Disusun oleh :
Nama : RAYMOND LASATIRA
NPM : 12122201190040
1
2
4
5
tersebut, secara umum dapat dilihat dalam Tabel 1; (sesuai pasal 11,
Peraturan Pemerintah RI No. (PP RI NO. 43, 1993).
Tabel 2.1 : Klasifikasi jalan secara umum menurut kelas, fungsi, dimensi
kendaraan maksimum dan muatan sumbu terberat ( MST )
Sumber : (Badan Standarisasi Nasional Indonesia, 2004)
Dimensi kendaraan
maksimum Muatan Sumbu
Kelas Jalan Fungsi Jalan
Terberat (ton)
Panjang (m) Lebar (m)
I 18 2,5 ˃ 10
II Arteri 18 2,5 10
III A 18 2,5 8
III A 18 2,5 8
Kolektor
III B 12 2,5 8
III C Lokal 9 2,1 8
Tabel 2.2 : Klasifikasi menurut medan jalan. Sumber : Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota (Departemen, Pekerjaan, 1997)
3 Pegunungan G > 25
2.1.4 Klasifikasi Jalan Menurut Wewenang Pembinaan
Klasifikasi jalan menurut wewenang pembinaannya sesuai
PP. No.26/1985 adalah :
1. Jalan Nasional yang meliputi :
a. Jalan Arteri Primer;
b. Jalan Kolektor Primer yang menghubungkan antar ibu
kota propinsi;
c. Jalan selain dari pada yang termasuk dalam huruf a dan
huruf b, yang mempunyai nilai strategis terhadap
kepentingan nasional.
3. Median (M)
Daerah yang memisahkan arah lalu-lintas pada suatu segmen
jalan, yang terletak pada bagian tengah
(direndahkan/ditinggikan)
2. Patok kayu
Patok kayu dipasang untuk titik-titik kontrol sekunder
(patok bantu) pada pengukuran polygon maupun daerah datar
sekunder pada pengukuran topografi. Sifat patok ini tidak
tetap dan harus diberi nomor urut dan warna yang sesuai
dengan ketentuan dengan jarak 1 km dikiri dan kanan jalan.
12
Dh
b
DH
TA
2. Sudut X dan Y
ΔX = sin Δ x (π / 180) x DH………………….....……...(2.7)
ΔY = cos Δ x (π / 180) x DH…………………...……….(2.8)
3. Sudut azimuth
α = SH + α X + awal + 180 – 3600……………..……….(2.9)
α awal = º + ‘ / 60 + “ / 3600………………………….(2.10)
SH = º + ‘ / 60 + “ / 3600……..………………………..(2.11)
Dengan :
DH = Jarak datar
SH = Sudut horizontal
α = Sudut azimuth
ΔX = Sudut X
ΔY = Sudut Y
º = Derajat
‘ = Menit
“ = Detik
15
Dengan :
ΔPI = Sudut putar (m)
XA, YA = Koordinat dari titik A (m)
XPI, YPI = Koordinat dari titik PI (m)
XB, YB = Koordinat dari titik C (m)
Dengan persamaan di atas, dapat diketahui DA-PI antara titik A dan
titik PI, dari sudut jurusan satu garis menghubungkan titik A dan titik PI
juga titik B.
Dengan :
G = Berat kendaraan
g = Gaya grafitasi bumi
V = Kecepatan kendaraan
R = Jari-jari lengkung lintasan
Fs = Koefisien gesek ban dengan permukaan jalan
G sin α = Arah komponen kendaraan
G V2
G e+ f =
( ) (1−ef ) ………….……..……………..(2.21)
g R
e+ f V2
= …………………………………….....….……..
1−ef gR
(2.22)
Karena nilai ef kecil, maka diabaikan, dengan demikian
diperoleh persamaan untuk lengkung horizontal sebagai berikut :
V2
e +f = ………………………………..…....................(2.23)
gR
Jika V dinyatakan dalam km/jam, g = 9.8 m/det 2, dan R dalam
m, maka diperoleh :
V2
e +f = ..…………………………………….….......(2.24)
127 R
Dengan :
e = Superelevasi (%)
f = Koefisien gesek melintang
V = Kecepatan kendaraan (Km/jam)
R = Jari-jari lingkaran (m)
Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan Geometrik
Jalan Antar Kota, 1997
25m
25
Ini berarti : D= 360 °
2 πR
R 1432,39
D= ……...(2.25)
R
R dalam meter
D°
21
e max . D D
e=
D max[ 2−
Dmax ]
……………………..…..…….......(2.27)
Dengan :
e = Superelevasi (%)
emax = Superelevasi maksimum (%)
Do = Derajat kelengkungan
Dmax = Derajat kelengkungan maksimum
1. Kecepatan Rencana
22
120 3000
100 2300
80 1600
60 1000
50 660
40 420
30 240
suatu jalan, tetapi boleh saja jika kurang dari yang telah
ditetapkan.
Adapun maksud dari direncanakannya kemiringan
melintang adalah untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang
terjadi pada kendaraan saat berada di tikungan. Besarnya
superelevasi maksimum yang digunakan pada saat jalan raya
dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :
1) Keadaan cuaca
Secara umum dengan cuaca buruk seperti sering
turun hujan, salju dan berkabut, superelevasi maksimum
lebih rendah dari pada daerah dengan cuaca yang baik.
2) Keadaan medan
Secara umum superelevasi maksimum pada medan
datar lebih tinggi dibandingkan daerah bukit dan
pegunungan. Hal ini disebutkan oleh faktor kerusakan
dalam membuat superelevasi maksimum yang rendah
untuk daerah tersebut, sehingga nantinya akan
menimbulkan kesan tidak nyaman bagi pengemudi dan
penumpang.
3) Keadaan lingkungan
Di dalam kota, kendaraan umunya bergerak dengan
kecepatan rendah karena itu, didesain superelevasi
maksimum yang lebih kecil dari pada daerah di luar kota.
4) Keadaan jenis kendaraan dan arus lalu lintas
Kebanyakan kendaraan berat dan kendaraan yang
ditarik oleh hewan serta kendaraan tak bermesin bergerak
lebih lambat. Oleh karena itu, pada kondisi jalan seperti
itu direncanakan superelevasi maksimum yang lebih
rendah.
27
4. Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di
antara bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari-
jari tetap (R), yang berfungsi mengantisipasi perubahan
alinyemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga) sampai
bagian lengkung jalan berjari-jari tetap (R), sehingga gaya
sentrifugal yang bekerja pada kendaraan saat berjalan di
tikungan berubah secara berangsur-angsur, baik ketika
kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan
tikungan. Panjang lengkung peralihan (Ls) menurut Tata
Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997),
diambil nilai yang terbesar dari tiga persamaan di bawah ini :
1) Berdasarkan waktu tempuh maksimum (3 detik), untuk
melintasi lengkung peralihan, maka panjang lengkung :
Vr
Ls= T …………………………………..…….(2.31)
3.6
28
Tabel 2.8 : Hubungan Antara Jari – jari dan Kecepatan Pada Tiap-tiap
Bentuk Kurva
(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota
Kecepatan
Spiral-Circle-
Rencana Fill Circle Spiral-Spiral
Spiral
(km/jam)
120 R > 2000 1500 < R < 2000 1100 < R < 1500
100 1500 < R < 2000 1100 < R < 1500 700 < R < 1100
80 1100 < R < 1500 700 < R < 1100 300 < R < 7000
60 700 < R < 1100 300 < R < 7000 180 < R < 300
40 300 < R < 7000 180 < R < 300 50 < R < 180
30 180 < R < 300 50 < R < 180 30 < R < 50
100 1500
80 1100
60 700
40 300
30 100
TC CT
Rc
Rc
½D ½D
Dengan :
PI = Poin of interection (titik perpotongan)
33
Δ = Sudut tangen
Tc = Titik peralihan dari tangen
T = Jarak Tc ke PI
Lc = Panjang Busur lingkaran
R = Jari-jari busur lingkaran
PI
D
Es
Sc Cs
Rc
Rc ST
TS
qs
qs qs
Dengan :
Ts = Tangen spiral yaitu titik peralihan dari lurus ke
spiral Circle yaitu titik dari Spiral ke Circle
PI = Titik perpotongan dari kedua tangen
Ls = Panjang lengungan Circle (busur lingkaran)
PI
D
Es
Sc Cs
ST
TS R R
qs qs
7. Diagram Superelevasi
37
e = 0%
CL e = 0%
e normal e normal
en en en en
e = 0% - e max e = 0%
en en
Sisi Dalam Tikungan
en en
Ls Ls
38
8. Jarak pandang
Jarak pandang adalah jarak yang diperlukan oleh
seorang pengemudi pada saat mengemudi, sehingga pada saat
pengemudi melihat halangan yang membahayakan,
pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari
bahaya tersebut dengan aman, jarak pandang dapat dibedakan
atas :
1) Jarak pandang henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah jarak minimum yang
diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan
kendaraan dengan aman saat melihat adanya halangan di
40
S=0.27 .V r .t ……………….………………….......
(2.72)
Dengan :
Vr = Kecepatan rencana (km/jam)
R = Jari-jari tikungan (m)
R’ = Jari-jari sumbu jalur dalam (m)
Lc = Panjang lengkung busur (m)
Sh = Jarak pandang henti (m)
Sd = Jarak pandang mendahului (m)
m = Kebebasan samping pada tikungan (m)
yang dilalui oleh rute jalan rencana. Kondisi topografi tidak saja
berpengaruh pada perencanaan alinyemen horizontal, tetapi juga
mempengaruhi perencanaan alinyemen vertikal (Hendarsin, L,
2000)
1. Bentuk Lengkung Vertikal
Lengkungan vertikal pada jalan raya merupakan
lengkungan yang dipakai untuk mengadakan peralihan secara
berangsur-angsur dari satu landai ke landai berikutnya.
Lengkung vertikal disebut cembung apabila titik potong
antara kedua tangen yang bersangkutan (PVI) ada di atas
permukaan jalan, dan disebut cekung apabila titik
perpotongan (PVI) ada dipermukaan jalan. Pada lengkung
vertikal, digunakan lengkung parabola sederhana simetris
karena pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1) Volume pekerjaan tanah
2) Panjang jarak pandang yang dapat diperoleh pada setiap
titik pada lengkung vertikal.
A .X2
Y = ……………………………………………..(2.76)
200 L v
Dengan :
PLV = Titik awal lengkung cembung
PPV = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
PTV = Titik akhir lengkung cembung
A = Perbedaan aljabar landau
Ev = Pergeseran vertikal titik tengah busur lengkungan
Lv = Panjang lengkung vertikal dihitung secara horizontal
L = Jarak antara PPV
Xi = Jarak horizontal titik i
Yi = Pergeseran vertikal titik i
I = Titik pada lengkungan
A . X2
Y= E ……………………………………..(2.80)
200 Lv v
Dengan :
PLV = Titik awal lengkung cembung
PPV = Titik perpotongan kelandaian g1 dan g2
PTV = Titik akhir lengkung cekung
A = Perbedaan aljabar landai
Ev = Pergeseran vertikal titik tengah busur
lengkung
Lv = Panjang lengkung vertikal dihitung secara
horizontal
L = Jarak antara PPV
Xi = Jarak horizontal titik i
Yi = Pergeseran vertikal titik i
I = Titik pada lengkungan
5. Kelandaian
Untuk menghitung dan merencanakan lengkung
vertikal, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
2) Kelandaian maksimum
Kelandaian maksimum yang ditentukan untuk
berbagai variasi kecepatan rencana, dimaksudkan agar
kendaraan dapat bergerak lurus tanpa kehilangan
49
Kelandaian Maksimum 3 3 4 5 8 9 10 10
3) Kelandaian minimum
Pada jalan yang mengunakan kereb pada tepi
perkerasannya, perlu dibuat kelandaian minimum 0.5%
untuk keperluan kemiringan saluran samping, karena
kemiringan melintang jalan dengan kereb hanya cukup
untuk mengalirkan air ke samping.
4) Panjang kritis suatu kelandaian
Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan
panjang kelandaian maksimum agar pengurangan
kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh kecepatan
rencana (Vr). (Hendarsin, L, 2000)
(km/jam) 4 5 6 7 8 9 10
80 60 50 40 30 20
5% 500 m 6% 500 m 7% 500 m 8% 420 m 9% 340 m 10% 250 m
6% 500 m 7% 500 m 8% 420 m 9% 340 m 10% 250 m 11% 250 m
7% 500 m 8% 420 m 9% 340 m 10% 250 m 11% 250 m 12% 250 m
8% 420 m 9% 340 m 10% 250 m 11% 250 m 12% 250 m 13% 250 m
Tabel 2.15 : Lajur Pendakian Pada Kelandaian Khusus Jalan Luar Kota (2/2
TB) Usia Rencana 23 Tahun
(Sumber : (Departemen, Pekerjaan, 1997) Tata Cara Perencanaan
Geometrik Jalan Antar Kota)
2.7.2 Kubikasi
Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan
penggalian yang harus diperhitungkan sehingga efisien dan
ekonomis. Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang
dengan metode geometric, maka masing-masing bagian dibagi-
bagi luasnya sehingga menjadi bentuk sederhana. Dari
perhitungan tersebut dapat diketahui luas timbunan dan luas
galian.
Gambar 2.22 : Potongan Penampang Melintang Jalan Pada Daerah Datar (Sumber :
(Saodang, 2004))
Dengan :
A = Luas (m2)
a = Lebar penampang atas (m)
b = Lebar penampang bawah (m)
t = Tinggi penampang (m)
Mulai
Permasalahan
Studi Literatur
Pengumpulan Data
DATA SEKUNDER :
DATA PRIMER :
Kelas Jalan
Kontur
Peta
Panjang & Lebar Jalan
Analisa Data
No
Penetapan
Alinyemen
Yes
Penggambaran
Selesai
53
54
3.2 Waktu
Waktu penelitian dilakukan setelah judul diajukan dan disetujui.
Penelitian di lapangan berlangsung selama satu minggu, untuk pengolahan
data pengukuran dilakukan selama satu minggu, dan proses penulisan
dilakukan selama enam bulan.
3.3 Lokasi
Lokasi penelitian terletak di Desa Durjela, Kecamatan Pulau-Pulau
Aru, Pulau Wamar Kabupaten Kepulauan Aru.
Ruas Jalan
Sp. Depnaker - Durjela
`
Lokasi
Penelitian
1. Alat
a. Pesawat ukur Theodolite
Digunakan untuk melakukan pengukuran yang menghasilkan
koordinat, elevasi permukaan tanah dan jarak antar titik
pengukuran.
b. Rambu ukur
Digunakan untuk membantu pesawat ukur Theodolite dalam
memberikan hasil bacaan benang, koordinat titik, dan elevasi
permukaan tanah.
c. Meter roll (100 m)
Digunakan untuk mengukur jarak antar patok STA existing pada
tiap 25 m.
d. Meter pinggang (5 m)
Digunakan untuk mengukur tinggi pesawat ukur terhadap
permukaan tanah.
e. GPS
Digunakan untuk mengambil koordinat global bumi pada titik
(STA) awal pengukuran.
f. Kompas
Digunakan untuk mencari arah utara terhadap ruas jalan yang
diukur.
g. Kamera
Digunakan untuk pengambilan dokumentasi selama proses
pengukuran dilapangan.
h. Alat tulis
Alat tulis yang digunakan berupa pena, formulir survey, papan
oles
i. Laptop
56
2. Bahan
a. Kertas
Digunakan sebagai formulir survey untuk mencatat bacaan
benang dari pesawat ukur dan sketsa lokasi pengukuran.
b. Pilox
Digunakan untuk menandai setiap patok STA dengan jarak
setiap 25 m dengan mengunakan warna kuning.
c. Pipa paralon
Digunakan untuk pembuatan patok BM (Bench Mark).
d. Baterai
Digunakan untuk memfungsikan pesawat ukur, kamera digital,
dan GPS.
58
59