Anda di halaman 1dari 10

II

CIRI-CIRI AKHLAK MULIA

ْ ‫َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْاليَوْ ِم اآل ِخ ِر فَ ْليَقُلْ خَ ْيرًا أَوْ لِيَصْ ُم‬
‫ت‬
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah
yang benar atau diam. (HR Bukhari & Muslim)

Akhlak merupakan wujud keimanan. Perilaku akhlaqi banyak berkaitan dengan hubungan antar
manusia. Tentang hubungan di antara sesama orang yang beriman Allah SWT menegaskan dalam Qs.
49/Al-Hujurat ayat 10: Tiap-tiap orang yang beriman adalah saudara (Innamal mu`minuna ikhwatun).
Nabi SAW membuat ajaran operasional tentang hubungan di antara manusia. Hadits-hadits Nabi
SAW banyak yang dimulai dengan kalimat La yu`minu ahadukum hatta ........... (Tidaklah seseorang
disebut beriman, kecuali .....). Misal: Tidaklah seseorang disebut beriman hingga ia mencintai
saudaranya (yang seiman) sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri; tidaklah beriman orang yang
tidur nyenyak sementara tetangganya tidak dapat tidur karena kelaparan; dan sebagainya. Contoh
hadits berikut:

ِ Q‫وْ ِم اآل ِخ‬QQَ‫ؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْالي‬Qُْ ‫انَ ي‬QQ‫« َم ْن َك‬: -‫لم‬QQ‫ه وس‬Q‫لى هللا علي‬QQ‫ص‬- ِ ‫و ُل هَّللا‬Q‫ا َل َر ُس‬QQَ‫ا َل ق‬Qَ‫ع َْن أَبِى هُ َري َْرةَ ق‬
‫ر‬Q
‫ر‬Q ِ ‫وْ ِم‬QQَ‫ؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْالي‬Qْ Qُ‫انَ ي‬QQ‫ا َرهُ َم ْن َك‬QQ‫ؤ ِذى َج‬Qْ Qُ‫ر فَالَ ي‬Q
ِ Q‫اآلخ‬ ِ Q‫وْ ِم اآل ِخ‬QQَ‫ض ْيفَهُ َم ْن َكانَ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل ِ َو ْالي‬
َ ‫فَ ْليُ ْك ِر ْم‬
.» ‫ت‬ ْ ‫فَ ْليَقُلْ خَ ْيرًا أَوْ لِيَصْ ُم‬

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakan tamunya; barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka jangan menyakiti tetangganya; barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka berkatalah yang baik atau diam. HR Bukhari
dan Muslim, dalam Bukhari (TT) dan Muslim (TT).

Hadits-hadits ini merupakan penegasan bahwa akhlak mulia merupakan ekspresi dari
keimanan, atau wujud nyata keimanan seseorang adalah akhlak mulia. Implikasinya, jika ada
seseorang yang mengaku beriman tapi akhlaknya tidak mulia maka orang itu sebenarnya tidak
beriman.

A. CIRI-CIRI UMUM AKHLAK MULIA


Akhlak merupakan perbuatan yang ‘baik’, bersifat ikhtiari (kebaikannya itu sebagai hasil usaha
dirinya), patut dipuji, dan lebih dari itu – sebagaimana ibadah pada umumnya – akhlak haruslah
dilakukan secara benar (sesuai dengan perintah Allah dan RasulNya) dan ikhlas tanpa ada pamrih
dunia (seperti ingin dipuji, ingin terpakai, dan lain-lain tujuan duniawi) maupun pamrih akhirat (ingin
dapat pahala, ingin masuk surga, atau takut masuk neraka).
Pertama, akhlak merupakan suatu tindakan yang ‘baik’. Mungkin yang menjadi pertanyaan
adalah: apa dasar dan ukurannya suatu tindakan disebut ‘baik’. Kaum Muslimin, khususnya para
Ulama, akan sepakat bahwa segala tindakan yang didasarkan atas perintah dan larangan agama adalah
baik. Malah lebih jauhnya, sebagian besar - (kalau tidak mau disebut) hampir seluruh - perintah dan
larangan syara` Islam akan dipandang baik juga oleh agama-agama besar dunia. Tindakan-tindakan
seperti berikut ini: bertindak adil, berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada karib-kerabat,
bersahabat dengan tetangga, menolong orang yang kesusahan, rendah hati, sabar, pemaap,
menghindari ma-lima (5M, yakni: madat [minum khamar dan minuman yang memabukkan],
main[berjudi], madon[berzina], maling[mencuri dan korupsi], dan mateni[membunuh]), melestarikan
alam, tidak merusak lingkungan, dan banyak lagi yang lainnya, yang merupakan ajaran syar`i, juga
dipandang tindakan-tindakan yang baik oleh agama-agama besar dunia. Ajaran-ajaran syara`
demikian merupakan perbuatan moral, etika, dan karakter universal.
Kedua, akhlak merupakan suatu tindakan ‘ikhtiari’ yang patut dipuji. Tindakan ikhtiari,
suatu tindakan yang digerakan oleh usaha (keras) harus dibedakan dari tindakan alami, yakni suatu
tindakan yang digerakan oleh impuls dan refleks. Tindakan-tindakan seperti: memperlakukan anak
yatim dengan penuh kasih-sayang, mengeluarkan infaq di kala sempit (kekurangan) - dan terlebih-
lebih di kala lapang (berkecukupan), menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain (yang
bersifat pribadi), menghindari suap dan KKN ketika ada peluang dan kesempatan, dan tindakan
lainnya yang serupa merupakan tindakan-tindakan baik dan bersifat ikhtiariserta patut dipuji.
Tetapi tindakan berikut ini: seorang ibu menyusukan bayinya, seorang suami/ayah
menafkahi istri dan anak-anaknya, seorang muzakki membayarkan zakat, seorang dosen
memberikan kuliah kepada mahasiswanya, dan tindakan lainnya yang serupa - walaupun
merupakan perbuatan yang baik dan tentunya layak memperoleh pahala dari Allah Swt -
sangat sulit untuk disebut perbuatan akhlaki, karena lebih merupakan tindakan alami.
Tindakan menyusukan bayi tidak hanya terjadi pada manusia, tapi binatang pun
melakukannya. Kita pun tidak pernah mendengar pujian pada tindakan demikian. Kita tidak
pernah mendengar pujian berikut: Ibu A hebat, dia menyusui bayinya! Bapak B hebat, dia
memberi nafkah kepada istri dan anaknya! Bapak C yang kaya itu hebat, dia membayar zakat.
Mengapa tidak dipuji? Jawabnya, karena tindakan-tindakan alami demikian lebih merupakan
suatu kewajiban. Adalah kewajiban bagi seorang ibu untuk menyusukan bayinya; adalah
kewajiban bagi seorang suami/ayah untuk menafkahi istri dan anaknya; dan adalah kewajiban
bagi seorang muzakki untuk membayarkan zakat!
Berbeda dengan seseorang yang dalam keadaan sempit tapi membantu meringankan
kesempitan orang lain, dia layak mendapat pujian. Kita sering dengar: “Saya salut pada si D. Dia tidak
hanya berinfaq di saat lapang. Tapi di saat sempit pun dia selalu berinfaq!” Demikian juga seorang
kaya yang mengeluarkan infaq dan shadaqah di luar zakat dan kewajibannya lebih merupakan
tindakan ikhtiari yang patut dipuji, dan karenanya merupakan tindakan akhlaki.
Ketiga, akhlak merupakan buah dari keimanan.Perumpamaan iman dengan akhlak dapat
diibaratkan pohon dengan buahnya. Jadi, tidak mungkin ada buah kalau tidak ada pohonnya. Tidak
mungkin muncul tindakan akhlaki kalau tidak ada keimanan. Hadits-hadits yang dimulai dengan
ungkapan “La yu-minu ahadu kum hatta .....” (Seseorang tidak beriman hingga orang itu .....) cukup
banyak. Misalnya: “Seseorang tidak beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia
mencintai dirinya sendiri” (La yu`minu ahadukum hatta yuhibbu li akhihi ma yuhibbu li nafsihi),
“Tidak beriman orang yang tidur nyenyak sementara tetangganya gelisah kelaparan.”
Keempat, akhlak bersifat fithri.Akhlak - sebagai salah satu komponen ajaran Islam -
sebagaimana keimanan terpatri dalam hati setiap manusia. Ayat Fa aqim wajhaka liddini hanifa.
fithratallahi lati fatharan nasa ‘alaiha. (Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus.
Fithrah Allah yang telah mencintakan manusia atas dasar fithrah itu). Juga hadits Kullu mauludin
yuladu ‘alal fithrah fa abawahu yuhawwidanihi au yunashshiranihi au yumajjisanihi (Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fithrah. Maka orangtuanyalah yang meyahudikannya, menasranikannya,
atau memajusikannya), menunjukkan bahwa dasar-dasar agama Islam - dasar-dasar keimanan, dasar-
dasar peribadatan, dan dasar-dasar akhlak mulia - telah terpatri pada hati manusia. Dengan demikian,
orang yang berakhlak pastilah didasari oleh keimanannya. Untuk apa orang berakhlak mulia kalau
tidak ada iman!
Kelima, akhlak bersifat ‘ta’abbudi’. Misi utama kenabian adalah untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia. Sabda Nabi Saw: Innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaqi. Jadi, apa
karena didorong oleh kesadaran akan keimanannya yang tinggi atau oleh fithrahnya yang kuat,
seseorang melakukan tindakan-tindakan akhlaki. Untuk apa seseorang melakukan tindakan akhlaki -
padahal sangat berat - kalau bukan untuk menyembah Allah Yang Maha Esa?! Bisa saja karena riya.
Tapi tindakan berpura-pura biasanya temporer dan kasuistik. Kita tidak boleh men-generalisasi-kan
bahwa segala tindakan akhlaki yang tidak bersandar pada kesadaran keimanan adalah tindakan riya!
Keenam, akhlak merupakan moralitas atau etika universal.Ajaran Islam - termasuk
tentunya akhlak - merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia karena memang sesuai dengan
fithrah al-insani (Hudan lin-nas). Seluruh ajaran akhlak Islam - khususnya yang menyangkut prinsip-
prinsipnya, bukannya yang bersifat teknis - terbukti diterima di mana pun dan kapan pun. Kalau pun
ada yang berbeda biasanya bersifat teknis. Misalnya, berbakti kepada ibu-bapak. Di kebanyakan
peradaban, menampar ayah merupakan tindakan tercela. Tapi pada pada Suku Amish, seorang anak
laki-laki berumur 10 tahun yang berani menampar pipi ayahnya mendapat pujian. Kenapa? Karena
Suku Amish adalah suku-perang. Kalau seorang anak sudah berani menampar ayahnya, terlebih-lebih
ia akan berani memukul-telak musuhnya. Tapi - karena tidak sesuai dengan fithrah - dewasa ini tidak
ada anak Suku Amish yang melakukan tindakan demikian.
Ketujuh, pelanggaran terhadap akhlak akan dikutuk masyarakat.Tindakan-tindakan anti-
akhlaki, terutama yang berhubungan dengan kemasyarakatan atau bersentuhan dengan orang lain,
akan dikutuk oleh masyarakat. Misalnya: ucapan kasar terhadap orangtua, perkataan buruk terhadap
tetangga, tidak memberikan pertolongan terhadap orang yang terkena musibah, membuat kegaduhan
di saat orang sedang tidur nyenyak di malam hari, kikir, sombong, dan banyak lagi tindakan anti-
akhlaki lainnya akan dikutuk oleh masyarakat.
Kedelapan, pelanggaran terhadap akhlak akan dikutuk hati-nurani.eorang hakim yang
menerima suap atau seorang pejabat yang korupsi di satu sisi dapat membahagiakan istri dan anak-
anaknya. Dengan uang (haram) yang diraihnya, istri dan anak-anak mereka dapat memenuhi segala
kebutuhan dan keinginannya. Dari luar, keluarga hakim dan pejabat tersebut mungkin tampak
bahagia. Tapi, hati-nurani sang hakim dan sang pejabat (jika istri dan anak-anaknya tidak
mengetahuinya) akan mengutuk habis-habisan tindakan suap dan korupnya itu. Pertanyaan mungkin
muncul: mengapa para hakim penerima suap dan para pejabat yang korup tidak segera bertaubat, tapi
malah lebih gila lagi menerima suap dan berkorupsi-ria? Jawabnya, nafsu-serakah itulah yang
mendominasi kepribadiannya. Seorang Fir’aun dan Qarun saja pada akhir hayatnya menyesali segala
perbuatan anti-akhlakinya. Hanya, sayang sekali taubat mereka terlambat. Malah sebenarnya
kebanyakan orang ‘merasa’ beriman padahal imannya tidak sejalan dengan Kehendak Allah
sebagaimana diajarkan oleh RasulNya.
Contoh cukup populer di Barat adalah Thomas Grissom. Ia seorang Fisikawan berkebangsaan
Amerika Serikat. Selama hampir 15 tahun ia bekerja dengan penuh semangat dalam usaha
pengembangan dan pembangunan generator neutron. Sedemikian besar semangatnya sehingga ia
nyaris lupa akan tujuan benda-benda yang dibuatnya itu, yaitu menggalakkan dan menghasilkan
senjata-senjata nuklir. Lama kelamaan hati nuraninya gelisah terutama setelah ia membaca karya
Sejarahwan tersohor, Arnold Toynbee, A Study of History, khususnya kalimat berikut: “Bila orang
mempersiapkan perang, sudah ada perang.” Pada saat itulah Grissom sadar bahwa ia sedang
memberikan bantuan kepada suatu perang nuklir yang mampu memusnahkan sebagian besar
permukaan bumi. Ia lalu membicarakan kegelisahan batinnya dengan istrinya. Ia pun membicarakan
konsekuensi-konsekuensi finansial bila berhenti bekerja di Laboratorium Nasional Amerika. Dia
akhirnya memutuskan berhenti, kemudian bekerja sebagai dosen dengan penghasilan yang jauh lebih
kecil.
Semua orang yang memiliki ciri-ciri umum akhlak di atas disebut-sebut sebagai orang yang
berakhlak, atau lebih tepatnya sebagai orang yang berakhlak mulia. Tapi perlu dicatat di sini bahwa
berakhlak mulia saja tidak bisa menjamin dapat dikategorikan sebagai berakhlak Islam. Tujuan
diutusnya para Nabi untuk ‘menyempurnakan’ akhlak mulia mengindikasikan bahwa akhlak mulia
dalam perspektif manusia masih harus disempurnakan lagi, agar akhlak mulianya itu sejalan dengan
kehendak Allah dan RasulNya.

B. CIRI-CIRI KHUSUS AKHLAK MULIA


Akhlak dalam Islam bukan sekedar tindakan yang baik dan mulia, tapi memiliki makna khusus
dan mendalam. Sabda Nabi Muhammad SAW yang sangat terkenal adalah innama bu`itstu
li`utammima makarimal akhlaqi. Para penterjemah sering kurang hati-hati dalam menterjemahkan
hadits ini, terutama kalimat makarimal akhlaq. Mereka umumnya menterjemahkannya dengan
‘akhlak’ (saja), sehingga terjemah hadits ini menjadi “Sesungguhnya aku [Nabi SAW] diutus [ke
dunia ini] untuk menyempurnakan ‘akhlak’. Padahal arti kalimat makarimal akhlaqadalah “akhlak
mulia”. Jadi, hadits ini seharusnya diterjemahkan dengan “Sesungguhnya aku [Nabi SAW] diutus [ke
dunia ini] untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
Sabda Nabi Muhammad ini tentu bukan sekedar ungkapan tanpa makna. Tapi benar-benar
bermakna serta memiliki maksud dan tujuan yang jauh dan mendalam. Ungkapan tujuan diutusnya
para Nabi (juga para Ulama Pewaris Nabi) untuk menyempurnakan “akhlak yang mulia” punya
makna mendalam dan implikasi khusus terhadap dakwah dan pendidikan Islam, yakni: Pertama, para
Nabi diutus untuk berdakwah kepada orang-orang yang sudah memiliki akhlak mulia, agar akhlak
mulia yang ada pada mereka menjadi “sempurna”. Atau dengan bahasa lain meng-Islam-kan akhlak
mulia pada manusia; kedua, akhlak mulia perspektif manusia tidaklah mulia dalam perspektif Islam.
Oleh karena itu akhlak mulia yang ada pada manusia masih harus disempurnakan; dan ketiga, Nabi
tidak diutus untuk mendakwahi orang-orang yang berakhlak tidak mulia. Maksudnya, bahwa orang
yang tidak berakhlak mulia bukanlah sasaran dakwah para Nabi.
Jika diibaratkan dengan jenjang pendidikan, jenjang tertinggi pendidikan adalah S3 (Doktor), di
bawahnya adalah S2 (Magister), S1 (sarjana), SMA/SMK/ MA, SMP/MTs, SD/MI, dan terendah
TK/RA. Tapi di sini bukan jenjang dalam pengertian level bersekolah, melainkan jenjang dalam ber-
akhlaqul karimah. Para Nabi, juga Ulama Pewaris Nabi, jika diilustrasikan dengan jenjang pendidikan
hanya mendakwahi manusia-manusia yang memiliki akhlak mulia jenjang S3. Jenjang di bawahnya
tidak menjadi sasaran dakwah para Nabi. Oleh karena itu hadits ini pun mengandung implikasi praktis
terhadap keimanan. Jika ingin didakwahi oleh Ulama Pewaris Nabi, maka tingkatkan dulu kemuliaan
akhlaknya hingga mencapai jenjang akhlak tertinggi, akhlak mulia. Jika sudah mencapai kemuliaan
akhlak, asalkan tetap berusaha meningkatkan akhlaknya – tidak puas sampai berakhlak mulia – Ulama
Pewaris Nabi dengan izin Allah akan lebih mudah ditemui.
Para pendidik akhlak perlu sadar sesadar-sadarnya bahwa tujuan mereka mendidik akhlak
bukan sekedar agar para siswa mencapai kemuliaan akhlak, tapi lebih dari itu, yakni agar para siswa
dapat menjadi murid-murid Ulama Pewaris Nabi (agar akhlak mulianya dapat disempurnakan oleh
Ulama Pewaris Nabi).
Siapa orang atau pihak yang wajib melaksanakan pendidikan akhlak bagi anak-anak bangsa
yang akhlaknya belum mulia? Realitasnya para orang tua, para tokoh agama, para pendidik, dan
penguasa bangsa-bangsa se dunia di sepanjang sejarahnya selalu membuat program pendidikan agar
anak-anak bangsanya selain cerdas dan trampil juga memiliki akhlak mulia. Adapun terhadap anak
bangsanya yang berakhlak buruk dan pelaku kriminal, bangsa-bangsa se dunia di sepanjang
sejarahnya telah membuat program khusus berupa pemenjaraan di lembaga pemasyarakatan,
rehabilitasi sosial, hingga hukuman yang lebih keras.
Sekarang mari kita inventarisir akhlak-akhlak mulia perspektif manusia. Berbakti kepada ibu
dan bapak, menolong orang yang kesusahan, mengenyangkan perut orang lapar, mengobati orang
sakit, dan secara umum menghilangkan belenggu-belenggu dan derita-derita masyarakat disepakati
oleh bangsa-bangsa di dunia sebagai akhlak yang mulia. Tapi di sisi Tuhan akhlak-akhlak demikian
masih harus disempurnakan. Berbakti kepada ibu bapak yang hanya didasarkan atas tradisi dan insting
semata hanyalah sebatas kebaikan-kebaikan duniawi. Pahalanya paling-paling sebatas pujian dari
orang-orang dekat dan masyarakat sekitarnya. Tapi pahala di sisi Tuhan bisa Nol-besar. Program
pendidikan akhlak Kenabian adalah bagaimana agar berbakti kepada kedua orang tua itu dapat
mencapai kesempurnaan akhlak.
Adapun ciri-ciri khusus akhlak Islami atau akhlak mulia yang sempurna sebagai berikut:

Pertama, sikap dan perilaku akhlaqi-nya harus benar. Dalam Islam, segala sikap dan perilaku
haruslah didasarkan atas perintah Allah dan RasulNya. Jadi, maksud sikap dan perilaku akhlaqi-nya
harus benar adalah bahwa sikap dan perilaku akhlaqi-nya itu didasarkan atas perintah Allah dan
RasulNya, bukan atas dorongan nafsu dan syahwat. Memperbanyak ibadah, memperbanyak amal
soleh, memperbanyak shalat, memperbanyak puasa, memperbanyak shodaqoh, berbakti kepada kedua
orang ibu dan bapak, hidup rukun dengan sesama, meringankan beban-beban manusia, hidup
sederhana, berkata yang benar, menepati janji, amanah, rendah hati, menahan marah, memaafkan
kesalahan orang, memperbanyak zikir, memperbanyak taubat, sabar dan tawakkal, hingga perbuatan
yang dianggap kecil seperti membuang duri di jalan yang banyak dilewati manusia merupakan
perbuatan-perbuatan akhlaqi yang diperintah oleh Allah dan RasulNya.



Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-(Nya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. (Qs. 4/An-Nisa: 59)

Adapun perbuatan-perbuatan berikut ini walau tampak baik seperti beribadah yang tidak sejalan
dengan perintah Allah dan RasulNya, beribadah karena pamer dan riya, memilih-milih ibadah yang
sesuai dengan selera nafsu dan syahwatnya, beramal sosial yang dipertontonkan kepada manusia
(padahal sebenarnya bisa dilakukan secara sembunyi-sembunyi), memberikan shodaqoh dengan
menyebut-nyebut shodaqohnya (seperti: Kamu kok begitu? Coba ingat-ingat, kamu bisa begitu karena
dulu kamu dibantu oleh saya! Atau perkataan seseorang kepada kawannya: Dia sekarang ini menjadi
kaya karena dulu dibantu oleh saya!), memberikan shodaqoh dengan menyakiti hati orang yang
menerima shodaqoh, dan lain-lain merupakan perilaku akhlaqi yang salah. Perbuatan-perbuatan
akhlaqi yang tidak sejalan dengan perintah Allah dan RasulNya adalah perbuatan-perbuatan akhlaqi
yang dikerjakan atas dasar perintah selain perintah Allah dan RasulNya, seperti atas dasar perintah
atau kebiasaan yang ditanamkan oleh kedua orang tua, tradisi masyarakat, perintah pemegang otoritas
keagamaan (terutama perintah dari tokoh-tokoh idola), juga perintah dari bisikan hati atau hasil
persepsi akal pikiran.
Al-Quran menyebutkan bahwa kebanyakan manusia beragama (termasuk berakhlak mulia
hanya atas dasar keberagamaan (akhlak mulia) orang tua dan masyarakat mayoritas. Perhatikan ayat-
ayat Al-Quran berikut, ternyata Allah SWT melarang beragama (dan berakhlak mulia) atas dasar 4
hal sebagai berikut:

a. Jangan Ikuti Agama (Akhlak) Mayoritas


Allah SWT menegaskan bahwa keberagamaan mayoritas adalah sesat dan harus dihindari,
sebagaimana firmanNya, antara lain dalam ayat berikut:



Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah
yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan an-nas (manusia) tidak mengetahui, (Qs. 30/Ar-Rum
ayat 30)



Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan
mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (Qs. 6/Al-An`am ayat 116)
Menurut KH Muhammad Munawwar Afandi (Guru Mursyid Sufisme Syathariah) agama
dibentuk oleh penguasa. Oleh karena itu janganlah heran jika dalam satu bangsa dan negara selalu
terdapat agama (dan mazhab) mayoritas. Penguasa biasanya mendukung dan membiayai
pendidikan untuk tersebarnya sebuah agama (atau mazhab), serta mengisolasi bahkan
melenyapkan agama (atau mazhab) yang tidak disukainya. Kurikulum agama kemudian disusun
dan mengikuti selera penguasa. Jadi, terbentuknya agama (dan mazhab) mayoritas bukanlah oleh
seorang Nabi atau Rasul (juga bukan oleh penggantinya yang hak dan sah), melainkan oleh
penguasa setelah wafatnya Nabi dan Rasul atau para penggantinya yang hak dan sah.

b. Jangan Ikuti Agama (Akhlak) Leluhur


Keberagamaan leluhur sebenarnya terbentuk karena mayoritas, yakni kesinambungan agama
atau mazhab yang dibentuk oleh penguasa. Setelah terbentuk agama atau mazhab yang kuat,
kemudian generasi demi generasi mempertahankannya, melestarikannya. Mereka sama sekali tidak
mau mengikuti Rasul yang berada di tengah-tengah mereka. Allah SWT menegaskan bahwa
keberagamaan leluhur adalah sesat dan harus dihindari, sebagaimana firmanNya:


Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti
Rasul". Mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami
mengerjakannya". Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk? (Qs.
5/Al-Maidah: 104)

Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu
agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak
mereka." (Qs. 43/Az-Zukhruf: 22)

Seorang anak memang harus berbakti kepada kedua orangtuanya. Tapi jika kedua orang tua
mengajak kemusyrikan, sikap sang anak adalah tetap berbuat baik dalam urusan dunia. Tapi dalam
keberagamaan harus mengikuti (taat, itba`) kepada orang yang telah kembali kepada Tuhan. Allah
SWT dalam Qs. 31/ Luqman ayat 15 menegaskan: wattabi` sabila man anaba ilayya =dan
ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku. Orang yang telah kembali kepada-Ku
(Aku=Tuhan) adalah parra Nabi/Rasul, atau Guru Wasithah pengganti dan pelanjut Nabi
Muhammad SAW yang hak dan sah. Merekalah yang telah “benar-benar” kenal Zat Tuhan Yang
Al-Ghaib (bukan sekedar tahu Nama, Sifat, dan Af`al-Nya). Selengkapnya, firman-Nya Qs.
31/Luqman ayat 15 sebagai berikut:




Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku (yakni itba` kepada Nabi
dan Rasul atau Guru Wasithah pengganti dan pelanjut Nabi Muhammad SAW), kemudian hanya
kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

Keberagamaan orang tua biasanya mengikuti keberagamaan leluhurnya, atau mengikuti


keberagamaan mayoritas, atau mengikuti keberagamaan dari seorang tokoh agama yang
dikaguminya. Oleh karena itulah Allah menegaskan keharusan sang anak mengikuti keberagamaan
(taat, itba`) kepada “seseorang yang telah kembali kepada Tuhan” (wattabi` sabila man anaba
ilayya).

c. Jangan Ikuti Agama (Akhlak) Tokoh Idola


Setiap sesuatu yang menarik hati karena sesuatu yang disenangi oleh nafsu dan syahwat,
terlebih-lebih jika disandarkan pada agama pasti akan diikuti oleh kebanyakan manusia. Dalam Qs.
2/Al-Baqarah ayat 204 Allah SWT menegaskan bahwa sebenarnya orang demikian adalah
penantang agama yang paling keras, karenanya harus dihindari.



Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia (pandangan yang
tidak sejalan dengan kehendak Tuhan) menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas
kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. (Qs. 2/Al-Baqarah ayat
204)
Ingat juga penyesalan manusia di akhirat yang ketika di dunianya tidak bersama-
sama Rasul, karena mengidolakan seorang tokoh, sebagaimana firman-Nya dalam Qs.
25/Al-Furqan ayat 27-28:


Dan (ingatlah suatu) hari (di akhirat) orang yang zalim (tidak beriman kepada Rasul yang ada di
sekitarnya) menggigit dua tangannya (saking menyesalnya), seraya berkata: "Aduhai kiranya
(dulu, ketika di dunia) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul".
Kalimat ma`a dalam ma`ar rasul (=bersama-sama Rasul) pada Qs. 25/Al-Furqan ayat 27
tersebut menunjukkan “hidup sezaman dengan Rasul”, karena Rasul itu (sebagaimana diberitakan
Al-Quran) selalu ada di tengah-tengah umat. Penyesalan orang yang tidak mengambil jalan
bersama-sama Rasul itu dipertegas dengan penyesalan orang itu mengapa malah menjadikan si
fulan sebagai tokoh idola (bukannya Rasul yang ada di dunia), sebagaimana firmanNya dalam ayat
berikutnya, Qs. 25/Al-Furqan ayat 28:

Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu, ketika hidup di dunia) tidak menjadikan si fulan
sebagai kholil (=tokoh idola/ tokoh panutan, padahal di sekitar aku ada Rasul).

d. Hindari Beragama (Berakhlak) atas dasar Perkiraan


Pemikiran adalah hasil dugaan, perkiraan, dan sangkaan. Beragama haruslah didasarkan atas
keyakinan, tidak bisa mengandalkan dugaan, perkiraan, dan sangkaan, karena cara-cara seperti itu
tidak akan mencapai kebenaran. Allah SWT berfirman:

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan
itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka kerjakan. (Qs. 10/yunus: 36)

Bahkan dalam Qs. 18/al-Kahfi ayat 13-16, orang yang beragama atas dasar “persangkaan”
disebut-sebut sebagai orang yang menjadikan Al-Quran dan Rasul-Nya sebagai bahan olok-
olokan:




Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.
Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap)
perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak Mengadakan
suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.
Demikianlah balasan mereka itu neraka Jahannam, disebabkan kekafiran mereka dan disebabkan
mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-rasul-Ku sebagai olok-olok.(Qs. 18/al-Kahfi ayat 13-
16)
Kedua, sikap dan perilaku akhlaqi harus dilakukan secara ikhlas. Jadi, selain perbuatan
akhlaqi itu harus dilakukan secara benar (yakni dilakukan atas dasar perintah Allah dan RasulNya,
bukan atas dasar selera nafsu dan syahwat) juga harus dilakukan secara ikhlas. Maksudnya, walaupun
sikap dan perilaku akhlaqi itu dilakukan dengan benar tapi jika tidak ikhlak maka perbuatan tersebut
bukanlah perbuatan akhlak Islami. Akhlak Islami adalah sikap dan perbuatan akhlaqi yang dikerjakan
atas dasar lillâh (karena Allâh). ilallâh (menuju Allâh), minallâh (dari Allâh), dan fî sabîlillâh (di
jalan Allâh); bukan karena pamrih dunia (seperti: ingin disebut-sebut sebagai orang yang berakhlak
mulia, mencari keuntungan-keuntungan duniawi [agar dipercaya untuk menduduki sebuah jabatan
yang dikehendaki untuk dijabat oleh orang-orang yang berakhlak mulia, atau agar terpakai oleh
majikan dan atasan], dan mengejar nikmat pemberian Allah (seperti: memperbanyak shalat tahajud
dan puasa sunat agar memperoleh rizki yang banyak, mendapatkan jodoh, dagangan laris,
memperoleh jabatan yang diinginkan, terhindar dari hukuman) dan bukan pula karena pamrih akhirat
(berakhlak mulia karena ingin memperoleh pahala, ingin masuk, dan takut masuk neraka). Jika tujuan-
tujuan duniawi tersebut yang dikejar, maka ganjaran-ganjaran duniawi itulah yang diperolehnya,
sementara akhirat tidak didapat. Adapun jika tujuan-tujuan pamrih akhirat tersebut yang dikejar, maka
pahala dan surga tidak akan didapatkan, malah mereka akan menjadi penghuni neraka. Na`udzu
billahi min dzalik!

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allâh dengan ikhlas dalam
(menjalankan) agama yang lurus; (Qs. 98/Al-Bayyinah: 5)



Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya,
dan Allâh membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan mengunci mati pendengaran dan hatinya
dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk
sesudah Allâh (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (Qs.
45/Al-Jasiyah: 23)


Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (Qs. 25/Al-Furqan: 43)

E. RENUNGAN
Coba simak dan renungkan kisah seorang `alim, dermawan, dan mujahid yang masuk neraka.
Dikisahkan Sufyan Ash-Ashbahiny bercerita kepada 'Uqah ibn Muslim ketika dia memasuki
Madinah, dia melihat orang sedang mengerumuni Abu Hurairah r.a. Sufyan pun menghampirinya lalu
dia duduk di hadapan Abu Hurairah yang sedang menyampaikan sebuah hadis kepada jemaah. Abu
Hurairah lalu terdiam. Sufyan meminta agar dia menyampaikan hadis yang dapat difahami untuk
dihayati. Abu Hurairah bersetuju seraya berkata. “Aku akan sampaikan kepadamu satu hadis yang
telah disampaikan Rasulullah SAW kepadaku”. Tiba-tiba Abu Hurairah menangis tersedu-sedu
hingga hampir pengsan. Kemudian dia diam sebentar lalu berkata, “Aku akan sampaikan kepadamu
satu hadis yang telah disampaikan Rasulullah SAW kepadaku di rumah ini, tidak ada orang lain selain
aku dan baginda.” Tiba-tiba Abu Hurairah menangis tersedu-sedu hingga hampir pengsan. Setelah
sadar kembali dia bercerita, “bahwa pada hari kiamat nanti Allah SWT akan turun kepada hambanya
untuk memberikan keputusan kepada mereka. Setiap umat ketika itu berlutut. Golongan pertama yang
akan dipanggil adalah orang `alim, orang kaya, dan mujahid (orang yang berperang) fi sabilillah.”
Allah SWT bertanya kepada orang alim itu, “Bukankah AKU telah mengajarkan kepadamu Al-Kitab
yang telah AKU turunkan kepada Rasul-KU?” Orang `alim itu menjawab. “Benar, wahai Tuhan.”'
Allah SWT bertanya lagi. “Apa yang engkau kerjakan dengan ilmu yang engkau miliki itu?'” Orang
itu menjawab, “Dengannya aku beribadat kepada-MU di malam hari dan siang hari.” Malaikat berkata
kepada orang `alim itu, “Engkau berdusta!” Allah SWT berfirman lagi, “Engkau hanya ingin disebut-
sebut sebagai orang `alim!” Setelah itu dipanggil orang kaya. Allah SWT berfirman kepadanya,
“Engkau telah AKU beri rezeki sehingga keadaanmu berkecukupan.” Orang itu menjawab, “Benar
wahai Tuhan!” Allah SWT kemudian bertanya lagi, “Apa yang telah engkau kerjakan dengan hartamu
itu?” Dia menjawab, “Dengannya aku bersillaturrahim dan bersedekah!” Allah SWT berfirman
kepadanya, “Engkau dusta!” Malaikat juga berkata begitu. Allah SWT berfirman lagi, “Engkau hanya
ingin disebut-sebut sebagai orang dermawan!” Kemudian dipanggil orang yang terbunuh ketika
berperang fi sabilillah. Allah SWT berfirman kepadanya, “Apa yang menyebabkan engkau
terbunuh?” Dia menjawab, “Telah diperintahkan kepadaku untuk berjihad di jalan-MU, maka aku
berperang hingga terbunuh. Allah SWT berfirman kepadanya, “Engkau berdusta!” Malaikat juga
berkata begitu. Allah SWT berfirman lagi, “Engkau hanya ingin disebut-sebut sebagai seorang
pemberani!” Kata Abu Huraerah, kemudian Rasulullah SAW menepuk lututku sambil bersabda,
“Wahai Abu Hurairah, ketiga orang itu adalah orang-orang yang pertama kali merasakan seksaan api
neraka pada hari kiamat.
Kisah ini perlu dijadikan bahan renungan mendalam. Orang umum sering kali menilai
orang dari segi perilaku lahirnya saja. Jika `alim, dermawan, dan mujahid pasti orang saleh
dan pasti masuk surga; padahal yang Allah lihat adalah aspek lahir sekaligus aspek batin
manusia; atau aspek jasmani dan hati; atau istilah tasawufnya aspek syare`at da hakekat.
Ketiga orang yang terkesan baik itu (`alim, dermawan, mujahid) mengapa dijadikan ahli
neraka karena hatinya menyimpan keburukan. Dia menjadi orang `alim hanya karena ingin
disebut-sebut sebagai orang `alim; dia menjadi orang dermawan karena ingin disebut-sebut
sebagai orang dermawan; dan dia menjadi mujahid karena ingin disebut-sebut sebagai
seorang pemberani. Mereka menyimpan sifat takabur, ujub, riya, dan sum`ah dalam hatinya.
Artinya, mereka orang-orang `alim, dermawan, dan mujahid yang tidak berakhlak. (Disadur
dari Greenbuble.blogspot.com, 2009).

F. KESIMPULAN
Akhlak dalam Islam bukan sekedar perilaku atau karakter yang baik. Akhlak dalam Islam
adalah akhlak mulia yang “sempurna”. Ciri-ciri akhlak dalam Islam haruslah mengandung unsur-
unsur berikut: (1) baik dan bersifat ikhtiari, maksudnya sikap dan perilaku yang baiknya itu
merupakan hasil usaha yang keras dan sungguh-sungguh; (2) benar, maksudnya sikap dan perbuatan
yang baiknya itu dilakukan semata-mata sebagai ketaatan kepada Allah dengan mengikuti petunjuk
dan teladan Rasulullah; (3) ikhlash, maksudnya sikap dan perbuatan yang baiknya itu dilakukan
karena Allah semata, bukan karena parih dunia ataupun pamrih akhirat; dan (4) istiqomah, atau ajeg
dan tetap, maksudnya sikap dan perbuatan yang baiknya itu dilakukan secara terus-menerus dalam
situasi dan kondisi apa pun dan bagaimana pun.

Anda mungkin juga menyukai