ْ َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآل ِخ ِر فَ ْليَقُلْ خَ ْيرًا أَوْ لِيَصْ ُم
ت
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah
yang benar atau diam. (HR Bukhari & Muslim)
Akhlak merupakan wujud keimanan. Perilaku akhlaqi banyak berkaitan dengan hubungan antar
manusia. Tentang hubungan di antara sesama orang yang beriman Allah SWT menegaskan dalam Qs.
49/Al-Hujurat ayat 10: Tiap-tiap orang yang beriman adalah saudara (Innamal mu`minuna ikhwatun).
Nabi SAW membuat ajaran operasional tentang hubungan di antara manusia. Hadits-hadits Nabi
SAW banyak yang dimulai dengan kalimat La yu`minu ahadukum hatta ........... (Tidaklah seseorang
disebut beriman, kecuali .....). Misal: Tidaklah seseorang disebut beriman hingga ia mencintai
saudaranya (yang seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri; tidaklah beriman orang yang
tidur nyenyak sementara tetangganya tidak dapat tidur karena kelaparan; dan sebagainya. Contoh
hadits berikut:
ِ Qوْ ِم اآل ِخQQَؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليQُْ انَ يQQ« َم ْن َك: -لمQQه وسQلى هللا عليQQص- ِ و ُل هَّللاQا َل َر ُسQQَا َل قQَع َْن أَبِى هُ َري َْرةَ ق
رQ
رQ ِ وْ ِمQQَؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليQْ Qُانَ يQQا َرهُ َم ْن َكQQؤ ِذى َجQْ Qُر فَالَ يQ
ِ Qاآلخ ِ Qوْ ِم اآل ِخQQَض ْيفَهُ َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْالي
َ فَ ْليُ ْك ِر ْم
.» ت ْ فَ ْليَقُلْ خَ ْيرًا أَوْ لِيَصْ ُم
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakan tamunya; barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya; barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam. HR Bukhari
dan Muslim, dalam Bukhari (TT) dan Muslim (TT).
Hadits-hadits ini merupakan penegasan bahwa akhlak mulia merupakan ekspresi dari
keimanan, atau wujud nyata keimanan seseorang adalah akhlak mulia. Implikasinya, jika ada
seseorang yang mengaku beriman tapi akhlaknya tidak mulia maka orang itu sebenarnya tidak
beriman.
Pertama, sikap dan perilaku akhlaqi-nya harus benar. Dalam Islam, segala sikap dan perilaku
haruslah didasarkan atas perintah Allah dan RasulNya. Jadi, maksud sikap dan perilaku akhlaqi-nya
harus benar adalah bahwa sikap dan perilaku akhlaqi-nya itu didasarkan atas perintah Allah dan
RasulNya, bukan atas dorongan nafsu dan syahwat. Memperbanyak ibadah, memperbanyak amal
soleh, memperbanyak shalat, memperbanyak puasa, memperbanyak shodaqoh, berbakti kepada kedua
orang ibu dan bapak, hidup rukun dengan sesama, meringankan beban-beban manusia, hidup
sederhana, berkata yang benar, menepati janji, amanah, rendah hati, menahan marah, memaafkan
kesalahan orang, memperbanyak zikir, memperbanyak taubat, sabar dan tawakkal, hingga perbuatan
yang dianggap kecil seperti membuang duri di jalan yang banyak dilewati manusia merupakan
perbuatan-perbuatan akhlaqi yang diperintah oleh Allah dan RasulNya.
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-(Nya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs. 4/An-Nisa: 59)
Adapun perbuatan-perbuatan berikut ini walau tampak baik seperti beribadah yang tidak sejalan
dengan perintah Allah dan RasulNya, beribadah karena pamer dan riya, memilih-milih ibadah yang
sesuai dengan selera nafsu dan syahwatnya, beramal sosial yang dipertontonkan kepada manusia
(padahal sebenarnya bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi), memberikan shodaqoh dengan
menyebut-nyebut shodaqohnya (seperti: Kamu kok begitu? Coba ingat-ingat, kamu bisa begitu karena
dulu kamu dibantu oleh saya! Atau perkataan seseorang kepada kawannya: Dia sekarang ini menjadi
kaya karena dulu dibantu oleh saya!), memberikan shodaqoh dengan menyakiti hati orang yang
menerima shodaqoh, dan lain-lain merupakan perilaku akhlaqi yang salah. Perbuatan-perbuatan
akhlaqi yang tidak sejalan dengan perintah Allah dan RasulNya adalah perbuatan-perbuatan akhlaqi
yang dikerjakan atas dasar perintah selain perintah Allah dan RasulNya, seperti atas dasar perintah
atau kebiasaan yang ditanamkan oleh kedua orang tua, tradisi masyarakat, perintah pemegang otoritas
keagamaan (terutama perintah dari tokoh-tokoh idola), juga perintah dari bisikan hati atau hasil
persepsi akal pikiran.
Al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan manusia beragama (termasuk berakhlak mulia
hanya atas dasar keberagamaan (akhlak mulia) orang tua dan masyarakat mayoritas. Perhatikan ayat-
ayat Al-Quran berikut, ternyata Allah SWT melarang beragama (dan berakhlak mulia) atas dasar 4
hal sebagai berikut:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan an-nas (manusia) tidak mengetahui, (Qs. 30/Ar-Rum
ayat 30)
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (Qs. 6/Al-An`am ayat 116)
Menurut KH Muhammad Munawwar Afandi (Guru Mursyid Sufisme Syathariah) agama
dibentuk oleh penguasa. Oleh karena itu janganlah heran jika dalam satu bangsa dan negara selalu
terdapat agama (dan mazhab) mayoritas. Penguasa biasanya mendukung dan membiayai
pendidikan untuk tersebarnya sebuah agama (atau mazhab), serta mengisolasi bahkan
melenyapkan agama (atau mazhab) yang tidak disukainya. Kurikulum agama kemudian disusun
dan mengikuti selera penguasa. Jadi, terbentuknya agama (dan mazhab) mayoritas bukanlah oleh
seorang Nabi atau Rasul (juga bukan oleh penggantinya yang hak dan sah), melainkan oleh
penguasa setelah wafatnya Nabi dan Rasul atau para penggantinya yang hak dan sah.
Seorang anak memang harus berbakti kepada kedua orangtuanya. Tapi jika kedua orang tua
mengajak kemusyrikan, sikap sang anak adalah tetap berbuat baik dalam urusan dunia. Tapi dalam
keberagamaan harus mengikuti (taat, itba`) kepada orang yang telah kembali kepada Tuhan. Allah
SWT dalam Qs. 31/ Luqman ayat 15 menegaskan: wattabi` sabila man anaba ilayya =dan
ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku. Orang yang telah kembali kepada-Ku
(Aku=Tuhan) adalah parra Nabi/Rasul, atau Guru Wasithah pengganti dan pelanjut Nabi
Muhammad SAW yang hak dan sah. Merekalah yang telah “benar-benar” kenal Zat Tuhan Yang
Al-Ghaib (bukan sekedar tahu Nama, Sifat, dan Af`al-Nya). Selengkapnya, firman-Nya Qs.
31/Luqman ayat 15 sebagai berikut:
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku (yakni itba` kepada Nabi
dan Rasul atau Guru Wasithah pengganti dan pelanjut Nabi Muhammad SAW), kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia (pandangan yang
tidak sejalan dengan kehendak Tuhan) menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. (Qs. 2/Al-Baqarah ayat
204)
Ingat juga penyesalan manusia di akhirat yang ketika di dunianya tidak bersama-
sama Rasul, karena mengidolakan seorang tokoh, sebagaimana firman-Nya dalam Qs.
25/Al-Furqan ayat 27-28:
Dan (ingatlah suatu) hari (di akhirat) orang yang zalim (tidak beriman kepada Rasul yang ada di
sekitarnya) menggigit dua tangannya (saking menyesalnya), seraya berkata: "Aduhai kiranya
(dulu, ketika di dunia) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul".
Kalimat ma`a dalam ma`ar rasul (=bersama-sama Rasul) pada Qs. 25/Al-Furqan ayat 27
tersebut menunjukkan “hidup sezaman dengan Rasul”, karena Rasul itu (sebagaimana diberitakan
Al-Quran) selalu ada di tengah-tengah umat. Penyesalan orang yang tidak mengambil jalan
bersama-sama Rasul itu dipertegas dengan penyesalan orang itu mengapa malah menjadikan si
fulan sebagai tokoh idola (bukannya Rasul yang ada di dunia), sebagaimana firmanNya dalam ayat
berikutnya, Qs. 25/Al-Furqan ayat 28:
Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu, ketika hidup di dunia) tidak menjadikan si fulan
sebagai kholil (=tokoh idola/ tokoh panutan, padahal di sekitar aku ada Rasul).
Bahkan dalam Qs. 18/al-Kahfi ayat 13-16, orang yang beragama atas dasar “persangkaan”
disebut-sebut sebagai orang yang menjadikan Al-Quran dan Rasul-Nya sebagai bahan olok-
olokan:
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap)
perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak Mengadakan
suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.
Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan
mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.(Qs. 18/al-Kahfi ayat 13-
16)
Kedua, sikap dan perilaku akhlaqi harus dilakukan secara ikhlas. Jadi, selain perbuatan
akhlaqi itu harus dilakukan secara benar (yakni dilakukan atas dasar perintah Allah dan RasulNya,
bukan atas dasar selera nafsu dan syahwat) juga harus dilakukan secara ikhlas. Maksudnya, walaupun
sikap dan perilaku akhlaqi itu dilakukan dengan benar tapi jika tidak ikhlak maka perbuatan tersebut
bukanlah perbuatan akhlak Islami. Akhlak Islami adalah sikap dan perbuatan akhlaqi yang dikerjakan
atas dasar lillâh (karena Allâh). ilallâh (menuju Allâh), minallâh (dari Allâh), dan fî sabîlillâh (di
jalan Allâh); bukan karena pamrih dunia (seperti: ingin disebut-sebut sebagai orang yang berakhlak
mulia, mencari keuntungan-keuntungan duniawi [agar dipercaya untuk menduduki sebuah jabatan
yang dikehendaki untuk dijabat oleh orang-orang yang berakhlak mulia, atau agar terpakai oleh
majikan dan atasan], dan mengejar nikmat pemberian Allah (seperti: memperbanyak shalat tahajud
dan puasa sunat agar memperoleh rizki yang banyak, mendapatkan jodoh, dagangan laris,
memperoleh jabatan yang diinginkan, terhindar dari hukuman) dan bukan pula karena pamrih akhirat
(berakhlak mulia karena ingin memperoleh pahala, ingin masuk, dan takut masuk neraka). Jika tujuan-
tujuan duniawi tersebut yang dikejar, maka ganjaran-ganjaran duniawi itulah yang diperolehnya,
sementara akhirat tidak didapat. Adapun jika tujuan-tujuan pamrih akhirat tersebut yang dikejar, maka
pahala dan surga tidak akan didapatkan, malah mereka akan menjadi penghuni neraka. Na`udzu
billahi min dzalik!
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan ikhlas dalam
(menjalankan) agama yang lurus; (Qs. 98/Al-Bayyinah: 5)
Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya,
dan Allâh membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan mengunci mati pendengaran dan hatinya
dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allâh (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Qs.
45/Al-Jasiyah: 23)
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (Qs. 25/Al-Furqan: 43)
E. RENUNGAN
Coba simak dan renungkan kisah seorang `alim, dermawan, dan mujahid yang masuk neraka.
Dikisahkan Sufyan Ash-Ashbahiny bercerita kepada 'Uqah ibn Muslim ketika dia memasuki
Madinah, dia melihat orang sedang mengerumuni Abu Hurairah r.a. Sufyan pun menghampirinya lalu
dia duduk di hadapan Abu Hurairah yang sedang menyampaikan sebuah hadis kepada jemaah. Abu
Hurairah lalu terdiam. Sufyan meminta agar dia menyampaikan hadis yang dapat difahami untuk
dihayati. Abu Hurairah bersetuju seraya berkata. “Aku akan sampaikan kepadamu satu hadis yang
telah disampaikan Rasulullah SAW kepadaku”. Tiba-tiba Abu Hurairah menangis tersedu-sedu
hingga hampir pengsan. Kemudian dia diam sebentar lalu berkata, “Aku akan sampaikan kepadamu
satu hadis yang telah disampaikan Rasulullah SAW kepadaku di rumah ini, tidak ada orang lain selain
aku dan baginda.” Tiba-tiba Abu Hurairah menangis tersedu-sedu hingga hampir pengsan. Setelah
sadar kembali dia bercerita, “bahwa pada hari kiamat nanti Allah SWT akan turun kepada hambanya
untuk memberikan keputusan kepada mereka. Setiap umat ketika itu berlutut. Golongan pertama yang
akan dipanggil adalah orang `alim, orang kaya, dan mujahid (orang yang berperang) fi sabilillah.”
Allah SWT bertanya kepada orang alim itu, “Bukankah AKU telah mengajarkan kepadamu Al-Kitab
yang telah AKU turunkan kepada Rasul-KU?” Orang `alim itu menjawab. “Benar, wahai Tuhan.”'
Allah SWT bertanya lagi. “Apa yang engkau kerjakan dengan ilmu yang engkau miliki itu?'” Orang
itu menjawab, “Dengannya aku beribadat kepada-MU di malam hari dan siang hari.” Malaikat berkata
kepada orang `alim itu, “Engkau berdusta!” Allah SWT berfirman lagi, “Engkau hanya ingin disebut-
sebut sebagai orang `alim!” Setelah itu dipanggil orang kaya. Allah SWT berfirman kepadanya,
“Engkau telah AKU beri rezeki sehingga keadaanmu berkecukupan.” Orang itu menjawab, “Benar
wahai Tuhan!” Allah SWT kemudian bertanya lagi, “Apa yang telah engkau kerjakan dengan hartamu
itu?” Dia menjawab, “Dengannya aku bersillaturrahim dan bersedekah!” Allah SWT berfirman
kepadanya, “Engkau dusta!” Malaikat juga berkata begitu. Allah SWT berfirman lagi, “Engkau hanya
ingin disebut-sebut sebagai orang dermawan!” Kemudian dipanggil orang yang terbunuh ketika
berperang fi sabilillah. Allah SWT berfirman kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau
terbunuh?” Dia menjawab, “Telah diperintahkan kepadaku untuk berjihad di jalan-MU, maka aku
berperang hingga terbunuh. Allah SWT berfirman kepadanya, “Engkau berdusta!” Malaikat juga
berkata begitu. Allah SWT berfirman lagi, “Engkau hanya ingin disebut-sebut sebagai seorang
pemberani!” Kata Abu Huraerah, kemudian Rasulullah SAW menepuk lututku sambil bersabda,
“Wahai Abu Hurairah, ketiga orang itu adalah orang-orang yang pertama kali merasakan seksaan api
neraka pada hari kiamat.
Kisah ini perlu dijadikan bahan renungan mendalam. Orang umum sering kali menilai
orang dari segi perilaku lahirnya saja. Jika `alim, dermawan, dan mujahid pasti orang saleh
dan pasti masuk surga; padahal yang Allah lihat adalah aspek lahir sekaligus aspek batin
manusia; atau aspek jasmani dan hati; atau istilah tasawufnya aspek syare`at da hakekat.
Ketiga orang yang terkesan baik itu (`alim, dermawan, mujahid) mengapa dijadikan ahli
neraka karena hatinya menyimpan keburukan. Dia menjadi orang `alim hanya karena ingin
disebut-sebut sebagai orang `alim; dia menjadi orang dermawan karena ingin disebut-sebut
sebagai orang dermawan; dan dia menjadi mujahid karena ingin disebut-sebut sebagai
seorang pemberani. Mereka menyimpan sifat takabur, ujub, riya, dan sum`ah dalam hatinya.
Artinya, mereka orang-orang `alim, dermawan, dan mujahid yang tidak berakhlak. (Disadur
dari Greenbuble.blogspot.com, 2009).
F. KESIMPULAN
Akhlak dalam Islam bukan sekedar perilaku atau karakter yang baik. Akhlak dalam Islam
adalah akhlak mulia yang “sempurna”. Ciri-ciri akhlak dalam Islam haruslah mengandung unsur-
unsur berikut: (1) baik dan bersifat ikhtiari, maksudnya sikap dan perilaku yang baiknya itu
merupakan hasil usaha yang keras dan sungguh-sungguh; (2) benar, maksudnya sikap dan perbuatan
yang baiknya itu dilakukan semata-mata sebagai ketaatan kepada Allah dengan mengikuti petunjuk
dan teladan Rasulullah; (3) ikhlash, maksudnya sikap dan perbuatan yang baiknya itu dilakukan
karena Allah semata, bukan karena parih dunia ataupun pamrih akhirat; dan (4) istiqomah, atau ajeg
dan tetap, maksudnya sikap dan perbuatan yang baiknya itu dilakukan secara terus-menerus dalam
situasi dan kondisi apa pun dan bagaimana pun.