman berkarbonat
dan gelatin
R: karena cairan ini biasanya tinggi karbohidrat, rendah elektrolit dan
mempunyai osmolalitas tinggi
k. Instruksikan keluarga dalam memberikan terapi yang tepat,
pemantauan masukan dan haluaran dan mengkaji tanda-tanda
dehidrasi
R: untuk menjamin hasil optimum dan memperbaiki kepatuhan
terhadap aturan terapeutik.
3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kehilangan cairan melalui diare, masukan yang tidak adekuat
Tujuan: pasien mengkonsumsi nutrisi yang adekuat untuk
mempertahankan berat badan yang sesuai dengan usia.
Hasil: anak mengkonsumsi nutrisi yang ditentukan dan menunjukkan
penambahan berat badan yang memuaskan.
Intervensi:
a. Setelah rehidrasi, instruksikan ibu menyusui untuk melanjutkan
pemberian ASI
R: karena hal ini cenderung mengurangi kehebatan dan durasi
penyakit.
b. Hindari pemberian diet dengan pisang, beras, apel dan roti panggang
atau teh
R: karena diet ini rendah dalam energi dan protein, terlalu tinggi
dalam karbohidrat, dan rendah elektrolit.
c. Observasi dan catat respons terhadap pemberian makan
R: untuk mengkaji toleransi pemberian makanan.
d. Instruksikan keluarga dalam memberikan diet yang tepat
R: untuk meningkatkan kepatuhan terhadap program terapeutik.
e. Gali masalah dan prioritas anggota keluarga
R: untuk memperbaiki kepatuhan terhadap program terapeutik.
4. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang
menembus saluran GI
Tujuan: pasien tidak menunjukkan tanda infeksi gastrointestinal.
Hasil: infeksi tidak menyebar ke organ lain.
Intervensi:
a. Implementasikan isolasi substansitubuh atau praktik pengendalian
infeksi rumah sakit, termasuk pembuangan feses dan pencucian yang
tepat, serta penanganan spesimen yang tepat.
R: untuk mencegah penyebaran infeksi.
b. Pertahankan pencucian tangan yang benar
R: untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi.
c. Pakaikan popok dengan tepat
R: untuk mengurangi kemungkinan penyebaran feses.
d. Gunakan popok sekali pakai superabsorbent
R: untuk menampung feses dan menurunkan kemungkinan terjadinya
dermatitis popok.
e. Upayakan untuk mempertahankan bayi dan anak kecil dari
menempatkan tangan dan objek dalam area terkontaminasi
R: mencegah/ menurunkan tingkat risiko infeksi
f. Ajarkan anak, bila mungkin, tindakan perlindungan
R: untuk mencegah penyebaran infeksi seperti pencucian tangan
setelah menggunakan toilet.
g. Instruksikan anggota keluarga dan pengunjung dalam praktik isolasi,
khususnya mencuci tangan
R: untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi.
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena diare
Tujuan: kulit pasien tetap utuh.
Hasil: anak tidak mengalami bukti-bukti kerusakan kulit.
Intervensi:
a. Ganti popok dengan sering
R: untuk menjaga agar kulit tetap bersih dan kering.
b. Bersihkan bokong dengan perlahan-lahan dengan sabun lunak, non-
alkalin dan air atau celupkan anak dalam bak untuk pembersihan yang
lembut
R: karena feses diare sangat mengiritasi kulit.
c. Beri salep seperti seng oksida
R: untuk melindungi kulit dari iritasi (tipe salep dapat bervariasi untuk
setiap anak dan memerlukan periode percobaan).
d. Pajankan dengan ringan kulit utuh yang kemerahan pada udara jika
mungkin
R: untuk meningkatkan penyembuhan; berikan salep pelindung pada
kulit yang sangat teriritasi atau kulit terekskoriasi untuk memudahkan
penyembuhan.
e. Hindari menggunakan tisu basah yang dijual bebas yang mengandung
alkohol pada kulit yang terekskoriasi
R: karena akan menyebabkan rasa menyengat.
f. Observasi bokong dan perineum akan adanya infeksi, seperti kandida
R: untuk memulai terapi yang tepat.
g. Berikan obat antijamur yang tepat
R: untuk mengobati infeksi jamur kulit.
6. Cemas/ takut berhubungan dengan perpisahan dengan orangtua,
lingkungan tidak dikenal, prosedur yang menimbulkan stres
Tujuan: pasien menunjukkan tanda-tanda kenyamanan
Hasil:
- Anak menunjukkan tanda-tanda distres fisik atau emosional yang
minimal.
- Keluarga berpartisipasi dalam perawatan anak sebanyak mungkin.
Intervensi:
a. Beri perawatan mulut dan empeng untuk bayi
R: untuk memberikan rasa nyaman.
b. Dorong kunjungan dan partisipasi keluarga dalam perawatan
sebanyak yang mampu dilakukan keluarga
R: untuk mencegah stres yang berhubungan dengan perpisahan.
c. Sentuh, gendong dan bicara pada anak sebanyak mungkin
R: untuk memberikan rasa nyaman dan menghilangkan stres.
d. Beri stimulasi sensori dan pengalihan yang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak dan kondisinya
R: untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang
optimal.
7. Perubahan proses keluarga behubungan dengan krisis situasi, kurang
pengetahuan
Tujuan: keluarga memahami tentang penyakit anak dan pengobatannya
serta mampu memberikan perawatan.
Hasil: keluarga menunjukkan kemampuan untuk merawat anak,
khususnya di rumah.
Intervensi:
a. Berikan informasi pada keluarga tentang penyakit anak dan tindakan
terapeutik
R: untuk mendorong kepatuhan terhadap program terapeutik,
khususnya jika sudah berada di rumah.
b. Bantu keluarga dalam memberikan rasa nyaman dan dukungan pada
anak
R: meningkatkan rasa nyaman dan proses penyembuhan.
c. Izinkan anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan anak
sebanyak yang mereka inginkan
R: untuk memenuhi kebutuhan anak dan keluarga.
d. Instruksikan keluarga mengenai pencegahan
R: untuk mencegah penyebaran infeksi.
e. Atur perawatan kesehatan pasca hospitalisasi
R: untuk menjamin pengkajian dan pengobatan yang kontinu.
f. Rujuk keluarga pada lembaga perawatan kesehatan komunitas
R: untuk pengawasan perawatan di rumah sesuai kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer, 2002, Kapita Salekta Kedoktern, Edisi 3 Jilid 2, EGC, Jakarta.

Brunner & Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2, EGC,
Jakarta.

Doenges, moorhouse & Burley, 2001, Penerapan Proses Keperawatan dan


Diagnosa Keperawatan, Edisi 2, EGC, Jakarta.

Yusuf M., 2007, Diktat Kebutuhan Dasar Manusia I, Makassar.

Nursalam, 2010, Proses dan Dokumentasi Keperawatan; konsep dan Praktik


Edisi I, Salemba Medika, Jakarta.

Ngastiyah, 2009, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta.

Syahar Yakup, SKp., 2011, Dikatat PPKDM II, Makassar.

Anda mungkin juga menyukai