Anda di halaman 1dari 67

PROPOSAL

PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA PADA RUAS JALAN


DURJELA – Sp. PAPALISERAN PULAU WAMAR

Disusun oleh :
Nama : RAYMOND LASATIRA
NPM : 12122201190040

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU


FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK SIPIL
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penulisan


Perkembangan ekonomi dapat tercapai dengan dukungan prasarana
jalan yang memadai. Dukungan tersebut dapat diwujudkan melalui usaha-
usaha antara lain menetapkan kondisi jalan dan pembangunan jalan yang
memenuhi standar perencanaan. Pembangunan jalan baru maupun
peningkatan jalan yang diperlukan sehubungan dengan penambahan
kapasitas jalan raya, tentu akan memerlukan metode yang efektif dalam
perancangan agar diperoleh hasil yang terbaik dan ekonomis, memenuhi
unsur keamanan dan kenyamanan bagi pengguna jalan. (Hendarsin, L,
2000)
Pelayanan jalan yang baik, aman, nyaman dan lancar akan terpenuhi
jika lebar jalan yang cukup dan tikungan – tikungan dibuat berdasarkan
persyaratan teknis geometrik jalan raya, baik alinyemen vertikal, alinyemen
horizontal serta tebal perkerasan itu sendiri, sehingga kendaraan yang
melewati jalan tersebut dengan beban dan kecepatan rencana tertentu dapat
melaluinya dengan aman dan nyaman. Oleh karena itu, pembangunan
prasarana jalan bukanlah hal yang mudah, disamping membutuhkan dana
yang tidak sedikit, juga diperlukan perencanaan yang baik. (Hendarsin, L,
2000)
Kabupaten Kepulauan Aru saat ini mempunyai sarana jalan darat
untuk ruas jalan Durjela – Sp. Papaliseran sepanjang totalnya 3,325 km dari
patok BM 0 yang berada di Desa Durjela yang merupakan jalan lokal kelas
III C dengan jenis medan yang tergolong datar dibawah pembinaan jalan
Kabupaten yang meliputi jalan lokal sekunder.
Kondisi jalan saat ini masih berupa trase jalan tanah yang sudah
dirintis sejak tahun 2009 melalui Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten
Kepulauan Aru. Ruas jalan ini merupakan jalur menuju ke sumber-sumber
perekonomian masyarakat desa setempat dan juga masyarakat dari luar desa.

1
2

Sumber perekonomian tersebut diantaranya seperti kebun sayur, pisang, ubi-


ubian, kelapa dan tanaman lainnya yang diusahakan oleh masyarakat. Trase
jalan ini juga merupakan akses untuk menuju ke tempat wisata pantai,
seperti pantai wisata desa Durjela yang berada di pusat desa dan pantai
wisata Papaliseran yang berada di luar pusat desa tetapi masih dalam
wilayah desa Durjela.
Kondisi permukaan jalan saat ini belum sesuai dengan aturan-aturan
atau syarat teknis perencanaan geometrik jalan. Pada beberapa segmen,
secara visual terlihat bahwa kemiringan badan jalan pada daerah tikungan
ada pada posisi datar, tikungan yang berdekatan, jarak pandang terhalang
cembung vertikal badan jalan sebelum turunan jalan di depan, terdapat
cekung vertikal yang tajam, dan lain sebagainya. Pada saat musim panas,
kondisi jalan di atas sangat memperlambat proses mobilisasi hasil
perkebunan, barang dan jasa lainnya. Yang lebih parah lagi pada musim
penghujan.
Berdasarkan dari paparan terhadap latar belakang di atas, maka
penulis tertarik untuk mengangkat judul Penulisan Skripsi :
“ PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN RAYA PADA RUAS
JALAN DURJELA – Sp. PAPALISERAN PULAU WAMAR ”

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah pokok yang di
ambil adalah :
1. Bagaimana Perencanaan Geometrik pada ruas jalan Durjela –
Sp. Papaliseran ?
2. Berapa besar volume galian dan timbunan tanah pada ruas jalan
Durjela – Sp. Papaliseran ?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan ini sebagai berikut :
1. Membuat Perencanaan Geometrik Jalan (alinyemen horizontal dan
vertikal jalan)
3

2. Mengetahui besarnya volume galian tanah dan timbunan tanah.

1.4. Batasan Masalah


Dalam penulisan ini, penulis dapat memberikan batasan masalah agar
tidak terlalu meluas terhadap penulisan ini sebagai berikut :
1. Perencanaan ini di mulai dari STA 00+000 – STA 03+325
2. Perencanaan geometrik jalan pada ruas jalan Durjela – Sp.
Papaliseran Pulau Wamar.
3. Perencanaan profil memanjang jalan (Long section) dan profil
melintang jalan (Cross Section) terhadap kondisi awal (Existing)
trase jalan pada lokasi penelitian.
4. Perhitungan besarnya galian dan timbunan.

1.5 Manfaat Penulisan


Manfaat yang dapat di ambil dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut
:
1. Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang didapat selama
melaksanakan perkuliahan ke lapangan.
2. Menambah wawasan dalan Perencanaan Geometrik Jalan Raya
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Jalan


2.1.1 Klasifikasi Jalan Menurut Fungsi
Klasifikasi jalan menurut fungsinya (UU No. 38, 2004)
terdiri dari :
1. Jalan Arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan
rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi secara
berdaya guna.
2. Jalan Kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri
perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan
jumlah jalan masuk dibatasi.
3. Jalan Lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat,
kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
4. Jalan Lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi
melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak
dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.

2.1.2 Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan


Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan
jalan untuk menerima beban lalu lintas yang dinyatakan dalam muatan
sumbu terberat ( MST ) dalam satuan ton, dan kemampuan jalan
tersebut dalam menyalurkan kendaraan dengan dimensi maksimum
tertentu.
Klasifikasi menurut kelas jalan, fungsi jalan dan dimensi kendaraan
maksimum (panjang dan lebar) kendaraan yang diijinkan melalui jalan

4
5

tersebut, secara umum dapat dilihat dalam Tabel 1; (sesuai pasal 11,
Peraturan Pemerintah RI No. (PP RI NO. 43, 1993).

Tabel 2.1 : Klasifikasi jalan secara umum menurut kelas, fungsi, dimensi
kendaraan maksimum dan muatan sumbu terberat ( MST )
Sumber : (Badan Standarisasi Nasional Indonesia, 2004)

Dimensi kendaraan
maksimum Muatan Sumbu
Kelas Jalan Fungsi Jalan
Terberat (ton)
Panjang (m) Lebar (m)
I 18 2,5 ˃ 10
II Arteri 18 2,5 10
III A 18 2,5 8
III A 18 2,5 8
Kolektor
III B 12 2,5 8
III C Lokal 9 2,1 8

2.1.3 Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan


Klasifikasi Jalan Menurut Medan Jalan meliputi :
1. Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian
besar kemiringan medan yang diukur tegak lurus garis
kontur.
2. Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan
geometrik dapat dilihat dalam Tabel 2.2.
3. Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus
mempertimbangkan keseragaman kondisi medan menurut
rencana trase jalan dengan mengabaikan perubahan-
perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan
tersebut

Tabel 2.2 : Klasifikasi menurut medan jalan. Sumber : Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota (Departemen, Pekerjaan, 1997)

NO Jenis Medan Notasi Kemiringan Medan (%)


1 Datar D <3
2 Perbukitan B 3 – 25
6

3 Pegunungan G > 25
2.1.4 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai
PP. No.26/1985 adalah :
1. Jalan Nasional yang meliputi :
a. Jalan Arteri Primer;
b. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibu
kota propinsi;
c. Jalan selain dari pada yang termasuk dalam huruf a dan
huruf b, yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan nasional.

2. Jalan Propinsi yang meliputi :


a. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan ibu kota
propinsi dengan ibu kota kabupaten/kotamadya;
b. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibu
kota kabupaten/kotamadya;
c. Jalan selain daripada yang termasuk dalam huruf a dan
huruf b, yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan propinsi;
d. Jalan dalam Daerah Khusus Ibukota Jakarta, kecuali jalan
Nasional.

3. Jalan Kabupaten yang meliputi :


a. Jalan Kolektor Primer yang tidak termasuk dalam Jalan
Nasional dan Jalan Propinsi.
b. Jalan Lokal Primer;
c. Jalan Sekunder lain pada Jalan Nasional dan Jalan
Propinsi
d. Jalan selain dari pada yang termasuk dalam huruf a, huruf
b, dan huruf c yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan kabupaten
7
8

4. Jalan Kotamadya yang meliputi :


a. Jalan Sekunder
b. Jalan Arteri Sekunder
c. Jalan Kolektor Sekunder
d. Jalan Lokal Sekunder

5. Jalan Desa yang meliputi :


a. Jaringan jalan sekunder di dalam desa

6. Jalan Khusus yang meliputi :


a. Jalan yang dibangun dan dipelihara oleh Instansi/Badan
Hukum/Perorangan untuk melayani kepentingan masing-
masing

2.2 Karakteristik Geometrik


2.2.1 Tipe Jalan
Tipe jalan menentukan jumlah lajur dan arah pada suatu
segmen jalan, untuk jalan-jalan luar kota sebagai berikut
(Hendarsin, L, 2000) :
1. 2 lajur 1 arah (2/1)
2. 2 lajur 2 arah tak-terbagi (2/2 TB)
3. 4 lajur 2 arah tak-terbagi (4/2 TB)
4. 4 lajur 2 arah terbagi (4/2 B)
5. 6 lajur 2 arah terbagi (6/2 B)

2.2.2 Bagian – Bagian Jalan


Bagian-bagian jalan terdiri dari :
1. Lebar Jalur (Wc)
Lebar (m) jalur jalan yang dilewati lalu-lintas, tidak termasuk bahu
jalan.
9

2. Lebar Bahu (Ws)


Lebar bahu (m) di samping jalur lalu-lintas, direncanakan
sebagai ruang untuk kendaraan yang sekali-sekali berhenti,
pejalan kaki dan kendaraan lambat.

3. Median (M)
Daerah yang memisahkan arah lalu-lintas pada suatu segmen
jalan, yang terletak pada bagian tengah
(direndahkan/ditinggikan)

2.2.3 Tipe Alinyemen


Tipe Alinyemen adalah gambaran kemiringan daerah yang
dilalui jalan, dan ditentukan oleh jumlah naik dan turunan
(m/km) dan jumlah lengkung horizontal (rad/km) sepanjang
segmen jalan.

Tabel 2.3 : Ketentuan Tipe Alinyemen (Hendarsin, L, 2000)

Lengkung Vertikal Naik Lengkung Horizontal


Tipe Alinyemen
+Turun (m/km) (rad/km)
Datar (D) ˂ 10 ˂ 1,0
Bukit (B) 10 – 30 1,0 – 2,5
Gunung (G) ˃ 30 ˃ 2,5

2.2.4 Daerah Penguasaan Jalan


Daerah penguasaan jalan meliputi :
1. Daerah Manfaat Jalan (Damaja), dibatasi oleh :
 Lebar antara batas ambang pengaman kontruksi jalan di
kedua sisi jalan
 Tinggi 5 meter di atas permukaan perkerasan pada sumbu
jalan.
 Kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah jalan.
10

2. Daerah Milik Jalan (Damija) adalah ruang yang dibatasi oleh


lebar yang sama dengan Damaja ditambah ambang pengaman
konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1,5
meter.
3. Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja) adalah ruang yang
dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu.

2.3. Survei Topografi


Survei Topografi dalam perencanaan jalan raya adalah pengukuran
rute yang dilakukan dengan tujuan memindahkan kondisi permukaan bumi
dari lokasi yang di ukur pada kertas yang berupa peta planimeter. Peta ini
akan digunakan sebagai peta dasar untuk ploting perencanaan geometrik
jalan raya, dalam hal ini perencanaan alinyemen horizontal. Kegiatan
pengukuran route ini juga mencakup pengukuran penampang (Hendarsin, L,
2000).
Pengukuran rute yang dilakukan sepanjang trase jalan rencana (rute
hasil suvei reconnaissance) dengan menggangap sumbu jalan rencana pada
trase ini sebagai garis kerangka poligon utama, dengan demikian sebaiknya
melakukan pemasangan patok BM (Bench Mark) pada setiap 1 km dan
tanda PI (Point of Intersection sama dengan titik belokan yaitu perpotongan
antara 2 tangen) pada rute yang dipilih oleh regu suvei pendahuluan.
Kegiatan pengukuran untuk rencana teknik jalan raya ini sama dengan
pengukuran untuk rencana bangunan teknik sipil lainnya, yang intinya
adalah pengukuran sudut dan jarak (horizontal) serta pengukuran beda
tinggi (vertikal). Akan tetapi dalam pengukuran untuk teknik rencana jalan
mempertimbangkan pula jarak yang panjang sehingga pengukuran
permukaan bumi juga diperhitungkan. Pengukuran rute sesungguhnya
adalah pengukuran detail yang dilakukan pada rute hasil suvei pendahuluan,
yang kegiatannya antaralain sebagai berikut :
11

2.3.1 Perintisan Untuk Pengukuran


Kegiatan perintisan ini berupa membuka sebagian lokasi
yang akan diukur agar tidak terhalang oleh semak atau perdu,
perintisan dalam pengukuran adalah pelebaran rintisan pada rute
hasil survei reconnaissance, dan pada setiap interval yang sudah
ditentukan dibuat jalur perintisan melintang arah rute untuk
keperluan pengukuran penampang melintang dan situasi detail.

2.3.2 Pemasangan Titik – Titik Kontrol


Pemasangan titik-titik kontrol yang dipasang untuk
keperluan pengukuran rute pada umumnya terdiri dari dua
macam yaitu :
1. Patok beton
Patok beton di pasang untuk titik-titik kontrol
horizontal maupun untuk menentukan ketinggian muka tanah,
titik tetap BM (Bench Mark), baik untuk jalan maupun
rencana jembatan. Patok beton ini digunakan juga sebagai
titik kontrol horizontal (polygon) dan daerah datar karena
sifatnya sebagai titik tetap maka dapat digunakan sebagai
referensi untuk kegiatan selanjutnya. Dalam pengukuran
biasanya patok-patok tersebut dipasang disentail interval 1
km, dan untuk persilangan dengan sungai dipasang dua buah
yang letaknya bersebrangan, demikian pula untuk persilangan
dengan jalan.(Hendarsin, L, 2000)

2. Patok kayu
Patok kayu dipasang untuk titik-titik kontrol sekunder
(patok bantu) pada pengukuran polygon maupun daerah datar
sekunder pada pengukuran topografi. Sifat patok ini tidak
tetap dan harus diberi nomor urut dan warna yang sesuai
dengan ketentuan dengan jarak 1 km dikiri dan kanan jalan.
12

2.3.3 Pengukuran Pengikatan


Pengukuran dilakukan untuk menetapkan posisi titik awal
pekerjaan terhadap koordinat maupun elevasi triangulasi, agar
pada saat pengukuran untuk pelaksanaan pekerjaan (Stake Out)
dengan mudah untuk dilakukan. Referensi ketinggian titik
triangulasi adalah permukaan air laut rata-rata. Apabila titik
triangulasi tidak ditentukan disekitar lokasi, dapat digunakan
titik referensi lokal yang berupa polygon pada awal proyek,
misalnya:
X = 10.000 M
Y = 5.000 M dan
Z = 200 M
Sebaiknya pengukuran detail ini dilakukan 100m – 200m di
belakang regu survei pemilihan rute, agar dapat memberikan
koreksi kepada regu survei pendahuluan mengenai rute yang
dipilih.

2.4 Perhitungan Data Pengukuran


Perhitungan dan pengukuran menurut (Hendarsin, L, 2000) yang
memberikan tiga perhitungan seperti berikut ini :

2.4.1 Perhitungan Jarak


Maksud perhitungan jarak datar horizontal yaitu untuk
mengetahui jarak dari tempat alat berdiri sampai pada titik detail
yang dimaksud. Jarak dapat dihitung dari hasil pembacaan
benang atas (BA) dan benang bawah (BB) serta sudut
vertikalnya. Jarak miring antara titik yang satu terhadap titik
yang lain, dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut :
D = Cos (90 – μ x (3.14 / 180)) x ((L x 2) x 100)..…...…….(2.1)
Sedangkan untuk menentukan jarak mendatar dapat diperoleh
dari jarak miring terhadap sudut vertikal, sehingga jarak dapat di
hitung dengan persamaan sebagai berikut :
13

DH = (90 – μ x 3.14 / 180 x D)..…………………................(2.2)


Dengan :
L = Selisih antara benang (BA – BT)
BA = Bacaan benang atas
BT = Bacaan benag tengah
μ = Bacaan sudut vertikal

2.4.2 Perhitungan Beda Tinggi


1. Perhitungan beda tinggi titik
Selanjutnya dalam perhitungan dengan persamaan :
ΔH = sin (90 – μ x 3.14 / 180) x D + L…………….........(2.3)
Dengan :
TA = Tinggi alat ukur
D = Jarak optis atau jarak miring
Β = Bacaan sudut vertikal
BT = Bacaan benang tengah
ΔH = Beda tinggi antara pesawat ukur dan rambu ukur
Δh = Tinggi antara benang tengah dan permukaan
tanah

Dh
b

DH
TA

Gambar 2.1 : Pengukuran Tachimetri


Sumber : (Hendarsin, L, 2000)
14

2.4.3 Perhitungan Poligon


Pada pengukuran untuk rute jalan raya dilakukan dengan
polygon terbuka yang terikat tidak sempurna (hanya terikat pada
satu titik ikat), dengan demikian tidak ada koreksi ordinat
maupun absis, akan tetapi kontrol sudut dilakukan dengan
pemeriksaan azimuth matahari.
1. Koordinat global
X = ΔX + Xawal.…….………………………………….(2.4)
Y = ΔY + Yawal…………………………………….......(2.5)
Z = ΔZ + Zawal…………………….……………………(2.6)

2. Sudut X dan Y
ΔX = sin Δ x (π / 180) x DH………………….....……...(2.7)
ΔY = cos Δ x (π / 180) x DH…………………...……….(2.8)

3. Sudut azimuth
α = SH + α X + awal + 180 – 3600……………..……….(2.9)
α awal = º + ‘ / 60 + “ / 3600………………………….(2.10)
SH = º + ‘ / 60 + “ / 3600……..………………………..(2.11)

Dengan :
DH = Jarak datar
SH = Sudut horizontal
α = Sudut azimuth
ΔX = Sudut X
ΔY = Sudut Y
º = Derajat
‘ = Menit
“ = Detik
15

2.5 Penentuan Trase Jalan


Penetapan trase jalan memegang peranan penting karena akan
mempengaruhi penetapan alinyemen, kelandaian jalan, jarak pandang,
penampang melintang, saluran tepi dan lain sebagainya. Untuk lokasi
dengan daerah datar, pengaruhnya tidak begitu nyata, penentuan trase dapat
dengan bebas ditarik kemana saja disesuaikan dengan arah dan tujuan rute
jalan raya yang direncanakan. Untuk daerah perbukitan atau daerah
pegunungan adalah sebaliknya, topografi sangat mempengaruhi pemilihan
lokasi serta penetapan bagian-bagian jalan lainnya, bahkan sangat mungkin
akan mempengaruhi penetapan tipe jalan. (Saodang, 2004)
Secara umum trase jalan pada daerah perbukitan, selalu mengikuti
kontur dari topografi, sehingga banyak berkelok-kelok karena untuk
mempertahankan kelandaian memanjang (grade) jalan. Namun demikian
yang paling utama adalah grade disesuaikan dengan persyaratan yang ada,
agar kendaraan-kendaraan berat masih bisa melaluinya. (Saodang, 2004)

2.5.1 Penentuan Titik Koordinat


Berdasarkan titik koordinat dan elevasi maka dapat
dihitung. Perhitungan jarak dari titik PI ke PI lainya dapat
mengunakan persamaan (Saodang, 2004) berikut ini :
d A-PI = √ ( XPI− XA)2+¿ ¿ ………………….(2.12)
Dengan :
dA-PI = Jarak antara titik A ke PI (m)
XPI, YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XA, YA = Koordinat dari titik A (m)

2.5.2 Penentuan Sudut Putar


Sudut putar pada tikungan lengkung FC, S-C-S, dan S-S
dapat dihitung menggunakan persamaan (Saodang, 2004) di
bawah ini :
Y PI −Y A Y B −Y PI
∆ PI =are tan ( )
X PI −X I (
± are tan )
X B −X PI
…….......(2.13)
16

Dengan :
ΔPI = Sudut putar (m)
XA, YA = Koordinat dari titik A (m)
XPI, YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XB, YB = Koordinat dari titik C (m)
Dengan persamaan di atas, dapat diketahui DA-PI antara titik A dan
titik PI, dari sudut jurusan satu garis menghubungkan titik A dan titik PI
juga titik B.

2.6 Perencanaan Geometrik Jalan


2.6.1 Alinyemen Horizontal
Alinyemen Horizontal adalah proyeksi sumbu jalan pada
bidang horizontal, Alinyemen horizontal juga dikenal dengan
nama situasi jalan atau trase jalan. (Sukirman, 1999)
Alinyemen horizontal terdiri dari :
1. Garis-garis lurus (tangen)
2. Garis-garis lengkung
Dengan memperhitungkan faktor keselamatan pemakaian jalan,
ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimal
bagian jalan yang lurus harus 2.5 menit, sesuai V R. (Saodang, 2004)

Tabel 2.4 : Panjang Bagian Lurus Maksimum (Departemen, Pekerjaan, 1997)


(Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota)

Panjang Bagian Lurus Maksimum (m)


Fungsi
Datar Perbukitan Pegunungan

Arteri 3.000 2.500 2.000

Kolektor 2.000 1.750 1.500

Dalam merencanakan suatu alinyemen horizontal, maka ada


beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain :
1. Alinyeman horizontal sedapat mungkin dibuat lurus
mengikuti kondisi topografi.
17

2. Pada alinyemen jalan yang relatif lurus dan panjang,


dihindari lengkung yang tiba-tiba tajam, tetapi diusahkan
dibuat lengkungan peralihan.
3. Hindari sedapat mungkin lengkungan yang berbalik
mendadak.
4. Sebaiknya hindari tikungan yang tajam pada timbunan yang
tinggi.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
kendaraan yang bergerak pada tikungan akan mengalami gaya
sentrifugal, tetapi kejadian ini dapat diimbangi dengan adanya
koefisien gesek yang melintang antara ban dengan permukaan
jalan serta komponen kendaraan berat yang berkolerasi dengan
kemiringan melintang pada tikungan. Pengaruh gesekan ke
samping dari ban kendaraan (roda) dengan permukaan, dapat
dilihat pada gambar 2.2 berikut :

Gambar 2.2 : Posisi Kendaraan Normal


Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota
Keterangan :
G = Berat kendaraan
g = Gaya grafitasi bumi
V = Kecepatan kendaraan
R = Jari-jari lengkung lintasan
FL = Gaya gesekan ban kiri dengan permukaan jalan
NL = Gaya perlawanan berat kendaraan pada ban kiri
NR = Gaya perlawanan berat kendaraan pada ban kanan
18

Pada gambar di atas, tampak bahwa gaya sentrifugal yang


timbul masih seimbang dengan gesekan antara ban dengan
permukaan jalan sehingga berlaku persamaan :
V2
f= ………………………………………………..(2.14)
gR
Jika V dalam km/jam, R dalam m dan g = 9.8 m/detik 2, maka
diperoleh persamaan :
V2
f= ………………………………………………..(2.15)
127 R
−2
1
127 →=9,81 . 10−3 ( 3600 )
¿ 127.008 Km/Jam
Dengan :
f = Koefisien gesek melintang
V = Kecepatan kendaraan (km/jam)
R = jari-jari lengkung (m)
g = 9.8 m/detik2

berikut akan digambarkan bagaimana posisi kendaraan


saat berada ditikungan serta bagaimana komponen-komponen
yang mengimbangi gaya sentrifugal berkolerasi dengan baik
yaitu superelevasi. Berat kendaraan dan koefisien gesek
melintang ban dengan jalan raya seperti pada gambar 2.3 berikut
:

Gambar 2.3 : gaya-gaya yang bekerja pada lengkung horizontal


19

Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) (Tata Cara Perencanaan


Geometrik Jalan Antar Kota)

Dengan :
G = Berat kendaraan
g = Gaya grafitasi bumi
V = Kecepatan kendaraan
R = Jari-jari lengkung lintasan
Fs = Koefisien gesek ban dengan permukaan jalan
G sin α = Arah komponen kendaraan

Dari gambar tersebut, dapat dilihat dengan jelas bahwa


kemiringan melintang jalan akan menerima komponen berat
kendaraan sehingga dapat mengimbangi gaya sentrifugal yang
terjadi. Disamping itu, gesekan melintang antara ban dan
kendaraan dengan permukaan jalan juga memberikan gaya
perlawanan terhadap gaya sentrifugal.
Pada jalan raya, kemiringan melintang yang baik
ditetapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan
penyesuaian dengan kecepatan rencana sehingga menghasilkan
susunan lalu-lintas yang aman dan nyaman. Berikut akan
diuraikan bagaimana hubungan gaya-gaya yang bekerja seperti
yang terjadi pada gambar yaitu sentrifugal (F), berat kendaraan
(G) dan gaya gesek ban dengan permukaan jalan (Fs).
G V2
G sin α =+ Fs= cos α …………………..….…..(2.16)
g R
G sin α + f ¿ ………....(2.17)
G V2
G sin α + f Gsin α + (cos α −sin α ) ……….……..(2.18)
g R
sin α G V2
G +f G sin α + (1−f tgα ) …………….……..(2.19)
cos α g R
e=tgα ………………………………..…..……………...(2.20)
20

G V2
G e+ f =
( ) (1−ef ) ………….……..……………..(2.21)
g R
e+ f V2
= …………………………………….....….……..
1−ef gR
(2.22)
Karena nilai ef kecil, maka diabaikan, dengan demikian
diperoleh persamaan untuk lengkung horizontal sebagai berikut :
V2
e +f = ………………………………..…....................(2.23)
gR
Jika V dinyatakan dalam km/jam, g = 9.8 m/det 2, dan R dalam
m, maka diperoleh :
V2
e +f = ..…………………………………….….......(2.24)
127 R
Dengan :
e = Superelevasi (%)
f = Koefisien gesek melintang
V = Kecepatan kendaraan (Km/jam)
R = Jari-jari lingkaran (m)
Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota, 1997

Ketajaman lengkung horizontal dinyatakan dalam


besarnya radius dari lengkung tersebut atau dengan besarnya
derajat lengkung. Derajat lengkung adalah besarnya sudut
lengkung yang menghasilkan panjang busur 25m. semakin besar
R, semakin kecil D dan semakin tumpul lengkung horizontal
rencana, sebaliknya semakin kecil R, semakin besar D maka
lengkung horizontal yang direncanakan semakin tajam.

25m
25
Ini berarti : D= 360 °
2 πR
R 1432,39
D= ……...(2.25)
R
R dalam meter

21

Gambar 2.4 : Hubungan antara Derajat kelengkungn (D) dengan Radius


Lengkung (Sukirman, 1999)

Ukuran derajat kelengkungan maksimal ditentukan oleh


hubungan antara jari-jari minimum yang diizinkan dengan
kecepatan rencana yang ditetapkan serta nilai koefisien gesekan
superelevasi dalam keadaan maksimum.
V2
R min= …………………………………...(2.26)
127( f +e max )
Dengan :
Rmin = Jari-jari minimum (m)
V = Kecepatan rencana (Km/Jam)
emax = Superelevasi maksimum
1432.39
Dmax =
Rmin
Derajat kelengkungan maksimum dicapai bila digunakan jari-
jari minimum dengan superelevasi maksimum, sehingga bila
digunakan jari-jari yang lebih besar dari jari-jari minimum akan
diperoleh superelevasi yang lebih kecil. Perhitungan besarnya
superelevasi berdasarkan jari-jari yang direncanakan, ditentukan
berdasarkan persamaan sebagai berikut :

e max . D D
e=
D max[ 2−
Dmax ]
……………………..…..…….......(2.27)

Dengan :
e = Superelevasi (%)
emax = Superelevasi maksimum (%)
Do = Derajat kelengkungan
Dmax = Derajat kelengkungan maksimum

1. Kecepatan Rencana
22

Kecepatan rencana adalah kecepatan yang ditetapkan


untuk desain dan korelasi dari segi fisik suatu jalan raya yang
mempengaruhi pengoperasian kendaraan. Suatu kecepatan
rencana ditetapkan pada tingkat terbesar yang masih
mungkin, tuntunan pengemudi pada saat ini maupun
mendatang selama umur rencana jalan dan disesuaikan
dengan kondisi medan (terrain) dan fungsi jalan.
Kecepatan rencana berpengaruh besar pada hampir
seluruh rencana bagian jalan, pengaruhnya itu dapat secara
langsung ataupun secara tidak langsung. Secara langsung
misalnya, pada kemiringan melintang di tikungan dan jarak
pandang, sedangkan secara tidak langsung misalnya pada
penentuan lebar perkerasan jalan dan bahu jalan serta
kebebasan melintang jalan. Kecepatan yang digunakan oleh
pengemudi selain bergantung pada beberapa hal :
- Sifat fisik jalan
- Cuaca
- Adanya kendaraan-kendaraan lain
- Pembatasan kecepatan
Tujuan dari perencanaan jalan adalah untuk
memberikan pelayanan yang aman dan seekonomis mungkin.
Oleh kerena itu, segala aspek perencanaan harus disesuaikan,
baik menyangkut alinyemen horizontal dan alinyemen
vertikal, serta jarak pandang yang berhubungan erat dengan
kecepatan rencana jalan. Perlu diperhatikan bahwa kecepatan
tidak selalu tepat digunakan pada jalan-jalan kelas rendah
karena apabila jalan tersebut terletak pada daerah yang lurus
dan datar, memungkinkan pengemudi untuk berjalan dengan
kecepatan yang lebih tinggi. Kecepatan rencana untuk
masing-masing fungsi jalan ditetapkan pada Tabel 2.2 di
bawah ini :
23

Tabel 2.5 : Kecepatan Rencana, Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997),


Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota
Kecepatan Rencana, Vr (Km/Jam)
Fungsi
Datar Bukit Pegunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30

Kondisi medan (topografi) jalan yang tertera pada Tata Cara


Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997), pada
umumnya ada 3 (tiga) yaitu medan datar, bukit dan
pegunungan. Pada daerah datar kecepatan rencana umumnya
lebih besar dengan perkiraan bahwa kecepatan truk hampir
sama dengan kecepatan mobil penumpang. Selain itu,
kemiringan medan untuk jenis medan jalan datar itu berkisar
antara 0 – 9.9%. Sedangkan untuk daerah perbukitan diambil
asumsi kecepatan truk berkurang sampai merangkak dengan
kemiringan medan rata – rata 9.9 – 25%. Dan terakhir, daerah
pegunungan diasumsikan kecepatan truk sangat berkurang
sampai merangkak dengan kemiringan medan ≥ 25%.

Tabel 2.6 : Klasifikasi Medan dan Besarnya lereng Standar (Sumber :


(Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan
antar Kota)
Golongan Medan Kemiringan Medan

Datar (D) < 9.9 %


Bukit (B) 10 – 24.9 %
Gunung (G) ≥ 25 %

2. Jari-jari Lengkung Minimum


Berdasarkan pertimbangan peningkatan jalan dimasa
mendatang, sebaiknya dihindari merencanakan alinyemen
horizontal jalan dengan mempergunakan radius minimum
(Rmin) yang menghasilkan lengkung tajam, disamping sukar
24

menyesuaikan diri dengan peningkatan jalan, juga


menimbulkan rasa tidak nyaman kepada pengemudi yang
bergerak dengan kecepatan yang lebih tinggi dari pada
kecepatan rencana.
Jari-jari lengkung minimum untuk setiap kecepatan
rencana sebagaimana tercantum dalam Peraturan
Perencanaan Geometrik Jalan (Bina Marga) ditentukan
berdasarkan superelevasi maksimum. Pada suatu lapangan
datar dan luas sehingga tikungan dengan radius lengkung
yang cukup besar batas-batas tertentu tidak diperlukan
adanya kemiringan jalan. Dengan mempertimbangkan
masalah peningkatan jalan di masa yang akan datang maka
sebaiknya dihindari perencanaan alinyemen horizontal jalan
dengan radius minimum yang menghasilkan lengkung
tertajam. Selain menimbulkan rasa tidak nyaman pada
pengemudi kendaraan juga akan menimbulkan kesulitan
dalam penyesuaian diri dengan peningkatan jalan. Harga
radius minimum tersebut sebaiknya hanya merupakan harga
batas sebagai petunjuk dalam memilih radius untuk
perencanaan saja. Dalam menentukan harga Rmin dapat
digunakan persamaan seperti berikut :
V2
Rmin = atau ………………..………....(2.28)
127(e max + f max )

181913,53(e max + f max )


D max = ……………..
V2
………………........(2.29)
Dengan :
Rmin = Jari-jari minimum (m)
V = Kecepatan rencana (Km/Jam)
emax = Superelevasi maksimum (%)
fmax = Koefisien gesek melintang maksimum
Dmax = Derajat lengkung maksimum
25

Pada suatu daerah atau jalan dengan kondisi datar dan


lurus dengan radius lengkung yang besar sampai batas tak
terhingga tidak diperlukan kemiringan melintang, tetapi
dengan alasan kebutuhan drainase jalan, kemiringan
melintang jalan dapat dibuat dengan menggunakan
persamaan :
V2
R= ……………………………..……….........(2.30)
127. f max

Direktorat Jenderal bina marga memberikan angka –angka


Rmin dimana kemiringan melintang tikungan tidak diperlukan.

Tabel 2.7 : Jari-jari Lengkung Tanpa Superelevasi


(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota, 1997)
Kecepatan Rencana (Km/Jam) Jari-jari Lengkung Minimum (m)

120 3000
100 2300
80 1600
60 1000
50 660
40 420
30 240

3. Kemiringan Melintang Maksimum


Kemiringan melintang maksimum jalan disepanjang
jalan, pada daerah tikungan melintang pada sepanjang jalan
lurus, kemiringan melintang umumnya berpengaruh pada
kedua sisi jalan dari sumbu jalan pada jalan dua lajur. Pada
jalan dengan perkerasan kualitas tinggi, kemiringan
melintang ini sebesar 1% - 2.5%. yang dimaksud dengan
kemiringan melintang maksimum adalah kemiringan
melintang yang tidak boleh dilampaui dalam merencanakan
26

suatu jalan, tetapi boleh saja jika kurang dari yang telah
ditetapkan.
Adapun maksud dari direncanakannya kemiringan
melintang adalah untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang
terjadi pada kendaraan saat berada di tikungan. Besarnya
superelevasi maksimum yang digunakan pada saat jalan raya
dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :

1) Keadaan cuaca
Secara umum dengan cuaca buruk seperti sering
turun hujan, salju dan berkabut, superelevasi maksimum
lebih rendah dari pada daerah dengan cuaca yang baik.

2) Keadaan medan
Secara umum superelevasi maksimum pada medan
datar lebih tinggi dibandingkan daerah bukit dan
pegunungan. Hal ini disebutkan oleh faktor kerusakan
dalam membuat superelevasi maksimum yang rendah
untuk daerah tersebut, sehingga nantinya akan
menimbulkan kesan tidak nyaman bagi pengemudi dan
penumpang.

3) Keadaan lingkungan
Di dalam kota, kendaraan umunya bergerak dengan
kecepatan rendah karena itu, didesain superelevasi
maksimum yang lebih kecil dari pada daerah di luar kota.
4) Keadaan jenis kendaraan dan arus lalu lintas
Kebanyakan kendaraan berat dan kendaraan yang
ditarik oleh hewan serta kendaraan tak bermesin bergerak
lebih lambat. Oleh karena itu, pada kondisi jalan seperti
itu direncanakan superelevasi maksimum yang lebih
rendah.
27

Dengan adanya faktor-faktor yang membatasi seperti di atas, serta


timbulnya hal-hal tersebut yang tidak sama untuk semua tempat,
maka dengan demikian untuk setiap tempat dan Negara akan
terdapat nilai dan superelevasi maksimum yang berbeda-beda.
Untuk daerah yang licin akibat sering turun hujannya dan kabut,
sebaiknya digunakan emax 8 % dan untuk daerah perkotaan yang
rawan macet dianjurkan mengunakan e max 4 – 6 %, sedangkan
untuk daerah pertemuan beberapa jalur jalan (persimpangan)
sebaiknya digunakan superelevasi maksimum yang rendah bahkan
kalau bisa tanpa superelevasi. AASHTO menganjurkan untuk
memakai beberapa nilai superelevasi maksimum yaitu 4%, 6%,
8%, 10% dan 12%. Indonesia saat ini mengunakan besaran
superelevasi maksimum 8% dan 10%, Bina Marga menganjurkan
superelevasi maksimum 10% untuk kecepatan > 30 km/jam dan
8% untuk kecepatan < 30 km/jam sementara dalam kota
mengunakan superelevasi maksimum 6 %.

4. Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di
antara bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari-
jari tetap (R), yang berfungsi mengantisipasi perubahan
alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai
bagian lengkung jalan berjari-jari tetap (R), sehingga gaya
sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di
tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika
kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan
tikungan. Panjang lengkung peralihan (Ls) menurut Tata
Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997),
diambil nilai yang terbesar dari tiga persamaan di bawah ini :
1) Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk
melintasi lengkung peralihan, maka panjang lengkung :
Vr
Ls= T …………………………………..…….(2.31)
3.6
28

2) Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal, digunakan rumus


modifikasi Shortt, sebagai berikut :
Vr 3 V .e
Ls=0.022 −2.727 r ………………………(2.32)
R.C C
3) Berdasarkan tingkat perubahan kelandaian :
em −e n
Ls= V …………….…………………..........(2.33)
3.6 T e r
- Untuk Vr ≤ 70 km/jam, erenc = 0.030 m/m/det
- Untuk Vr ≥ 80 km/jam, erenc = 0.025 m/m/det
5. Gaya Gesek Melintang
Gaya gesek melintang (Fs) adalah besarnya gaya gesek
yang timbul antara ban (roda) dan permukaan jalan dan arah
melintang jalan. (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan
Antar Kota, 1997). Fungsi dari gaya gesek melintang sama
dengan fungsi superelevasi yaitu untuk mengimbangi gaya
sentrifugal yang dialami kendaraan saat berada di tikungan.
Perbandingan antar gaya gesek melintang dan gaya
normal yang bekerja disebut koefisien gesek melintang. Nilai
koefisien melintang dipengaruhi oleh faktor seperti jenis dan
kondisi ban, tekanan ban, kekerasan permukaan perkerasan,
kecepatan kendaraan, dan keadaan cuaca. Koefisien gesek
melintang maksimum akan timbul pada saat terjadinya selip
ban.
Perbedaan nilai yang diperoleh untuk satu nilai
kecepatan dapat disebutkan oleh perbedaan kekerasan
permukaan jalan, cuaca serta kondisi jenis ban. Nilai
koefisien gesekan melintang bukan disebabkan oleh nilai
maksimum yang terjadi tetapi ditetapkan berdasarkan
pertimbangan faktor keselamatan pengemudi. Berdasarkan
pengamatan, pada kendaraan dengan kecepatan rendah
diperoleh koefisien gesekan melintang yang tinggi dan
sebaliknya untuk kendaraan dengan kecepatan tinggi
diperoleh koefisien gesekan melintang yang rendah. Jadi
29

hubungan antara kecepatan (V) dengan koefisien gesek


melintang (Fs) adalah berbanding terbalik.
Berikut digambarkan bagaimana hubungan antara
koefisien gesekan melintang dengan kecepatan rencana.

Gambar 2.5 : Grafik Koefisien Gesekan Melintang Maksimum untuk emax


6%, 8%, 10% (Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara
Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota

6. Bentuk lengkungan Horizontal


Lengkungan horizontal adalah bagian jalan yang
melengkung yang dilihat secara tegak lurus pada bidang datar
peta (Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
1997). Bentuk jalan ini dibuat berdasarkan kondisi topografi
daerah setempat, secara umum ada tiga bentuk lengkungan
horizontal yaitu :
1) Lengkungan busur lingkaran sederhana (Full Circle).
2) Lengkungan busur lingkaran dengan lengkungan peralihan
(Spiral-Circle-Spiral).
30

3) Lengkungan peralihan (Spiral-spiral).


4) Batas yang diberikan oleh Bina Marga untuk nilai-nilai
dari bentuk lengkungan horizontal yakni Full Circle,
Spiral-Circle-Spiral, dan Spiral-Spiral adalah seperti Tabel
berikut :
31

Tabel 2.8 : Hubungan Antara Jari – jari dan Kecepatan Pada Tiap-tiap
Bentuk Kurva
(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota
Kecepatan
Spiral-Circle-
Rencana Fill Circle Spiral-Spiral
Spiral
(km/jam)

120 R > 2000 1500 < R < 2000 1100 < R < 1500
100 1500 < R < 2000 1100 < R < 1500 700 < R < 1100
80 1100 < R < 1500 700 < R < 1100 300 < R < 7000
60 700 < R < 1100 300 < R < 7000 180 < R < 300
40 300 < R < 7000 180 < R < 300 50 < R < 180
30 180 < R < 300 50 < R < 180 30 < R < 50

Suatu lengkungan horizontal dapat dibuat lengkungan


busur lingkaran sederhana jika mempunyai radius busur
lengkungan yang diperoleh superelevasi yang dibutuhkan
untuk jenis lengkungan ini adalah ≤ 3%. Pada tikungan yang
tajam dimana radius lengkungan kecil dan superelevasi yang
dibutuhkan besar, lengkungan yang berbentuk busur
lingkaran sederhana akan menimbulkan perubahan
kemiringan yang besar yang akan memberikan kesan patah
pada bagian luar perkerasan. Efek negatif tersebut bisa
dihilangkan dengan membuat lengkungan peralihan (Ls)
(Sukirman, 1999).
Syarat-syarat lengkungan Full Circle :
- Digunakan jika lengkungan besar, dimana superelevasi
yang dibutuhkan ≤ 3%
- Δc > 0
- Lc > 20 m
Adapun batasan-batasan yang digunakan pada perencanaan jalan
raya di Indonesia dengan menggunakan Full Circle pada alinyemen
horizontal adalah seperti Tabel 2.6 berikut :
32

Tabel 2.9 : Hubungan Dengan Kecepatan Rencana Dan Jari-Jari Lengkungan


Minimum (Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota
Kecepatan Rencana (Vr) Jari-Jari Lengkungan Minimum
120 2000

100 1500

80 1100

60 700

40 300

30 100

1) Lengkungan busur lingkaran sederhana (Full Circle)


PI
D
TC
Ec
Lc

TC CT
Rc

Rc

½D ½D

Gambar 2.6 : Lengkungan Full Circle (F-C)


(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997)Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota)

Persamaan yang digunakan :


Tc=R tan 1/2 ∆ ……………………..………………(2.34)
Ec=Tc tan 1/4 ∆ ………………………...…………..(2.35)
π
Lc= x ∆ R ………………………………..………..(2.36)
180
atau
Lc=0.01745 ∆ R ………………………………..........(2.37)

Dengan :
PI = Poin of interection (titik perpotongan)
33

Δ = Sudut tangen
Tc = Titik peralihan dari tangen
T = Jarak Tc ke PI
Lc = Panjang Busur lingkaran
R = Jari-jari busur lingkaran

2) Lengkungan busur lingkaran dengan lengkungan peralihan


(Spiral-Circle-Spiral)

PI
D
Es

Sc Cs

Rc
Rc ST
TS

qs
qs qs

Gambar 2.7 : Lengkungan Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)


(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997)Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota)
Persamaan yang digunakan :
Ls2
Xs=Ls( 1− ) ………………………........(2.38)
40 Rc2
Ls 2
Ys= ………………………………………...(2.39)
6R
90 Ls
θs= ……………………………..……….(2.40)
π Rc
θc=∆ ° −2θs …………………………............(2.41)
Ls2
P= −R( 1−cos θs) ……………………..(2.42)
6R
Ls3
k =Ls− −R sin θs ¿ ……………………(2.43)
40 R 2
34

Ts=( R+ p ) tan 1 /2 ∆+ k ……………….......(2.44)


Es=( R + p ) sec 1/2 ∆−R ………………......(2.45)
( ∆−2 θs)
Lc= x π x R ……………………………(2.46)
180
Ltot =Lc+ 2 Ls ' …………………………….......(2.47)
Dengan :

Xs = Absis titik SC pada garis tangen, jarak dari titik


TS ke SC (jarak lurus lengkungan peralihan)
Ys = Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis
tangen, jarak tegak lurus ke titik SC pada
lengkung.
Ls = Panjang lengkung peralihan (panjang dari titik
TS ke SC atau CS ke TS)
Lc = Panjang busur lingkaran (panjang dari titik SC
ke CS)
Ts = Panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke
titik ST
TS = Titik dari tangen ke spiral
SC = Titik dari spiral ke lingkaran
Es = Jarak dari PI ke busur lingkaran
θs = Sudut lengkung spiral
Rc = Jari-jari lingkaran
P = Pergeseran tangen terhadap spiral
k = Absis dari p pada garis tangen spiral

3) Lengkungan peralihan (Spiral-Spiral)


Menghitung dengan persamaan :
V3 V .e
Ls min=0.022 −2.727 ………………….(2.48)
RC C
C=Perubahan kecepatan(0,55 m/det 2 )
V
Ls= T waktu yang ditempuh pada lengkung peralihan
3,6
(3 detik)
35

Nilai dari kedua Ls di atas diambil yang terbesar


Ls 360
θs= ……………………………………….(2.49)
2 Rc 2 π
∆ c=∆−2θs ……………………………………..(2.50)
∆c
Ls= 2 πR ………………………………….......(2.51)
360
L=Lc +2 Ls …………………………………….(2.52)
Ls2
P= −Rc (1−cosθs ) ………………………..(2.53)
6 Rc
Ls3
K= Ls− −Rc sin θs ………………….......(2.54)
40 Rc 2
Ts=( R+ P ) tg 1 /2 ∆+ K ………………….…….(2.55)

Dengan :
Ts = Tangen spiral yaitu titik peralihan dari lurus ke
spiral Circle yaitu titik dari Spiral ke Circle
PI = Titik perpotongan dari kedua tangen
Ls = Panjang lengungan Circle (busur lingkaran)

Syarat penggunaan Spiral-Circle-Spiral :


- Δc > 0
- Lc > 20 m

Hal di atas dipengaruhi oleh besarnya sudut, jadi radius minimum


yang digunakan untuk perencanaan lengkung berbentuk S-C-S
sehubungan besarnya sudut, kecepatan rencana dan atas
superelevasi maksimum yang dipilih. Untuk peralihan horizontal
berbentuk Spiral-Spiral, lengkungannya adalah lengkung tanpa
lingkaran, sehinga titik SC berimpit dengan titik CS. Sehingga
dengan sendirinya panjang busur lingkaran Lc = 0 dan θs = ½Δ.
Untuk menghasilkan Ls yang lebih besar dari Ls yang
menghasilkan landau relatif minimum yang disyaratkan, maka
diusahakan memilih Rc yang besar dan tepat.
36

PI
D
Es

Sc Cs
ST

TS R R

qs qs

Gambar 2.8 : Lengkung Peralihan Spiral-Spiral (S-S)


(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan
Antar Kota)

Persamaan yang digunakan untuk menghitung data Kurva


(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota,
1997) :
θs=1/2 ∆ ……………………………….……….(2.56)
θs . π . Rc
Ls= ……………………………………..(2.57)
90
Ts=( Rc+ p ) tg 1/2 ∆+ K …………………........(2.58)
Es=( Rc + p ) sec 1/2 ∆−Rc ……………….…......(2.59)
Ls2
p= −Rc (1−cosθs)………………………..(2.60)
6 Rc
Ls3
K= Ls− −Rc sin θs ………………............(2.61)
40. Rc2

7. Diagram Superelevasi
37

Diagram superelevasi merupakan diagram yang


menggambarkan pencapaian superelevasi dari lereng normal
ke superelevasi penuh, sehingga dengan adanya diagram
superelevasi maka penampang melintang pada setiap titik
suatu lengkung horizontal dapat ditentukan. Dalam
menggambarkan diagram superelevasi, elevasi sumber jalan
diambil sebagai titik nol, tetapi perkerasan diberi tanda
negatif atau positif yang ditinjau dari ketinggian sumbu jalan,
tanpa positif (+) untuk perkerasan yang lebih tinggi dari
sumbu jalan dan negatif (-) untuk tepi perkerasan yang lebih
rendah dari sumbu jalan (Sukirman, 1999)
Diagram superelevasi yang menggunakan sumbu jalan
sebagai sumbu putar dan tidak bermedian, tidak
mempengaruhi perencanaan penampang memanjang jalan
yang bersangkutan. Lain halnya dengan jalan yang
menggunakan tepi dalam perkerasan sebagai sumbu putar.
Meskipun memberikan keuntungan untuk kebutuhan drainase
jalan tepi akan berubah kedudukan elevasi sumbu jalan yang
dilihat dari kondisi jalan lurus. Sementara untuk jalan dengan
tepi luar perkerasan sebagai sumbu putar, jarang digunakan
karena tidak memberikan keuntungan kecuali untuk
penyesuaian dengan kondisi medan. Dalam menggambarkan
diagram superelevasi, haruslah disesuaikan dengan bentuk
lengkung horizontal yang derencanakan. Hal ini bertujuan
untuk memberikan keserasian dalam perencanaan lengkung
horizontal.
Berikut ini akan digambarkan diagram superelevasi
untuk ketiga bentuk lengkung horizontal yang telah
dijelaskan sebelumnya.

1) Diagram Superelevasi Full Circle (FC)


TC CT
Lc
BAGIAN LURUS BAGIAN LURUS
¼ Ls ¼ Ls
¾ Ls Sisi Luar Tikungan ¾ Ls
+ e max

e = 0%

CL e = 0%

e normal e normal
en en en en

e = 0% - e max e = 0%
en en
Sisi Dalam Tikungan
en en

Ls Ls
38

Gambar 2.9 : Diagram Superelevasi Full Circle (F-C)


(Sumber : (Sukirman, 1999))
2) Diagram Superelevasi Spiral-Circle-Spiral

Gambar 2.10 : Digram Superelevasi Spiral-Circle-Spiral (S-C-S)


(Sumber :(Sukirman, 1999))

3) Diagram Superelevasi Spiral-Spiral


39

Gambar 2.11 : Diagram Superelevasi Spiral-Spiral (S-S)


(Sumber :(Sukirman, 1999))

Gambar 2.12 : Perubahan Kemiringan Melintang Tiga Dimensi


(Sumber : (Sukirman, 1999))

8. Jarak pandang
Jarak pandang adalah jarak yang diperlukan oleh
seorang pengemudi pada saat mengemudi, sehingga pada saat
pengemudi melihat halangan yang membahayakan,
pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari
bahaya tersebut dengan aman, jarak pandang dapat dibedakan
atas :
1) Jarak pandang henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang
diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan
kendaraan dengan aman saat melihat adanya halangan di
40

depan, jarak henti diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi


mata pengemudi adalah 150 cm dan tinggi halangan 150
cm diukur dari permukaan jalan Untuk memperhitungkan
jarak pandang henti (Jh) (Sukirman, 1999), maka
digunakan persamaan :
Untuk jalan datar :
d1 = 0.278.Vr.T…………………………………....(2.62)
41

Untuk jalan landai (tanjakan/turunan) :


Vr 2
d 2= ……………………………………...(2.63)
254 f max
Maka jarak pandang henti (Jh) digunakan persamaan :
d = d1 + d2………………disederhanakan
Vr2
d=0.278V r T + ………………………..(2.64)
254 f max
Dengan :
Vr = Kecepatan rencana (km/jam)
d = Jarak pandang henti
d1 = Jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak
rem
d2 = Jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah
menginjak rem
T = Waktu reaksi, ditetapkan 3 detik
L = Kelandaian jalan
g = Perencanaan grafitasi (9.8 m/det2)
fmax = Koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal
(0.35-0.55)

Tabel 2.10 : Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum


(Sumber :(Sukirman, 1999))

Vr (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jh Minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

2) Jarak pandang mendahului (Jd)


Jarak pandang mendahului adalah jarak yang
memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan
lain di depannya dengan aman sampai kendaraan kembali
ke jalur semula, jarak pandang mendahului diukur
berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah
150 cm dan tinggi halangan adalah 150 cm.
42

Gambar 2.13 : Jarak Pandang Mendahului


(Sumber :(Sukirman, 1999))

Jarak pandang mendahului dapat dihitung dengan


persamaan (Sukirman, 1999) sebagai berikut :
d = d1 + d2 + d3 + d4……………………………(2.65)
Dimana :
a . t1
d 1=0.278. t 1(V r−m+ ) ………………….(2.66)
2
d 2=0.278. V r . t 2………………………………(2.67)
d 3=Diambil antara30 m sampai dengan100 m
d 4 =2/3 . d 2……………………….…………...(2.68)
Dengan :
Vr = Kecepatan rata-rata kendaraan yang
mendahului, dianggap sama dengan kecepatan
rencana (km/jam)
a = Percepatan rata-rata yang besarnya tergantung
dari kecepatan rata-rata kendaraan yang
mendahului yang dapat ditentukan dengan
43

mempergunakan korelasi, a = 2.052 + 0.0036


(km/jam/det)
d = Jarak pandang mendahului (m)
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh
kendaraan yang hendak mendahului dan
membawa kendaraannya yang hendak
membelok ke lajur kanan (m)
d2 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang
mendahului selama berada pada lajur sebelah
kanan (m)
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kendaraan
yang mendahului dengan kendaraan yang
berlawanan arah setelah gerakan mendahului
dilakukan (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang
berlawanan arah selama 2/3 dari waktu yang
diperlukan oleh kendaraan yang mendahului dan
berada pada lajur sebelah kanan (m)
t1 = Waktu reaksi, tergantung pada kecepatan dan
dapat ditentukan dengan korelasi t1 = 2.12 +
0.026 Vr
t2 = Waktu dimana kendaraan mendahului berada
pada lajur kanan, t2 = 6.56 + 0.048 Vr
m = Perbedaan kecepatan antara kendaraan yang
mendahului dan yang didahului = 15 km/jam

Tabel 2.11 : Jarak Pandang Mendahului


(Sumber :(Hendarsin, L, 2000))
Vr (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh (m) 800 670 550 350 250 200 150 100

3) Daerah kebebasan sampai pada tikungan


44

Kebebasan samping pada tikungan merupakan salah


satu syarat yang paling penting sehingga dengan
keamanan bagi pengguna jalan. (Hendarsin, L, 2000).
Kebebasan samping pada tikungan terdapat dua kasus
yaitu :
- Untuk kasus (Sd > Lc), dapat menggunakan persamaan
berikut :
90 ° . Lc 90 ° . Lc
(
m=R' 1−cos
π .R )+ 1/2 ( S−Lc ) sin
π .R'
.(2.69)

- Untuk kasus (Sh < Lc), dapat mengunakan persamaan


berikut :
R’ = R - ¼ Lebar jalan (m)………………..…......(2.70)
90 ° . Lc
(
m=R' 1−cos
π .R )…..………………………...(2.71)

S=0.27 .V r .t ……………….………………….......
(2.72)
Dengan :
Vr = Kecepatan rencana (km/jam)
R = Jari-jari tikungan (m)
R’ = Jari-jari sumbu jalur dalam (m)
Lc = Panjang lengkung busur (m)
Sh = Jarak pandang henti (m)
Sd = Jarak pandang mendahului (m)
m = Kebebasan samping pada tikungan (m)

2.6.2 Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah perencanaan elevasi sumbu
jalan pada setiap titik yang ditinjau, berupa profil memanjang.
Pada perencanaan alinyemen vertikal akan ditemui kelandaian
positif (tanjakan) dan kelandaian negativ (turunan), sehingga
kombinasinya berupa lengkung cembung dan lengkung cekung.
Disamping kedua lengkung tersebut ditemui pula kelandaian = 0
(datar). Kondisi tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi
45

yang dilalui oleh rute jalan rencana. Kondisi topografi tidak saja
berpengaruh pada perencanaan alinyemen horizontal, tetapi juga
mempengaruhi perencanaan alinyemen vertikal (Hendarsin, L,
2000)
1. Bentuk Lengkung Vertikal
Lengkungan vertikal pada jalan raya merupakan
lengkungan yang dipakai untuk mengadakan peralihan secara
berangsur-angsur dari satu landai ke landai berikutnya.
Lengkung vertikal disebut cembung apabila titik potong
antara kedua tangen yang bersangkutan (PVI) ada di atas
permukaan jalan, dan disebut cekung apabila titik
perpotongan (PVI) ada dipermukaan jalan. Pada lengkung
vertikal, digunakan lengkung parabola sederhana simetris
karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1) Volume pekerjaan tanah
2) Panjang jarak pandang yang dapat diperoleh pada setiap
titik pada lengkung vertikal.

Gambar 2.14 : Jenis – Jenis Lengkung Vertikal


(Sumber :(Sukirman, 1999))

2. Lengkung Vertikal Cembung


46

Gambar 2.15 : Lengkung Vertikal Cembung


(Sumber :(Sukirman, 1999))
Persamaan yang digunakan :
A = g2 – gl…………………………………………….(2.73)
A Lv
Ev = ……………………………………................(2.74)
800
A
Yi = ( )
1 Ev………………………………................(2.75)
Lv

A .X2
Y = ……………………………………………..(2.76)
200 L v
Dengan :
PLV = Titik awal lengkung cembung
PPV = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
PTV = Titik akhir lengkung cembung
A = Perbedaan aljabar landau
Ev = Pergeseran vertikal titik tengah busur lengkungan
Lv = Panjang lengkung vertikal dihitung secara horizontal
L = Jarak antara PPV
Xi = Jarak horizontal titik i
Yi = Pergeseran vertikal titik i
I = Titik pada lengkungan

3. Lengkung Vertikal Cekung

Gambar 2.16 : Lengkung Vertikal Cekung


47

(Sumber :(Sukirman, 1999))

Persamaan yang digunakan :


A Lv
E v= …….…………………………………..…..
800
(2.77)
A=g 2−g 1………….............................................(2.78)
A
Yi=
()
1
Ls
Ev
………………………………...…….(2.79)

A . X2
Y= E ……………………………………..(2.80)
200 Lv v
Dengan :
PLV = Titik awal lengkung cembung
PPV = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
PTV = Titik akhir lengkung cekung
A = Perbedaan aljabar landai
Ev = Pergeseran vertikal titik tengah busur
lengkung
Lv = Panjang lengkung vertikal dihitung secara
horizontal
L = Jarak antara PPV
Xi = Jarak horizontal titik i
Yi = Pergeseran vertikal titik i
I = Titik pada lengkungan

4. Lengkung Vertikal Parabola


48

Gambar 2.17 : Lengkung Vertikal Parabola


(Sumber :(Sukirman, 1999))

Titik A merupakan titik peralihan dari bagian tangen ke


bagian lengkung vertikal yang diberi simbol PLV. Titik B
merupakan titik peralihan dari bagian lengkung vertikal ke
bagian lengkung tangen dan diberi simbol PTV, titik PPV
adalah titik perpotongan antara kedua bagian tangen.
Letak titik-titik pada lengkung vertikal dinyatakan dengan
X dan Y terhadap sumbu koordinat yang melalui titik A.

5. Kelandaian
Untuk menghitung dan merencanakan lengkung
vertikal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

1) Karekteristik kendaraan pada kelandaian


Hampir seluruh kendaraan penumpang dapat
berjalan baik dengan kelandaian 7 – 8% tanpa ada
perbedaan dibandingkan pada bagian datar. Pengamatan
menunjukan bahwa untuk mobil penumpang pada
kelandaian 3% hanya sedikit pengaruhnya dibandingkan
dengan jalan datar, sedangkan untuk truk kelandaian akan
lebih besar pengaruhnya.

2) Kelandaian maksimum
Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk
berbagai variasi kecepatan rencana, dimaksudkan agar
kendaraan dapat bergerak lurus tanpa kehilangan
49

kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan


pada kecepatan truk yang bermuatan penuh mampu
bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh
kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.
50

Tabel 2.12 : Kelandaian Maksimum Yang Diizinkan


(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota

Vr (km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40

Kelandaian Maksimum 3 3 4 5 8 9 10 10

3) Kelandaian minimum
Pada jalan yang mengunakan kereb pada tepi
perkerasannya, perlu dibuat kelandaian minimum 0.5%
untuk keperluan kemiringan saluran samping, karena
kemiringan melintang jalan dengan kereb hanya cukup
untuk mengalirkan air ke samping.
4) Panjang kritis suatu kelandaian
Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan
panjang kelandaian maksimum agar pengurangan
kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh kecepatan
rencana (Vr). (Hendarsin, L, 2000)

Tabel 2.13 : Panjang Kritis (m)


(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota

Kecepatan Pada Awal Tanjakan Kelandaian (%)

(km/jam) 4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 630 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

Pada jalan-jalan berlandai dan volume yang tinggi,


seringkali kendaraan-kendaraan berat yang bergerak
dengan kecepatan di bawah kecepatan rencana menjadi
penghalang kendaraan lain yang bergerak dengan
kecepatan sekitar kecepatan rencana. Untuk menghindari
51

hal tersebut perlu dibuatkan lajur pendakian. Sehingga


kendaraan lain dapat mendahului kendaraan yang lebih
lambat.

Tabel 2.14 : Panjang kritis untuk kelandaian yang melebihi kelandaian


maksimum standar (Sumber :(Sukirman, 1999))
Kecepatan Rencana (Km/Jam)

80 60 50 40 30 20
5% 500 m 6% 500 m 7% 500 m 8% 420 m 9% 340 m 10% 250 m
6% 500 m 7% 500 m 8% 420 m 9% 340 m 10% 250 m 11% 250 m
7% 500 m 8% 420 m 9% 340 m 10% 250 m 11% 250 m 12% 250 m
8% 420 m 9% 340 m 10% 250 m 11% 250 m 12% 250 m 13% 250 m

6. Lajur Pendakian Pada Kelandaian Khusus


Pada jalur jalan dengan rencana volume lalu-lintas yang
tinggi terutama untuk tipe 2/2 TB, maka kendaraan berat
akan berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan di
bawah Vr, sedangkan kendaraan lain masih dapat bergerak
dengan Vr, sebaiknya dipertimbangkan untuk diberikan lajur
tambahan pada bagian kiri dengan ketentuan untuk jalan baru
menurut MKJI didasarkan pada BSH (Biaya Siklus Hidup).
Penentuan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut :
1) Berdasarkan MKJI (Manual Kapasitas Jalan
Indonesia,1997) :
a. Penentuan lokasi lajur pendakian harus dapat
dibenarkan secara ekonomis yang dibuat berdasarkan
analisis BSH, sebagaimana ditampilkan pada tabel
dibawah ini :
52

Tabel 2.15 : Lajur Pendakian Pada Kelandaian Khusus Jalan Luar Kota (2/2
TB) Usia Rencana 23 Tahun
(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota)

Ambang Arus Lalu-Lintas (kend/jam) Tahun 1,


Jam Puncak
Panjang
Kelandaian
3% 5% 7%
0.5 km 500 400 300
≥ km 325 300 300

Gambar 2.18 : Lajur Pendakian Tipikal


(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota)
53

Gambar 2.19 : Lajur Pendakian Tipikal


(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan
Antar Kota)

2) Berdasarkan TPGJAK ((Departemen, Pekerjaan, 1997)


Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota).
a. Disediakan pada jalan arteri atau kolektor. Apabila
panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR >
15.000 smp/hari, dan presentasi truk >15%.
b. Lebar lajur pendakian sama dengan lebar rencana
c. Lajur pendakian dimulai dari 30 meter dan berakhir
pada 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan
serong sepanjang 45 meter. (lihat gambar 2.18).
d. Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1.5 km
(lihat gambar 2.19)

2.7 Pekerjaan Galian dan Timbunan Tanah


Pekerjaan galian dan timbunan tanah dilakukan apabila alinyemen
vertikal dan horizontal, dan penomoran stasiun telah pasti. Paling sederhana
pada pekerjaan galian dan timbunan tanah adalah apabila jumlah bahan
untuk penimbunan diambil seluruhnya dari daerah galian, pada jalur proyek
yang sama tanpa kekurangan dan kelebihan atau dibuang.
54

2.7.1 Kurva Diagram Massa


Diagram massa adalah kurva yang penggambaran
pemindahan tanah (Baul), pada suatu penampang melintang,
diatas atau dibawah profil jalan, mulai dari suatu stasion tertentu
sampai stasion berikutnya (Saodang, 2004):

Gambar 2.20 : Kurva Diagram Massa


(Sumber : (Saodang, 2004))

Pada absis ditentukan posisi stasion dan pada ordinat


adalah volume tanah. Skala absisi diagram massa, dibuat sama
dengan skala horizontal profil memanjang jalan.
Sebelum menggambarkan diagram massa, lebih mudah
jika dibuat dulu kuantitas galian (+), dan timbunan (-), skala dari
ordinat disesuaikan dengan volume tanah dalam m 3, untuk
diketahui :
1. Ordinat tiap titik pada diagram massa, adalah menyatakan
jumlah volume galian/timbunan titik tersebut.
2. Lengkungan o – a – b (gambar profil) adalah galian,
diindikasikan sebagai lengkung naik O – A – B (lihat gambar
2.20), sebaliknya lengkung b – c – d – e (profil) adalah
timbunan, dikorelasikan ke B – C – D – E (massa) sebagai
lengkung turun. Demikian pula galian e – f – g – h lengkung
naik E – F – G – H.
55

3. Titik b (profil), adalah peralihan dari galian ke timbunan pada


diagram massa, akan merupakan puncak lengkungan,
sebaliknya titik e (profil) yang merupakan peralihan
timbunan ke galian pada diagram massa berkorelasi dengan
titik terendah E.
4. Perbedaan tinggi antara dua posisi vertikal pada diagram
massa (FF – GG) adalah jumlah volume tanah yang
dipindahkan.
5. Antara dua stasion sembarang, seperti “X-C” pada diagram
massa akan merupakan garis keseimbangan (balance-line),
yaitu galian dan timbunan pada gambar profil akan
memberikan harga yang sama.
6. Pada lengkungan cembung pada diagram, menunjukan “haul”
maju pada profil dan lengkungan cekung merupakan “haul”
mundur.

2.7.2 Kubikasi
Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan
penggalian yang harus diperhitungkan sehingga efisien dan
ekonomis. Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang
dengan metode geometric, maka masing-masing bagian dibagi-
bagi luasnya sehingga menjadi bentuk sederhana. Dari
perhitungan tersebut dapat diketahui luas timbunan dan luas
galian.

Gambar 2.21 : Potongan Penampang Melintang Jalan Pada Kemiringan Lereng


(Sumber : (Saodang, 2004))
56

Gambar 2.22 : Potongan Penampang Melintang Jalan Pada Daerah Datar (Sumber :
(Saodang, 2004))

Persamaan rumus yang dipergunakan di bawah ini :


a+b
Luas Trapesium : A= .t …………..........................(2.81)
2
1
Luas segi tiga : A= a .t …………..……………..(2.82)
2
Luas segi empat : A = b.t……………………………….(2.83)

Dengan :
A = Luas (m2)
a = Lebar penampang atas (m)
b = Lebar penampang bawah (m)
t = Tinggi penampang (m)

Potongan melintang jalan dipotong dengan jarak 25 m, dan pada


tikungan (F-C) pada titik TC dan CT pada tikungan (S-C-S) pada titik
TS, SC, CS dan ST.
Dalam bentuk trase jalan di daerah timbunan dapat dilihat pada
penampang berikut :
57

Gambar 2.23 : Potongan Penampang Melintang Jalan Pada Timbunan Dalam


Bentuk Tiga Dimensi (Sumber : (Saodang, 2004))
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Bagan Alir Penelitian

Mulai

Permasalahan

Studi Literatur

Pengumpulan Data

DATA SEKUNDER :
DATA PRIMER :
Kelas Jalan
Kontur
Peta
Panjang & Lebar Jalan

Analisa Data

No
Penetapan
Alinyemen

Yes

Penggambaran

Selesai

Gambar 3.1 : Bagan Alir Penelitian

53
54

3.2 Waktu
Waktu penelitian dilakukan setelah judul diajukan dan disetujui.
Penelitian di lapangan berlangsung selama satu minggu, untuk pengolahan
data pengukuran dilakukan selama satu minggu, dan proses penulisan
dilakukan selama enam bulan.

3.3 Lokasi
Lokasi penelitian terletak di Desa Durjela, Kecamatan Pulau-Pulau
Aru, Pulau Wamar Kabupaten Kepulauan Aru.

Ruas Jalan
Sp. Depnaker - Durjela

`
Lokasi
Penelitian

Gambar 3.1 : Peta Lokasi Penelitian


Sumber, Google Earth
55

3.4 Alat dan Bahan


Peralatan dan bahan yang dipakai untuk melakukan proses
pengukuran hingga penggambaran pada penulisan ini yaitu :

1. Alat
a. Pesawat ukur Theodolite
Digunakan untuk melakukan pengukuran yang menghasilkan
koordinat, elevasi permukaan tanah dan jarak antar titik
pengukuran.
b. Rambu ukur
Digunakan untuk membantu pesawat ukur Theodolite dalam
memberikan hasil bacaan benang, koordinat titik, dan elevasi
permukaan tanah.
c. Meter roll (100 m)
Digunakan untuk mengukur jarak antar patok STA existing pada
tiap 25 m.
d. Meter pinggang (5 m)
Digunakan untuk mengukur tinggi pesawat ukur terhadap
permukaan tanah.
e. GPS
Digunakan untuk mengambil koordinat global bumi pada titik
(STA) awal pengukuran.
f. Kompas
Digunakan untuk mencari arah utara terhadap ruas jalan yang
diukur.
g. Kamera
Digunakan untuk pengambilan dokumentasi selama proses
pengukuran dilapangan.
h. Alat tulis
Alat tulis yang digunakan berupa pena, formulir survey, papan
oles
i. Laptop
56

Digunakan untuk membantu pengolahan data pengukuran dengan


mengunakan perangkat lunak Microsoft Excel dan Autocad Civil 3D
2014 untuk penggambaran hasil perencanaan.
j. Patok BM (Bench Mark)
Digunakan sebagai titik kontrol STA pada saat pengukuran.

2. Bahan
a. Kertas
Digunakan sebagai formulir survey untuk mencatat bacaan
benang dari pesawat ukur dan sketsa lokasi pengukuran.
b. Pilox
Digunakan untuk menandai setiap patok STA dengan jarak
setiap 25 m dengan mengunakan warna kuning.
c. Pipa paralon
Digunakan untuk pembuatan patok BM (Bench Mark).
d. Baterai
Digunakan untuk memfungsikan pesawat ukur, kamera digital,
dan GPS.

3.5 Peubah yang diamati atau diukur


Nilai yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menghasilkan
geometrik jalan yang dapat memberikan keselamatan, kelancaran, dan
kenyamanan bagi pengguna jalan, berdasarkan perencanaan Alinyemen
Horisontal (pers 2.34 sampai dengan 2.61) dan Vertikal (pers 2.73 sampai
dengan 2.80)

3.6 Cara Pengambilan Data


Pengambilan data yang dilakukan dengan cara :
1. Pemasangan patok BM (Bench Mark) sebagai titik kontrol STA
terhadap panjang jalan untuk setiap satu kilometer.
2. Mengukur jalan dengan menggunakan meter roll atau Total Station
atau Theodolite untuk mengetahui panjang jalan (STA) existing.
57

3. Melakukan pengukuran dengan mengunakan pesawat ukur


(Theodolite) untuk mengetahui beda tinggi (elevasi) permukaan
tanah asli (existing), jarak antara patok (STA), dan bentuk trase
awal (existing), dan menggunakan GPS untuk mengetahui
koordinat bumi pada lokasi penelitian.

3.7 Langkah Analisis Data


Agar lebih dimengerti dan dipahami, penulis memberikan langkah - langkah
dalam menganalisis data sebagai berikut :
1. Mengumpulkan data – data primer (Kontur, Panjang dan Lebar
Jalan) dan data – data sekunder (Kelas Jalan dan Peta).
2. Pengolahan data pengukuran berdasarkan Metode Tachimetri
menurut teori Shirley L. Hendarsin yang diterbitkan pada tahun
2000, untuk mendapatkan nilai X, Y, Z dan diolah dengan
menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel.
3. Pengambaran Kontur mengunakan Software Autocad Civil 3D
2014
4. Menentukan trase rencana berdasarkan trase existing.
5. Perhitungan alinyemen horizontal dan vertikal.
6. Perhitungan volume timbunan dan galian tanah berdasarkan
gambar profil melintang (Cross Section) dengan menggunakan
Software Autocad Civil 3D 2014.
LAMPIRAN

L-1. FOTO DOKUMENTASI

58
59

KONDISI EXISTING STA 00 + 000


AWAL
60
61

KONDISI EXISTING STA 03 + 325


AKHIR

Anda mungkin juga menyukai