Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH FARMAKOTERAPI

OSTEOPOROSIS

NAMA : RANI NASUTION

NOMOR BP : 1604071

KELAS :A

DOSEN PEMBIMBING : SANUBARI RELA TOBAT, M.Farm, Apt.

SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA

YAYASAN PERINTIS

PADANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Osteoporosis”.
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih banyak ketidak
sempurnaan dalam penyusunan, oleh karena itu diharapkan kritik maupun saran yang
bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan ridhonya pada kita
semua, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.

                                                                                         Padang, 18 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................i

Daftar Isi............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang......................................................................................1


1.2. Rumusan Masalah.................................................................................1
1.3. Tujuan...................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Gangguan metabolisme tulang..............................................................4

2.2.Defenisi Osteoporosis...........................................................................4

2.3. Epidemiologi..........................................................................................5

2.4. Etiologi................................................................................................7

2.5. Gejala dan Tanda.................................................................................10

2.6. Faktor Risiko.....................................................................................14

2.7. Diagnosis...........................................................................................17

2.8. Sasaran dan tujuan terapi..................................................................19

2.9. Tatalaksan terapi...............................................................................20

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan.......................................................................................25

3.2. Saran.................................................................................................25

Daftar Pustaka ......................................................................................26


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

 Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan sampai saat ini
masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di negara
berkembang. Di Amerika Serikat osteoporosis menyerang 20-25 juta penduduk, satu
diantara 2-3 wanita post-menopause dan lebih dari 50% penduduk di atas umur 75-80
tahun. Masyarakat atau populasi osteoporosis yang rentan terhadap fraktur adalah
populasi lanjut usia yang terdapat pada kelompok di atas usia 85 tahun, terutama
terdapat pada kelompok lansia tanpa suatu tindakan pencegahan terhadap
osteoporosis. Proses terjadinya osteoporosis sudah di mulai sejak usia 40 tahun dan
pada wanita proses ini akan semakin cepat pada masa menopause.

Sekitar 80% penderita penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita


muda yang mengalami penghentian siklus menstruasi. Hilangnya hormon estrogen
setelah menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis. Penyakit osteoporosis
yang kerap disebut penyakit keropos tulang ini ternyata menyerang wanita sejak
masih muda. Tidak dapat dipungkiri penyakit osteoporosis pada wanita ini
dipengaruhi oleh hormon estrogen. Namun, karena gejala baru muncul setelah usia
50 tahun, penyakit osteoporosis tidak mudah dideteksi secara dini.

Meskipun penyakit osteoporosis lebih banyak menyerang wanita, pria tetap


memiliki risiko terkena penyakit osteoporosis. Sama seperti pada wanita, penyakit
osteoporosis pada pria juga dipengaruhi estrogen. Bedanya, laki-laki tidak
mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat. Jumlah usia
lanjut di Indonesia diperkirakan akan naik 414 persen dalam kurun waktu 1990-2025,
sedangkan perempuan menopause yang tahun 2000 diperhitungkan 15,5 juta akan
naik menjadi 24 juta pada tahun 2015. Dapat dibayangkan betapa besar jumlah
penduduk yang dapat terancam penyakit osteoporosis.

      Beberapa fakta seputar penyakit osteoporosis yang dapat meningkatkan


kesadaran akan ancaman osteoporosis berdasar Studi di Indonesia:
 Prevalensi osteoporosis untuk umur kurang dari 70 tahun untuk wanita
sebanyak 18-36%
 sedangkan pria 20-27%, untuk umur di atas 70 tahun untuk wanita 53,6%,
pria 38%
 Lebih dari 50% keretakan osteoporosis pinggang di seluruh dunia
kemungkinan terjadi di Asia pada 2050
 Mereka yang terserang rata-rata berusia di atas 50 tahun, Satu dari tiga
perempuan dan satu dari lima pria di Indonesia terserang osteoporosis
atau keretakan tulang.
 Dua dari lima orang Indonesia memiliki risiko terkena penyakit
osteoporosis. (depkes, 2006)

            Berdasar data Depkes, jumlah penderita osteoporosis di Indonesia jauh lebih
besar dan   merupakan Negara dengan penderita osteoporosis terbesar ke 2 setelah
Negara Cina.

1.2 Rumusan Masalah

1.Apa yang dimaksud gangguan metabolit tulang?

2. Apa defenisi osteoporosis?

3. Apa epidemiologi osteoporosis?

4. Apa etiologi osteoporosis?

5. Apa gejala dan tanda osteoporosis?

6. Apa faktor risiko osteoporosis ?

7. Apa diagnosis osteoporosis ?

8. Apa sasaran dan tujuan terapi dari osteoporosis?

9. Bagaimana penetalaksanaan dari osteoporosis?


1.3 Tujuan 

1. Dapat mengetahui defenisi gangguan metabolit tulang

2. Dapat mengetahui defenisi dari osteoporosis

3. Dapat mengetahui epidemiologi dari osteoporosis

4. Dapat mengetahui etiologi dari osteoporosis

5. Dapat mengetahui bagaimana gejala dan tanda osteoporosis

6. Dapat mengetahui faktor risiko osteoporosis

7. Dapat mengetahui diagnosis osteoporosis

8. Dapat mengetahui sasaran dan tujuan terapi osteoporosis

9. Dapat mengetahui Tatalaksana terapi osteoporosis


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. GANGGUAN METABOLISME TULANG

Penyakit tulang metabolik adalah kelainan tulang yang disebabkan oleh


spektrum gangguan yang luas. Paling umum kelainan ini disebabkan oleh kelainan
mineral seperti kalsium, fosfor, magnesium atau vitamin D. Gangguan ini
dibedakan atas kelompok gangguan tulang genetik yang lebih besar di mana
terdapat cacat pada sistem pensinyalan tertentu atau tipe sel yang menyebabkan
gangguan tulang. Sebagai contoh, hipofosfatemia genetik atau herediter dapat
menyebabkan kelainan tulang metabolik osteomalacia . 
Kondisi yang dianggap sebagai kelainan metabolisme tulang:
 osteoporosis
 osteomalacia (dewasa) & rakhitis (anak-anak)
 osteitis fibrosa cystica
 Penyakit tulang Paget
 piramida ( kura-kura )
 penyakit dextrabone

2.2. DEFENISI OSTEOPOROSIS


Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang
yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya
rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-arsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang ( Tandra,
2009).
Menurut WHO pada International Consensus Development Conference, di
Roma, Itali, 1992 Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat-sifat khas berupa
massa tulang yang rendah, disertai perubahan mikroarsitektur tulang, dan
penurunan kualitas jaringan tulang, yang pada akhirnya menimbulkan akibat
meningkatnya kerapuhan tulang dengan risiko terjadinya patah tulang (Suryati,
2006). WHO mengklasifikasikan massa tulang berdasarkan T-scores. T-scores
merupakan bilangan standar deviasi dari rata-rata densitas mineral tulang pada
populasi muda normal. Massa tulang yang normal memiliki nilai T-score lebih
besar dari -1, osteopenia memiliki nilai T-score -1 sampai -2,5, sedangkan
osteoporosis memiliki nilai T-score kurang dari -2,5 (Dipiro et al, 2005).
Tulang yang terkena osteoporosis dapat patah (fraktur) karena cedera kecil
yang biasanya tidak akan menyebabkan tulang patah. Fraktur tersebut dapat
berupa retak/remuk, seperti patah tulang pinggul, atau patah (seperti pada tulang
belakang. Bagian punggung, pinggul, rusuk, dan pergelangan tangan merupakan
daerah umum terjadinya patah tulang akibat osteoporosis, meskipun fraktur
osteoporosis dapat terjadi pada semua tulang rangka (Ikawati, 2011).

2.3. EPIDEMIOLOGI
Osteoporosis sebenarnya merupakan kondisi yang dapat dicegah, namun
dewasa ini telah menjadi masalah kesehatan umum yang mengganggu.
Penurunan massa, kualitas, dan kekuatan tulang berkontribusi meningkatkan
risiko osteoporosis dan fraktur. Patah tulang (fraktur) yang berkaitan dengan
osteoporosis umumnya menyebabkan nyeri, kifosis, keterbatasan fisik, bahkan
kematian.
Prevalensi tepatnya tidak diketahui, namun hampir separuh dari penduduk
amerika usia 50 tahun ke atas ,atau 44 juta orang, memiliki massa tulang yang
rendah. Jumlah ini diperkirakan meningkat hingga lebih dari 60 juta orang selama
15 tahun ke depan. Kejadiannya sangat bervariasi dalam subpopulasi dan
tergantung dari banyak faktor risiko, daerah rangka yang diukur, dan teknologi
radiologi yang digunakan. Pada akhir tahun 1990an, berdasarkan pengukuran
densitas mineral tulang (BMD) periferal, 40% wanita postmenopause mengalami
osteopenia dan 7% mengalami osteoporosis.
Saat klasifikasi BMD WHO diaplikasikan pada data dari National Health and
Nutrition Examination Survey ketiga (NHANES III, dari tahun 1988-1994),
prevalensi osteopenia dan osteoporosis pada penduduk Amerika adalah sebagai
berikut :
- Wanita non hispanic kulit putih : 52% dan 20%
- Wanita non hispanik kulit hitam : 35% dan 5%
- Wanita Amerika-meksiko : 49% dan 10%
- Pria dari segala ras : 47% dan 6%, menggunakan rerata BMD pria usia muda
- Pria dari segala ras : 33% dan 4%, menggunakan rerata BMD wanita usia muda.

Kejadian osteoporosis meningkat dengan meningkatnya usia. Prevalensi


osteoporosis bahkan lebih tinggi pada penghuni panti jompo. Ratusan dan ribuan
fraktur terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Risiko seumur hidup wanita kulit
putih mengalami fraktur adalah 50%. Risiko fraktur meningkat seiring
meningkatnya usia dan rendahnya massa densitas tulang.

2.4. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial, dengan banyak faktor
risiko. Namun dari berbagai faktor risiko tersebut, yang paling banyak dan
umum dijumpai adalah :
1. Osteoporosis postmenopause
Dalam keadaan normal estrogen akan mencapai sel osteoblas dan
beraktivitas melalui reseptor yang terdapat dalam sitosol, mengakibatkan
menurunnya sekresi sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF α yang berfungsi
dalam penyerapan tulang.
Di lain pihak, estrogen akan meningkatkan sekresi TGF β yang
merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke daerah tulang yang
mengalami penyerapan oleh osteoklas.
Sedangkan efek estrogen normal pada osteoklas adalah menekan
diferensiasi dan aktivasi sel osteoklas dewasa. Defisiensi estrogen setelah
menopause meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi osteoklas baru
dan memperpanjang masa hidup osteoklas lama, sehingga resorpsi tulang
melebihi pembentukannya (Dipiro et al, 2005).
2. Osteoporosis terkait usia
Hampir separuh masa hidup terjadi mekanisme penyerapan dan
pembentukan tulang. Selama masa anak-anak dan dewasa muda pembentukan
tulang jauh lebih cepat dibanding penyerapan tulang. Titik puncak massa
tulang terjadi pada usia sekitar 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi
tulang menjadi lebih jauh lebih cepat dibanding pembentukan tulang.
Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan kerusakan
mikroarsitektur tulang, terutama pada tulang trabekular. Progresifitas resorpsi
tulang merupakan kondisi normal dalam proses penuaan. Peristiwa ini diawali
pada antara dekade 3 sampai 5 kehidupan. Perkembangan resorpsi tulang
lebih cepat pada tulang trabekular dibanding tulang kortikal, dan pada wanita
akan mengalami percepatan menjelang menopause.
Progresifitas resorpsi pada usia tua juga diperburuk dengan penurunan
fungsi organ tubuh, termasuk penurunan absorbsi kalsium di usus,
meningkatnya hormon paratiroid dalam serum, dan menurunnya laju aktivasi
vitamin D yang lazim terjadi seiring proses penuaan.
3. Osteoporosis sekunder
Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan
obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi
vitamin D dan terapi glukokortikoid (Dipiro et al, 2005).
Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di
usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk memenuhi
kalsium darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan
kerapuhan tulang.
Terapi dengan glukokortikoid secara terus menerus juga menyebabkan
efek samping berupa osteoporosis. Kortikosteroid menyebabkan penurunan
penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium dari usus,
peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni dan peningkatan
hilangnya kalsium tulang. Sehingga diperlukan pengukuran kepadatan tulang
pasien untuk mengidentifikasi kemungkinan osteoporosis.
2.5 GEJALA DAN TANDA

Osteoporosis dikenal sebagai silent disease karena pengeroposan tulang


terjadi secara progresif selama beberapa tahun tanpa disertai dengan adanya
gejala. Beberapa gejala yang terjadi umumnya baru muncul setelah mencapai
tahap osteoporosis lanjut. Gejala-gejala umum yang terjadi pada kondisi
osteoporosis adalah : fraktur tulang, postur yang bungkuk (Toraks kifosis atau
Dowager's hump), berkurangnya tinggi badan, nyeri pada punggung, nyeri leher
dan nyeri tulang (Setyohadi, 2009).

Fraktur yang terjadi pada leher femur dapat mengakibatkan hilangnya


kemampuan mobilitas penderita baik yang bersifat sementara maupun menetap.
Fraktur pada distal radius akan menimbulkan rasa nyeri dan terdapat penurunan
kekuatan genggaman, sehingga akan menurunkan kemampuan fungsi
gerak.Sedangkan tanda dan gejala fraktur vertebra adalah nyeri punggung,
penurunan gerak spinal dan spasme otot di daerah fraktur. Semua keadaan di atas
menyebabkan adanya keterbatasan dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari
(Setyohadi, 2009).

Pada awalnya osteoporosis tidak menimbulkan gejala, bahkan sampai


puluhan tahun tanpa keluhan. Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga
tulang menjadi kolaps atau hancur, akan timbul nyeri dan perubahan bentuk tulang.
Jadi, seseorang dengan osteoporosis biasanya akanmemberikan keluhan atau gejala
sebagai berikut:
Gejala osteoporosis yaitu:
1. Nyeri
2. Immobilitas
3. Depresi, ketakutan dan rasa rendah diri karena keterbatasan fisik.
Tanda osteoporosis yaitu:
1. Pemendekan tinggi badan, kifosis atau lordosis
2. Fraktur tulang punggung, panggul dan pergelangan tangan
3. Kepadatan tulang rendah pada pemeriksaan radiografi
(Hannan, 2001)
2.6 Faktor Risiko Osteoporosis

Osteoporosis dapat menyerang setiap orang dengan faktor risiko yang


berbeda. Faktor risiko Osteoporosis dikelompokkan menjadi dua, yaitu yang tidak
dapat dikendalikan dan yang dapat dikendalikan. Berikut ini faktor risiko
osteoporosis yang tidak dapat dikendalikan:
1. Jenis kelamin
Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih besar
dibandingkan kaum pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon estrogen yang
mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35 tahun.
2. Usia
Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena secara
alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya usia. Osteoporosis
pada usia lanjut terjadi karena berkurangnya massa tulang yang juga disebabkan
menurunnya kemampuan tubuh untuk menyerap kalsium.
3. Ras
Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena osteoporosis.
Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia, Denmark) dan Asia berisiko lebih
tinggi terkena osteoporosis dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki
massa tulang lebih padat dibanding ras kulit putih Amerika. Mereka juga
mempunyai otot yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar.
Ditambah dengan kadar hormon estrogen yang lebih tinggi pada ras Afrika.
4. Pigmentasi dan tempat tinggal
Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa, mempunyai
risiko terkena osteoporosis yang lebih rendah dibandingkan dengan ras kulit putih
yang tinggal di wilayah kutub seperti Norwegia dan Swedia.
5. Riwayat keluarga
Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau mempunyai massa
tulang yang rendah, maka keturunannya cenderung berisiko tinggi terkena
osteoporosis.
6. Sosok tubuh
Semakin mungil seseorang, semakin berisiko tinggi terkena osteoporosis.
Demikian juga seseorang yang memiliki tubuh kurus lebih berisiko terkena
osteoporosis dibanding yang bertubuh besar.
7. Menopause
Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena tubuh
tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen dibutuhkan untuk
pembentukan tulang dan mempertahankan massa tulang. Semakin rendahnya
hormon estrogen seiring dengan bertambahnya usia, akan semakin berkurang
kepadatan tulang sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah.
Menopause dini bisa terjadi jika pengangkatan ovarium terpaksa dilakukan
disebabkan adanya penyakit kandungan seperti kanker, mioma dan lainnya.
Menopause dini juga berakibat meningkatnya risiko terkena osteoporosis.

Berikut ini faktor – faktor risiko osteoporosis yang dapat dikendalikan. Faktor-
faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola hidup.
1. Aktivitas fisik
Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak terlatih
dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat menurunnya kekuatan
tulang. Untuk menghindarinya, dianjurkan melakukan olahraga teratur minimal
tiga kali dalam seminggu (lebih baik dengan beban untuk membentuk dan
memperkuat tulang).
2. Kurang kalsium
Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh kurang maka
tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian
tubuh lain, termasuk yang ada di tulang. Kebutuhan akan kalsium harus disertai
dengan asupan vitamin D yang didapat dari sinar matahari pagi, tanpa vitamin D
kalsium tidak mungkin diserap usus (Suryati, 2006).
3. Merokok
Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding bukan
perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai kadar estrogen lebih
rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat dibanding wanita
bukan perokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok berpengaruh buruk pada
tubuh dalam hal penyerapan dan penggunaan kalsium. Akibatnya, pengeroposan
tulang/osteoporosis terjadi lebih cepat.
4. Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding
lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan
kalsium (yang ada dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang dan pada
gilirannya menyebabkan osteoporosis.
5. Minuman soda
Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor
akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan
kafein meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin. Untuk menghindari bahaya
osteoporosis, sebaiknya konsumsi soft drink harus dibarengi dengan minum susu
atau mengonsumsi kalsium ekstra (Tandra, 2009)
6. Stres
Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortisol yang
diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang tinggi akan
meningkatkan pelepasan kalsium kedalam peredaran darah dan akan
menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga meningkatkan
terjadinya osteoporosis.
7. Bahan kimia
Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan makanan
(sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan bermotor, dan limbah
industri seperti organoklorida yang dibuang sembarangan di sungai dan tanah,
dapat merusak sel-sel tubuh termasuk tulang. Ini membuat daya tahan tubuh
menurun dan membuat pengeroposan tulang (Waluyo, 2009).
2.7 DIAGNOSIS
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-
kadang tidak memberikan tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi.
Diagnose penyakit osteoporosis kadang-kadang baru diketahui setelah terjadinya
patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah
tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya dari waktu ke waktu
massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat diubah
kembali. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1142 / Menkes / SK/
VII/ 2008, pelaksanaan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai kemungkinan osteoporosis
ialah:
a. Adanya faktor resiko (faktor prediposisi)
b. Terjadi patah tulang secara tiba-tiba karena trauma yang ringan atau tanpa trauma
c. Timbul rasa nyeri yang hebat sehingga pasien tidak dapat melakukan pergerakan
d. Tumbuh makin pendek dan bongkok (kifosis dorsal bertambah)
Anamnesis dapat dilengkapi dengan menggunakan formulir test semenit
resiko osteoporosis yang dikeluarkan oleh IOF (International Osteoporosis
Foundation). Anamnesis diperlukan karena keluhan utama dapat langsung
mengarah ke pada diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis,
kesemutan dan rasa kebal disekitar mulut, immobilisasi yang lama, pengaruh
obat-obatan, alcohol, merokok. (De Jong, 2005).

2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi badan dan postur tubuh.
Tinggi Badan dan berat badan harus diukur pada pasien osteoporosis, gaya berjalan,
nyeri spinal, sering ditemukannya kifosis dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi
badan.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Kadar serum puasa kalsium, fosfat fosfatase alkali. Bila ada indikasi
dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan fungsi tiroid, hati dan ginjal.
Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam berguna untuk menentukan pasien
malabsorpsi kalsium (total ekskresi 24 jam <100 mg) dan untuk pasien yang
jumlah ekskresi kalsium sangat tinggi (>250 mg/24 jam) yang bila diberi
suplemen kalsium atau vitamin D atau metabolismenya mungkin berbahaya. Bila
dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroidisme,maka perlu
diperiksa kadar hormone paratiroid (PHT). Bila ada dugaan ke arah
malabsorpsi maka perlu diperiksa kadar 25 OH D.

b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi
osteoporosis lanjut atau jika hasil BMD yang diperoleh dari hasil pemerik
saan dengan menggunakan alat densitometer menunjukkan positif tinggi.

c. Pemeriksaan densitometer (ultrasound)


Pemeriksaaan densitometer untuk mengukur kepadatan tulang
(BMD) berdasarkan standar deviasi (SD) yang terbaca oleh alat tersebut.
Densitometer merupakan alat test terbaik untuk mendiagnosis seseorang
penderita osteopeni atau osteoporosis, namun tes ini tidak dapat menentukan
cepatnya proses kehilangan massa tulang. Jika densitometer ultrasound menunjukkan
nilai rendah (T-score dibawah -2,5) sebaiknya disarankan menggunakan
densitometer X-ray. Penilaian osteoporosis dengan densitometer:
 Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1 selisih
pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di bawah rata-rata
orang dewasa atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau sama dengan -1 SD).
 Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral
tulang lebih dari 1 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, tapi tidak
lebih dari 2,5 Selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, (T-score
antara -1 SD sampai -2,5 SD).
 Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari
2,5 selisih pokok di bawah nilai ratarata orang dewasa, atau 25% di bawah
rata-rata atau kurang (T-score di bawah -2,5 SD).
 Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih
dari 2,5 selisih pokok di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah
rata-rata ini atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang
osteoporosis (T-score di bawah -2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah
tulang osteoporosis).

2.8 SASARAN DAN TUJUAN TERAPI


Sasaran terapi osteoporosis bagi individu dengan kategori usia hingga 20-30
tahun adalah mencapai kepadatan tulang yang optimal. Sedangkan untuk individu
dengan kategori usia diatas 30 tahun, sasarannya adalah mempertahankan kepadatan
mineral tulang (bone mineral density / BMD) dan meminimalkan keropos pada
tulang yang diakibatkan karena pertambahan usia (age-related) atau karena keadaan
post-menopause.
Pencegahan terjadinya osteoporosis penting dilakukan pada individu dengan
keadaan osteopenia (keadaan dimana kepadatan mineral tulang dibawah nilai
normal), karena individu yang telah mengalami osteopenia dapat memiliki
kemungkinan berlanjut menjadi osteoporosis bila tak ditangani sedini mungkin.
Sedangkan untuk penderita osteoporosis dengan risiko patah tulang, sasaran
terapinya adalah meningkatkan kepadatan mineral tulang, menghindari terjadinya
keropos tulang lebih lanjut dan menjaga agar tidak sampai terjadi patah tulang atau
menghindari kegiatan-kegiatan yang memiliki risiko tinggi menyebabkan patah
tulang, contohnya olahraga berat.
Bagi individu yang mengalami patah tulang berkaitan dengan osteoporosis,
sasaran terapi adalah untuk mengontrol rasa nyeri, memaksimalkan proses
rehabilitasi untuk mengembalikan kualitas hidup dan kemandirian pasien, serta
mencegah terjadinya patah tulang kembali atau bahkan kematian (Wells, 2006).

Terapi farmakologi dan non farmakologi osteoporosis memiliki tujuan :


1. mencegah terjadinya fraktur dan komplikasi
2. pemeliharaan dan meningkatkan densitas mineral tulang
3. mencegah pengeroposan tulang
4. mengurangi morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan osteoporosis
(Chisholm-burns et.al , 2008).

2.9 TATA LAKSANA TERAPI


1. Terapi Non Farmakologi
a. Nutrisi
Pasien osteoporosis sebaiknya mendapatkan nutrisi yang cukup dan
pemeliharaan berat badan yang ideal. Diet kalsium penting untuk
memelihara densitas tulang. Nutrisi tersebut dapat berupa vitamin D yang
bisa didapatkan dari brokoli, kacang-kacangan, ikan teri, ikan salmon, susu,
kuning telur, hati dan sardine serta paparan sinar matahari.
b. Olahraga
Olahraga seperti berjalan, jogging, menari dan panjat tebing dapat
bermanfaat dalam mencegah kerapuhan dan fraktur tulang. Hal tersebut
dapat memelihara kekuatan tulang (Chisholm-burns et.al , 2008). Prinsip
latihan fisik untuk kesehatan tulang adalah latihan pembebanan, gerakan
dinamis dan ritmis, serta latihan daya tahan (endurans) dalam bentuk
aerobic low impact. Senam osteoporosis untuk mencegah dan mengobati
terjadinya pengeroposan tulang. Daerah yang rawan osteoporosis adalah
area tulang punggung, pangkal paha dan pergelangan tangan (Anonim,
2011).

2. Terapi Farmakologi
Algoritma Pencegahan Osteoporosis

Semua orang sepanjang hidup seharusnya mendapat:

- Nutrisi yang tepat (mineral dan elektrolit, vitamin, protein, karbohidrat).


- Suplemen Ca dan vitamin D bila perlu untuk meningkatkan asupan yang
memadai
- Aktivitas fisik yang optimal (berat badan, penguatan otot, ketangkasan,
keseimbangan)
- Gaya hidup yang sehat (tidak merokok, tidak minum alcohol, dan kafein).
- Pencegahan terhadap kecelakaan atau trauma

Algoritma terapi menurut Dipiro (2005), dibagi menjadi dua yaitu:


1. Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density)
Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD :
 Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang
 Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu
lama.
Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan
Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal,
teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah
pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide
2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density)
Populasi yang perlu pengukuran BMD :
 Untuk wanita dengan usia ≥ 65 tahun
 Untuk wanita usia 60-64 tahun postmenopause dengan peningkatan
risiko osteoporotis
 Pria dengan 70 tahun atau yang risiko tinggi
Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD
termasuk normal, tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun.
Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah
Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).
Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat
dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan,
maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin.
Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis
sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC,
panel kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan
penyebab, bila ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan
Biphosphonate maka pilihan pengobatannya adalah Biphosphonate
parenteral, Teriparatide, Raloxifene dan Calcitonin.
Dari hasil pengukuran Osteoporosis dengan skor T < -2,5, terapi dapat
dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan Biphosphonate
pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide,
bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian
Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide.
Obat yang digunakan dalam terapi osteoporosis, yaitu :
1. Terapi Resorpsi
A. Kalsium
Mekanisme kerja obat
Kalsium berfungsi sebagai integritas sistem saraf dan otot, untuk kontraktilitas
jantung normal dan koagulasi darah. Kalsium berfungsi sebagai kofaktor enzim dan
mempengaruhi aktivitas sekresi kelenjar endokrin dan eksokrin
Data farmakokinetik
1. Absorpsi
Absorpsi kalsium dari saluran pencernaan dengan difusi pasif dan transpor
aktif. Kalsium harus dalam bentuk larut dan terionisasi agar bisa diabsorpsi.
Vitamin D diperlukan untuk absorpsi lasium dan meningkatkan mekanisme
absorpsi. Absorpsi meningkat dengan adanya makanan. Ketersediaan oral pada
orang dewasa berkisar dari 25% hingga 35% jika diberikan dengan sarapan
standar. Absorpsi dari susu sekitar 29% dalam kondisi yang sama.
2. Distribusi
Kalsium secara cepat didistribusikan ke jaringan skelet. Kalsium menembus
plasenta dan mencapai kosentrasi yang lebih tinggi pada darah fetah dibanding
darah ibu. Kalsium juga didistribusikan dalam susu.

3. Ekskresi
Kalsium dieksresikan melalui feses, urin dan keringat.

Kontraindikasi
Kalsium dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia dan fibrilasi
ventrikuler
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsium yaitu gangguan
gastrointestinal ringan, bradikardia, aritmia, dan iritasi pada injeksi intravena
(Anonim, 2008).

B. Vitamin D
Mekanisme kerja obat
Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang diperoleh dari sumber alami
(minyak hati ikan) atau dari konversi provitamin D (7-dehidrokolesterol dan
ergosterol). Pada manusia, suplai alami vitamin D tergantung pada sinar ultraviolet
untuk konversi 7-dehidrokolesterol menjadi vitamin D3 atau ergosterol menjadi
vitamin D2. Setelah pemaparan terhadap sinar uv , vitamin D3 kemudian diubah
menjadi bentuk aktif vitamin D (Kalsitriol) oleh hati dan ginjal. Vitamin D
dihidroksilasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi 25-hidroksi-vitamin D3 (25-[OH]-
D3 atau kalsifediol). Kalsifediol dihidroksilasi terutama di ginjal menjadi 1,25-
dihidroksi-vitamin D (1,25-[OH]2-D3 atau kalsitriol) dan 24,25-
dihidroksikolekalsiferol. Kalsitriol dipercaya merupakanbentuk vitamin D3 yang
paling aktif dalam menstimulasi transport kalsium usus dan fosfat.
Kontraindikasi
Vitamin D dikontraindikasikan dengan hiperkalsemia, bukti adanya toksistas
vitamin D, sindrom malabsorpsi, hipervitaminosis D, sensitivitas abnormal terhadap
efek vitamin D, penurunan fungsi ginjal.
Efek samping
efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi vitamin D ini yaitu sakit kepala,
mual, muntah, mulut kering dan konstipasi.

C. Biofosfonat
Mekanisme kerja obat
Biofosfonat bekerja terutama pada tulang. Kerja farmakologi utamanya adalah
inhibisi resorpsi tulang normal dan abnormal. Tidak ada bukti bahwa biofosfonat
dimetabolisme. Biofosfonat utnuk menoptimalkan manfaat klinis harus dengan dosis
yang tepat dan meminimalkan resiko efeksamping terhadap saluran pencernaan.
Semua bifosfonat sedikit diabsorpsi (bioavaibilitas 1-5%).
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi biofosfonat yaitu mual, nyeri
abdomen dan dyspepsia (Anonim, 2008).

D. Selective Estrogen Receptor Modulators (SERMs)


Raloxifene merupakan agonis estrogen pada jaringan tulang tetapi merupakan
antagonis pada payudara dan uterus. Raloxifen meningkatkan BMD tulang belakang
dan pinggul sebesar 2-3% dan menurunkan fraktur tulang belakang. Fraktur non-
vertebral tidak dapat dicegah dengan raloxifene.
Mekanisme kerja
Raloxifene merupakan reseptor estrogen selektif yang mengurangi resorpsi tulang
dan menurunkan pembengkokan tulang.
Data farmakokinetik
1. Absorpsi
Raloxifene diabsorpsi secara cepat setelah pemberian oral dengan sekitar 60%
dosis oral absorpsi.
2. Distribusi
Volume distribusi nyata sebesar 2348L/kg dan tidak tergantung dosis. sekitar
95% raloxifene dan konjugat monoglukoronid terikat pada protein plasma.
3. Metabolisme
Raloxifene mengalami metabolisme lintas pertama menjadi konjugat
glukoronid dan tidak dimetabolisme melalui jalur sitokrom P450.
4. Ekskresi
Raloxifene terutama diekskresikan pada feses dan urin.
Kontraindikasi
Kontraindikasi pada SERMs ini yaitu pada wanita hamil dan menyusui.
hipersensitif raloxifene (Anonim, 2008).

E. Kalsitonin
Mekanisme kerja
Bersama dengan hormon paratiroid, kalsitonin berperan dalam mengatur
homeostasis Ca dan metabolisme Ca tulang. Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar
tiroidketika terjadi peningkatan kadar kalsium serum.
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsitonin yaitu mual, muntah,
flushing (Anonim, 2008).

F. Estrogen dan terapi hormonal


Mekanisme kerja
Estrogen menurunkan aktivitas osteoklas, menghambat PTH secara periferal,
meningkatkan konsentrasi kalsitriol dan absorpsi kalsium di usus, dan menurunkan
ekskresi kalsium oleh ginjal. Penggunaan estrogen dalam jangka waktu lamatanpa
diimbangi progesteron meningkatkan risiko kanker endometrium pada wanita yang
uterusnya utuh.

Kontraindikasi
Estrogen ini kontraindikasi dengan wanita hamil dan menyusui, kanker estrogen-
independent (Anonim, 2008).

G. Fitoestrogen
Isoflavonoid (protein kedelai) dan lignan (flaxseed) merupakan bentuk estrogen
dimana efeknya terhadap tulang dapat disebabkan aktivitas agonis reseptor estrogen
tulang atau efek terhadap osteoblas dan osteoklas. beberapa studi isoflavon
menggunakan dosis yang lebih besar dilaporkan dapat menurunkan penanda resorpsi
tulang dan sedikit meningkatkan densitas (Anonim, 2008).

H. Testosteron
Penurunan konsentrasi testosteron tampak pada penyakit gonad, gangguan
pencernaan dan terapi glukokortikoid. Berdasarkan penelitian terapi testosteron ini
dapat meningkatkan BMD dan mengurangi hilangnya massa tulang pada pasien
osteoporosis laki-laki (Dipiro et.al , 2005).

I. Diuretik Tiazid
Diuretik tiazid meningkatkan reabsorbsi kalsium. Berdasarkan penelitian
pasien yang mengkonsumsi diuretik tiazid memiliki massa tulang lebih besar dan
fraktur yang lebih sedikit. Diuretik tiazid ini diberikan ketika pasien osteoporosis
dengan glukokortikoid yang lebih besar dari 300mg dari jumlah kalsium yang
dikeluarkan dalam urin selama lebih dari 24 jam (Dipiro et.al , 2005).

2. Terapi Pembentukan Tulang

Teriparatide (Hormon Paratiroid)


Terapi anabolik ini hanya untuk terapi menjaga dan memelihara bentuk
tulang. Teriparatide merupakan produk rekombinan yang mewakili 34 asam amino
pertama dalam PTH manusia. Teriparatide meningkatkan formasi tulang, perubahan
bentuk tulang dan jumlah osteoblast beserta aktivitasnya sehingga massa tulang akan
meningkat. Teriparatide disarankan oleh FDA kepada wanita postmenopouse dan
laki-laki yang memiliki resiko tinggi terjadi fraktur. Efikasi dari teriparatide ini dapat
meningkatkan BMD. PTH analog sangat penting dalam pengelolaan pasien
osteoporosis yang memiliki risiko tinggi patah tulang karena PTH merangsang
pembentukan tulang baru. Kontraindikasi teriparatide ini yaitu pada pasien
hiperkalsemia, penyakit metabolik tulang lainnya dan kanker otot (Dipiro et.al ,
2005).
Hasil penelitian terbaru membuktikan bahwa obat teriparatide berperan lebih
baik dibanding alendronate dalam meningkatkan kepadatan tulang dan mengurangi
patah tulang belakang pada pasien dengan osteoporosis yang diinduksi
glukokortikoid (glucocorticoid-induced osteoporosis) (Anonim, 2010).
BAB III

PENUTUP

1.1. KESIMPULAN
Osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai
sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-
arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan
kerapuhan tulang.
Sasaran terapi osteoporosis bagi individu dengan kategori usia hingga 20-30
tahun adalah mencapai kepadatan tulang yang optimal. Sedangkan untuk individu
dengan kategori usia diatas 30 tahun, sasarannya adalah mempertahankan kepadatan
mineral tulang (bone mineral density / BMD) dan meminimalkan keropos pada
tulang yang diakibatkan karena pertambahan usia (age-related) atau karena keadaan
post-menopause.
Terapi farmakologi dan non farmakologi osteoporosis memiliki tujuan
mencegah terjadinya fraktur dan komplikasi, pemeliharaan dan meningkatkan
densitas mineral tulang, mencegah pengeroposan tulang, mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang berhubungan dengan osteoporosis.

1.2. SARAN
Diharapkan makalah ini bisa memberikan masukan kepada pembaca agar bisa
memahami penyakit osteoporosis. Kenali sejak dini gejala-gejala osteoporosis.
Lakukan penatalaksanaan terapi osteoporosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2008a, ISO Farmakoterapi, Jakarta : PT ISFI Penerbitan.


Anonim, 2008b, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 8 2008/2009,
Jakarta: Info Master.
Anonim, 2010, Teriparatide Padatkan Tulang Lebih Baik , Majalah Farmacia
Edisi Januari 2010 Vol.9 No.6, http://www.majalah-
farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=1540, diakses tanggal 22
September 2011.
Anonim,2011,SenamOsteoporosis,http://www.medistra.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=45:Senam%20Osteoporosis,
diakses tanggal 22 September 2011.
Chisholm-burns, Marie A., Wells, Barbara G., Schwinghammer, Terry L.,
Malone, Patrick M., Kolesar, Jill M., Rotschafer, John C., Dipiro, Joseph
T., 2008, Pharmacotherapy principles and practice, United States of
America : McGraw-Hill Companies, Inc.

Dipiro, Joseph T., Talbert , Robert L.,Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells,
Barbara G., Posey, L. Michael., 2005, Pharmacotheraphy a
Pathophysiologic Approach 1 Fifth Edition, United States of America :
McGraw-Hill Companies, Inc.

Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., and L.
Michael Posey. 2006. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.
Seventh edition. New York. Mc Graw Hill Medical.

Hannan, E.L., Magaziner, J., Wang, J.J., Eastwood, E.A., Silberzweig, S.B.,
Gilbert, M., Morrison, R.S., McLaughlin, M.A., Orosz, G.M., Siu, A.L.,
2001, Mortality and locomotion 6 months after hospitalization for hip
fracture: risk factors and risk-adjusted hospital outcomes, JAMA,
285(21):2736-42.

Ikawati, Z., Mari Melangkah Dengan Pasti di Tahun 2011 (tanpa osteoporosis),
http://zulliesikawati.wordpress.com/2011/01/03/mari-melangkah-dengan-
pasti-tanpa-osteoporosis/, diakses tanggal 22 September 2011.

Anda mungkin juga menyukai