OSTEOPOROSIS
NOMOR BP : 1604071
KELAS :A
YAYASAN PERINTIS
PADANG
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Osteoporosis”.
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih banyak ketidak
sempurnaan dalam penyusunan, oleh karena itu diharapkan kritik maupun saran yang
bersifat membangun untuk penyempurnaan makalah ini.
Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan ridhonya pada kita
semua, semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................i
Daftar Isi............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
2.2.Defenisi Osteoporosis...........................................................................4
2.3. Epidemiologi..........................................................................................5
2.4. Etiologi................................................................................................7
2.7. Diagnosis...........................................................................................17
3.1. Kesimpulan.......................................................................................25
3.2. Saran.................................................................................................25
PENDAHULUAN
Osteoporosis dapat dijumpai tersebar di seluruh dunia dan sampai saat ini
masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat terutama di negara
berkembang. Di Amerika Serikat osteoporosis menyerang 20-25 juta penduduk, satu
diantara 2-3 wanita post-menopause dan lebih dari 50% penduduk di atas umur 75-80
tahun. Masyarakat atau populasi osteoporosis yang rentan terhadap fraktur adalah
populasi lanjut usia yang terdapat pada kelompok di atas usia 85 tahun, terutama
terdapat pada kelompok lansia tanpa suatu tindakan pencegahan terhadap
osteoporosis. Proses terjadinya osteoporosis sudah di mulai sejak usia 40 tahun dan
pada wanita proses ini akan semakin cepat pada masa menopause.
Berdasar data Depkes, jumlah penderita osteoporosis di Indonesia jauh lebih
besar dan merupakan Negara dengan penderita osteoporosis terbesar ke 2 setelah
Negara Cina.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Osteoporosis sebenarnya merupakan kondisi yang dapat dicegah, namun
dewasa ini telah menjadi masalah kesehatan umum yang mengganggu.
Penurunan massa, kualitas, dan kekuatan tulang berkontribusi meningkatkan
risiko osteoporosis dan fraktur. Patah tulang (fraktur) yang berkaitan dengan
osteoporosis umumnya menyebabkan nyeri, kifosis, keterbatasan fisik, bahkan
kematian.
Prevalensi tepatnya tidak diketahui, namun hampir separuh dari penduduk
amerika usia 50 tahun ke atas ,atau 44 juta orang, memiliki massa tulang yang
rendah. Jumlah ini diperkirakan meningkat hingga lebih dari 60 juta orang selama
15 tahun ke depan. Kejadiannya sangat bervariasi dalam subpopulasi dan
tergantung dari banyak faktor risiko, daerah rangka yang diukur, dan teknologi
radiologi yang digunakan. Pada akhir tahun 1990an, berdasarkan pengukuran
densitas mineral tulang (BMD) periferal, 40% wanita postmenopause mengalami
osteopenia dan 7% mengalami osteoporosis.
Saat klasifikasi BMD WHO diaplikasikan pada data dari National Health and
Nutrition Examination Survey ketiga (NHANES III, dari tahun 1988-1994),
prevalensi osteopenia dan osteoporosis pada penduduk Amerika adalah sebagai
berikut :
- Wanita non hispanic kulit putih : 52% dan 20%
- Wanita non hispanik kulit hitam : 35% dan 5%
- Wanita Amerika-meksiko : 49% dan 10%
- Pria dari segala ras : 47% dan 6%, menggunakan rerata BMD pria usia muda
- Pria dari segala ras : 33% dan 4%, menggunakan rerata BMD wanita usia muda.
2.4. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya osteoporosis adalah multifaktorial, dengan banyak faktor
risiko. Namun dari berbagai faktor risiko tersebut, yang paling banyak dan
umum dijumpai adalah :
1. Osteoporosis postmenopause
Dalam keadaan normal estrogen akan mencapai sel osteoblas dan
beraktivitas melalui reseptor yang terdapat dalam sitosol, mengakibatkan
menurunnya sekresi sitokin seperti IL-1, IL-6, dan TNF α yang berfungsi
dalam penyerapan tulang.
Di lain pihak, estrogen akan meningkatkan sekresi TGF β yang
merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke daerah tulang yang
mengalami penyerapan oleh osteoklas.
Sedangkan efek estrogen normal pada osteoklas adalah menekan
diferensiasi dan aktivasi sel osteoklas dewasa. Defisiensi estrogen setelah
menopause meningkatkan proliferasi, diferensiasi, dan aktivasi osteoklas baru
dan memperpanjang masa hidup osteoklas lama, sehingga resorpsi tulang
melebihi pembentukannya (Dipiro et al, 2005).
2. Osteoporosis terkait usia
Hampir separuh masa hidup terjadi mekanisme penyerapan dan
pembentukan tulang. Selama masa anak-anak dan dewasa muda pembentukan
tulang jauh lebih cepat dibanding penyerapan tulang. Titik puncak massa
tulang terjadi pada usia sekitar 30 tahun, dan setelah itu mekanisme resorpsi
tulang menjadi lebih jauh lebih cepat dibanding pembentukan tulang.
Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan kerusakan
mikroarsitektur tulang, terutama pada tulang trabekular. Progresifitas resorpsi
tulang merupakan kondisi normal dalam proses penuaan. Peristiwa ini diawali
pada antara dekade 3 sampai 5 kehidupan. Perkembangan resorpsi tulang
lebih cepat pada tulang trabekular dibanding tulang kortikal, dan pada wanita
akan mengalami percepatan menjelang menopause.
Progresifitas resorpsi pada usia tua juga diperburuk dengan penurunan
fungsi organ tubuh, termasuk penurunan absorbsi kalsium di usus,
meningkatnya hormon paratiroid dalam serum, dan menurunnya laju aktivasi
vitamin D yang lazim terjadi seiring proses penuaan.
3. Osteoporosis sekunder
Merupakan osteoporosis yang disebabkan oleh penyakit atau penggunaan
obat tertentu. Penyebab paling umum osteoporosis sekunder adalah defisiensi
vitamin D dan terapi glukokortikoid (Dipiro et al, 2005).
Defisiensi vitamin D akan menyebabkan penurunan absorpsi kalsium di
usus, sehingga kalsium dalam darah akan turun, sehingga untuk memenuhi
kalsium darah akan diambil kalsium dari tulang yang dapat menyebabkan
kerapuhan tulang.
Terapi dengan glukokortikoid secara terus menerus juga menyebabkan
efek samping berupa osteoporosis. Kortikosteroid menyebabkan penurunan
penyerapan kalsium dari usus, peningkatan hilangnya kalsium dari usus,
peningkatan hilangnya kalsium melalui ginjal dalam air seni dan peningkatan
hilangnya kalsium tulang. Sehingga diperlukan pengukuran kepadatan tulang
pasien untuk mengidentifikasi kemungkinan osteoporosis.
2.5 GEJALA DAN TANDA
Berikut ini faktor – faktor risiko osteoporosis yang dapat dikendalikan. Faktor-
faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola hidup.
1. Aktivitas fisik
Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak terlatih
dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat menurunnya kekuatan
tulang. Untuk menghindarinya, dianjurkan melakukan olahraga teratur minimal
tiga kali dalam seminggu (lebih baik dengan beban untuk membentuk dan
memperkuat tulang).
2. Kurang kalsium
Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh kurang maka
tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil kalsium dari bagian
tubuh lain, termasuk yang ada di tulang. Kebutuhan akan kalsium harus disertai
dengan asupan vitamin D yang didapat dari sinar matahari pagi, tanpa vitamin D
kalsium tidak mungkin diserap usus (Suryati, 2006).
3. Merokok
Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding bukan
perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai kadar estrogen lebih
rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun lebih cepat dibanding wanita
bukan perokok. Nikotin yang terkandung dalam rokok berpengaruh buruk pada
tubuh dalam hal penyerapan dan penggunaan kalsium. Akibatnya, pengeroposan
tulang/osteoporosis terjadi lebih cepat.
4. Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding
lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh kehilangan
kalsium (yang ada dalam darah) yang dapat menurunkan massa tulang dan pada
gilirannya menyebabkan osteoporosis.
5. Minuman soda
Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein). Fosfor
akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari tulang, sedangkan
kafein meningkatkan pembuangan kalsium lewat urin. Untuk menghindari bahaya
osteoporosis, sebaiknya konsumsi soft drink harus dibarengi dengan minum susu
atau mengonsumsi kalsium ekstra (Tandra, 2009)
6. Stres
Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortisol yang
diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang tinggi akan
meningkatkan pelepasan kalsium kedalam peredaran darah dan akan
menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga meningkatkan
terjadinya osteoporosis.
7. Bahan kimia
Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan makanan
(sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan bermotor, dan limbah
industri seperti organoklorida yang dibuang sembarangan di sungai dan tanah,
dapat merusak sel-sel tubuh termasuk tulang. Ini membuat daya tahan tubuh
menurun dan membuat pengeroposan tulang (Waluyo, 2009).
2.7 DIAGNOSIS
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Osteoporosis merupakan penyakit yang hening (silent), kadang-
kadang tidak memberikan tanda-tanda atau gejala sebelum patah tulang terjadi.
Diagnose penyakit osteoporosis kadang-kadang baru diketahui setelah terjadinya
patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau patah
tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya dari waktu ke waktu
massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan tidak dapat diubah
kembali. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1142 / Menkes / SK/
VII/ 2008, pelaksanaan diagnosis adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diwaspadai kemungkinan osteoporosis
ialah:
a. Adanya faktor resiko (faktor prediposisi)
b. Terjadi patah tulang secara tiba-tiba karena trauma yang ringan atau tanpa trauma
c. Timbul rasa nyeri yang hebat sehingga pasien tidak dapat melakukan pergerakan
d. Tumbuh makin pendek dan bongkok (kifosis dorsal bertambah)
Anamnesis dapat dilengkapi dengan menggunakan formulir test semenit
resiko osteoporosis yang dikeluarkan oleh IOF (International Osteoporosis
Foundation). Anamnesis diperlukan karena keluhan utama dapat langsung
mengarah ke pada diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis,
kesemutan dan rasa kebal disekitar mulut, immobilisasi yang lama, pengaruh
obat-obatan, alcohol, merokok. (De Jong, 2005).
2. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan mengamati penurunan tinggi badan dan postur tubuh.
Tinggi Badan dan berat badan harus diukur pada pasien osteoporosis, gaya berjalan,
nyeri spinal, sering ditemukannya kifosis dorsal atau gibbus dan penurunan tinggi
badan.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Kadar serum puasa kalsium, fosfat fosfatase alkali. Bila ada indikasi
dianjurkan juga untuk melakukan pemeriksaan fungsi tiroid, hati dan ginjal.
Pengukuran ekskresi kalsium urin 24 jam berguna untuk menentukan pasien
malabsorpsi kalsium (total ekskresi 24 jam <100 mg) dan untuk pasien yang
jumlah ekskresi kalsium sangat tinggi (>250 mg/24 jam) yang bila diberi
suplemen kalsium atau vitamin D atau metabolismenya mungkin berbahaya. Bila
dari hasil klinis, darah dan urin diduga adanya hiperparatiroidisme,maka perlu
diperiksa kadar hormone paratiroid (PHT). Bila ada dugaan ke arah
malabsorpsi maka perlu diperiksa kadar 25 OH D.
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi umumnya terlihat jelas apabila telah terjadi
osteoporosis lanjut atau jika hasil BMD yang diperoleh dari hasil pemerik
saan dengan menggunakan alat densitometer menunjukkan positif tinggi.
2. Terapi Farmakologi
Algoritma Pencegahan Osteoporosis
3. Ekskresi
Kalsium dieksresikan melalui feses, urin dan keringat.
Kontraindikasi
Kalsium dikontraindikasikan pada pasien dengan hiperkalsemia dan fibrilasi
ventrikuler
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsium yaitu gangguan
gastrointestinal ringan, bradikardia, aritmia, dan iritasi pada injeksi intravena
(Anonim, 2008).
B. Vitamin D
Mekanisme kerja obat
Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang diperoleh dari sumber alami
(minyak hati ikan) atau dari konversi provitamin D (7-dehidrokolesterol dan
ergosterol). Pada manusia, suplai alami vitamin D tergantung pada sinar ultraviolet
untuk konversi 7-dehidrokolesterol menjadi vitamin D3 atau ergosterol menjadi
vitamin D2. Setelah pemaparan terhadap sinar uv , vitamin D3 kemudian diubah
menjadi bentuk aktif vitamin D (Kalsitriol) oleh hati dan ginjal. Vitamin D
dihidroksilasi oleh enzim mikrosomal hati menjadi 25-hidroksi-vitamin D3 (25-[OH]-
D3 atau kalsifediol). Kalsifediol dihidroksilasi terutama di ginjal menjadi 1,25-
dihidroksi-vitamin D (1,25-[OH]2-D3 atau kalsitriol) dan 24,25-
dihidroksikolekalsiferol. Kalsitriol dipercaya merupakanbentuk vitamin D3 yang
paling aktif dalam menstimulasi transport kalsium usus dan fosfat.
Kontraindikasi
Vitamin D dikontraindikasikan dengan hiperkalsemia, bukti adanya toksistas
vitamin D, sindrom malabsorpsi, hipervitaminosis D, sensitivitas abnormal terhadap
efek vitamin D, penurunan fungsi ginjal.
Efek samping
efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi vitamin D ini yaitu sakit kepala,
mual, muntah, mulut kering dan konstipasi.
C. Biofosfonat
Mekanisme kerja obat
Biofosfonat bekerja terutama pada tulang. Kerja farmakologi utamanya adalah
inhibisi resorpsi tulang normal dan abnormal. Tidak ada bukti bahwa biofosfonat
dimetabolisme. Biofosfonat utnuk menoptimalkan manfaat klinis harus dengan dosis
yang tepat dan meminimalkan resiko efeksamping terhadap saluran pencernaan.
Semua bifosfonat sedikit diabsorpsi (bioavaibilitas 1-5%).
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi biofosfonat yaitu mual, nyeri
abdomen dan dyspepsia (Anonim, 2008).
E. Kalsitonin
Mekanisme kerja
Bersama dengan hormon paratiroid, kalsitonin berperan dalam mengatur
homeostasis Ca dan metabolisme Ca tulang. Kalsitonin dilepaskan dari kelenjar
tiroidketika terjadi peningkatan kadar kalsium serum.
Efek samping
Efek samping yang terjadi ketika mengkonsumsi kalsitonin yaitu mual, muntah,
flushing (Anonim, 2008).
Kontraindikasi
Estrogen ini kontraindikasi dengan wanita hamil dan menyusui, kanker estrogen-
independent (Anonim, 2008).
G. Fitoestrogen
Isoflavonoid (protein kedelai) dan lignan (flaxseed) merupakan bentuk estrogen
dimana efeknya terhadap tulang dapat disebabkan aktivitas agonis reseptor estrogen
tulang atau efek terhadap osteoblas dan osteoklas. beberapa studi isoflavon
menggunakan dosis yang lebih besar dilaporkan dapat menurunkan penanda resorpsi
tulang dan sedikit meningkatkan densitas (Anonim, 2008).
H. Testosteron
Penurunan konsentrasi testosteron tampak pada penyakit gonad, gangguan
pencernaan dan terapi glukokortikoid. Berdasarkan penelitian terapi testosteron ini
dapat meningkatkan BMD dan mengurangi hilangnya massa tulang pada pasien
osteoporosis laki-laki (Dipiro et.al , 2005).
I. Diuretik Tiazid
Diuretik tiazid meningkatkan reabsorbsi kalsium. Berdasarkan penelitian
pasien yang mengkonsumsi diuretik tiazid memiliki massa tulang lebih besar dan
fraktur yang lebih sedikit. Diuretik tiazid ini diberikan ketika pasien osteoporosis
dengan glukokortikoid yang lebih besar dari 300mg dari jumlah kalsium yang
dikeluarkan dalam urin selama lebih dari 24 jam (Dipiro et.al , 2005).
PENUTUP
1.1. KESIMPULAN
Osteoporosis adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai
sifat khas berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro-
arsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan
kerapuhan tulang.
Sasaran terapi osteoporosis bagi individu dengan kategori usia hingga 20-30
tahun adalah mencapai kepadatan tulang yang optimal. Sedangkan untuk individu
dengan kategori usia diatas 30 tahun, sasarannya adalah mempertahankan kepadatan
mineral tulang (bone mineral density / BMD) dan meminimalkan keropos pada
tulang yang diakibatkan karena pertambahan usia (age-related) atau karena keadaan
post-menopause.
Terapi farmakologi dan non farmakologi osteoporosis memiliki tujuan
mencegah terjadinya fraktur dan komplikasi, pemeliharaan dan meningkatkan
densitas mineral tulang, mencegah pengeroposan tulang, mengurangi morbiditas dan
mortalitas yang berhubungan dengan osteoporosis.
1.2. SARAN
Diharapkan makalah ini bisa memberikan masukan kepada pembaca agar bisa
memahami penyakit osteoporosis. Kenali sejak dini gejala-gejala osteoporosis.
Lakukan penatalaksanaan terapi osteoporosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, Joseph T., Talbert , Robert L.,Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells,
Barbara G., Posey, L. Michael., 2005, Pharmacotheraphy a
Pathophysiologic Approach 1 Fifth Edition, United States of America :
McGraw-Hill Companies, Inc.
Dipiro, J. T., Robert L. T., Gary C. Y., Gary R. M., Barbara G. W., and L.
Michael Posey. 2006. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.
Seventh edition. New York. Mc Graw Hill Medical.
Hannan, E.L., Magaziner, J., Wang, J.J., Eastwood, E.A., Silberzweig, S.B.,
Gilbert, M., Morrison, R.S., McLaughlin, M.A., Orosz, G.M., Siu, A.L.,
2001, Mortality and locomotion 6 months after hospitalization for hip
fracture: risk factors and risk-adjusted hospital outcomes, JAMA,
285(21):2736-42.
Ikawati, Z., Mari Melangkah Dengan Pasti di Tahun 2011 (tanpa osteoporosis),
http://zulliesikawati.wordpress.com/2011/01/03/mari-melangkah-dengan-
pasti-tanpa-osteoporosis/, diakses tanggal 22 September 2011.