Anda di halaman 1dari 9

Hal 348-353

Fokus cermin mungkin dapat menjadi suatu kebingungan saat mencoba untuk mengindetifikasi sisi
lesi primer yang tampak pada EEG. Namun, terdapat keterbatasan yang membuktikan bahwa fokus
cermin memiliki kaitan dengan fenomena kindling yang menyebabkan kejang pada manusia.

Pemeriksaan EEG dan Laboratorium pada Epilepsi

Asal usul aktivitas EEG dari fokus epilepsi dan kejang umum dibahas dalam bab 2 dan sebelumnya
dalam bab ini. EEG memberikan konfirmasi dari konsep epilepsy Hughling Jackson’s bahwa hal
tersebut dapat timbul berulang, tiba-tiba, pengeluaran berlebihan dari kortikal saraf. EEG
merupakan pemeriksaan yang paling sensitif, sangat diperlukan, dan merupakan alat pemeriksaan
untuk mendiagnosis epilepsi, tapi seperti alat pemeriksaan tambahan lainnya, harus dihubungkan
dengan temuan klinis. Pada pasien dengan idiopatik kejang umum dan pada sebagian besar
keluarganya, interictal spike and kelainan gelombang tanpa adanya klinis tanda kejang adalah hal
yang umum terjadi, terutama jika EEG telah diulang beberapa kali atau dalam jangka periode yang
lama. Sebaliknya, pada pasien epilepsi didapatkan interictal EEG yang sangat normal. Dengan
menggunakan metode standar pada perekaman kulit kepala, EEG bahkan dapat menjadi normal
selama adanya pengalaman aura dari kejang sederhana ataupun parsial kompleks. Oleh karena itu,
interpretasi dari kelainan EEG didapatkan pada beberapa orang normal (mendekati 2-3%) yang
menunjukkan gambaran paroksismal dari kelainan EEG.

Gambaran EEG yang didapatkan selama interictal state adalah hal yang abnormal untuk beberapa
pasien epilepsi sekitar 30-50%, hal ini meningkat 60-70% jika pasien telah melakukan perekaman
beberapa kali. Banyak pola EEG yang dapat terbentuk saat kejang. Pada satu pengamatan yang
konsisten, meskipun telah ditemukan bahwa aktifitas spike awal sebagai gambaran dari focus
epileptogenik, sebuah aturan yang digunakan untuk memandu operasi epilepsi. Post kejang atau
keadaan postictal juga memiliki korelasi EEG, membentuk pola yang acak dari gelombang umum
yang lambat setelah kejang umum dan fokal melambat setelah kejang parsial. Dengan pemulihan
klinis, EEG akan kembali normal atau Kembali ke keadaan preseizure (sebelum kejang)

Hasil abnormalitas yang lebih tinggi dan lebih presisi terhadap definisi jenis kejang dapat diperoleh
dengan menggunakan beberapa prosedur EEG khusus, seperti yang dijelaskan dalam Bab. 2. Di sini
dinyatakan kembali bahwa prosedur pengaktifan seperti hiperventilasi, stimulasi stroboskopik fotik,
dan tidur dapat meningkatkan hasil rekaman EEG. Perekaman EEG selama tidur adalah hal yang
sangat membantu karena kelainan fokal, terutama pada lobus temporal dapat menjadi terlihat pada
gelombang lambat dan pada tahap II tidur. Lead sphenoidal telah digunakan untuk mendeteksi
aktifitas kejang pada inferomedial temporal, tapi mereka akan tidak nyaman dan hanya sedikit
tambahan informasi dibanding yang dapat ditemukan dengan meletakan elektroda pada
subtemporal kulit kepala. Perekaman elektroda pada nasofaringeal terlalu rentan terkontaminasi
dengan artefak untuk bermanfaat secara klinis.

Sebagai ahli yang handal dalam mengidentifikasi artefak pada perekaman EEG, salah satu tantangan
untuk electroencephalographer adalah membedakan antara gambaran normal yang menstimulasi
kejang dan epilepsi sebenarnya atau pelepasan interictal. Hal ini bersifat paroxysmal tapi sebenarnya
gambaran normal yang muncul umumnya paling sering saat tidur, masing-masing dengan
karakteristik morfologi yang khas. Hal ini juga termasuk adanya lonjakan kecil pada aktifitas
polyspike “14 dan 6”, lambda dan posterior ritme mu oksipital dan transien tajam oksipital. Ini
digambarkan di sebagian besar buku teks standar tentang EEG dan dibahas dalam bab 2.

Beberapa metode pada pemantauan EEG jangka panjang sekarang umum digunakan dan merupakan
hal yang utama dalam menginvestigasi pasien dengan fokus epileptogenik yang dapat dilepas
melalui pembedahan dan dari nonepilektik spells. Hal yang paling sering digunakan adalah dengan
sistem telemetri, dimana pasien terpasang ke mesin EEG dengan kabel dan pemancar radio tanpa
terlalu membatasi kebebasan bergerak. Sistem telemetri digabungkan dalam sistem perekaman
audiovisual, hal ini memungkinkan untuk merekam fenomena kejang (bahkan di malam hari,
dibawah cahaya redup atau infrared) dan untuk menyinkronkan mereka dengan kelainan EEG.
Pilihan alternatifnya adalah dengan menggunakan alat perekam digital kecil yang terhubung dengan
mesin miniatur EEG yang dipakai oleh pasien di rumah dan di tempat kerja (ambulatory EEG). Pasien
diinstruksikan untuk menekan tombol jika mereka mengalami kejadian, yang dapat kemudian di
korelasikan dengan aktifitas dari EEG.

Radiologi dan Kelainan Laboratorium terkait kejang

Gambaran otak memiliki peran yang penting dalam mendiagnosis kejang. CT mampu menunjukkan
banyak penyebab khas kejang pada orang dewasa, akan tetapi MRI lebih sensitif untuk mendeteksi
kelainan struktur kecil pada penyakit yang mendasari terjadinya epilepsi seperti tumor, stroke, dan
lesi traumatik. Selain itu, penyakit lain seperti sclerosis medial pada temporal, heterotopia, dan
gangguan lain dari migrasi neuron dan glia kecil bekas luka dapat divisualisasikan dengan jelas
menggunakan MRI. Kemajuan dalam MRI dalam kekuatan lapangan dan teknik dengan
menggunakan akuisisi irisan yang tipis, dapat menunjukkan lesi structural pada kejadian lampau
misalnya kasus kriptogenik dan beberapa dari lesi tersebut dapat ditangani melalui pembedahan.

Setelah kejang, terutama yang memiliki komponen fokal, MRI terkadang menunjukkan
pembengkakan pada fokal kortikal dan perubahan sinyal pada FLAIR (fluid-attenuated inversion
recovery) dan urutan pembobotan difusi atau jika ada zat kontras yang diberikan, korteks yang tidak
jelas akan menjadi terlihat. Perubahan ini bersifat sementara dan lebih melihat efek dibanding
dengan penyebab, kejang dan yang dipikirkan mencerminkan gangguan sawar darah otak dan
perubahan metabolism di korteks. Hal ini menjadi perkiraan dalam melihat keterkaitan antara durasi
dari aktifitas kejang dan intensitas dan tingkat perubahan tetapi jarang menetap lebih dari sehari
atau dua hari. Demikian pula, angiografi atau pencitraan perfusi yang dilakukan segera setelah
kejang dapat memberikan gambaran area fokus dimana terdapat peningkatan aliran darah atau
peningkatan volume darah. Kurang begitu dipahami dengan baik adanya penemuan pada MRI dari
peningkatan signal T2 atau difusi terbatas dari hippocampi dan thalamus posterior setelah kejang
berkepanjangan atau status epileptikus. Terdapat pula perubahan gambaran dari white matter,
terutama splenium dari corpus calosum yang nampak segera setelah withdrawal obat antiepilepsi
seperti yang dibahas dibagian selanjutnya tentang penggunaan obat-obatan ini oleh Gurtler dan
rekannya.

CSF setelah kejang terkadang mengandung sedikit sel darah putih (paling sering dalam kisaran
10/mm3) terjadi pada sekitar 5% pasien. Pada penelitian 309 orang, Tumani dan rekannya
menemukan 24 lekosit tapi dengan median lebih rendah dibawahnya. Peningkatan sedikit pada
protein juga mungkin terjadi. Seperti kelainan radiologi temuan ini dapat menyebabkan kesimpulan
palsu tentang adanya lesi aktif pada intracranial, terutama jika didominasi oleh sel lekosit PMN;
sejumlah besar pleocytosus biasanya didefinisikan sebagai tanda dari inflamasi atau penyakit infeksi.
Asisdosis sistemik (laktat) sering terjadi akibat kejang, dan tidak jarang pH serum mencapai level
mendekati 7 atau dibawah 7 jika diambil segera setelah kejang. Nilai yang lebih praktis adalah fakta
pada semua kasus kejang umum terdapat peningkatan serum kreatinin kinase yang bertahan selama
beberapa jam, penemuan tersebut dapat menjadi keuntungan besar saat di unit gawat darurat
untuk menilai perbedaan kejang dari pingsan. Tentu saja, cedera otot yang luas karena jatuh atau
kompresi berkepanjangan selama periode tidak sadar dapat menunjukkan kelainan yang serupa.

Konsentrasi dari serum prolactin, seperti hormon hipotalamus lainnya, meningkat pada 10 hingga 20
menit setelah kejang umum, termasuk tipe parsial kompleks, tetapi tidak pada jenis absen atau tipe
mioklonik. Peningkatan dapat membantu dalam membedakan kejang psikogenik dari kejang biasa,
namun serum prolactin juga dapat sedikit mengalami peningkatan setelah episode sinkop. (fisher et
al). Juga dapat terjadi pada postictal peningkatan ACTH dan serum kortisol, tapi perubahan ini
memiliki latensi yang lebih lama dan durasi yang lebih singkat. Jika peningkatan kadar hormon dapat
digunakan sebagai tes diagnostik, seseorang harus mempunyai informasi tentang batas nilai normal,
variasi diurnal, dan efek bersamaan dari obat-obatan. Perubahan suhu tubuh, yang disebutkan juga
dapat kadang-kadang mendahului kejang, mungkin mencerminkan perubahan hipotalamus tapi lebih
jauh kurang konsisten dan sulit untuk digunakan dalam kerja klinis.

Patologi dari Epilepsi

Dalam sebagian besar kasus otopsi dari epilepsi umum primer dari variasi genetik, SSP yang jelas
dan mikroskopis normal. Tidak mengherankan, tidak tampak lesi pada kejang yang disebabkan oleh
intoksikasi obat dan withdrawal obat, hiper dan hyponatremia sementara, dan hiper dan
hipoglikemia, yang mungkin mewakilii kelainan pada tingkat sel.

Sebaliknya, epilepsi simptomatik memiliki lesi. MRI, yang digunakan sebagai pengganti untuk
patologi, dapat membantu dengan melihat beberapa heterotopia kortikal yang sebelumnya sulit di
deteksi, dan menyoroti frekuensi gliosis pada medial lobus temporal. Lesi lainnya termasuk zona
hilangnya neuron dan gliosis (bekas luka) atau lesi lain seperti heterotopia, korteks disgenik,
hamartoma, malformasi vascular, porencefali, dan tumor. Malformasia vascular, hamartomas,
ganglioneuroma dan yang terkait dengan dysembryoplastic neuroectodermal tumors (DNET), yang
penting penyebab epilepsy yang resisten terhadap obat, dan low grade dari astrositoma yang
merupakan kasus jarang; sekali lagi, pada jumlah kecil, tidak ditemukan kelainan. Tentu saja
penyakit epilepsi fokal dikaitkan dengan tingginya insidensi dari kelainan penyakit struktural,
meskipun pada beberapa kasus tidak tampak perubahan morfologis.

Bukan hal yang tidak mungkin untuk menentukan komponen mana dari lesi yang bertanggung jawab
menyebabkan kejang. Gliosis, fibrosis, vascularisasi, dan meningocrebral cicatrix semuanya telah
dicurigai, tetapi pada fokus nonepilepsi juga terdapat hal serupa. Penelitian dari The scheibels golgi
terhadap neuron dari fokus epilepsi pada lobus temporal menunjukkan distorsi dari dendrit,
hilangnya duri dendritik, dan disorientasi dari saraf di dekat bekas luka, tapi penemuan ini memiliki
keraguan status karena mereka biasanya tidak membandingkan dengan lesi nonepiletik yang serupa.
Saat sebuah fokus gliotik dari apapun menyebabkan epileptogenik, itu akan bertahan sepanjang
hidup pasien.

Sclerosis Temporal Medial (Mesial)

Pada beberapa seri kasus dari eksisi lobus temporal pada sepuluh tahun terakhir, seperti
dikemukakan oleh Falconer, gambaran yang spesifik dari hilangnya neuron dengan gliosis (sklerosis)
pada hippocampal dan amygdala ditemukan di mayoritas, dan kelainan ini semakin meningkat
dengan menggunakan MRI, seperti yang dijelaskan sebelumnya (medial temporal sclerosis;gambar
15-4). Hal yang paling umum dikaitkaan dengan penemuan hilangnya neuron pada segmen CA1
( sector sommer) dari lapisan sel pyramidal pada hippocampus, sering unilateral, meluas ke daerah
yang berdekatan dari keduanya lapisan pyramidal dan dentate gyrus dibawahnya. Ini masih tidak
dapat ditentukan apakah kehilangan saraf ini secara primer atau sekunder, dan jika yang terakhir,
apakah ini muncul saat lahir atau terjadi setelah konsekuensi dari kejang berulang.

Namun trauma kepala awal kehidupan, infeksi, dan beberapa kelainan umum lainnya juga dapat
menyebabkan kombinasi hilangnya neuron dan gliosis ringan dari sclerosis medial temporal.
Penghentian kejang pada banyak pasien setelah reseksi bedah lobus temporo medial mendukung
interpretasi pertama bahwa perubahan patologis utama dalam banyak kasus (lihat lebih lanjut pada
surgical treatment of epilepsy). Membuktikan ketidakpastian sebab atau akibat sejumlah seri
operasi yang mendukung satu padangan dengan lainnya (lihat editorial oleh Sutula dan Pitkanen).

Peran Genetika

Penyebab paling sering epilepsi primer adalah dasar dari genetiknya dan seperti pada penyakit
lainnya seperti diabetes dan atherosklerotik, cara pewarisan kompleks, yaitu beberapa diantaranya
cenderung poligenik tetapi semakin banyak, mutasi tunggal dapat ditemukan. Faktor genetik
menjadi pencetus pada epilepsi umum primer yang disugestikan terjadi pada 5 hingga 10 persen dari
pasien dan pada beberapa keluarga, pewarisan gangguan kejang melalui gen tertentu (Afawai et al).
Pentingnya factor genetik dalam epilepsy primer juga dibuktikan pada bayi/anak yang kembar;
tingkat kesesuaian keseluruhan telah mencapai 70 persen untuk kembar monoziqot dan 30 persen
untuk pasangan dizigot (vadlamudi et al)

Tentu saja, epilepsy adalah komponen dari banyak genetik sindrome yang ditentukan oleh
penampilan dismorfiknya, gangguan neurokutaneus, atau kelainan perkembangan otak dengan atau
tanpa retardasi mental. Apa yang kita pertimbangkan terlebih dahulu adanya beberapa kejang
idiopatik yang diwarisi oleh pola yang sederhana (mendel). Hal tersebut termasuk subkelompok dari
benign neonatal familial convulsion yang diturunkan sebagai sifat dominan autosomal (Lepper et al).
dan gangguan yang serupa dari onset infantil dan epilepsi mioklonik benign pada masa kanak-kanak
(autosomal resesif). Secara khusus informasi pada kelompok khusus dari gangguan epilepsi pada
defek genetik monogenik dikaitkan dengan kelainan saluran ion atau reseptor neurotransmitter
(table15-3). Hal tersebut disebutkan sebelumnya dalam diskusi mengenai fisiologi kejang dan
meskipun jarang, mereka menyarankan bahwa epilepsi idiopatik dapat disebabkan oleh gangguan
pada fungsi saluran ion tersebut.

Konsekuensi dari hampir semua mutasi ini adalah untuk meningkatkan rangsangan saraf secara
keseluruhan. Contohnya termasuk autosomal dominan epilepsy nokturnal lobus frontal, yang
menunjukkan kejang parsial (dimana mutase penyebab ada di subunit dari reseptor asetilkolin
nikotinat); jadi disebut epilepsy umum dengan kejang demam plus (subunit dari neuronal sodium
saluran yang terkait dengan berbagai kombinasi dari kejang demam tanpa komplikasi, kejang
demam persisten diluar masa kanak-kanak, umum, absence, mioklonik, atonik dan kejang parsial
kompleks); kejang neonates familial jinak (2 saluran kalium berbeda); dan bentuk dari epilepsy
mioklonik juvenile dan epilepsy absens apda masa kanak-kanak (subunit dari GABA A receptor di
otak).
Hal ini dirangkum pada table 15-3 dan jumlahnya akan bertambah pada beberapa tahun ke depan.
Begitu banyak gangguan neurologis genetic lainnya, mutasi tunggal dapat menyebabkan epilepsi
dan kejang berbeda dan satu jenis mungkin merupakan hasil dari salah satu beberapa mutasi yang
berbeda. Juga yang perlu diperhatikan adalah penetrasi yang rendah dari beberapa gangguan
epilepsi monogenik, khususnya autosomal dominan terkait dengan kejang nokturnal frontal.

Kelompok epilepsy lain dengan pewarisan mendelian telah dianggap berasal dari cacat genetik yang
tidak melibatkan saluran ion. Sebagian besar dari gangguan ini terutama mioklonik dimana epilepsi
adalah satu komponennya. Dua bentuk dari epilepsi mioklonik yang progresif, penyakit Unverricht
Lunborgh dan Penyakit Lafora body adalah hasilnya, masing-masing, mutasi pada gen yang
mengkode cytatin B dan tirosin fosfat. Untuk bentuk warisan dari epilepsi ini dapat ditambahkan
penyakit seperti tuberous sclerosis dan lipofuscinosis seroid (Bab. 36) yang memiliki kecenderungan
untuk menyebabkan kejang dan ditentukan secara genetic heterotopia seperti FLN1 (ini dan
perkembangan penyimpangan lainnya di bahas di chap 37).

Elemen genetic yang lebih kompleks di diidentifikasi pada beberapa kelainan kejang pada masa
kanak-kanak-absense epilepsi dengan adanya dan gelombang per 3 detik dan benign epilepsi pada
masa kanak-kanak dengan centrotemporal spikes-keduanya ditransmisi oleh sifat autosomal
dominan dengan inkomplit penetrasi atau mungkin dengan cara yang lebih rumit. Pada epilepsi
parsial, atau fokal peran dari hereditas tidak begitu jelas. Namun pada sebagian besar penelitian
telah terjadi insiden kejang, kelainan EEG, atau keduanya yang lebih besar dari perkiraan diantara
kerabat tingkat pertama. Pada epilepsy kortikal familial, baik tipe lobus temporal dan lobus frontal,
diwariskan secara poligenik atau dalam pola dominan autosomal. Tidak diragukan juga diwariskan,
kecenderungan untuk berkembang menjadi kejang demam sederhana, meskipun cara pewarisannya
tidak pasti. Kesimpulannya, variasi salinan angka mungkin memberikan peran penting sekitar 5
persen kasus menurut Olsen dan rekan-rekannya.

Pendekatan Klinis pada Epilepsi

Dokter yang akan menghadapi seorang pasien yang sedang mencari pertimbangan mengenai
gangguan episodik pada fungsi saraf harus menentukan terlebih dahulu, apakah episode yang
ditanyakan adalah kejang. Dalam mendiagnosa epilepsi, Riwayat penyakit adalah kunci, pada banyak
kasus dewasa pemeriksaan fisis tidak ditemukan. Pemeriksaan pada bayi dan anak memiliki nilai
yang besar, dimana ditemukan dismorifk dan abnormalitas kutaneus yang memungkinkan diagnosis
sejumlah penyakit serebral yang sangat khas yang dapat menyebabkan epilepsi.

Hal terpenting dalam menetapkan bahawa telah mengalami kejang adalah keterangan dari saksi.
Detail dari kejadian diperlukan dan terutama, jenis dan durasi dari pergerakan tubuh, tingkat
kesadaran, dan respon selama dan setelah episode, warna kulit dan pernapasan, dan inkotinensia.
Jika saksi tidak ada, maka panggilan telepon kepada observer dan keluarga untuk mendapat lebih
banyak informasi kemudian melakukan pemeriksaan laboratorium. Dari pasien, informasi dapat
diperoleh adanya lidah tergigit, inkontinensia, dan ingatan akan peristiwa dari kejadian dahulu. Jika
pasien mampu memberikan informasi, kejadian sebelumnya yang telah disalahartikan sebagai bukan
kejang, sebagai contoh, kehilangan kesadaran secara singkat, sentakan mioklonik, seprei kusut
dengan inkontinensia, jatuh yang tidak dapat dijelaskan dengan cedera dan sebagainya, dapat
menjadi petunjuk sebelum kejang. Riwayat keluarga, perkembangan anak, kejadian saat neonatus,
dan keadaan saat kelahiran juga menjadi aspek tambahan yang berguna dalam mengevaluasi
epilepsi.

Pada kategori kejang yang asli, diagnosis dari epilepsi lobus temporal mungkin sulit dibedakan dari
imitator epilepsi. Serangannya sangat bervariasi dan sangat sering menimbulkan gangguan perilaku
dan fungsi psikis, bukan gangguan yang nyata atau hilaingnya kesadaran, yang mungkin sering di
salah artikan dengan temper tantrum pada anak, konsumsi obat, histeria, serangan panik, atau akut
psikosis. Kejang ini mungkin termasuk verbalisasi yang tidak dapat diingat, berjalan tanpa tujuan,
halusinasi penciuman dan pengecapan berulang, stereotip gerakan tangan atau automasisasi seperti
mengecap bibir. Laporan pasien tentang pengalaman psikis juga sering membantu dalam
membedakan kejang dari kejadian psikogenik. Hal pertama, pasien berusaha untuk fokus dengan
upaya yang besar pada deskripsi dari pengalaman, meskipun istilah “tak terlukiskan” sering
dimasukkan dalam laporan, sedangkan deskripsi yang tidak jells dan tidak tepat tentang “sesuatu
yang salah” atau beralih ke teman atau anggota keluarga untuk menjelaskan kejadian yang biasa
melibatkan kejang psikogenik. Kami menekankan pada amnesia sebagai salah satu tanda dari kriteria
kejang untuk mendiagnosis sebuah epilepsi pada lobus temporal. Fugue histeris dapat menyebabkan
kesulitan dalam mendiagnosis. Mereka mungkin dapat dikenali dengan hilangnya ingatan mengenai
identitas diri dan kejadiannya lebih lama dibandingkan dengan kejang, biasanya hingga beberapa
hari.

Serangan absence juga memiliki kesulitan yang serupa untuk membedakan dari gangguan kesadaran
yang berlangsung singkat. Helpful Manuver harus dilakukan pada pasien dengan hiperventilasi untuk
membangkitkan serangan atau untuk mengamati pasien untuk menghitung dengan keras beberapa
menit. Saat terjadi serangan absence yang sering akan menyebabkan jeda atau skip dari satu atau
dua angka.

Kondisi yang paling mungkin untuk menstimulasi kejang epilepsi adalah kejang nonepilepsi
psikogenik dan kejadian paroksismal lain seperti serangan panik dan sinkope tapi juga, jatuh yang
tidak dapat dijelaskan (serangan jatuh), iskemik sementara, terutama yang berhubungan dengan
limb shaking, gangguan perilaku tidur rapid eye movement (REM), perdarahan subarachnoid,
migrain, hipoglikemia, katapleksi, ataksia paroksismal dan koreoatetosis dan amnesia global
sementara. Di unit gawat darurat sangat sering ditemukan kesulitan dalam membedakan efek
pascaiktal dari sebuah kejadian kejang tanpa saksi dari kebingunan dan amenisa setelah cedera
kepala.

Perbedaan klinis antara kejang dan serangan pingsan dapat dilihat pada bab 17; terdapat penekanan
bahwa tidak ada satu kriteria khusus yang tidak dapat diganggu gugat. Hal ini terutama ditekankan
karena adanya potensial gravitasi dari episode cardiac syncope dari gangguan jantung (aritmia),
terutama ventricular takikardi. Aritmia jantung dapat terjadi sebagai episode dari hilangnya
kesadaran yang tidak diketahui, kadang dikaitkan dengan gerakan kejang yang mensimulasikan
gangguan epilepsi dan kegagalan untuk menegakkan diagnosis dari aritmia memiliki konsekuensi
yang besar. Palpitasi, riwayat infark miokard, kelainan EKG, penyakit katup jantung, dan trauma
thoraks dapat menjadi pertimbangan khusus dalam membantu penegakan diagnosis.

Migrain juga dapat disalahartikan dengan kejadian kejang. Satu tanda dari gangguan neurologis fokal
migrain tipikal adalah sangat membantu , yaitu kecepatan urutan kerusakan otak beberapa menit
daripada detik, sebagai focal epilepsi. Bahkan kriteria ini mungkin kadang gagal, khususnya jika
keduanya baik itu migrain dan kejang parsial bergabung, contoh, pada kejadian malformasi vaskular
otak

Identifikasi TIA dan pemisahannya dari fokus epilepsi dibantu dengan mempertimbangkan bahwa
Sebagian besar paroksismal gangguan vaskuler ditandai dengan hilangnya fungsi yang dapat
disebabkan oleh satu area dari korteks seperti paralisis, kebutaan, diplopia, atau afasia. Jika
serangan iskemik ditandai dengan perubahan gejala, mereka cenderung akan berkembang lebih
lambat dibandingkan kejang. Umur pasien dan adanya faktor resiko vaskular, adanya penyakit
jantung dan arteri carotis dan gangguan kesadaran atau amnesia dapat mendukung diagnosis dari
penyakit vascular. Akan tetapi, “limb shaking” pada TIA dan fenomena kejang pada oklusi arteri
basilar hampir tidak memungkinkan untuk membedakannya dari epilepsi.

Berdasarkan perbedaan kejang dari kelainan aneh seperti katapleksi, paroksismal ataksia atau
koreoatetosis, transient global amnesia, sangat penting untuk lebih berhati-hati dalam menentukan
diagnostik pada kondisi seperti ini. Gangguan perilaku tidur REM cenderung terjadi kemudian dalam
siklus tidur, karena mereka membutuhkan REM, sedangkan frontal epilepsi dengan gerakan atau
tindakan yang keras dapat disalah artikan dengan gangguan perilaku tidur REM, dapat terjadi pada
setiap saat di malam hari dan cenderung lebih singkat daripada gangguan tidur. Drop attacks
(kelemahan tubuh hingga jatuh tanpa adanya gangguan kesadaran dibahas pada chap 6) tetap
menjadi teka-teki. Dalam kebanyakan kasus, bukanlah hal yang mungkin untuk membuktikan
hubungan dengan gangguan sirkulasi dari sistem vertebrobasilar dan jarang kita mengamati drop
attack pada gejala kasus dari epilepsi atonia atau mioklonik.

Beberapa penelitian laboratorium biasanya memasukkan evaluasi diagnostik awal dengan


melakukan pemeriksaan darah lengkap, kimia darah, EKG, EEG, dan gambaran radiologi dari kepala,
lebih disarankan untuk MRI. CT dapat memberikan beberapa informasi terkait masalah utama yang
mendasari munculnya epilepsy akan tetapi MRI lebih unggul dalam mendeteksi berbagai penyebab
struktural yang menyebabkan epilepsi. Jika darah diperiksakan setelah episode yang terjadi,
peningkatan creatinine kinase (menetap selama beberapa jam) dan hanya peningkatan prolactin
(hingga 10 menit) dapat muncul setelah kejadian kejang tanpa saksi tapi pemeriksaan ini tidak cukup
spesifik untuk digunakan dalam praktik umum. Bentuk pemeriksaan lain sebagai contoh
pemeriksaan stress jantung, holter monitor, tilt-table testing, long-term cardiac rhythm monitor, dan
studi tidur kadang diindikasikan secara berurutan untuk mengeliminasi gangguan nonepileptic lain
yang diduga sebelumnya. Beberapa pasien membutuhkan pemantauan EEG yang berkepanjangan,
baik dalam rumah sakit atau dengan alat portable di rumah. Pada semua jenis dari epilepsi, EEG
berkepanjangan dan pemantauan video dari unit rumah sakit dapat membuktikan diagnostik.

Kejang di setiap periode usia

(tabel 15.4, gambar 15.5)

Telah disimpulkan bahwa gangguan neurologik dapat menjadi pertimbangan terjadinya kejang,
masalah berikutnya adalah mengidentifikasi jenisnya. Memang pada banyak kasus ini menentukan
sifat pengobatannya. Karena ada begitu banyak jenis kejang, khususnya kejang pada masa kanak-
kanan dan dewasa, masing-masing cenderung pada periode usia tertentu, gejala klinis keuntungan
diperoleh dengan mempertimbangkan kejang berdasarkan periode usia. Pendekatan lebih luas
termasuk dalam mempertimbangan penemuan neurologik dan EEG, respon terhadap pengobatan,
etiologi dan prognosis.
Gambar 1.5.5 menunjukkan frekuensi dari tiap tipe kejang dan penyebab kejang
berdasarkan kelompok umur. Data ini telah dikumpulkan dari berbagai sumber dan
merupakan perkiraan akan tetapi mereka menekankan beberapa poin penting terkait
dengan temuan klinis.

Kejang neonatus

Ahli neonatologi sering dihadapkan dengan bayi yang memulai kejang di hari kehidupan
pertamanya. Dalam kebanyakan kasus, kejangnya terpisah-pisah, gerakan tiba-tiba atau
postur anggota badan, kekakuan tubuh, gerakan putaran mata ke atas, jeda napas sesaat,
mengecap, mengunyah, atau gerakan kaki seperti bersepeda. Bahkan dengan orang yang
berpengalaman sekalipun masih memiliki kesulitan dalam membedakan kejadian kejang dari
gerakan normal pada neonatus. Jika manifestasi kejang sering dan stereotipik, diagnosis
akan tidak begitu sulit. Kejang berkaitan dengan kortikal fokal atau multifokal; namun pada
kasus dengan perubahan EEG pada neonatus, kejadian tersebut jarang terjadi dan kurang
berbeda dibanding kejang dikemudian hari. Diasumsikan bahwa imaturitas dari cerebrum
mencegah perkembangan dari bentuk gambaran kejang pada EEG, dan inkomplit mielinisasi
pada kortikokortikal mencegah penyabaran bihemisferik. EEG tetap membantu dalam
penegakkan diagnosis ini. Misalnya, periode penekanan dari GGG mungkin bergantian
dengan gelombang tajam atau lambat, atau mungkin ada aktivitas theta terputus-putus yang
mewakili elektrografi aktifitas kejang. Sebaliknya aktivitas kejang listrik pada neonates tidak
ditemukan pada manisfestasi klinis.

Onset awal dari sentakan mioklonik, baik itu terpisah-pisah atau masif, dengan gambaran
EEG dari supresi bergantian dan ledakan kompleks dari aktifitas secara khusus buruk. Ohtara
menjelaskan adanya bentukan lain dari kejang pada neonates yang berkembang pada masa
bayi menjadi kejang infantile (West syndrome) dan Lennox-Gastaut syndrome dan
mengakibatkan kerusakan otak yang parah. Sebagian besar Bpasien yang terlaporkan
memiliki perkembangan yang terlambat.

Kejang neonatus terjadi dalam 24-48 jam pada bayi dengan kesulitan persalinan biasanya
berindikasi menyebabkan kerusakan serebral yang berat, umumnya anoxic, baik saat
antenatal atau saat proses melahirkan. Bayi-bayi seperti itu sering kali meninggal, dan
setengah dari yang selamat memiliki cacat yang serius. Kejang akan berlangsung hingga
beberapa hari atau minggu setelah lahir adalah kejadian yang lebih sering diakibatkan oleh
kelainan metabolic yang didapat ataupun bawaan. Dalam kelompok terakhir, hipoglikemia
adalah penyebab paling sering, hipokalsemia dengan tetani, adalah kasus yang jarang.
Kelainan bawaan akibat defisiensi dari piridoksin sangat jarang tapi dapat ditangani
penyebabnya, kadang juga merangsang kejang rahim dan dengan memberikan dosis massif
(100 mg) vitamin b6 secara intravena akan memberikan respon terapi yang baik. Defisiensi
biotinidase adalah kasus yang jarang tapi dapat diatasi penyebabnya. Non ketotik
hiperglikemia, penyakit maple syrup urine, begitu pula dengan gangguan metabolic lainnya
yang dapat menyebabkan kejang dalam 1 minggu hingga 2 minggu setelah kelahiran dan
menunjukkan tanda difus dari encefalopati.
Sebaliknya, bentuk jinak dari kejang neonatal juga telah diidentifikasi. Sebagai contoh, Plouin
menjelaskan kejang neonatal klonik jinak mulai terjadi pada hari ke 2 dan ke 3 hingga hari ke
7 (5 hari kejang) dimana tidak terdapat perubahan EEG yang spesifik. Kejang kemudian reda
dan memiliki prognosis yang baik. Pewarisan bersifat autosomal dominan. Terdapat kasus
nonfamilial lain dengan onset 4 hingga 6 hari, dimana kejang parsial dapat menjadi status
epileptikus, pada gambaran EEG akan menunjukkan aktivitas theta yang diskontinu. Pada
kedua kelompok ini, prospek untuk normal, perkembangannya baik dan kejang jarang
kambuh dikemudian hari. Terdapat pula bentuk kejang jinak lain seperti polymyoclonus
tanpa kejang atau kelainan EEG pada periode usia ini. Beberapa muncul hanya dengan
gelombang tidur lambat atau makan. Mereka menghilang setelah beberapa bulan dan tidak
perlu diberikan terapi. Bentuk dari myoclonus nocturnal benign pada neonates juga
memberikan prognosis yang baik.

Epilepsi pada infantil

Kejang pada neonates dapat berlanjut hingga periode infantil, atau kejang dapat dimulai
saat umur infantil yang sebelumnya terlihat normal namun pada waktu tertentu terdapat
serangan kejang. Tipe kejang yang paling sering pada infantil adalah kejang demam, bukan
merupakan jenis dari epilepsi, karakteristik dari epilepsi pada usia ini adalah kejadian
sentakan mioklonik yang masif secara tiba-tiba kepala dan lengan menjadi fleksi atau lebih
jarang, ke ekstensi tubuh (kejang infantil, kejang salaam). Bentuk kejang ini yang
dikarakteristikan dengan west syndrome seperti yang dijelaskan sebelumnya, mempunyai
banyak penyebab penyakit dasar. Jenis kejang yang sama yang muncul pada infant dengan
tuberous sclerosis (diagnose pada infant ditandai dengan macula hipopigmentasi, or ash-leaf
spots), fenilketouria, atau sturge-weber disease terjadi pada periode umur ini. Spasme pada
infantile berhenti pada akhir tahun ke dua dan digantikan dengan fokal dan kejang umum
sekunder. Mereka tidak memberikan respon yang baik dengan medikasi antiepileptic seperti
biasanya. Beberapa kasus dari spasme infantile disebabkan oleh encefalopati metabolik dari
tipe yang tidak diketahui atau disgenesis cortical (Jellinger)

Anda mungkin juga menyukai