Anda di halaman 1dari 18

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

TENGGELAM

Oleh :
KELOMPOK: VI
KELAS A-12 A keperawatan

I Nyoman Bagus Yudistira Kusuma P. (18.321.2836)


Ida Ayu Nyoman Lita Sawitri (18.321.2839)
Putu Ayu Dyah Noviana Dewi (18.321.2861)
Gusti Ayu Putu Wahyu Sartika (17.321.2665)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


PROGRAM SARJANA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021
KATA PENGANTAR

Om Swastyastu

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat
dan karunia-Nya penulis dapa tmenyelesaikan makalah yang berjudul “ TENGGELAM”
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih untuk semua pihak yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.Besar harapan
penulis agar makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca.

Karena keterbatasan penulisa dan pengetahuan maupun pengalaman, penulis yakin


jika di dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik maupun
saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan agar kedepannya dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi demi
kesempurnaan makalah ini.

Om Santhi Santhi Santhi Om

Denpasar, 17 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2

1.3 Tujuan...............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

2.1 Definisi Tenggelam..........................................................................................................3

2.2 Etiologi Tenggelam..........................................................................................................4

2.3 Manifestasi Klinis Korban Tenggelam.............................................................................4

2.4 Klasifikasi Tenggelam......................................................................................................5

2.5 Patofisiologi......................................................................................................................6

2.6 Pathway Tenggelam.........................................................................................................7

2.7 Pemeriksaan Penunjang....................................................................................................9

2.8 Komplikasi Tenggelam..................................................................................................13

BAB III PENUTUP................................................................................................................14

3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................14

3.2 Saran...............................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Drowning atau disebut juga tenggelam adalah suatu proses yang mengakibatkan
gangguan respirasi karena cairan (van beck et al, 2005). Hasil akhir dari kejadian tenggelam
adalah korban dinyatakan selamat atau meninggal. Penyebab kematian akibat tenggelam
diantaranya adalah kematian otak karena hipoksia atau iskemia otak parah, ARDS, kegagalan
multi organ, sindrom sepsis karena pneumonia aspirasi (Santoso, 2010).
Berdasarkan data Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pesisir
Barat, jumlah korban tenggelam diperairan pantai dan aliran sungai di daerah pesisir sejak
2012 lalu hingga 2014, tahun 2012 silam korban tenggelam di pantai mencapai 13 orang, di
tahun 2013 mencapai 12 orang, tiga  diantaranya tenggelam di aliran sungai dan di hingga
Desember tahun 2014 telah tercatat enam orang, dua tenggelam di aliran sungai empat orang
tenggelam dilaut, satu diantaranya hingga kini tidak ditemukan (Radar Lampung, 2014).
Selain itu di Jawa Timur juga banyak kejadian kapal yang tenggelam atau perahu nelayan
yang dihantam ombak sehingga memakan korban yang jumlahnya tidak sedikit, seperti di
Situbondo dalam satu kali perahu tenggelam saja korbannya berjumlah 21 orang (Detik,
2014). Berdasarkan gambaran data dari BPBD Lampung jumlah orang yang tenggelam masih
tergolong tinggi walaupun secara matematis data tiap tahun menurun, Indonesia adalah
negara maritim yang wilayahnya didominasi daerah berair, jika dalam satu daerah saja
terdapat 13 orang yang meninggal karena tenggelam, maka secara matematis korban
tenggelam yang terhidung dari sabang sampai merauke sudah tentu banyak sekali.
Mekanisme tenggelam dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dengan aspirasi cairan dan
tanpa aspirasi cairan. Mekanisme kematian aspirasi cairan adalah asfiksia. Proses tenggelam
ketika jalan nafas seseorang berada di bawah permukaan cairan, secara sadar individu akan
menahan nafasnya kemudian diikuti oleh laryngospasme involunter karena cairan yang ada di
orofaring atau laring, selama periode ini individu tidak dapat menghirup udara sehingga
mengalami kekurang oksigen dan penumpukan karbondioksida. Perubahan terjadi di paru,
cairan tubuh, tekanan gas darah, keseimbangan asam basah, dan konsentrasi elektrolit yang
bergantung pada komposisi, volume cairan yang teraspirasi, dan durasi tenggelam (Santoso,
2010).

1
Oleh sebab itu, Penanganan dini sangat diperlukan karena drowning dapat
menyebabkan paru seseorang terendam cairan, yang dapat menyebabkan kondisi yang
dapat mengancam jiwa, seperti pneumonia aspirasi dan asfiksia.  Peran perawat di sini
juga sangat diperlukan mengingat kebutuhan oksigenasi adalah kebutuhan dasar
manusia. Pasien dengan drowning mengalami kesulitan bernafas, sehingga hal ini juga
dapat menganggu kenyamanan dan nyawa pasien, maka dari itu asuhan keperawatan
yang tepat dan cepat kepada klien dengan sufokasi sangat diperlukan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan tenggelam ?
2. Apa saja etiologi dari tenggelam ?
3. Apa saja manifestasi klinis dari tenggelam?
4. Apa saja klasifikasi dari tenggelam?
5. Bagaimana patofisiologi tenggelam?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari tenggelam?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari tenggelam?
8. Apa saja komplikasi dari tenggelam ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari tenggelam
2. Untuk mengetahui etiologi dari tenggelam
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari tenggelam
4. Untuk mengetahui klasifikasi dari tenggelam
5. Untuk mengetahui patofisiologi dari tenggelam
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari tenggelam
7. Untuk mengetahui penatalaksanaannya.
8. Untuk mengetahui komplikasi dari tenggelam

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Tenggelam


Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran
nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai kematian.
Definisi tenggelam mengacu pada ‘adanya cairan yang masuk hingga menutupi
lubang hidung dan mulut’, sehingga tidak terbatas pada kasus tenggelam di kolam
renang, atau perairan seperti sungai, laut, dan danau saja, tetapi juga pada kondisi
terbenamnya tubuh dalam selokan atau kubangan dimana bagian wajah berada di
bawah permukaan air (Putra, 2014).
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam
cairan dan cairan tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-paru.
Pada umumnya tenggelam merupakan kasus kecelakaan, baik secara langsung
maupun karena ada faktor-faktor lain seperti korban dalam keadaan mabuk atau
dibawah pengaruh obat, atau bisa saja dikarenakan akibat dari suatu peristiwa
pembunuhan (Wilianto, 2012). Hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan
gangguan fisiologi tubuh akibat tenggelam tetapi tidak terjadi kematian
(Onyekwelu, 2008).
Tenggelam dapat menyebabkan kematian atau kecacatan. Menurut Kongres
(2002), tenggelam adalah suatu kejadian berupa gangguan respirasi akibat
tenggelam atau terendam oleh cairan. Menurut Dr. Boedi Swidarmoko SpP,
tenggelam (drowning) adalah kematian karena asfiksia pada penderita yang
tenggelam. Istilah lain, near drowning adalah untuk penderita tenggelam yang
selamat dari episode akut dan merupakan berisiko besar mengalami disfungsi organ
berat dengan mortalitas tinggi. Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara
tenggelam di air tawar dan air laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah
mengalami hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air
tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan hipervolemia
intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis intravaskular.
Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi dan hipertonis. Jadi
yang dimaksud dengan tenggelam adalah suatu istilah dari suatu keadaan yang
disebabkan karena seseorang menghirup air atau cairan ke paru-paru sehingga
menghambat/mencegah udara yang mengandung oksigen untuk sampai dan

3
berhubungan dengan bagian depan permukaan alveolus di paru-paru, dimana bagian
ini merupakan bagian penting yang berfunsi untuk pertukaran gas di paru-paru dan
proses oksigenisasi darah.

2.2 Etiologi Tenggelam


a. Tidak bisa berenang
b. Kelelahan dan kehabisan tenaga
c. Terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-obatan
d. Ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, atau cedera
e. Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang

Selain itu, kondisi umum dan faktor resiko pada kejadian korban tenggelam antara
lain :
a. Pria lebih beresiko untuk mengalami kejadian tenggelam terutama dengan usia
18-24 tahun
b. Kurang pengawasan terhadap anak terutama yang berusia 5 tahun ke bawah
c. Tidak memakai pelampung ketika menjadi penumpang angkutan air
d. Kondisi air melebihi kemampuan perenang, arus kuat dan air yang sangat dalam
e. Ditenggelamkan dengan paksa oleh orang lain dengan tujuan
membunuh,kekerasan atau permainan di luar batas.

2.3 Manifestasi Klinis Korban Tenggelam


a. Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal sampai
apneu.
b. Cianosis
c. Peningkatan edema paru
d. Kolaps sirkulasi
e. Hipoksemia
f. Asidosis
g. Timbulnya hiperkapnia
h. Lunglai
i. Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi
j. Koma dengan cedera otak yang irreversible

4
Stone, CK., Humphries, R., 2004 menyebutkan bahwa adanya buih / busa
berwarna merah muda pada mulut atau hidung mengindikasikan sudah terjadi
edema pulmo pada korban tenggelam.

2.4 Klasifikasi Tenggelam


a. Berdasarkan Kondisi Kejadian
1) Tenggelam
Yaitu suatu keadaan dimana penderita akan meneguk air dalam jumlah yang
banyak sehingga air masuk ke dalam saluran pernapasan, dan saluran nafas
atas, tepatnya bagian epiglotis akan mengalami spasme yang mengakibatkan
saluran nafas menjadi tertutup serta hanya dapat dilalui oleh udara yang
sangat sedikit.
2) Hampir Tenggelam
Yaitu suatu keadaan dimana penderita masih bernafas dan membatukkan air
keluar.
b. Berdasarkan Kondisi Paru – Paru Korban
1) Typical Drawning
Yaitu keadaan dimana cairan masuk ke dalam saluran pernapasan korban
saat korban tenggelam.
2) Atypical Drawning
a) Dry Drowning
Yaitu keadaan dimana hanya sedikit bahkan tidak ada cairan yang
masuk ke dalam saluran pernapasan.
b) Immersion Syndrom
Terjadi terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam air
dingin (suhu < 20°C) yang menyebabkan terpicunya reflex vagal yang
menyebabkan apneu, bradikardia, dan vasokonstriksi dari pembuluh
darah kapiler dan menyebabkan terhentinya aliran darah koroner dan
sirkulasi serebaral.
c) Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau penyakit
jantung khususnya coronary atheroma, hipertensi atau peminum yang
mengalami trauma kepala saat masuk ke air.

5
d) Delayed Dead
Yaitu keadaan dimana seorang korban masih hidup setelah lebih dari 24
jam setelah diselamatkan dari suatu episode tenggelam.

2.5 Patofisiologi
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang individu
tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam menyebabkan
adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan henti nafas (apnea)
volunter dan laringospasme. Hipoksemia dan asidosis yang persisten dapat
menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung dan kerusaka sistenm saraf
pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan paru yang kering, namun karena
aspiksia membuat relaksi otot polos, air dapat masuk ke dalam paru dan
menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar dan air
laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami hipoktonik, sedangkan
pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar akan cepat diabsorbsi dari alveoli
sehingga menyebabkan hipervolemia intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit
serum, dan hemolisis intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia,
hemokonsentrasi dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan vagotonia,
vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus membran alveolus
dan menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat kerja surfaktan. Selain itu,
air segar dan hipoksemi dapat menyebabkan lisis eritrosit dan hiperkalemia.
Sedangkan, air garam dapat menghilangkan surfaktan, dan menghasilkan cairan
eksudat yang kaya protein di alveolus, intertitial paru, dan membran basal alveolar
sehingga menjadi keras dan sulit mengembang. Air garam juga dapat menyebabkan
penurunan volume darah dan peningkatan konsentasi elektrolit serum.
Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan merupakan faktor
yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup korban tenggelam. Karena itu,
ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat dibutuhkan untuk meningkatkan
tingkat survival korban.

6
2.6 Pathway Tenggelam

Wet drowning
Dry drowning

Tubuh pasien basah akibat Jalan napas korban terbenam Penyakit, ketakutan
tenggelam

Korban berusaha menahan napas


Terjadi proses konduksi

Korban berusaha bernapas, cairan masuk ke


Kehilangan panas tubuh rongga orofaring/laring

Penurunan suhu tubuh Laringospasme involunter


asfiksia Saraf parasimpatis aktif

Hipotermia Korban tidak bisa menghirup udara

Reflek Vagal
Air tertelan banyak O2 turun dan CO2 tidak bisa keluar

Ketidakefektifan Pola
Obstruksi laring Hiperkapnia, hipoksemia, asidosis Napas

Risiko Ketidakefektifan
Ketidakefektifan
Perfusi Jaringan Otak
Bersihan Jalan Napas

7
Tidak terjadi pertukaran udara

Di air tawar Di air laut

Air lebih hipotonis dari pada plasma darah Air teraspirasi dalam alveoli

Air menuju ruang alveolar


Air dalam alveoli cepat berpindah ke
sirkulasi darah

Hipoksia dan abnormalitas thoraks


Ekspansi volume darah, hemodilusi,
hemodialisis
Osmosis air ke jarinfgan paru karena
konsentrasi elektrolit tinggi

Overload sirkulasi, hiponatremia, ratio


natrium dan kalium tidak seimbang
Gangguan Pertukaran Gas

Hipoksia otot jantung

Tekanan sistolik menurun Penurunan Curah


Jantung

8
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan monitoring saturasi
oksigen. Radiografi dada mungkin menunjukkan perubahan akut, seperti infiltrasi alveolar
bilateral. Selain itu, pemeriksaan sistem saraf pusat, EKG, dan analisis gas darah juga
diperlukan (Elzouki, 2012). Berikut pemeriksaan diagnostic lainnya yaitu:

a. Laboratorium
b. BGA + oksimetri, methemoglobinemia dan carboxyhemoglobinemia CBC
prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, D-dimer, fibrin
c. Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi
d. Liver enzymes
e. Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase,
f. Renal function tests (BUN, creatinine)
g. Urinalisis

Penatalaksanaan Korban Tenggelam


Akibat yang paling penting dan merugikan dari tenggelam adalah hipoksia. Oleh karena itu,
oksigenasi, ventilasi dan perfusi harus dikembalikan sesegera mungkin. Untuk mencapainya
akan diperlukan pertolongan RJP dengan segera dan aktivasi system layanan
kegawatdaruratan.

1. Menyelamatkan Korban dari Air

Hal pertama yang dilakukan apabila menemukan kejadian near drowning


adalah menyelamatkan korban dari air. Untuk menyelamatkan korban tenggelam,
penolong harus dapat mencapai korban secepat mungkin, sebaiknya menggunakan
alat angkut (perahu, rakit, papan selancar atau alat bantu apung). Setidaknya
diperlukan dua orang dewasa untuk mengangkat korban dari dalam air ke perahu
penyelamatan. Untuk menghindari terjadinya post-immersion collapse, sebaiknya
korban diangkat dari dalam air dengan posisi telungkup. Selain itu, penolong juga
harus memperhatikan keselamatan dirinya. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
stabilisasi tulang leher tidak perlu dilakukan kecuali terdapat keadaan yang
menyebabkan tenggelam menunjukkan adanya kemungkinan terjadi trauma. Keadaan
ini termasuk riwayat menyelam, adanya tanda-tanda cedera atau tanda-tanda
intoksikasi alkohol. Dengan tidak adanya indikator tersebut, cedera tulang belakang
kemungkinan tidak terjadi. Stabilisasi tulang leher secara manual dan alat stabilisasi

9
mungkin menghambat pembukaan jalan nafas yang adekuat, mempersulit dan
mungkin memperlambat penghantaran nafas bantuan.

Prinsip pertolongan di air :


a. Raih (dengan atau tanpa alat)
b. Lempar (alat apung)
c. Dayung (atau menggunakan perahu mendekati penderita)
d. Renang (upaya terakhir harus terlatih dan menggunakan alat apung)
2. Bantuan Hidup Dasar
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus dilakukan, dengan fokus utama
pada perbaikan jalan nafas dan oksigenesasi buatan. Penilaian pernapasan dilakukan dengan
tiga langkah, yaitu look  (melihat adanya pergerakan dada), listen (mendengar suara nafas),
dan feel (merasakan ada tidaknya hembusan nafas)
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan tidak bernafas dengan normal setelah
pembersihan jalan napas yaitu kompresi dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio 30:2.
Terdapat tiga cara pemberian napas buatan, yaitu mouth to mouth, mouth to nose, mouth to
neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah pemberian nafas buatan untuk
mengurangi hipoksemia. Melakukan pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih
disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban saat pemberian napas mulut ke mulut.
Pemberian napas buatan dianjurkan hingga 10-15 kali sekitar 1 menit. Kompresi dada
diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas dengan normal, karena
kebanyakan korban tenggelam mengalami henti jantung akibat hipoksia.
3. Bantuan hidup lanjut
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu pemberian oksigen dengan tekanan
lebih tinggi, yang dapat dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask)  atau tabung oksigen.
Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah pemberian oksigen ini keadaan
korban belum membaik maka dapat dilakukan intubasi trakeal.
Penanganan Spesifik :
a. Penanganan Muntah saat Resusitasi
Korban mungkin akan muntah saat penolong melakukan kompresi dada atau bantuan
nafas. Sesuai dengan penelitian selama 10 tahun di Australia, dua per tiga dari korban
yang mendapatkan nafas bantuan dan 86% dari korban yang memerlukan kompresi-
ventilasi muntah. Jika hal ini terjadi, miringkan korban ke samping dan bersihkan

10
muntahan menggunakan jari, pakaian atau penyedot (suction). Jika terdapat kecurigaan
cedera spinal cord, korban sebaiknya digulingkan dimana kepala, leher dan badan
digerakkan bersamaan untuk melindungi saraf tulang leher.
b. Menghangatkan kembali
Untuk mencegah kehilangan panas tubuh, pakaian yang basah sebaiknya dilepaskan
sebelum pasien dibungkus dengan selimut tebal. Minuman hangat tidak dapat membantu
dan sebaiknya dihindari. Menggigil merupakan tanda prognostik yang baik.
c. Transportasi dan Indikasi Rujuk ke Rumah Sakit
Korban near drowning sebaiknya segera dibawa ke unit gawat darurat terdekat untuk
evaluasi dan penanganan lebih lanjut sehingga dapat meminimalkan komplikasi atau
kecacatan yang mungkin ditimbulkan. Tidak dianjurkan menunda transportasi untuk
pemeriksaan sekunder kecuali korban benar-benar dapat dikategorikan “stabil”. Sebelum
dirujuk, korban (terutama pada korban dengan penurunan kesadaran) harus diamankan di
sebuah tandu (bila tersedia) dan diposisikan dengan nyaman. Korban dengan fraktur,
cedera kepala atau tulang belakang sebaiknya diletakkan di papan dengan penyangga
tulang belakang. Evaluasi terhadap kesadaran dan tanda-tanda vital dilakukan secara
berkala selama perjalanan. Semua pasien tenggelam yang mengalami amnesia oleh
karena kejadian tersebut, kehilangan atau depresi kesadaran, ditemukan adanya periode
apnea, atau mereka yang memerlukan nafas buatan harus dirujuk ke unit gawat darurat
terdekat, meskipun tanpa gejala di tempat kejadian. Selain itu, pertimbangan untuk
merujuk korban juga tergantung pada ada tidaknya aspirasi air, karena terdapat risiko
terjadinya edema paru.
Dalam Raoof (2008), penatalaksanaan pasien dengan near drowning umumnya
terbagi menjadi tiga fase, antara lain perawatan prehospital, perawatan unit gawat darurat,
penatalaksanaan rawat inap.

a. Perawatan pre hospital


Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A), Breathing (B), dan
Circulation (C). Pasien harus dipindahkan dari air secepatnya, namun
menyelamatkan pernafasan dapat dimulai walau korban masih berada di air.
Cara memindahkan pasien harus benar dengan meminimalkan gerakan pada
leher pasien untuk menghindari terjadinya cedera medula spinal. Ketika pasien
telah berada di permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika nadi
tidak teraba. Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada korban yang

11
mengalami hipotermia karena bradikardi dan atrial fibrilation (AF). Heimlich
Maneuver tidak banyak menguntungkan bila digunakan untuk mengeluarkan air
yang tertelan, teknik ini seharusnya hanya digunakan saat penyebab obstruksi
jalan nafas adalah benda asing. Oksigen tambahan (100%) dapat diberikan jika
tersedia. Pasien yang mengalami apneu harus dilakukan intubasi sesegera
mungkin.
b. Perawatan di unit gawat darurat
Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus dilakukan pengkajian
ulang secara hati-hati untuk mengetahui adanya tanda-tanda trauma seperti
trauma spinal, trauma dada, atau trauma abdomen. Pengkajian status neurologi
termasuk reflek batang otak dan GCS diperlukan untuk memastikan prognosis
pasien.
Pakaian yang basah harus dilepas, pasien dengan hipotermia harus dihangatkan
dengan menggunakan berbagai cara. Seperti selimut hangat, bantalan pemanas,
mandi air hangat, teknik forced warm air. Kadang-kadang peritoneal
lavage dan pleural lavage dengan larutan hangat juga digunakan.
Oksimetri nadi dan EKG digunakan untuk mendeteksi hipoksia dan aritmia
jantung. Analisis gas darah arteri, serum elektrolit, level etanol, pemeriksaan
urin biasanya dilakukan. Cervical spine imaging, radiografi dada, CT scan
dilakukan jika dicurigai adanya trauma. Pasien yang sudah terlihat membaik
dapat dipulangkan setelah dilakukan monitoring selama 7 sampai 12 jam. Pasien
dengan distres respiratori berat dan perubahan status mental diperlukan intubasi
dan ventilasi mekanik.
c. Perawatan rawat inap
Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah cedera
neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia, edema serebral,
asidosis, dan abnormalitas elektrolit. Pasien dengan hipotermia diperlukan
resusitasi sampai suhu mencapai 32 atau 35oC. Pasien dengan hipotensi
dilakukan resusitasi cairan dan diberikan obat inotropik bila perlu. Radiografi
dada  biasanya menunjukkan gambaran normal sampai edema pulmonar yang
menyebar. Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik spektrum luas.

12
Secara singkat, penanganan korban tenggelam dapat dilakukan dengan cara
antara lain :
a. Pindahkan penderita secepat mungkin dari air dengan cara teraman
b. Bila ada kecurigaan cedera spinal, pertahankan posisi kepala, leher dan tulang
punggung dalam satu garis lurus. Pertimbangkan untuk menggunakan papan
spinal dalam air, atau bila tidak memungkinkan pasanglah sebelum menaikan
penderita ke darat
c. Buka jalan nafas penderita, periksa nafas. Bila tidak ada maka upayakan untuk
memberikan nafas awal secepat mungkin dan berikan bantuan nafas sepanjang
perjalanan
d. Upayakan wajah penderita menghadap ke atas
e. Sampai di darat atau perahu lakukan penilaian dini dan RJP bila perlu
f. Berikan oksigen bila ada sesuai protokol.
g. Jagalah kehangatan tubuh penderita, ganti pakaian basah dan selimuti
h. Lakukan pemeriksaan fisik, rawat cedera yang ada
i. Segera bawa ke fasilitas kesehatan.

2.8 Komplikasi Tenggelam


Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near-drowning,
seorang pasien beresiko terjadinya komplikasi seperti:
a. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral
b. ARDS (acute respiratory distress syndrome)
c. Kerusakan pulomal sekunder akibat respirasi
d. Cardiak arrest
e. Anoksia
f. Shock
g. Myoglubinuria
h. Insufisiensi ginjal
i. Infeksi Sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi selama 72 jam
pertama setelah resusitasi

13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran
nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai kematian.
Penyebab dari tenggelam bermacam – macam, antara lain tidak bisa berenang,
kelelahan dan kehabisan tenaga, terganggunya kemampuan fisik akibat pengaruh obat-
obatan, ketidakmampuan akibat hipotermia, syok, atau cedera, serta ketidakmampuan
akibat penyakit akut ketika berenang. Penatalaksanaan korban tenggelam prinsip
pertolongan di air yaitu raih, lempar, dayung, dan renang. Adapun penanganan
selanjutnya adalah memberikan bantuan hidup dasar (BHD) yang berprinsip pada ABC
(Airway, Breathing, dan Circulation) serta memberikan bantuan hidup lanjutan.

3.2 Saran
Kasus – kasus seperti tenggelam, terpeleset di pinggir kolam, serta gigitan
serangga air termasuk kasus kegawatdaruratan, sehingga perlu dilakukan penanganan
segera. Perawat maupun mahasiswa perawat diharapkan dapat memahami konsep
asuhan keperawatannya, sehingga dapat mengaplikasikannya di lapangan apabila
menemukan kasus yang serupa.

14
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, Gloria M. Butcher, Howard K. Dochterman, Joanne. Wagner, Cherly. 2013.
Nursing Intervensions Classification (NIC). USA: ELSEVIER.

Carie. 2012. Sengatan Hewan Laut. Terdapat:http://www.healthline.com/health/marine-


animal-stings-or-bites (diakses tanggal 24 September 2018.)

Doenges, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan


dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih bahasa I Made Kariasa. Ed. 3.
Jakarta: EGC

Kasihsa, Dian. 2013. Askep Gadar Gigitan Binatang. (online). Available :


https://www.scribd.com/doc/172297625/Askep-Gadar-Gigitan-Binatang (diakses
tanggal 24 September 2018 pukul 08.00 WITA

Lombardo, M.C. 2006. Cedera Sistem Saraf Pusat. Price, S. A, dan Wilson, L. M.
Patofisiologis: Konsep Klinis Proses- proses Penyakit. Jakarta :EGC

Moorhead, Sue. Johnson, Mario. Maas, Meridean. Swanson, Elizabeth. 2013. Nursing
Outcomes Classification (NOC). USA: ELSEVIER

NANDA International. 2015. Diagnosa Keperawatan Defisinisi dan Klasifikasi 2015-2017


Edisi 10. Jakarta: EGC

Thygerson,A.,Gulli,B.,&Krohmer,J.R. 2011. First AID; Pertolongan pertama (5th ed.).


Jakarta: Erlangga.

Via, Alfa. 2015. Makalah Kegawatdaruratan Gigitan Serangga. (Online). Available :


https://dokumen.tips/documents/makalah-kgd-serangan-gigitan-binatang.html
Diakses pada tanggal 24 September 2018 pukul 08.00 WITA

15

Anda mungkin juga menyukai