Anda di halaman 1dari 39

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................................1
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................................2
DAFTAR TABEL .................................................................................................................... 3
SKENARIO 3.........................................................................................................................4
LANGKAH.1 KATA SULIT..................................................................................................5
LANGKAH.2 RUMUSAN MASALAH.................................................................................6
LANGKAH.3 BRAINSTORMING........................................................................................7
LANGKAH.4 PETA MASALAH...........................................................................................10
LANGKAH.5 TUJUAN PEMBELAJARAN (LEARNING OUTCOME)...............................11
LANGKAH.6 TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................12
LANGKAH.7 SOAP DAN PETA KONSEP
7.1 PETA KONSEP..........................................................................................................35
7.2 SOAP..........................................................................................................................36
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................37

1
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ................................................................................................................................12
Gambar 2 ................................................................................................................................12
Gambar 3 ................................................................................................................................13
Gambar 4 ................................................................................................................................ 21
Gambar 5 ................................................................................................................................ 22
Gambar 6 ................................................................................................................................ 23
Gambar 7 ................................................................................................................................ 24
Gambar 8 ................................................................................................................................ 24

2
DAFTAR TABEL

Tabel 1 ....................................................................................................................................26
Tabel 2 ....................................................................................................................................31
Tabel 3 ....................................................................................................................................32
Tabel 4 ....................................................................................................................................33

3
SKENARIO 4

Kasihan Sekali Lisa...

Anak Lisa berusia 4 tahun dibawa oleh ibunya ke poli THT dengan keluhan keluar cairan dari telinga
kanan sejak kemarin. Cairan yang keluar berwarna kuning kehijauan seperti ingus kental. Tiga hari
sebelumnya pasien merasa nyeri pada telinga kanan disertai dengan demam. Seminggu yang lalu
pasien batuk pilek dan belum sembuh sampai sekarang. Riwayat mengorek telinga tidak ada. Riwayat
keluar cairan sebelumnya tidak ada.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan:

KU: cukup

Tax: 37,8°C

Nadi: 100 x/menit

Pemeriksaan telinga (D):

Preaurikula:tidak didapatkan fistel

Aurikula: normal, liang telinga lapang, sekret mukopurulen, membran timpani perforasi di
anteroinferior

Retroaurikula: tidak hiperemi, tidak edema, tidak ada sikatriks

Setelah melakukan pemeriksaan, dokter memberikan resep obat.

4
LANGKAH 1

KLARIFIKASI KATA SULIT

1. Preaurikula
Posisi telinga di daerah depan tragus
Bagian anterior dari aurikula

2. Retroaurikula
Di belakang aurikula/ daun telinga
Terdapat adanya limfonodi

3. Fistel
Adalah sebuah saluran.
Fistel preaurikula : sebuah kelainan kongenital, harus di observasi

4. Perforasi
Terbentuknya sebuah lubang
Ada yang bersih dan terkontaminasi (pada orang yang suka olaharaga air)

5.

5
LANGKAH 2

RUMUSAN MASALAH

1. Apa hubungan keluhan dengan usia?


2. Apa yang menyebabkan keluarnya cairan dari telinga kanan?
3. Mengapa cairan yang keluar berwarna kuning kehijauan?
4. Kenapa 3 hari sebelumnya pasien merasa nyeri telinga kanan dan disertai demam?
5. Apakah riwayat batuk dan pilek berhubungan dengan keluhan sekarang?
6. Apa kemungkinan obat yang diresepkan dokter?
7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan telinga?
8. Apa hubungan riwayat mengorek telinga tidak ada dengan keluhan?
9. Apa hubungan tidak keluar cairan sebelumnya dengan keluhan sekarang?
10. Apa kemungkinan diagnosis dari An. Lisa?
11. Kenapa hanya telinga kanan yang terkena?
12. apa kemungkinan pemeriksaan selanjutnya yang dilakukan oleh dokter?

13.

6
LANGKAH 3

JAWABAN RUMUSAN MASALAH

1. Apa hubungan keluhan dengan usia?


Keluar cairan biasanya anak anak sering terkena karena Tuba Eustachius lebih pendek
dan lebih lebar dan lebih horizontal dibanding orang tua.
Ketika ada infeksi di nasofaring, maka infeksi akan mudah masuk ke saluran tuba eustachius.
Adenoid : bisa menyebabkan keluar cairan

Tdak adanya fistel : menunjukkan tidak adanya infeksi dari luar


Obstruksi telinga tengah ; intraluminal dan ekstraluminal (tumor dan hipertrofi adenoid)

ISPA  lebih mudah masuk ke telinga melalui tuba eustachius


Infeksi  statis cairan  bakteri tumbuh

2. Apa yang menyebabkan keluarnya cairan dari telinga kanan?


Keluar cairan : Otitis eksterna (sirkumkripta dan difus)
Kotoran  mendorong cairan sampai ke depan membran timpani

Otitis media 5 stadium :


a. oklusi tuba : ratraksi membran timpani
b. Presupurasi : terjadi hiperemi membran timpani
c. Supurasi : terkumpul sel-sel radang dan menarik cairan, membran timpani bulging
d. Perforasi : membran timpani pecah
e. Resolusi : penyembuhan

Tekanan di dalam cavum timpani turun  serumen menumpuk di cavum timpani  pasokan
oksigen turun  sedangkan didalam cavum timpani resorpsi O2 jalan terus  menyebabkan
permeabilitaas pembuluh darah meningkat  transudasi  membran timpani bulging 
perforasi  cairan keluar.

3. Mengapa cairan yang keluar berwarna kuning kehijauan?


Cairan keluar yang normal berupa serous (warna bening)
Pada fase awal otitis media masih serous  karena obstruksi  menjadi media bakteri
tumbuh  menarik sel sel radang masuk ke cavum timpani  interaksi imun  ketika
perforasi  yang keluar pus (karena ada bakteri)

7
Pada anak anak yang menyerang biasanya piogenik (H. Infuenza, S. Epidermidis, S. Aureus).
Biasa terjadi di anak kecil karen imun anak kecil masih belum sempurna.

4. Kenapa 3 hari sebelumnya pasien merasa nyeri telinga kanan dan disertai demam?
Karena nyeri terjadi pada stadium supurasi.
Pleksus timpanicus (III, V, IX)  menyebabkan nyeri

5. Apakah riwayat batuk dan pilek berhubungan dengan keluhan sekarang?


Berhubungan, karena ada saluran yang menghubungkan nasofaring dan teinga yaitu tuba
eustachius.

6. Apa kemungkinan obat yang diresepkan dokter?


a. Antibiotik : Amoksisilin
b. Rhinitis  Decongestan
c. Analgesik
d. Antipiretik

OMA :
Antibiotik dan observasi
< 6 bulan : antibiotik
6-2 tahun
 2 tahun : amoksisilin 80 mg/KgBB
 Amoksisilin dan Eritromisin 4x50 mg/KgBB

STADIUM PERFORASI :
Obat cuci telinga H2O2 3 % (3-5 hari)

KIE :
dibersihkan pusnya
dilarang berenang
Ampisilin + As. klavulanat
Ibu diajarkan untuk membersihkan telinga anak (memakai tissue yang dipelintir jangan
menggunakan Cotton bud)

7. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan telinga?


Pemeriksaan Fisik :

8
Tax : meningkat (demam subfebris)

Pemeriksaan telinga :
Preaurikula : normal
Aurikula :
Telinga lapang  menandakan tidak terjadi otitis eksterna
Membran timpani perforasi
Retroaurikula : normal  menandakan tidak adanya keterlibatan limfonodi

8. Apa hubungan riwayat mengorek telinga tidak ada dengan keluhan?


Untuk menyingkirkan diagnosis bahwa si anak tidak memiliki riwayat penyakit ostitis
eksterna.
Dan bukan terjaid karena trauma.
Otitis eksterna : membran timpani tidak bisa di evaluasi, karena tertutup oleh kotoran.

9. Apa hubungan tidak keluar cairan sebelumnya dengan keluhan sekarang?


Karena masih belum pada tahap perforasi, sehingga cairan tidak keluar.
Karena sebelumnya tidak punya riwayat penyakit seperti ini.
Karena antibiotik diperhatikan riwayat sebelumnya.
Kalo rekuren  pernah dikasih antibiotik

10. Apa kemungkinan diagnosis dari An. Lisa?


DD :
Otitis media akut (OMA)
Otitis eksterna
Kolesteatoma in Children
Miringitis
WD :
Otitis media akut (OMA)

11. Kenapa hanya telinga kanan yang terkena?


Mungkin An. Lisa punya kebiasaan tidur miring ke kanan.
Unilateral  bukan karena kelainan kongenital

12. Apa kemungkinan pemeriksaan selanjutnya yang dilakukan oleh dokter?


a. Otoskopi
b. Timpanogram

9
c. Kultur bakteri
LANGKAH 4
PROBLEM TREE

10
Epidemiologi
An. Lisa, 4 th

Keluar cairan telinga Faktor


Resiko

PEMERIKSAAN
AMAMNESIS:

RPS :

1. Batuk pilek FISIK; TELINGA (D):


2. Demam
Tax meningkat Aurikula :
RPD :
Sekret, mukopurulen,
1. Tidak pernah keluar membran timpani
cairan sebelumnya Pemeriksaan perforasi di
2. Nyeri telinga 3 hari Penunjang anteroinferior
lalu

Riwayat Kebiasaan :

Riwayat mengorek telinga


disangkal

Etiologi WD : Otitis Media Akut


(OMA) Definisi &
Klasifikasi
Patofisiologi DD:
Miringitis
Diagnosa Banding
Anatomi dan Otitis Media Efusi (OME)
Fisiologi TE

H2O2 3 % (3-5 hari)


Tatalaksana Antibiotik : Amoxicillin
Komplikasi Antipiretik
Prognosis Observasi

LANGKAH 5
LEARNING OUTCOME

11
1. Anatomi dan fisiologi tuba eustachius
2. Definisi dan klasifikasi Otiti Media
3. Epidemiologi Otiti Media Akut
4. Faktor resiko Otiti Media Akut
5. Etiologi Otiti Media Akut
6. Patofisiologi Otiti Media Akut

7. Pemeriksaan penunjang Otiti Media Akut


8. Diagnosis banding Otiti Media Akut
9. Tatalaksana Otiti Media Akut
10. Komplikasi Otiti Media Akut
11. Prognosis Otiti Media Akut
12. Pencegahan Otiti Media Akut

TINJAUAN PUSTAKA

12
1. Anatomi dan fisiologi tuba eustachius
Tuba Eustachius adalah suatu saluran yang terdiri dari mukosa, kartilago, jaringan lunak,
otot-otot perituba dan sulkus tulang sfenoid di superiornya. Tuba Eustachius terdiri atas tulang
rawan pada dua pertiga anterior ke arah nasofaring dan sepertiga posterior terdiri atas tulang ke
arah kavum timpani. Bentuk tuba Eustachius seperti dua buah kerucut yang bertemu di bagian
puncak. Tempat pertemuan ini disebut ismus yang biasanya berlokasi pada pertemuan bagian
tulang dan tulang rawan. Ismus ini berukuran tinggi 2 mm dan lebar 1 mm. Saluran yang kearah
nasofaring tinggi lumen menjadi 8-10 mm, dengan lebar 1-2 mm (Jusri dan Harmadji).

Gambar 1. Tuba Eustachius

Gambar 2. Tuba Eustachius

13
Tuba Eustachius berkembang hingga mencapai ukuran seperti dewasa pada usia 7 tahun
dengan panjang sekitar 36 mm, sedangkan pada bayi sekitar 18 mm. Pada orang dewasa, tuba
Eustachius membentuk sudut 45° terhadap bidang horizontal, sedangkan pada bayi bervariasi
dari horizontal hingga membentuk sudut sekitar 10° terhadap bidang horisontal serta tidak
membentuk sudut pada ismus tetapi menyempit. Sudut yang menghubungkan antara tensor veli
palatini dan kartilago bervariasi pada bayi, sedangkan relatif stabil pada dewasa (Bluestone dan
Klein, 2007; Corbeel, 2007).

Gambar 3. Muskulus yang bekerja pada Tuba


Eustachius

Pada bagian inferolateral tuba terdapat lapisan lemak disebut lemak Ostmann’s (Ostmann’s
fat pad) yang ikut membantu proses menutupnya tuba dan perlindungan telinga tengah terhadap
sekret nasofaring. Lapisan lemak ini pada bayi volumenya lebih kecil, tetapi lebarnya sama
dengan dewasa (Jusri dan Harmadji).

Mukosa tuba Eustachius merupakan kelanjutan dari mukosa nasofaring dan telinga tengah
yaitu menyerupai epitel saluran napas, terdiri atas epitel kolumnar bersilia, sel-sel goblet dan
kelenjar mukus. Lapisan paling luar adalah epitel bersilia yang bergerak ke arah nasofaring.
Semakin dekat ke telinga tengah terlihat sel-sel goblet dan kelenjar mukus makin berkurang,
mukosa bersilia juga menghilang. Sel-sel goblet dan kelenjar serosa pada bayi lebih sedikit
dibandingkan dewasa. Bayi juga memiliki lumen dengan mukosa yang lebih berlipat-lipat
dibandingkan dewasa. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan compliance yang lebih tinggi
pada bayi (Jusri dan Harmadji).

Otot pada tuba Eustachius terdiri atas m. tensor veli palatini, m. levator veli palatini, m.
Salpingo-faringeal dan m. tensor timpani. Otot-otot tersebut berfungsi untuk membuka dan

14
menutup tuba. Otot tensor veli palatini paling berperan pada proses dilatasi aktif tuba (Jusri dan
Harmadji).

Arteri faringeal ascenden dan arteri meningea media merupakan arteri yang memperdarahi tuba
Eustachius. Tuba Eustaschius dipersarafi oleh cabang faringeal dari ganglion sfenopalatina yang
berasal dari n. maksilaris (nervus V2) pada bagian ostium tuba, nervus spinosus yang berasal dari
n. mandibularis (nervus V3) pada bagian tulang rawan dari tuba dan pleksus timpani yang berasal
dari nervus glossofaringeal pada bagian tulang dari tuba. (Jusri dan Harmadji)

Fisiologi Tube Eustachius

Tuba Eustachius memiliki tiga fungsi fisiologi terhadap telinga yaitu sebagai: (a)
ventilasi dari kavum timpani dan sel-sel udara mastoid di telinga tengah; (b) drainase sekret
telinga tengah; (c) proteksi infeksi yang berasal dari daerah nasofaring (Jusri dan Harmadji).

1. Fungsi Ventilasi
Ventilasi kavum timpani dan sel-sel udara mastoid di telinga tengah Fungsi ventilasi
mengatur agar tekanan udara di telinga tengah sama dengan tekanan udara luar dengan cara
kontraksi dari otot tensor veli palatini pada saat menelan yang menyebabkan tuba Eustachius
terbuka secara periodik, sehingga dapat mempertahankan tekanan udara di telinga tengah
mendekati normal. Fungsi ventilasi tuba Eustachius ini berkembang sesuai usia dimana pada
anak tidak sebaik pada orang dewasa (Jusri dan Harmadji).

2. Fungsi Drainase
Drainase sekret telinga tengah Terdapat dua mekanisme drainase tuba Eustachius, yaitu
drainase mukosilia dan muskular. Drainase mukosilia yaitu pergerakan silia bermula dari bagian
telinga tengah kemudian makin ke distal dan aktif menuju tuba Eustachius untuk membersihkan
sekresi di telinga tengah. Drainase muskular 13 disebut aksi pompa yaitu pemompaan drainase
sekret dari telinga tengah ke nasofaring yang terjadi pada saat tuba Eustachius menutup secara
pasif (Jusri dan Harmadji).

3. Fungsi Proteksi
Proteksi infeksi yang berasal dari daerah nasofaring Proteksi ini dapat terjadi yaitu
melalui anatomi fungsional tuba Eustachius-telinga tengah, pertahanan mukosiliar dari lapisan
membran mukosa dan pertahanan imunologi lokal. Sebagai contoh pada saat kita mengunyah
maka bagian akhir proksimal tuba Eustachius akan terbuka, namun sekret yang berasal dari
nasofaring tidak dapat masuk ke telinga tengah karena terdapat ismus pada tuba Eustachius.
Perlindungan telinga tengah-mastoid juga dilakukan oleh epitel respiratori lumen tuba Eustachius

15
dengan cara pertahanan imunologi lokal maupun pertahanan mukosilia, yaitu drainase (Jusri dan
Harmadji).

2. Definisi dan klasifikasi Otiti Media


Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas
otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk
yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media
tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar,
2007).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang
bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap
atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah
terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga
tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai
dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran
timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).

3. Epidemiologi Otiti Media Akut


Prevalensi OMA di setiap negara bervariasi, berkisar antara 2,3 - 20%. Berbagai studi
epidemiologi di Amerika Serikat (AS), dilaporkan prevalensi terjadinya OMA sekitar 17 - 20%
pada 2 tahun pertama kehidupan. Biaya pemakaian antibiotik yang digunakan untuk kasus OMA
di AS per tahun sekitar 3-5 juta US dolar. Prevalensi otitis media di negara negara maju lainnya

16
hampir sama dengan di AS. Studi epidemiologi OMA di negara-negara berkembang sangat
jarang. Di Thailand, Prasansuk dikutip dari Bermen melaporkan bahwa prevalensi OMA pada
anak-anak yang berumur kurang dari 16 tahun pada tahun 1986 sampai 1991 sebesar 0,8%. Di
Nigeria, Amusa, Ijadunola dan Onayade melaporkan bahwa prevalensi OMA pada anak-anak di
bawah 12 tahun pada tahun 2005 sebesar 11,8 %. Berdasarkan survei kesehatan Indera
Pendengaran tahun 1994 1996 pada 7 provinsi di Indonesia didapatkan prevalensi penyakit
telinga tengah populasi segala umur di Indonesia sebesar 3.9 %. Di Indonesia belum ada data
nasional baku yang melaporkan angka kejadian OMA Pada penelitian di Kotamadya Jakarta
Timur tahun 2012 didapatkan angka prevalensi OMA pada anak-anak sebesar 5,4% (Umar,
2013).

4. Faktor resiko Otiti Media Akut


Menurut PPK 2017, faktor resiko dari Otitis Media Akut adalah :
1. Bayi dan anak
2. Infeksi saluran napas atas berulang
3. Menyusu dari botol dalam posisi berbaring telentang
4. Kelainan kongenital, misalnya: sumbing langit-langit, sindrom Down
5. Paparan asap rokok
6. Alergi
7. Tingkat sosio-ekonomi yang rendah
Pada anak-anak otitis media sering dialami oleh anak laki-laki, dibawah usia dua tahun,
indian amerika, kulit putih. Pada anak-anak serangan pertama biasanya sering terjadi pada anak
dibawah usia enam bulan. Kebanyakan infeksi otitis media disebabkan oleh S. pneumonia
(Boies, Lawrence R et all. 1997).
Faktor resiko otitis media akut juga dapat dikelompokan menjadi faktor pejamu, faktor
infeksi, faktor lingkungan dan faktor sosiodemografi. Faktor pejamu diantaranya:
a. Usia
Puncak prevalensi terjadinya otitis media pada usia di bawah 2 tahun. Studi yang dilakukan
pada populasi anak-anak di Taiwan oleh Wang dkk22, menyatakan bahwa usia merupakan faktor
risiko
terjadinya OMA, dan puncaknya yaitu pada usia 3-5 tahun. Studi epidemilogiyang dilakukan
oleh Zakzouk dkk23 pada anak-anak di bawah 12 tahun di SaudiArabia, menyatakan bahwa usia
di bawah 4 tahun secara statistik bermaknaterhadap risiko terjadinya OMA jika dibandingkan
usia 8 -12 tahun (Umar, Sakina. 2013).
b. Jenis Kelamin
Penelitian yang dilakukan oleh Wang dkk, Sipilia dkk dikutip dari Wang22 , Teele dkk dikutip
dari Bluestone10 menyatakan bahwa OMA lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibanding

17
perempuan. Hal ini diduga berkaitan dengan pneumatisasi mastoid yang lebih kecil pada laki-
laki, pajanan polusi, infeksi saluran napas berulangserta trauma yang lebih sering terjadi pada
laki-laki (Umar, Sakina. 2013).
c. Sistem imun
Sistem imun yang belum sempurna pada anak-anak, atau sistem imun yangterganggu pada
pasien dengan defisiensi imun kongenital, infeksi HIV, atau diabetes berperan pada
perkembangan otitis media. Vaksin mempunyai peranan dalam mencegah infeksi bakteri dan
virus yangmerupakan etiologi dari otitis media. Vaksin yang sudah dikembangkan saat iniadalah
Haemophilus Influenzae type b (Hib), Influenza, dan Invasive Pneumococcal Disease (Umar,
Sakina. 2013).
d. Predisposisi genetik
Hubungan antara genetik dan otitis media telah dibuktikan dalam beberapa studi,namun
memisahkan faktor genetik dari pengaruh lingkungan cukup sulit. Belum ditemukan gen spesifik
yang berhubungan dengan penyebab OM. Seperti kebanyakan proses penyakit lainnya, efek dari
pajanan lingkungan pada ekspresi gen mungkin berperan penting pada patogenesis dari OM
(Umar, Sakina. 2013).
e. Air susu ibu (ASI)
ASI memiliki sistem kekebalan tubuh yang terdiri atas berbagai zat yang membantu
mencegah infeksi langsung, sebagai agen anti-inflamasi atau meningkatkan pertumbuhan zat lain
yang membantu mengurangi infeksi. Faktor utama yang berperan dalam sistem kekebalan tubuh
dalam ASI antara lain
imunoglobulin (IgA, IgM, dan IgG) terhadap bakteri dan virus yang spesifik, komplemen, faktor
kemotaktik, laktoferin, lisozim, lactobacillus Bifidus growth factor, epithelial growth factors,
sitokin termasuk interferon dan interleukin, makrofag, limfosit T dan B, sel plasma dan neutrofil,
oligosakarida, dan prostaglandin. Pemberian ASI selama 6 bulan atau lebih memberikan proteksi
terjadinya OM rekuren, tidak hanya selama pemberian ASI tetapi sampai umur 3 tahun (Umar,
Sakina. 2013).
f. Abnormalitas anatomi
Anak dengan abnormalitas anatomi pada palatum dan juga otot-ototnya, terutama tensor veli
palantini, mengakibatkan disfungsi dari tuba esutachius dan memiliki risiko lebih tinggi pada
OM. Anomali spesifik yang berhubungan dengan tingginya prevalensi ialah celah palatum,
Sindrom Crouzon atau Apert, sindrom Down dan sindrom Treacher Collins (Umar, Sakina.
2013).
g. Disfungsi fisiologi
Abnormalitas pada fungsi fisiologi dari mukosa TE, termasuk disfungsi silia dan edema,
meningkatkan resiko invasi bakteri pada telinga tengah dan mengakibatkan OME. Anak dengan

18
koklea implan memiliki insiden tinggi pada OM, terutama OM kronis dan pembentukan
kolesteatoma (Umar, Sakina. 2013).
h. Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA)
Infeksi saluran napas dapat menyebabkan peradangan dan mengganggu fungsituba Eustachius
sehingga menurunkan tekanan di telinga tengah diikuti masuknya bakteri dan virus ke dalam
telinga tengah melalui tuba Eustachius mengakibatkan peradangan dan efusi di telinga tengah
(Umar, Sakina. 2013).
i. Alergi
Peran alergi terhadap OM, dapat melalui 1 atau lebih mekanisme, antara lain mukosa telinga
tengah sebagai target organ, inflamasi pada mukosa TE, inflamasi yang menyebabkan obstruksi
hidung, atau aspirasi dari bakteri yang mengikuti sekresi nasofaring karena alergi ke telinga
tengah. Hubungan antara alergi dengan OM masih belum diketahui dengan pasti (Umar, Sakina.
2013).
j. Status gizi
Status gizi dapat mempengaruhi keadaan umum seseorang. OMA dengan status gizi buruk
diklaifikasikan sebagai OMA risiko tinggi. perubahan profil sitokin, kenaikan refluks
gastroesofagus dengan perubahan flora oral, dan atau akumulasi lemak, semua ini telah dikaitan
dengan peningkatan insiden dari OM (Umar, Sakina. 2013).

Faktor resiko otitis media apabila dilihat dari faktor infeksi :


a. Bakteri patogen
Bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada OMA adalah Streptococcus pneumoniae,
diikuti oleh Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Ketiga organisme ini merupakan
penyebab lebih dari 95% dari seluruh kasus OMA dimana bakteri sebagai etiologinya (Umar,
Sakina. 2013).
b. Virus
Virus pada infeksi saluran napas atas akut merupakan faktor risiko prominen dari perkembangan
OMA, hampir semua peneliti mencurigai adanya peran dari virus saluran pernapasan pada
patogenesis OMA. Virus yang biasanya berhubungan dengan OMA adalah respiratory syncytial
virus (RSV), virus influenza, virus parainfluenza, rhinovirus, dan adenovirus (Umar, Sakina.
2013).
Pada beberapa kasus otitis media ditemukan beberapa faktor lingkunga yang
mempengaruhi, faktor lingkuangan tersebut diantaranya :
a. Metode pemberian makan dan minum pada bayi
Penggunaan susu botol merupakan faktor risiko OM baik dalam hal penggunaan botol, susu
formula, maupun posisi pemberian. Penggunaan air untuk membuat susu formula dan botol itu
sendiri dapat mengakibatkan kontaminasi bakteri. Alergi dan kontaminasi bakteri pada susu

19
formula, dapat menyebabkan gastroenteritis berulang sehingga menurunkan gizi pada bayi.
Penggunaan susu botol dapat mengganggu perkembangan dari otot-otot muka yang dapat
mempengaruhi fungsi dari TE, juga dapat menyebabkan aspirasi cairan ke telinga tengah karena
tekanan intra oral yang tinggi. Posisi pemberian susu botol dengan cara berbaring atau horisontal
dapat menyebabkan refluks (Umar, Sakina. 2013).
b. Penggunaan dot
Ada 2 mekanisme yang menyebabkan hal ini terjadi. Mekanisme yang pertama ialah penghisapan
dot dapat meningkatkan refluks dari sekresi nasofaring ke telinga tengah, sehingga pada saat flu,
patogen dapat mudah masuk ke telinga tengah melalui jalan ini. Mekanisme yang kedua,
penggunaan dot dapat menyebabkan perubahan struktur gigi dan rongga mulut sehingga dapat
menyebabkan disfungsi TE (Umar, Sakina. 2013).
c. Perokok pasif
Banyak penelitian menunjukan hubungan langsung antara perokok pasif dengan risiko terhadap
penyakit telinga tengah (Umar, Sakina. 2013).
d. Penitipan anak
Pada tempat penitipan anak terjadi kontak dengan banyak anak, sehingga meningkatkan
risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan, kolonisasi nasofaring dengan mikroba patogen, serta
OM (Umar, Sakina. 2013).

Terakhir, faktor resiko yang juga berperan penting dalam penyebab otitis media akut adalah
faktor sosio-demografi antara lain :
a. Faktor sosio-ekonomi
Status sosial dan ekonomi merupakan faktor yang berpengaruh terhadap risiko OM. Pada
umumnya, status sosial ekonomi yang rendah memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap pajanan
lingkungan pada orang tua yang merokok, pemberian susu botol, tempat penitipan anak yang
padat, kondisi tempat tinggal yang padat atau kurang layak, serta patogen virus dan bakteri
(Umar, Sakina. 2013).
b.Faktor lingkungan tempat tinggal
Tinggal di lingkungan yang lembab, banjir, dan berjamur memiliki hubungan yang signifikan
terhadap terjadinya OMA. Faktor kepadatan tinggi dengan perbandingan luas rumah dan jumlah
orang tidak memadai, higiene dan sanitasi yang kurang baik akan mempermudah timbulnya
infeksi (Umar, Sakina. 2013).

5. Etiologi Otiti Media Akut


Menurut Soepardi (2010), Penyebab utama terjadinya OMA ini adalah karena masuknya
mikroba ke dalam telinga tengah yang seharusnya steril, dikarenakan oleh mekanisme pertahanan
tubuh (seperti silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibody) terganggu. Bakteri penyebab

20
utama OMA ialah bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemoliticus, Staphylococcus aureus,
Pneumococcus.Selain itu, kadang-kadang ditemukan juga Hemophylus influenza, Escherichia
coli dan Pseudomonas aurugenosa. Hemophilus influenza sering ditemukan pada anak yang
berusia di bawah 55 tahun meskipun juga merupakan patogen pada orang dewasa. Gangguan
mekanisme pertahanan tubuh ini paling sering terjadi karena sumbatan dari tuba eustachius.
Etiologi lain menurut Donaldson (2015) yakni :
1. Sumbatan tuba Eustachius
Obstruksi tuba Eustachius merupakan suatu faktor penyebab dasar pada otitis media
akut. Oleh sebab itu, hilanglah sawar utama terhadap invasi bakteri karena
pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba terganggu
2. Perubahan tekanan udara secara tiba-tiba
3. Alergi
4. Infeksi Virus atau Bakteri

6. Patofisiologi Otiti Media Akut


Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa
saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi
sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan
demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari
nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa telinga tengah
bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari
nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi
kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus
terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase
telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah,
kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran
pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan
menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan
kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi
bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran
dapat terganggu karena membran timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat
bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat
merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).

21
Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor
intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema
pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien
dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius,
sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan
hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang dewasa.
Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih
horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih mudah
menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah
umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks
dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius. Insidens terjadinya otitis
media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna
dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi
tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA
lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian
atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibanding
orang dewasa. Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga
adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat
terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius
(Kerschner, 2007).

Gambar 4. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

STADIUM OMA

22
OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada
perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis
atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar,
2007).

Gambar 5. Membran Timpani Normal

a) Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi
membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah,
dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus
menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba
Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-
kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi
mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan
tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam
pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

b) Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang
ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret
eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang
berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi
berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan
tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh
dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan,
tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara

23
yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai
dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 6. Membran Timpani Hiperemis

c) Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah
di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga
tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat
yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging
ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan
suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan
tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada
bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.
Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan
menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan
submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di
kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler
membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih
lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.
Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah
kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah
akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran
timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi
lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya
tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

24
Gambar 7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

d) Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa
nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering
disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman.
Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat
tertidur nyenyak.
Jika membran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap
berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif
subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai
dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007;
Dhingra, 2007).

Gambar 8. Membran Timpani Perforasi

25
e) Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya
dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal
hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang
dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun
tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi
kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media
supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap,
dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.
Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media
serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami
perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

7. Kriteria diagnosis Otiti Media Akut


Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:
1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.
2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah.
Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya
membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani,
terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari
telinga.
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah
satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri
telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.
Keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria
diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani
yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada
membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi
pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan
kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan
tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0°C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat
sedang sampai berat.

26
Sumber: American Academy of Pediatrics (AAP), 2007

Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit.
Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang
gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan
membengkak atau bulging. Dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:

Tabel 1. Skor OMA


Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3,
berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat. Pembagian OMA lainnya yaitu
OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39°C oral
atau 39,5°C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39°C oral
atau 39,5°C rektal (Titisari, 2005).

27
8. Pemeriksaan penunjang Otiti Media Akut
Menurut Corrwin (2009), pemeriksaan diagnostic untuk otitis media ialah :
 Pemeriksaan otoskopi memberikan informasi tentang gendang telinga yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis otitis media. Otitis media akut ditandai dengan
penonjolan gendang telinga yang merah pada pemeriksaan otoskopi. Penanda tulang
dan reflek cahaya mungkin kabur.
 Penunggaan alat pneumonik dengan otoskop fotoshop pneumatic lebih lanjut
membantu mendiagnosis otitis media. Dengan menekan balon berisi udara yang
dihubungkan ke otoskop, bolus kecil udara dapat diinjeksikan kedalam telinga luar.
Pada otitis media akut dan otitis media dengan efusi, mobilitas membrane timpani
akan berkurang.
 Timpanogram, suatu pemeriksaan yang mencangkup pemasangan sonde kecil pada
telinga luar dan pengukuran gerakan membrane timpani (gendang telinga) setelah
adanya tonus yang terfiksasi, juga dapat digunakan untuk mengevaluasi mobilotas
membrane timpani.
 Pemeriksaan audiologi memperlihatkan deficit pendengaran, yang meruapakan
indikasi penimbunan cairan (infeksi atau alergi).
Menurut Betz dan Sowden (2009) pemeriksaan diagnostic otitis media, yaitu :
 Otoskopi pneumatik-untuk melihat membran timpani dan uji mobilitas membran
timpani
 Timpanogram-untuk mengukur kelenturan dan kekakuan membrane timpani
 Kultur dan sensitivitas-disiapkan hanya bila dilakukan timpanosentesis (aspirasi jarum
pada telinga tengah melalui membran timpani)
 Evaluasi pedengaran-direkomendasikan untuk anak yang mengalami otitis media
bilateral dengan efusi 3 bulan atau lebih.

9. Diagnosis banding Otiti Media Akut


1. Otitis Media Efusi
Otitis media efusi (OME) adalah suatu penumpukan cairan dalam telinga tengah dengan
membrana timpani yang masih utuh tanpa disertai dengan tanda-tanda infeksi akut. Untuk
menegakkan diagnosis OME dilakukan dengan anamnesis, otoskopi, timpanometri,
audiometri atau audiologi. (Widodo, A., Soepriyadi. 2012)
Dari anamnesis akan didapatkan bahwa pasien anak-anak akan mengalami sikap acuh
terhadap suara disekitarnya, gangguan atau keterlambatan bicara juga prestasi belajar anak

28
yang semakin menurun. Pada anak-anak yang lebih besar atau orang dewasa biasanya
dirasakan adanya rasa yang tidak nyaman pada telinga (terasa penuh), suara yang bergema
pada telinga, mungkin juga didapatkan tinitus. Anamnesis tidak didapatkan keluhan tanda-
tanda adanya infeksi, dan demam. (Widodo, A., Soepriyadi. 2012)
Dari otoskopi didapatkan; 1) Tidak didapatkan tanda-tanda radang, 2) Terdapat
perubahan warna membrane timpani akibat refleksi dari adanya cairan didalam kavum
timpani 3) Membran timpani tampak lebih menonjol, 4) Membran retraksi atau atelectasis,
5) Didapatkan air fluid levels atau bubles, 6) Mobilitas membrane berkurang atau fiksasi.
(Widodo, A., Soepriyadi. 2012)
Dari audiogram pasien-pasien OME sering ditemukan gangguan pendengaran dengan
tuli konduksi ringan sampai sedang sehingga tidak begitu berpengaruh pada kehidupan
sehari-hari. (Widodo, A., Soepriyadi. 2012)
2. Otitis Eksterna Difus
Peradangan difus pada kulit liang telinga yang meluas ke aurikula dan lapisan epidermis
dari membran timpani. Penyakit ini paling sering terjadi pada keadaan dengan kelembaban
tinggi dan panas serta pada perenang. Keringat yang berlebihan merubah pH kulit liang
telinga dari asam menjadi basa sehingga menimbulkan pertumbuhan kuman patogen.
Terdapat dua faktor yang paling responsibel terhadap kondisi ini, yaitu trauma liang telinga
dan invasi kuman patogen. Trauma dapat terjadi akibat mengorek telinga secara radikal,
instrumen yang kurang ahli saat ekstraksi serumen, dan saat membersihkan telinga setelah
berenang dimana kulit liang telinga terjadi maserasi. Kerusakan terus menerus pada kulit
liang telinga menyebabkan invasi kuman patogen.
Gejala klinisnya dapat akut atau kronis dengan berbagai derajat keparahan:
1) Fase Akut
Ditandai dengan sensasi panas terbakar dalam liang telinga, diikuti nyeri saat
menggerakkan mandibula. Telinga biasanya mengeluarkan sekret serous yang
kemudian menjadi kental dan purulen. Dinding liang telinga mengalami inflamasi.
Penumpukan debris dan sekret yang disertai pembengkakan liang telinga menimbulkan
gangguan dengar konduktif. Pada kasus berat, dapat terjadi pembengkakan kelenjar
getah bening regional, nyeri tekan dengan selulitis jaringan sekitarnya.
2) Fase Kronis
Fase kronis memiliki karakteristik iritasi dan sangat gatal. Ini adalah
responsibel untuk eksaserbasi akut dan reinfeksi. Sekret hanya sedikit bahkan kadang-
kadang kering hingga membentuk krusta. Kulit liang telinga menebal dan bengkak
sehingga membentuk celah. Jarang sekali terjadi hipertrofi kulit yang menimbulkan
stenosis (otitis eksterna stenosis kronis).

29
3. Miringitis Bulosa
Penegakan diagnosis pada miringitis bulosa didasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik: (Sari., D P. 2014)
1) Anamnesis
Secara umum, keluhan utama pasien yang mengalami miringitis adalah nyeri
pada daerah telinga yang onsetnya 2-3 hari. Nyeri disebabkan karena bula terbentuk
pada daerah yang memiliki banyak persarafan yaitu pada epitel terluar membrane
timpani. Gangguan pendengaran berupa tuli konduksi atau tuli sensorineural dapat
dikeluhkan pada beberapa pasien. Dari anamnesis juga sering didapatkan adanya
riwayat trauma pada telinga akibat membersihkan telinga ataupun riwayat penetrasi
benda asing ke dalam telinga. Adanya riwayat penyakit saluran pernafasan dan
gangguan telinga sebelumnya juga perlu ditanyakan.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang penting untuk mendiagnosa miringitis bulosa adalah
otoskopi. Otoskopi menunjukkan suatu membrane timpani meradang dengan satu atau
lebih bula. Bula ini penuh dengan cairan bening agak kekuningan atau perdarahan. Bula
ini dapat pecah dan menimbulkan pedarahan pada membran timpani. Selain itu
didapatkan reflex cahaya yang memendek atau hilang sama sekali. Pada beberapa
kasus, dapat didapatkan nyeri ketika pinna di tarik.
Pada pemeriksaan kelenjar, dapat ditemukan limfadenopati servikal posterior.
Pada pemeriksaan pendengaran dapat ditemukan adanya penurunan pendengaran.
Tympanometri dapat dilakukan untuk menemukan bukti adanya cairan di belakang
membran timpani, sehingga kita dapat mengetahui adanya otitis media yang menyertai
miringitis bulosa. Tympanoparasintesis : pemeriksaaan ini dilakukan untuk kultur dan
identifikasi agen penyebab miringitis bulosa.

10. Tatalaksana Otiti Media Akut


Menurut Djaafar, 2007 Terapi OMA tergantung pada stadiumnya. Pengobatan pada stadium
awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran nafas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan
lokal atau sistemik, dan antipiretik.
1) Pada stadium oklusi, tujuan terapi dikhususkan untuk membuka kembali tuba
eustachius. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik
untuk anak <12 thn dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak yang
berumur >12 thn atau dewasa.. selain itu, sumber infeksi juga harus diobati dengan
memberikan antibiotik.

30
2) Pada stadium presupurasi, diberikan antibiotik, obat tetes hidung, dan analgesik.
Bila membran timpani sudah hiperemi difus, sebaiknya dilakukan miringotomi.
Antibiotik yang diberikan ialah penisilin atau eritromisin. Jika terdapat resistensi,
dapat diberikan kombinasi dengan asam klavunalat atau sefalosporin. Untuk terapi
awal diberikan penisilin IM agar konsentrasinya adekuat di dalam darah. Antibiotik
diberikan minimal selama 7 hari. Pada anak diberikan ampisilin 4x50-100 mg/KgBB,
amoksisilin 4x40 mg/KgBB/hari, atau eritromisin 4x40 mg/kgBB/hari.
3) Pengobatan stadium supurasi selain antibiotik, pasien harus dirujuk untuk dilakukan
miringotomi bila membran timpani masih utuh. Selain itu, analgesik juga perlu
diberikan agar nyeri dapat berkurang.
4) Pada stadium perforasi, diberikan obat cuci telinga H2O2 3% selama 3-5 hari serta
antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi
akan menutup sendiri dalam 7-10 hari.
5) Stadium resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir keluar. Pada keadaan ini
dapat dilanjutkan antibiotik sampai 3 minggu, namun bila masih keluar sekret diduga
telah terjadi mastoiditis.

31
Gambar 8. Algoritma terapi otitis media

Sumber : AAFP, 2004

32
ANTIBIOTIK

Tabel 2. Terapi Antibiotik Otitis Media

Sumber : Lieberthal, 2013

OBSERVASI VS TERAPI ANTIBIOTIK

Bakteri yang resisten antibiotik tetap menjadi tantangan kesehatan masyarakat yang utama.
Strategi yang didukung secara luas untuk meningkatkan manajemen AOM melibatkan penangguhan
terapi antibiotik pada pasien yang paling tidak diuntungkan oleh antibiotik (Vanekamp, 2013).
Antibiotik harus secara rutin diresepkan untuk anak-anak dengan AOM yang enam bulan atau lebih
tua dengan tanda atau gejala yang parah ( yaitu otalgia sedang atau berat, otalgia selama setidaknya 48
jam, atau suhu 39,2 ° C atau lebih tinggi), dan untuk anak-anak yang lebih muda dari dua tahun
dengan OMA bilateral terlepas dari tanda atau gejala tambahan
Di antara anak-anak dengan gejala ringan, observasi dapat menjadi pilihan pada mereka
yang berusia enam hingga 23 bulan dengan OMA unilateral, atau pada mereka yang dua tahun atau
lebih dengan OMA bilateral atau unilateral (Lieberthal, 2013). Sebuah studi prospektif besar dari
strategi ini menemukan bahwa dua dari tiga anak akan pulih tanpa antibiotik. Baru-baru ini, American
Academy of Family Physicians merekomendasikan untuk tidak meresepkan antibiotik untuk otitis
media pada anak-anak usia dua hingga 12 tahun dengan gejala nonsevere jika pengamatan merupakan
pilihan yang wajar. Jika pengamatan dipilih, mekanisme harus ada untuk memastikan perawatan yang
tepat jika gejalanya menetap lebih dari 48 hingga 72jam. Strategi termasuk kunjungan tindak lanjut

33
yang dijadwalkan atau memberikan pasien dengan resep antibiotik cadangan untuk disembuhkan
hanya jika gejalanya menetap (Marchetti, 2005).

ANALGESIK

Analgesik direkomendasikan untuk gejala sakit telinga, demam, dan lekas marah. Analitik
sangat penting pada waktu tidur karena gangguan tidur adalah salah satu gejala paling umum yang
memotivasi orang tua untuk mencari perawatan. Ibuprofen dan asetaminofen telah terbukti efektif
Ibuprofen lebih disukai, mengingat durasi kerjanya lebih lama dan toksisitasnya lebih rendah jika
terjadi overdosis.2 Analgesik topikal, seperti benzocaine, juga dapat membantu (Hoberman, 1997).

Tabel 3. Terapi Otalgia OMA

Sumber : Hoberman, 1997

11. Komplikasi Otiti Media Akut


Menjalar dari telinga tengah hingga ke telinga dalam dan akhirnya ke saraf pusat. Menurut
Department of Otolaryngology in The University of Texas Medical Branch (2009), komplikasi
dari otitis media akut dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu komplikasi ke intracranial dan
intratemporal.

Intratemporal

a. Mastoiditis
Komplikasi tersering dari otitis media akut adalah mastoiditis. Ketika inflamasi dari otitis
media menjalar hingga menjadikan obstruksi aditus antrum, sehingga terjadi mastoiditis.

34
b. Facial Nerve Paralysis
Komplikasi ini memang jarang terjadi pada otitis media akut. Insidennya hanya berkisar
0,005%.
c. Labyrinthis
Proses peradangan pada telinga tengah yang terjadi pada otitis media akut dapat menjalar
hingga ke telinga dalam. Proses peradangan dapat terjadi karena mediator inflamasi ataupun
invasi bakteri secara langsung.
d. Gradenigo’s Syndrome
Sindrom ini digambarkan dengan trias klasik yaitu kelumpuhan pada nervus abduscen, nyeri
parah dalam distribusi saraf trigeminal, dan otitis media supuratif akut.

Intracranial

a. Meningitis
Komplikasi tersering dari otitis media akut pada intracranial adalah meningitis. Gejala
tersering yang terjadi adalah sakit kepala, fever, muntah, fotofobia, iritabilitas, dan
restlessness.
b. Brain Abcess
Abses pada otak timbul sebagai komplikasi morbid pada otitis media. Beberapa organisme
yang menyebabkan hal abses pada otak diantaranya, Streptococcus, Staphylococcus,
Escherichia coli, Proteus, Klebsiella, dan Pseudomonas.
c. Extradural Abcess
Selain di otak, akumulasi reaksi inflamasi juga dapat terjadi di ruang ekstradural/epidural.
Akumulasi pus memang tidak seberapa, namun lebih sering terjadi granulomatous pus.

12. Prognosis Otiti Media Akut


Risiko komplikasi yang terkait dengan otitis media meningkat jika episode akut otitis media
bertahan lebih dari 2 minggu atau jika gejalanya muncul dalam periode 2 hingga 3 minggu. Pada
era preantibiotik, angka kematian akibat komplikasi intrakranial otitis media dilaporkan
mencapai 76,4%. Meskipun pengobatan yang memadai, sekitar sepertiga dari pasien dengan
meningitis, komplikasi potensial dari otitis media, menimbulkan gejala sisa neurologis permanen,
termasuk kejang dan gangguan perilaku. Sebuah studi menunjukkan bahwa tingkat gangguan
pendengaran sensorineural pada frekuensi 2000 Hz pada anak-anak dengan otitis media kronis
cenderung lebih besar dibandingkan kolesteatoma dan pada pasien di atas usia 10 tahun. Studi ini
melibatkan 124 pasien anak yang menderita otitis media kronis unilateral selama rata-rata 88,4
bulan (Yehudai, 2015).

35
LANGKAH 7
PETA KONSEP

36
SOAP
S An. P , 4 th

KU :
Keluar cairan dari telinga kanan
RPS :
Cairan berwarna kuning kehijauan seperti ingus kental
RPD :
Batuk dan pilek 1 minggu yang lalu belum sembuh
Telinga kanan nyeri 3 hari lalu
Demam 3 hari lalu
O KU : cukup
Tax : sedikit naik (Subfebris)
Pemeriksaan Telinga D :
Aurikula :
Sekret mukopurulen
Membrane timpani perforasi di anteroinferior
A1 Otitis Media Akut (OMA), stadium perforasi.

P1 -

A2 Otitis Media Akut (OMA), stadium perforasi

P2 Medikamentosa :
1. H2O2 3% (3-5 hari)
2. Observasi (3 hari)
Non medikamentosa:
1. Ear toilet
KIE :
1. Jangan terkena air
2. Dilarang berenang
Pmo :
Jikalau 3 hari tidak membaik  diberi antibiotic Amoxicillin 50-60mg/KgBB terbagi
dalam 2 dosis per hari.

37
DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Pediatrics and American Academic of Family Physician, Subcomitte on

Management of Acute Otitis Media. 2004; 113950: 1451-65

American Academy of Pediatrics. 2004. Diagnosis And Management Of Acute Otitis Media.
Pediatrics. Subcommittee on Management of Acute Otitis Media.
Boies, Lawrence R et all. 1997. BOIES Fundamental Of Otolaryngology Edisi 6. Jakarta: EGC
Department of Otolaryngology in The University of Texas Medical Branch. 2009. Complication of
Acute Otitis Media.

Dhingra PL, Dhingra S. 2007. Diseases of ear, nose and throat, 4th ed. India: Elsevier.
Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. 2007. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N
(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Djaafar ZA, Helmi. Kelainan telinga tengah. Buku ajar Ilmu telinga hidung tenigorok
kesehatan
kepala dan leher.6th ed. Jakarta,2007:p 64-8

Donaldson JD.2015. Acute Otitis Media. Medscape reference.


Elizabeth J. Corwin. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media

Hoberman A, Paradise JL, Reynolds EA, et al. Ef cacy of Auralgan for treating ear pain in children
with acute otitis media. Arch Pediatr Ado- lesc Med. 1997;151(7):675-678.

Imanto., M. 2015. Radang Telinga Luar. Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Bedah
Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Jusri, R. K., Harmadji, S., ANATOMI DAN FISIOLOGI TUBA EUSTACHIUS. Surabaya: Universitas
Airlangga

Kerschner, J.E. 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed.
USA: Saunders Elsevier.
Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of. Pediatrics. 18 th ed.
USA: Saunders Elsevier
Lieberthal AS, Carroll AE, Chonmaitree T, et al. The diagnosis and man- agement of acute otitis
media. Pediatrics. 2013;131(3):e964-e999.

Marchetti F, Ronfani L, Nibali SC, et al.; Italian Study Group on Acute Otitis Media. Delayed
prescription may reduce the use of antibiotics for acute otitis media: a prospective observational
study in primary care. Arch Pediatr Adolesc Med. 2005;159(7):679-684.

38
Pengurus besar IDI, 2017. Panduan Praktek Klinik Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Tingkat Pertama, Jakarta: IDI
Prof. dr. Soepardi E. A, dkk. 2010. Buku ajar ilmu kesehatan THT. Edisi VI. Fakultas kedokteran UI.
Jakarta
Sari., D P. 2014. Laporan Kasus Miringitis Bulosa. Universitas Muhammadiyah Semarang

Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media Akut di
PSCM dan RSAB Harapan Kita. Jakarta: Fakultas Kedokteran.
Umar , Sakinah. 2013. Prevalensi Dan Faktor Risiko Otitis Media Akut Pada Anak-Anak Di
Kotamadya Jakarta Timur. FK UI. Jakarta

Umar, Sakina. 2013. Tesis Prevalensi dan Faktor Resiko Otitis Media Akut pada Anak-anak di
Kotamadya Jakarta Timur. Jakarta : FK UI
Venekamp RP, Sanders S, Glasziou PP, et al. Antibiotics for acute otitis media in children. Cochrane
Database Syst Rev. 2013;(1):CD000219.

Widodo, A., Soepriyadi. 2012. Diagnosis Otitis Media Efusi. Dep/SMF Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD
Dr. Soetomo Surabaya.

Yehudai N, Most T, Luntz M. 2015. Risk Factor for Sensorineural Hearing Loss in Pediatric Chronic
Otitis Media. Int J Pediatr Otorhinolaryngol. Jan. 79(1): 26-30

39

Anda mungkin juga menyukai