Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Persepsi Guru Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian Persepsi

Persepsi merupakan sebuah istilah yang sudah sangat familiar

didengar dalam percakapan sehari-hari. Istilah persepsi berasal dari

bahasa inggris “perception”, yang diambil dari bahasa latin “perceptio”,

yang berarti menerima atau mengambil. Dalam kamus Inggris Indonesia,

kata perception diartikan dengan “penglihatan” atau “tanggapan” (Echols

& Shandily dalam Desmita,2009:117)

Menurut Leavit dalam Desmita (2009:117) perception dalam

pengertian sempit adalah “penglihatan”, yaitu bagaimana cara seseorang

melihat sesuatu, sedangkan dalam arti luas, perception adalah

“pandangan”, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan

sesuatu.

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa persepsi adalah

suatu proses penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki untuk

memperoleh dan menginterprestasi stimulus (rangsangan) yang diterima

oleh sistem alat indra manusia. Jadi persepsi pada dasarnya menyangkut

hubungan manusia dengan lingkungannya, bagaimana ia mengerti dan

menginterpretasikan stimulus yang ada di lingkungannya dengan

menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Setelah individu

11
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
mengindrakan objek di lingkungannya, kemudian ia memproses hasil

pengindraannya itu, sehingga timbullah makna tentang objek itu.

(Desmita,2009:118)

Menurut Walgito (2005:99), Persepsi merupakan suatu proses

yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses

diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut

proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan

stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses

persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses

penginderaan, dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari

proses persepsi. Stimulus yang diindera itu kemudian oleh individu

diorganisasikan dan diinterprestasikan, sehingga individu menyadari,

mengerti tentang apa yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus diterima oleh alat

indera, yaitu yang dimaksud dengan penginderaan, dan melalui proses

penginderaan tersebut stimulus itu menjadi sesuatu yang berarti setelah

diorganisasikan dan diinterprestasikan. (Davidoff dalam Walgito, 2005:

100). Karena itu dalam penginderaan orang akan mengkaitkan dengan

stimulus, sedangkan dalam persepsi orang akan mengaitkan dengan

objek. Dengan persepsi individu akan menyadari tentang keadaan di

sekitarnyadan juga keadaan diri sendiri.

Dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar, tetapi juga dapat

datang dalam diri individu sendiri. Namun demikian sebagian terbesar

12
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
stimulus datang dari luar individu yang bersangkutan. Sekalipun persepsi

dapat melalui macam-macam alat indera yang ada pada diri individu,

tetapi sebagian besar persepsi melalui alat indera penglihatan. Karena

itulah banyak penelitian mengenai persepsi adalah persepsi yang

berkaitan dengan alat penglihatan.

Karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri

individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam

persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat

dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-

pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu

stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu

dengan lain. Persepsi itu bersifat individual (Davidoff dalam Walgito,

2005: 100).

Menurut Sarwono (2010:86) persepsi berlangsung saat seseorang

menerima stimulus dari dunia luar yang ditangkap oleh organ-organ

bantunya yang kemudian masuk kedalam otak. Di dalamnya terjadi

proses berpikir yang pada akhirnya terwujud dalam sebuah pemahaman.

Pemahaman ini yang kurang lebih disebut persepsi.

Dari beberapa pengertian tentang persepsi di atas, dapat

disimpulkan bahwa persepsi merupakan proses yang dilakukan seseorang

untuk mengolah, menyeleksi dan memberikan tanggapan terhadap

sesuatu yang telah diterima secara langsung dan bersifat subyektif.

13
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
2. Proses Terbentuknya Persepsi

Proses pembentukan persepsi diawali dengan masuknya sumber

melalui suara, penglihatan, rasa, aroma atau sentuhan manusia, diterima

oleh indera manusia (sensory receptor) sebagai bentuk sensation.

sensation sebagian besar yang diperoleh dari proses pertama (sumber)

kemudian diseleksi dan diterima. penyaringan atau seleksi dijalankan

oleh faktor-faktor seperti harapan individu, motivasi, dan sikap (Riadi

2012).

Menurut Walgito (2012: 102) proses stimulus mengenai alat

indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang

diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak.

Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga

individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa

yang diraba. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir

dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang misalnya apa yang

dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang

diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terkhir dari

persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya. Respon sebagai akibat dari

persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk.

Dari pendapat para ahli diatas, dapat ditarik simpulan bahwa

proses pembentukan persepsi berawal dari masuknya sumber/data

melalui pendengaran, penglihatan, pengamatan kemudian ditangkap oleh

14
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
panca indera selanjutnya diolah melalui proses penalaran dan perasaan

sehingga menimbulkan suatu persepsi.

3. Faktor-Faktor Yang Berperan Dalam Persepsi

Menurut Walgito (2005:101), dalam persepsi individu

mengorganisasikan dan menginterprestasikan stimulus yang diterimanya,

sehingga stimulus tersebut mempunyai arti bagi individu yang

bersangkutan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus

merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Berkaitan

dengan faktor-faktor yang berperan dalam persepsi dapat dikemukakan

adanya beberapa faktor, yaitu:

a. Objek yang dipersepsi

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau

reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang

mempersepsi, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang

bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja

sebagai reseptor. Namun sebagian terbesar stimulus datang dari luar

individu.

b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima

stimulus. Di samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat

untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan

syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagi alat untuk

mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.

15
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
c. Perhatian

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi

diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama

sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi.

Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh

aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan

objek.

Dari hal-hal tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk

mengadakan adanya beberapa faktor yang berperan, yang merupakan

syarat agar terjadi persepsi, yaitu (1) objek atau stimulus yang

dipersepsi, (2) alat indera dan syaraf-syaraf serta pusat susunan

syaraf, (3) perhatian.

B. Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Istilah pendidikan kewarganegaraan pada satu sisi identik dengan

pendidikan kewarganegaraan. Namun, di sisi lain, istilah Pendidikan

Kewargaan, menurut Rosyada secara subtantif tidak saja mendidik

generasi muda menjadi warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan

kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara

yang merupakan penekanan dalam istilah Pendidikan Kewarganegaraan,

melainkan juga membangun kesiapan warga negara menjadi warga dunia

(global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan kewargaan

16
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
secara subtantif lebih luas cakupannya dari istilah Pendidikan

Kewarganegaraan. (Taniredja, 2009: 3)

John J. Cogan (dalam Winarno, 2014: 4) membedakan istilah

pendidikan kewarganegaraan (bahasa Indonesia) dalam dua pengertian:

civic education dan citizenship education atau education for citizenship.

Civic education adalah pendidikan kewarganegaraan dalam pengertian

sempit, yaitu sebagai bentuk pendidikan formal, seperti mata pelajaran,

mata kuliah, atau kursus dilembaga sekolah, universitas, atau lembaga

formal lain. Sedangkan citizenship education mencakup tidak hanya

sebagai bentuk formal pendidikan kewarganegaraan, tetapi bentuk-

bentuk informal dan non formal pendidikan kewarganegaraan.

Citizenship education adalah pengertian pendidikan kewarganegaraan

yang generic (umum) dan dalam arti luas. Pendidikan kewarganegaraan

dalam pengertian yang luas seperti “citizenship education” atau

“education for citizenship” mencakup pendidikan kewarganegaraan di

dalam lembaga pendidikan formal (dalam hal ini di sekolah dan dalam

program pendidikan guru) dan diluar sekolah baik yang berupa program

penataran atau program lainnya yang sengaja dirancang atau sebagai

dampak pengiring dari program lain yang berfungsi memfasilitasi proses

pendewasaan atau pematangan sebagai warga negara yang cerdas dan

baik.

17
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
Pendidikan kewargaan menurut Azra (dalam Taniredja dkk, 2009:

2) adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas daripada Pendidikan

Demokrasi dan Pendidikan HAM. Karena, pendidikan Kewargaan

mencakup kajian dan pembahasan tentang pemerintahan, konstitusi dan

lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga

negara, proses demokrasi, partisipasi aktif dan keterlibatan warga negara

dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan

sistem yang terdapat dalam pemerintahan, warisan politik, administrasi

publik dan sistem hukum, pengetahuan tentang proses seperti

kewarganegaraan aktif, refleksi kritis, penyelidikan dan kerja sama,

keadilan sosial, pengertian antar budaya dan kelestarian lingkungan

hidup dan hak asasi manusia (HAM).

Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Civic

Education sebagai Pendidikan Kewargaan (citizenship education) selain

mendidik generasi muda agar menjadi warga negara yang baik, yaitu

warga negara yang cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya, juga

mempersiapkan warga negara menjadi warga dunia.

Pendidikan kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang

wajib diberikan di Indonesia, mulai dari jenjang pendidikan dasar,

pendidikan menengah, maupun pendidikan tinggi. Penjelasan Pasal 37

ayat (1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem

pendidikan nasional menyebutkan bahwa “Pendidikan Kewarganegaraan

(PKn) dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia

18
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Pendidikan

kewarganegaraan (PKn) pada hakekatnya merupakan pendidikan yang

mengarah pada terbentuknya warga negara yang baik dan bertanggung

jawab berdasarkan nilai-nilai dan dasar negara Pancasila. Berdasarkan

Permendiknas Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi dijelaskan

bahwa:

“Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang


menfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami
dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk
menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan
berkarakter yang diamanatkan oleh pancasila dan UUD 1945”.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian

Pendidikan kewarganegaraan (PKn) ini pada intinya membentuk warga

negara yang baik yaitu warga negara yang sadar akan hak dan

kewajibannya, serta menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan

berkarakter sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Menurut somantri (Djahiri, 2006: 172), Pendidikan

Kewarganegaraan juga menjadi pilar bagi pendidikan politik bangsa,

pendidikan nilai dan moral, sebagai pendidikan budi pekerti, pendidikan

kesadaran hukum, pendidikan demokrasi, pendidikan sejarah perjuangan

bangsa, dan sebagai pendidikan sosial yang secara keseluruhan berbasis

pada ideologi nasional Indonesia dengan tetap menggunakan pendekatan-

pendekatan keilmuan yang bersifat sintesis. Pendidikan kewarganegaraan

sebagai pendidikan nilai dan moral dan budi pekerti, pada dasarnya

membangun nilai-nilai moral para siswa untuk dapat berkembang

19
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
menjadi kepribadian Indonesia yang bebas dan mandiri dengan tetap

berbasis pada nilai-nilai pancasila. Pendidikan nilai juga diharapkan

dapat memberdayakan peserta didik menjadi warga negara yang baik

yang sadar akan tanggung jawabnya dan berpartisipasi aktif kepada

kelangsungan kehidupan bangsa dan bernegara. Sedangkan sebagai

pendidikan kesadaran hukum, pendidikan kewarganegaraan memiliki

tanggung jawab untuk mengembangkan kesadaran hukum masyarakat

melalui pendidikan yang memberikan pengetahuan tentang hukum, isi

hukum, sikap yang positif terhadap hukum, dan kepatuhan hukum. Jadi

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan hukum bukan semata-

mata pendidikan pengetahuan hukum, namun lebih mengacu pada upaya

pembinaan kesadaran hukum nasional yang bersumber pada nilai-nilai

moral bangsa Indonesia.

2. Peran Pendidikan Kewarganegaraan

Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk

Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah pada Bab II ada ketentuan

bahwa :

“Kelompok mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan


kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan
wawasan pendidikan akan status, hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta
peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia”.

Kesadaran dan wawasan yang dimaksud di atas adalah wawasan

kebangsaan, jiwa dan patriotrisme bela negara, penghargaan terhadap hak

asasi manusia, kemajuan bangsa, pelestarian lingkungan hidup,

20
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan hukum,

ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi

dan nepotisme.

Berdasarkan penjelasan di atas salah satu peningkatan kesadaran

dan wawasan adalah ketaatan terhadap hukum maka melalui pendidikan

kewarganegaraan diharapkan dapat membina siswa menjadi warga

negara yang baik yang taat pada hukum dan peraturan yang berlaku,

seperti halnya yang terdapat pada pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa

negara Indonesia adalah negara hukum maka setiap warga negara

Indonesia wajib menjunjung tinggi hukum dan mentaati hukum atau

aturan yang berlaku.

Pendidikan kewarganegaraan juga mempunyai peran dalam

mengemban misi sebagai pendidikan hukum, yaitu pendidikan

kewarganegaraan memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan

kesadaran hukum masyarakat. Maka dapat disimpulkan Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) bukan semata mata memberikan pengetahuan

kepada siswa tetapi juga harus mampu menanamkan kesadaran kepada

siswa untuk taat kepada hukum, sehingga siswa berperilaku taat pada

norma atau aturan baik dilingkungan keluarga, sekolah, masyarakat,

bangsa dan negara (Djahiri, 2006: 173).

21
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
3. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut Winataputra dalam (Winarno, 2014: 11), visi Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) dalam arti luas, yakni sebagai sistem pendidikan

kewarganegaraan (PKn) yang berfungsi dan berperan sebagai program

kulikuler dalam konteks pendidikan formal dan non-formal, program aksi

sosial-kultural dalam kontks kemasyarakatan, dan sebagai bidang kajian

ilmiah dalam wacana pendidikan disiplin ilmu pengetahuan sosial. Visi

ini mengandung dua dimensi, yakni dimensi substansif berupa muatan

pembelajaran dan objek telaah serta objek pengembangan dan dimensi

proses berupa penelitian dan pembelajaran, sedangkan misi Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) adalah sosio-pedagogis, sosio-kultural, dan

substansif-akademis.

Misi sosio-pedagogis adalah mengembangkan potensi individu

sebagai insan Tuhan dan makluk sosial menjadi warga negara Indonesia

yang cerdas, demokratis, taat hukum, beradab, dan religius. Misi sosio-

kultur adalah memfasilitasi perwujudan cita-cita, sistem

kepercayaan/nilai, konsep, prinsip, dan praksis demokrasi dalam konteks

pembangunan masyarakat madani Indonesia melalui pengembangan

partisipasi warga negara secara cerdas dan bertanggung jawab melalui

berbagai kegiatan sosio-kultural secara kreatif yang bermuara pada

tumbuh kembangnya komitmen moral dan sosial kewarganegaraan.

Sedangkan missi substantif-akademis adalah mengembangkan struktur

atau tubuh pengetahuan pendidikan kewarganegaraan, termasuk di

22
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
dalamnya konsep, prinsip, dan generalisasi mengenai dan yang

berkenaan dengan civic virtue atau kebijakan kewarganegaraan dan civic

culture atau budaya kewarganegaraan melalui kegiatan penelitian dan

pengembangan (fungsi epistemologis) dan memfasilitasi praksis sosio-

pedagogis dan sosio-kultural dengan hasil penelitian dan

pengembangannya. (Winarno, 2014: 12-13)

C. Hakikat Civic Virtue

1. Pengertian Civic Virtue

Quigley, CN, Buchanan, JH and Bahmuller, CF dalam Civitas: A

framework for Civic Education, (1991) menyatakan bahwa civic

disposition merupakan bagian dari civic virtue. Dikatakan sebagai

berikut.

Civic virtue is described in terms of civic dispositions and civic


commitment. Civic disposition refer to those attitudes and habits of
mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning
and common good of the democtaric system. Civic commitments
refer to the freelygiven, reasoned commitment of the citizen to the
fundamental values and principles of American constitutional
democracy.

Civic virtue merupakan kemauan warga negara untuk

menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Civic

virtue atau kebajikan kewarganegaraan terdiri atas unsur watak dan

komitmen kewarganegaraan. Watak kewarganegaraan merujuk pada

sejumlah kebiasaan dan sikap warga dalam menopang berkembangnya

fungsi sosial yang sehat dan jaminan atas kepentingan umum dalam

sistem demokrasi. Komitmen kewarganegaraan merujuk pada kesediaan

23
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
secara sadar untuk menerima, memegang teguh nilai dan prinsip

demokrasi Amerika. (Winarno, 2014:181)

Civic virtues include the traits of character, dispositions, and

commitments necessaryforthe preservation and improvement of

democratic governance and citizenship.Examples ofcivic virtues are

respect for the worth and dignity of each person, civility,integrity,self-

discipline, tolerance, compassion, and patriotism. Commitments include

adedication tohuman rights, the common good, equality, and a rule of

law, (Quigley.2000). Maksud kesemua itu adalah Kebajikan

kewarganegaraan mencakup sifat-sifat karakter, disposisi, dan komitmen

yang diperlukan untuk pelestarian dan peningkatan tata pemerintahan dan

kewarganegaraan yang demokratis. Contoh kebajikan masyarakat adalah

penghormatan terhadap nilai dan martabat setiap orang, kesopanan,

integritas, disiplin diri, toleransi, kasih sayang, dan patriotisme.

Komitmen termasuk adedikasi terhadap hak asasi manusia, kebaikan

bersama, persamaan, dan peraturan hukum.

Civic virtue bisa dikatakan sebagai tujuan akhir dari pendidikan

kewarganegaraan, yaitu terbentuknya kebajikan kewaganegaraan pada

diri setiap warga yang tentu saja disesuaikan dengan sistem demokrasi

konstitusional yang sejalan dengan ideologi nasional negara yang

bersangkutan. Contoh civic virtue di AS adalah komitmen dan sikap yang

sejalan dengan prinsip dan nilai demokrasi Amerika. Di Indonesia, civic

virtueitu hendaknya sejalan dengan prinsip demokrasi Indonesia,

24
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
sebagimana yang dicontohkan dengan 10 pilar demokrasi Indonesia dari

Prof. Dr. Achmad Sanusi (2006). (Winarno, 2014: 181)

2. Cakupan Civic virtue

Rumusan dari “Civitas: A frame work for civic education” (Udin

S. Winataputra dan Dasim Budimansyah, 2007:56) membagi civic dalam:

a. Civic Virtue,

b. Civic Participation,

c. Civic Knowledge and Skills.

Pengertian Civic Virtue menurut Quigley dalam Udin S.

Winataputra dan Dasim Budimansyah (2007:60) adalah “…the

willingness of citizen to set aside privateinterests and personal concerns

for the sake of the common good”. Yakni kemauan warga negara untuk

menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Civic

Virtue memiliki dua unsur, yaitu:

a. Civic Disposition, adalah sikap atau kebiasaan berpikir warga negara

yang mendorong berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan

jaminan kepentingan umum dari sistem demokrasi.

Meliputi sejumlah karakteristik kepribadian, yakni: “Civility

(respect and civil discourse), individual responsibility, self-

discipline, civil-mindedness, openmindedness (openness, skepticism,

recognition of ambiguity), compromise (conflict of principles and

limit to compromise), toleration of diversity, patience and

persistence, compassion, generosity, and loyalty to the nation and its

principles”. Maksud semua itu adalah kesopanan yang mencakup

25
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggung jawab individual,

disiplin diri, kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran

yang mencakup keterbukaan, skeptisisme, pengenalan terhadap

kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsi-prinsip konflik

dan batas-batas kompromi, toleransi terhadap keragaman, kesabaran

dan keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap

bangsa dan segala prinsipnya.

b. Civic Commitment, adalah komitmen warga negara yang bernalar

dan diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip demokrasi

konstitusional. Kesediaan warga negara untuk mengikatkan diri

dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai fundamental

demokrasi konsitusional Amerika yang meliputi: “popular

souvereignty, constitutional government, the rule of law, separation

ofpowers, checks and balances, minority rights, civilian control of

the military,separation of church and state, power of the purse,

federalism, common good,individual rights (life, liberty: personal,

political, economic, and the pursuit ofhappiness), justice, equality

(political, legal, social, economic), diversity, truth, andpatriotism”.

Kesemua itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan kontitusional,

prinsip negara hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan

penyeimbangan, hak-hakminoritas, kontrol masyarakat terhadap

militer, pemisahan negara dan agama,kekuasaan anggaran belanja,

federalism, kepentingan umum, hak-hak individualyang mencakup

hak hidup, hak kebebasan (pribadi, politik, ekonomi,

26
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
dankebahagiaan), keadilan, persamaan (dalam bidang poitik, hukum,

sosial, ekonomi),kebhinekaan, kebenaran, dan cinta tanah air.

CIVITAS describes civic virtue in terms of civic dispositions and

civic commitment. Civic dispositions refer to those attitudes and habits of

mind of the citizen that are conducive to the healthy functioning and

common good of the democratic system. Civic commitments refer to the

freely given, reasoned commitment of the citizen to the fundamental

values and principles of American constitutional democracy,

(Bahmueller.1992) Yang dimaksud adalah CIVITAS menggambarkan

kebajikan kewarganegaraan dalam hal disposisi kewarganegaraan dan

komitmen kewarganegaraan. Pemosisian civic mengacu pada sikap dan

kebiasaan pikiran warga negara yang kondusif terhadap fungsi sehat dan

kebaikan bersama dari sistem demokrasi. Komitmen masyarakat sipil

mengacu pada komitmen beralasan yang diberikan secara bebas kepada

warga negara terhadap nilai-nilai fundamental dan prinsip-prinsip

demokrasi konstitusional Amerika.

Jadi kesimpulannya bahwa pengembangan civic virtue merupakan

landasan bagi pengembangan civic participation yang memang

merupakan tujuan akhir dari civic education atau Pendidikan

Kewarganegaraan. Dimensi civic participation ini dikembangkan dengan

tujuan untuk memberikan “…the knowledge and skills required to

participate effectively.. prtical experience in participation designed to

foster among students a sense of competence and efficacy”, dan

27
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
mengmbangkan “…an understanding of the importance of citizen

participation (Quigley dalam Udin S. Winataputra dan Dasim

Budimansyah, 2007: 62), yakni pengetahuan dan ketrampilan yang

diperlukan untuk berperanserta secara efektif dalam masyarakat,

pengalaman berperanserta yang dirancang untuk memperkuat kesadaran

berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan

pengertian tentang pentingnya peran serta aktif warga negara. Untuk

dapat berperan secara aktif tersebut diperlukan “ A knowledge of the

fundamental concepts, history, contemporary events, issues, and facts

related to the matter and the capacity to apply this knowledge to the

situation, a disposition to act in accord with the traits of civic characters,

and a commitment to the realization of the fundamental values and

principles” (Quigley dalam Udin S. Winataputra dan Dasim

Budimansyah, 2007: 62). Yang dimaksud adalah pengetahuan tentang

konsep fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang

berkaitan dengan substansi dan kemampuan untuk menerapkan

pengetahuan itu secara kontekstual dan kecenderungan untuk bertindak

sesuai dengan watak dari warganegara.

Jika dilihat dari sasaran dikembangkannya “civic virtue” dan

“civic participation”, dapat disimpulkan bahwa salah satu dimensi dari

“civic education” di Amerika adalah pengembangan watak dan karakter

warganegara yang peka, tanggap, dan bertanggung jawab terhadap

masyarakat, bangsa, dan negaranya.

28
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa

pengembangan civic virtue merupakan landasan bagi pengembangan

civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari civic

education atau pendidikan kewaganegaraan. Sehubungan dengan

beberapa pendapat dari para pakar mengenai civic virtue di atas dapat

disimpulkan bahwa civic virtue adalah suatu kebajikan warga negara

yang berupa sikap baik dan komitmen untuk nilai-nilai yang mewujud

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

D. Hakikat Lalu lintas

1. Pengertian Lalu Lintas

Di dalam bab 1 ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 Undang-undang

No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan

bahwa “lalu lintas adalah gerakan kendaraan dan orang di ruang lalu lintas

jalan”. Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia disebutkan bahwa “lalu

lintas adalah berjalan bolak-balik, hilir mudik, dan perihal perjalanan di

jalan dan berhubungan antara sebuah tempat dengan tempat lainnya”.

Dengan demikian lalu lintas adalah merupakan gerak lintas manusia dan

barang dengan menggunakan barang atau ruang di darat, baik dengan alat

gerak ataupun kegiatan lalu lintas di jalan yang dapat menimbulkan

permasalahan seperti terjadinya kecelakaan dan kemacetan lalu lintas.

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan lalu lintas

adalah kegiatan kendaraan dengan menggunakan jalan raya sebagai jalur

29
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
lalu lintas umum sehari-hari. Lalu lintas identik dengan jalur kendaraan

bermotor yang ramai yang menjadi jalur kebutuhan masyarakat umum.

2. Tujuan Lalu Lintas

Berdasarkan Undang-undang Republik indonesia Nomor 22

Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa

yang disebut dengan lalu lintas dan angkutan jalan adalah satu kesatuan

sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan

angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan,

pengemudi, pengguna jalan, serta pengelolaannya. Adapun tujuan

diselenggarakannya lalu lintas dan angkutan angkutan jalan pada pasal 3

yaitu:

a. Terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang


aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda
angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional,
memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan
kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat
bangsa;
b. Terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan
c. Terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi
masyarakat

Berdasarkan tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan

lalu lintas di sekolah memiliki beberapa tujuan, yaitu agar generasi muda

secara sadar mampu mengimplementasikan sistem nilai, yaitu etika dan

budaya berlalu lintas yang aman, tertib, santun, selamat, dan lancar yang

diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, mengubah perilaku pemakai

jalan, menurunkan pelanggaran dan kecelakaan berlalu lintas, dan

memberikan info lalu lintas.

30
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
3. Unsur Pembentuk Lalu Lintas

Lalu lintas merupakan pergerakan kendaraan (sarana) prasarana

sebenarnya meliputi seluruh moda yang ada yaitu, moda jalan raya, moda

jalan rel, moda angkutan laut dan sungai, dan moda angkutan udara. Lalu

lintas tersusun dari berbagai unsur yakni manusia sebagai pemakai jalan

(road user yang dapat berfungsi sebagai pengemudi, penumpang dan

pejalan kaki), kendaraan (vehicle), prasarana jalan, dan lingkungan.

Keempat unsur tersebut saling berinteraksi sehingga membentuk lalu

lintas (Arif dan Amirotul, 2007: 9)

Manusia merupakan salah satu unsur dalam lalu lintas yang

spesifik, artinya setiap individu mempunyai komponen fisik dasar tertentu

dan nonfisik yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam hal

kemampuannya. Komponen tersebut meliputi pendengaran, penglihatan,

tenaga, pendidikan, dan psikologis. Kombinasi komponen tersebut akan

menghasilkan suatu perilaku pengambilan keputusan yang berbeda pada

saat menghadapi satu permasalahan lalu lintas. Arif dan Amirotul, 2007

Menyebutkan bahwa karakteristik manusia sebagai pengemudi adalah

sebagai berikut:

a. Perseption merupakan kesadaran akan adanya suatu objek atau

rangsangan yang datang dari luar sehingga dibutuhkan suatu respon

atau tindakan.

b. Intelection atau identification yaitu proses identifikasi atau

interpretasi terhadap objek atau rangsangan.

31
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
c. Emotion atau decision yaitu penentuan sikap atau hasil telaah

terhadap objek atau rangsangan tersebut, sehingga dihasilkan suatu

kesimpulan akan tindakan apa yang diambil, (apakah harus berhenti,

cukup mengurangi kecepatan saja, membelok ringan atau

membanting stir, menyalip, atau cukup membunyikan klakson).

d. Volition atau reaction yaitu suatu tindakan nyata yang dilakukan

sebagai hasil dari keputusan tahap sebelumnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi keempat karakteristik manusia

sebagai pengemudi adalah sebagai berikut:

a. Faktor usia

Kondisi mental dan emosi antara orang muda dan orang tua

sangat berbeda, semakin tua tingkat kepekaan dan agresivitas

terhadap rangsangan semakin menurun, untuk itu sebaiknya ada

pembatasan usia maksimum untuk dapat mengendarai kendaraan

seperti halnya adanya pembatasan usia minimum yang diizinkan

untuk memliki Surat Izin Mengemudi.

b. Kondisi Fisik

Mengemudikan kendaraan bermotor memerlukan konsentrasi

penuh mengingat bahwa tingkat pengambilan keputusan dalam

mengemudi sangatlah singkat dalam hitungan detik. Keterlambatan

pengambilan keputusan dalam waktu yang singkat tersebut dapat

menyebabkan kondisi fatal seperti kecelakaan.

32
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
c. Kondisi Lingkungan

Lingkungan sekitar, di kanan kiri jalan, dapat menyebabkan

terciptanya kondisi yang berlainan pada pengemudi. Perasaan

pengemudi ketika melewati daerah tengah kota yang rumit tentu

memerlukan konsentrasi yang penuh dibandingkan dengan ketika

melintas di jalan antar kota dengan pemandangan yang hijau di

kanan kiri jalan yang kadang justru kurang konsentrasi.

d. Faktor Pendidikan

Faktor perbedaan tingkat pendidikan dapat pula berpengaruh

pada perilaku mengemudi. Semakin tinggi tingkat pendidikan

seseorang, semakin tinggi pula kesadaran dalam menaati aturan lalu

lintas karena pengetahuan tentang bahaya yang akan terjadi apabila

melanggar lalu lintas akan semakin dimengerti. Disamping itu,

pendidikan yang tinggi akan dapat membentuk watak serta

kepribadian yang lebih baik, lebih bertoleransi terhadap pengendara

lain, dan ada perasaan malu jika melanggar aturan.

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

karakteristik setiap pengemudi di jalan raya memiliki perbedaan yang

dipengaruhi oleh usia, kondisi fisik pengemudi, keadan lingkungan sekitar

jalan raya dan pendidikan yang mempengaruhi tingkat kesadaran

seseorang untuk patuh dan taat pada peraturan lalu lintas yang berlaku.

33
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
E. Pendidikan Lalu Lintas

1. Aturan Dalam Berkendara

Etika dalam berlalu lintas adalah pedoman sikap atau aturan yang

mengatur hubungan manusia dengan manusia lain di dalam berlalu lintas.

Etika tidak hanya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari saja,

namun etika juga sangat penting diterapkan dalam berlalu lintas. Prinsip

etika yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan berlalu lintas

hampir sama yaitu tenggang rasa dan saling menghargai. Dalam berlalu

lintas kita harus tenggang rasa dengan pengguna jalan lain dan jangan

bersikap egois. (Raharjo, 2014:37).

Hal demkian juga terdapat pada Undang-Undang No. 22 Tahun

2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu dikatakan tertib,

lancar, aman, dan terpadu apabila dalam berlalu lintas berlangsung secara

teratur sesuai dengan hak dan kewajiban pengguna jalan serta bebas dari

hambatan dan kemacetan jalan. Tanpa adanya etika berlalu lintas, maka

pengemudi akan mengemudi seenaknya sendiri, tanpa memperdulikan

keselamatan orang lain, lalu lintas di jalan akan berjalan semrawut,

sehingga rawan kecelakaan, serta akan terjadi kemacetan.

Maka dapat disimpulkan bahwa ketertiban dan keamanan dalam

berkendara akan terwujud apabila setiap pengguna jalan raya mau bersikap

tenggang rasa dan saling menghargai serta tidak bersikap egois, dengan

demikian selain menciptakan ketertiban dan keamanan dalam berkendara

34
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
juga dapat mengurangi kecelakaan lalu lintas yang sering kali terjadi

akibat pengguna jalan raya yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas.

2. Landasan Yuridis Mengenai Tata Cara Berlalu Lintas

Tata cara berlalu lintas dalam Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan paragraph

1 tentang ketertiban dan keselamatan diatur dalam pasal 105 yaitu sebagai

berikut:

Setiap orang yang menggunakan jalan wajib:


a. Berperilaku tertib, dan/atau
b. Mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan,
keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau
yang dapat menimbulkan kerusakan jalan.
Pada pasal 106 menyebutkan bahwa:
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan
wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh
konsentrasi.
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan
wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.
(3) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan
wajib mematuhi ketentuan tentang persyaratan teknis dan laik
jalan.
(4) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan
wajib mematuhi ketentuan:
a. Rambu perintah atau rambu larangan,
b. Marka jalan,
c. Alat pemberi isyarat lalu lintas,
d. Gerakan lalu lintas,
e. Berhenti dan parkir,
f. Peringatan dengan bunyi dan sinar,
g. Kecepatan maksimal atau minimal, dan/atau,
h. Tata cara penggandengan dan penempelan dengan
kendaraan lain.

35
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
(5) Pada saat diadakan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan
setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor wajib
menunjukkan:
a. Surat tanda nomor kendaraan bermotor atau surat tanda
coba kendaraan bermotor,
b. Surat Izin Mengemudi,
c. Bukti lulus uji berkala, dan/atau
d. Tanda bukti lain yang sah.
(6) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda
empat atau lebih dijalan dan penumpang yang duduk
disampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan.
(7) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda
empat atau leih yang tidak dilengkapi dengan rumah-rumah di
jalan dan penumpang yang duduk disampingnya wajib
mengenakan sabuk keselamatan dan mengenakan helm yang
memenuhi standar nasional Indonesia.
(8) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor dan
penumpang sepeda motor wajib mengenakan helm yang
memenuhi standar nasional Indonesia.
(9) Setiap orang yang mengemudikan sepeda motor tanpa kereta
samping dilarang membawa penumpang lebih dari 1 (Satu)
orang.
Pada pasal 107 menyebutkan bahwa :
(1) Pengemudi kendaraan bermotor wajib menyalakan lampu
utama kendaraan bermotor yang digunakan di jalan pada
malam hari dan pada kondisi tertentu.
(2) Pengemudi sepeda motor selain mematuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu
utama pada siang hari.
Pada pasal 108 menyebutkan bahwa:
(1) Dalam berlalu lintas pengguna jalan harus menggunakan jalur
jalan sebelah kiri.
(2) Penggunaan jalur jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan
jika:
a. Pengemudi bermaksud akan melewati kendaraan di
depannya, atau
b. Diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk digunakan sementara sebagai jalur kiri.

36
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
(3) Sepeda motor, kendaraan bermotor yang kecepatannya lebih
rendah, mobil barang, dan kendaraan tidak bermotor berada
pada jalur kiri jalan.
(4) Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bagi
kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok
kanan, mengubah arah, atau mendahului kendaraan lain.
Pada pasal 109 menyebutkan bahwa:
(1) Pengemudi kendaraan bermotor yang akan melewati kendaraan
lain harus menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan
dari kendaraan yang akan dilewati, mempunyai jarak pandan
yang bebas, dan tersedia ruang yang cukup.
(2) Dalam keadaan tertentu, pengemudi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menggunakan jalur jalan sebelah kiri
dengan tetap memperhatikan keamanan dan keselamatan lalu
lintas dan angkutan jalan.
(3) Jika kendaraan yang akan dilewati telah memberi isyarat akan
menggunakan lajur atau jalur jalan sebelah kanan, pengemudi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melewati
kendaraan tersebut.
Pada pasal 110 menyebutkan bahwa:
(1) Pengemudi yang berpapasan dengan kendaran lain dari arah
berlawanan pada jalan dua arah yang tidak dipisahkan secara
jelas wajib memberikan ruang gerak yang cukup di sebelah
kanan kendaraan.
(2) Pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika terhalang
oleh suatu rintangan atau pengguna jalan lain di depannya
wajib mendahulukan kendaraan yang datang dari arah
berlawanan.
Pada pasal 111 menyebutkan bahwa:
Pada jalan yang menanjak atau menurun yang tidak
memungkinkan bag kendaraan untuk saling berpapasan,
pengemudi kendaraan yang arahnya menurun wajib memberi
kesempatan jalan kepada kendaraan yang mendak.
Pada pasal 112 menyebutkan bahwa:
(1) Pengemudi kendaraan yang akan berbelok atau berbalik arah
wajib mengamati situasi lalu lintas di depan, di samping, dan di
belakang kendaraan serta memberikan isyarat dengan lampu
penunjuk arah atau isyarat tangan.

37
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
(2) Pengemudi kendaraan yang akan berpindah lajur atau bergerak
ke samping wajib mengamati situasi lalu lintas di depan, di
samping, dan di belakang kendaraan serta memberikan isyarat.
(3) Pada persimpangan jalan yang dilengkapi alat pemberi isyarat
lalu lintas, pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok
kiri, kecuali ditentukan lain oleh rambu lalu lintas atau alat
pemberi isyarat lalu lintas.
Pada pasal 113 menyebutkan bahwa:
(1) Pada persimpangan sebidang yang tidak dikendalikan dengan
alat pemberi isyarat lalu lintas, pengemudi wajib membrikan
hak utama kepada:
a. Kendaraan yang datang dari arah depan dan/atau dari arah
cabang persimpangan yang lain jika hal itu dinyatakan
dengan rambu lalu lintas atau marka jalan;
b. Kendaraan dari jalan utama jika pengemudi tersebut datang
dari cabang persimpangan yang lebih kecil atau dari
pekarangan yang berbatasan dengan jalan;
c. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan
sebelah kiri jika cabang persimpangan 4 (empat) atau lebih
dan sama besar;
d. Kendaraan yang datang dari arah cabang sebelah kiri di
persimpangan 3 (tiga) yang tidak tegak lurus atau;
e. Kendaraan yang datang dari arah cabang persimpangan
yang lurus pada persimpangan 3 (tiga) tegak lurus.
(2) Jika persimpangan dilengkapi dengan alat pengendali lalu
lintas yang berbenduk bundaran, pengemudi harus memberikan
hak utama kepada kendaraan lain yang datang dari arah kanan.
Pada pasal 114 menyebutkan bahwa:
Pada perlintasan sebidang antara jalur kreta api dan jalan,
pengemudi kendaraan wajib:
a. Berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kreta api
sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain;
b. Mendahulukan kreta api dan
c. Memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu
melintasi rel.
Pasal 115 menyebutkan bahwa:
Pengemudi kendaraan bermotor dijalan dilarang:
a. Mengemudikan kendaraan melebihi batas kecepatan paling
tinggi yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 dan/atau

38
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
b. Berbalapan dengan kendaraan bermotor lain.
Pada pasal 116 menyebutkan bahwa:
(1) Pengemudi harus memperlambat kendaraannya sesuai dengan
rambu lalu lintas.
(2) Selain sesuai dengan rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pengemudi harus memperlambat kendaraannya
jika:
a. Akan melewati kendaraan bermotor umum yang sedang
menurunkan dan menaikkan penumpang;
b. Akan melewati kendaraan tidak bermotor yang ditarik oleh
hewan, hewan yang ditunggangi, atau hewan yang digiring
c. Cuaca hujan dan/atau genangan air
d. Memasuki pusat kegiatan masyarakat yang belum
dinyatakan dengan rambu lalu lintas
e. Mendekati persimpangan atau perlintasan sebidang kreta
api dan/atau
f. Melihat dan mengetahui ada pejalan kaki yang akan
menyebrang.
Pada pasal 117 menyebutkan bahwa:
Pengemudi yang akan memperlambat kendaraannya harus
mengamati situasi lalu lintas di samping dan di belakang
kendaraan dengan cara yang tidak membahayakan kendaraan
lain.
Pada pasal 118 menyebutkan bahwa:
(1) Selain Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek, setiap
Kendaraan Bermotor dapat berhenti di setiap Jalan, kecuali:
a. terdapat rambu larangan berhenti dan/atau Marka Jalan
yang bergaris utuh;
b. pada tempat tertentu yang dapat membahayakan keamanan,
keselamatan serta mengganggu Ketertiban dan Kelancaran
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; dan/atau
c. di jalan tol.
Pada pasal 119 menyebutkan bahwa:
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum atau mobil bus
sekolah yang sedang berhenti untuk menurunkan dan/atau
menaikkan Penumpang wajib memberi isyarat tanda berhenti.
(2) Pengemudi Kendaraan yang berada di belakang Kendaraan
Bermotor Umum atau mobil bus sekolah yang sedang berhenti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan
kendaraannya sementara.

39
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
Pada pasal 120 menyebutkan bahwa:
Parkir Kendaraan di Jalan dilakukan secara sejajar atau
membentuk sudut menurut arah Lalu Lintas.
Pada pasal 121 menyebutkan bahwa:
(1) Setiap Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib memasang
segitiga pengaman, lampu isyarat peringatan bahaya, atau
isyarat lain pada saat berhenti atau Parkir dalam keadaan
darurat di Jalan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk Pengemudi Sepeda Motor tanpa kereta samping.

Maka dapat disimpulkan bahwa tata cara berlalu lintas yang diatur

dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009

Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dimaksudkan agar tercipta suatu

ketertiban dan keamanan dalam berkendara serta mengurangi adanya

pelanggaran-pelanggaran terhadap lalu lintas sehingga dapat mengurangi

terjadinya kecelakaan lalu lintas.

F. Penelitian Yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Bahrul ulum tahun 2012 Fakultas

Tarbiyah dan keguruan Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim

Riau tentang “ Persepsi Guru Tentang Tata-tertib di Sekolah Menengah

Atas Negeri 1 Rumbio Jaya Kabupaten Kampar. Hasil penelitian ini yaitu

bahwa persepsi yang dimliki oleh guru tentang tata-tertib berbeda-beda

tergantung dari sudut pandang mereka masing-masing. Persepsi guru di

SMA Negeri 1 Rumbio Jaya Kabupaten Kampar tentang tata tertib

dikategorikan positif. Faktor yang mendukung persepsi guru adalah

adanya keteladanan dan pengawasan yang cukup baik dari Kepala

Sekolah.

40
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
2. Penelitian yang dilakukan oleh Eko Pathi Wianto 2010 Program studi

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universita Sebelas Maret yang berjudul “Studi Analisis

Pembentukan Civic Virtue Dalam Ruang Lingkup Norma, Hukum Dan

Peraturan Di Smp Negeri 1 Gemolong Tahun 2009” Hasil penelitian ini

yaitu bahwa pembentukan civic virtue dalam penyajian materi ruang

lingkup norma, hukum, dan peraturan yang dilaksanakan di kelas VII

SMP Negeri 1 Gembolang tahun 2009 belum tercapai. Keberhasilan

penyampaian atau penyajian materi ajar terhadap siswa tidak diimbangi

dengan keberhasilan pembentukan civic virtue pada kehidupan

keseharian siswa.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Desti Dwi Setiana tahun 2013 Program

Studi Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan Fakultas Keguruan

Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto tentang

“Peran Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam

Meningkatkan Kesadaran Hukum Berlalu Lintas Di Smk N 1

Purwokerto”. Hasil penelitian ini yaitu bahwa pentingnya kesadaran

hukum bagi pelajar. Dan pembelajaran Pkn mempunyai peran yang

sangat penting dalam meningkatkan kesadaran hukum berlalu lintas,

karena guru selalu memberikan muatan-muatan pengetahuan,

pemahaman, sikap, dan perilaku kesadaran hukum kepada siswa,

sehingga siswa mempunyai pengetahuan yang baik, khususnya mengenai

kesadaran hukum berlalu lintas.

41
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017
G. Kerangka Berfikir

Terdapat beberapa pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh usia


remaja yaitu pelajar

Persepsi Guru Pkn mengenai civic virtue dalam berlalu lintas

Organisasi Sosialisasi
Pembelajaran

Hasil yang diharapkan adalah siswa mengetahui dan mampu


mengimplementasikan civic virtue dalam berlalu lintas

Gambar 2.1. Kerangka Berpikir

42
Persepsi Guru Pendidikan..., Zuhrotus Sofiyah, FKIP UMP, 2017

Anda mungkin juga menyukai