Anda di halaman 1dari 19

“Generasi Yang Terus Resah Di Tengah Sistem Kapitalisme”

(Sejarah Gerakan Mahasiswa Kerakyatan)


Betul, kalian yang melahirkan kami, wahai kapitalisme. Akan tetapi, kami tidak akan membiarkan sistemmu yang semakin lama semakin
lapuk itu terus menghisap yang lemah. Betul, bahwa sebagian besar dari kami adalah kelas borjuis kecil, tetapi kami telah menambatkan
pilihan: bahwa kami memihak mereka yang telah kau hisap selama berabad-abad karena lambat laun, kami pun akan sama dengan kelas
proletariat yang tidak mempunyai apa kecuali peninadasan yang merantai kami. Kalian catat, kami bersama kaum buruh dan tani akan
membalik sistem dunia yang menindas ini. Kami, gerakan mahasiswa akan terus berada ditengah deyut nadi kaum buruh dan kaum-kaum
lain yang kau tindas, bersama bergerak, melahirkan sistem baru yang manusiawi.
***

I.Sistem Pendidikan Kapitalisme:

Melahirkan “Proletarisasi” dan Perlawanan


Setelah kejatuhan feodalisme akibat tidak kuat menanggung “beban sejarah” perkembangan umat manusia, lahirlah sistem kapitalisme
yang lebih modern. Slogan kapitalisme – sebagaimana yang diteriakkan dalam Revolusi Prancis, libertey (kebebasan), egality
(persamaan), faternity (persaudaraan) – berhasil menyapu sistem feodalisme yang telah ketinggalan jaman. Inilah bukti bahwa sejarah
selalu bergerak maju. Sederhanya selalu berdialektika. Revolusi Prancis merupakan tonggak munculnya suatu tahapan baru dari
peradapan manusia. Memang berbeda dengan feodalisme, dimana raja adalah wakil Tuhan, kapitalisme berteriak dengan lantang, semua
manusia adalah sama. Kapitalisme “mengibarkan” tinggi-tinggi “bendera” kebebasan individu. Berkembangnya kapitalisme ini juga
ditandai dengan revolusi tehnologi/ilmu pengetahuan. Berawal ditemukanya mesin uap dan listrik, industri berkembang secara cepat.
Pusat-pusat industri seperti tekstil mulai berkembang, mulai terjadi mobilisasi dari desa menuju perkotaan. Begitu juga dalam bidang
filsafat, eksitensialisme mewakili periode ini. "Segala "paham tua" yang ada harus dihancurkan", begitu teriakan yang muncul dari kaum
borjuasi.

Setiap perubahan dari suatu sistem ke sistem lainya, secara otomatis disertai perubahan corak produksi. Begitu juga perubahan dari sistem
feodalisme ke sistem kapitalisme. Corak produksi feodalisme -- tuan tanah dan petani miskin sebagai kelas utama -- digantikan oleh kaum
borjuasi dan buruh sebagai kelas utama dalam corak produksi kapitalisme. Ini otomatis mempengaruhi semua tatanan masyarakat yang
ada, budaya, politik, iptek,dll.

Seperti yang disinggung diatas, perkembangan kapitalisme ditandai dengan industrialisasi disegala sektor, terjadi mobilisasi dari desa ke
pusat-pusat industri di perkotaan. Corak produksi lama – corak agraris – mulai ditinggalkan, mulailah muncul buruh-buruh industri. Kita
ambil contoh ini seperti yang terjadi di Rusia, dimana fase perpindahan corak produksi dari feodalisme ke kapitalisme terlihat dengan
jelas. Sebagaimana yang ditulis Paul Le Blanc:
Pada masa alih abad, dari abad ke 19 ke abad 20, Rusia adalah sebuah negeri yang luas dengan keadaan yang terus menerus
berubah dan bergolak, yang diserang oleh berbagai kontradiksi yang mendalam. Sebagian besar masyarakat Rusia adalah petani,
dengan pemilikan tanah sedang atau tidak sama sekali, yang baru dilepaskan dan muncul dari perbudakan, namun tetap ditindas
oleh kaum bangsawan yang berkuasa. Pada saat yang bersamaan, sebuah proses dramatis dari industrialisasi dan urbanisasi telah
menciptakan kelas pekerja yang signifikan tetapi rapuh, yang menghadapi kehidupan dan kerja yang buruk sekali. Kaum kapitalis
baru yang meningkat jumlahnya, sementara hanya memperolehkan peran dari patner-patner yunior di antara penguasa setengah
(quasi) feodal di Rusia.1
Masih dalam contoh perkembangan Rusia, disamping perubahan-perubahan “fisik” diatas, juga terjadi perubahan dalam tingkatan
ideologis. N Olesich dan V Privatov mengambarkan sebagai berikut:

Sementara dalam kebijaksanaan ekonominya, Tsar mendorong peningkatan kepentingan kaum pemilik modal dalam lapangan
ideologi, khususnya dalam pendidikan tinggi, meskipun pendidikan tinggi tersebut mempunyai cara yang konservatif. Akhirnya
dibawah dampak dari kapitalisme, sistem kasta yang picik dari pendidikan tinggi, yang hanya memberikan kesempatan pada para
bangsawan telah didorong untuk memberikan jalan pada semua strata masyarakat.

Pada awal abad ke 20, jumlah kaum terpelajar bertambah denga cepat. Pada awal 1903 telah terdapat 85 lembaga pendidikan tinggi
di Rusia dengan menampung 42.884 siswa. Kira-kira sepuluh tahun kemudian, pada tahun ajaran 1914/1915 telah berdiri 105
pendidikan tinggi dengan daya tampung 127.400 siswa2.

Apa yang terjadi Rusia, juga terjadi dinegara-negara lain yang memasuki fase corak produksi baru – corak produksi kapitalis. Begitu juga
di Indonesia. Bedanya sistem kapitalisme di Indonesia bukan lahir dari perjuangan borjuasi "pribumi", tapi dicangkokkan oleh
kalonialisme Belanda. Pada awalnyapun, kolonialisme Belanda kurang memperhatikan sektor pendidikan, berbeda dengan negara-negara
lain yang mengalami fase “normal”3 dari perpindahan corak produksi ini. Kolonialisme Belanda pada awalnya hanya memeras fisik, tanpa
meningkatkan kecerdasan rakyat Indonesia4. Tidak heran kalau di antara negara jajahan di Asia, Indonesia paling terbelakang, dibanding
Malaysia, Brunai, Singapura, yang menjadi jajahan Inggris.

Baru sejak diterapkanya politik Etis oleh Belanda – setelah kemenangan kelompok liberal, dengan slogan irigasi, edukasi dan transmigrasi
-- terhadap tanah jajahan seperti Indonesia, terjadi perubahan yang mendasar di berbagai sektor. Perkembangan kapitalisme di Belanda,
dimana jumlah produk meningkat, sementara pasar terbatas, memaksa mencari tempat lain sebagai pasar dan membuka industri baru di
negeri jajahan. Mau tidak mau Belanda harus “mendidik” penduduk daerah jajahan, baik untuk kepentingan industrialisasi maupun staf
adminitrasi rendahan. Dalam laporan Semaoen menggambarkan kondisi Indonesia setelah diberlakukanya politik etis:

Tahun 1900 menyaksikan perubahan besar: pertumbuhan kapitalisme telah menimbulkan penghisapan terhadap bumiputra, dan
juga proletarisasi. Para kapitalis, untuk memperoleh staff juru tulis dan pegawai kecil, membuka kesempatan pendidikan bagi

1
Paul Le Blang, Lenin dan Partai Revolusioner terjemahan halaman 15 - 68
2
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs With the
Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
3
Seperti halnya yang terjadi pada revolusi Prancis dan Inggris, feodalisme dihancurkan sehancur-hancurnya. Tapi beda yang terjadi di
Indonesia, sisa-sisa feodalisme masih dipertahankan. Memang yang kemudian kita dapatkan adalah dobel kekuasaan. Ditingkat atas dikuasasi
oleh Belanda, ditingkat bawah para Adipati masih berkuasa. Struktur feodal masih dimanfaatkan oleh Belanda untuk kepentingan ekonomi
ataupun politik. Hal ini dapat kita lihat sistem upeti dan peranan para "raja-raja" lokal untuk mengawasi sistem tanam paksa, misalnya.
Akibatnya, kapitalisasi yang terjadi di Indonesia tersendat-sendat.
4
Kita dapat melihat bagaiman sistem tanam paksa diterapkan oleh Belanda. Segala potensi penduduk yang ada hanya difokuskan untuk
memenuhi kebutuhan barang tanah jajahan. Kerja-kerja rodi yang diterapkan Belanda telah menguras seluruh tenaga rakyat.
1
bumiputera. Pemerintah mulai menerapkan “Politik Etis”, yang dengan alasan meningkatkan “standar hidup” orang
bumi putera …” 5.
Sekolah-sekolah baru kemudian didirikan, baik oleh pemerintah Belanda atau oleh kaum bumi putera, kesempatan pendidikan bagi rakyat
bertambah luas – dimana sebelumnya hanya golongan priyayi yang dapat menikmati pendidikan. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh
kaum bumi putera tidak hanya bertujuan “komersial”, akan tetapi sudah bertujuan sosial politik. Dapat kita ambil contoh tujuan didirikan
sekolah menurut Serikat Islam:
1. Memberi sendjata tjoekoep, boet mentjari penghidoepan dalam doenia kemodalan 6 (berhitoeng, menoelis, ilmoe bumi, bahasa
Belanda, Djawa, Melajoe, d.sb).
2. Memberi haknja moerid-moerid, ja’ni kesoekaan hidoep dengan djalan pergaoelan 7 (vereeniging).
3. Menoendjoekkan kewadjipannja kelak, terhadap berjoeta-djoeta Kaeom Kromo8.9
Dari sini kita dapat melihat, paling tidak kapitalisme telah memberikan “sumbangkan” yang berarti -- kesempatan pendidikan, melahirkan
intelegensia-intelegensia baru. Dengan begitu telah muncul “kelas” baru yang mempunyai “keistimewaan” dalam memperoleh akses-
akses baik informasi, teori-teori ilmiah dibandingkan kelas lainya.”Kelas” ini bisa berdiskusi, membicarakan situasi yang ada,
membandingkan kondisi yang mereka alami dengan teori-teori yang mereka pelajari. Maka tidak heran kalau mereka menjadi kritis
terhadap keadaan, kemudian muncul kesadaran untuk mengubah keadaan, mendorong sektor lain untuk ikut bergerak. Inilah sebanya
banyak tokoh-tokoh yang mendorong perubahan dunia berasal dari “kelas” ini, tokoh-tokoh seperti Hegel, Marx, Adam Smid, Lenin,
Gandhi, Soekarno,dll – merupakan intelegensia, lahir dari universitas-universitas.

Apa yang terjadi selajutnya, “kebaikan” kapitalisme ini telah “melahirkan anak haram” yang melawan “ibu kandungnya sendiri”. Kelas
“baru”, yaitu mahasiswa, dalam fakta-fakta sejarah malah mempelopori untuk melawan sistem kapitalisme yang menghisap. Ini bukan
terjadi begitu saja, bahwa ternyata sistem pendidikan kapitalisme menciptakan “proletarisasi” baru.

Marilah kita kupas lebih mendalam. Kapitalisme membutuhkan banyak tenaga kerja terlatih untuk memenuhi kebutuhan pasar industri
yang berkembang sangat pesat. Dengan demikian, lembaga-lembaga pendidikan dipacu untuk “melahirkan” tenaga-tenaga kerja ahli
sesuai dengan kebutuhan pasar kapitalis. Apa yang terjadi kemudian, jurusan-jurusan tertentu yang banyak dibutuhkan ekonomi kapitalis
dipacu hasilnya, sedangkan jurusan-jurusan yang tidak ada hubungannya dengan ekonomi kapitalis “dinomer duakan”. Disadari atau
tidak, universitas menjadi sub-ordinasi terhadap kebutuhan langsung terhadap ekonomi kapitalis. Ernest Mandel mengambarkan kondisi
ini sebagai berikut:

Mereka bahkan tidak diizijinkan memilih karir, bidang, studi dan disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan dengan
keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan, disiplin ilmu dan bidang studi yang berhubungan
dengan kepentingan penguasa masyarakat kapitalis, dan tidak berhubungan dengan kebutuhan mereka sebagai manusia 10.

Dengan kondisi diatas, mahasiswa hanya dijadikan “komoditi”, tidak diberi hak untuk menentukan pilihan-pilihan, kebebasan ini telah
dirampas oleh kebutuhan pasar kapitalis. Mahasiswa yang mencoba “menentang” kehendak pasar kapitalis, mengambil jurusan yang tidak
dibutuhkan oleh kebutuhan kapitalis, maka akan menjadi penganggur-penganggur baru. Adalah tepat yang digambarkan Ernest Mandels
tentang kondisi ini, mengutip dari kuliah umum seoang pendidik yang terkenal di Kanada:

Beberapa hari yang lalu, ketika di Toronto, salah satu pendidik Kanada yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-
sebab perlawanan mahasiswa. Menurutnya, alasan-alasan perlawanan itu “secara mendasar bersifat material”. Bukan karena
kondisi hidup mereka tidak memuaskan;bukan karena mereka diperlakukan seperti buruh abad XIX. Tapi karena secara sosial kita
menciptakan sejenis proletariat11 di universitas yang tidak berhak berpartisipasi dalam menentukan kurikulum, tidak berhak,
setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan mereka sendiri selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di
universitas.12

Dari sini jelaslah, mahasiswa menjadi terasing dengan “kehidupanya” di universitas. Mereka menjalani kehidupan di universitas dengan
keterpaksaan, bukanlah kehendak dari hati nurani. Apa yang didapatkan adalah kondisi universitas yang “otoriter”, tidak memberi peluang
kepada mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan mereka. Tuntutan-tuntutan kapitalis yang tidak berhubungan dengan bakat
perorangan dan kebutuhan manusia, itulah yang ada.

Makin terasingnya tenaga kerja intelektual ini sedikit banyak menggerakkan perlawanan mahasiswa. Memang perlawanan ini bukan
pelopor dari perlawan kelas buruh, tapi dapat menjadi picu ledak bagi perlawanan sektor lain yang lebih luas. Awalnya perlawanan
mahasiswa adalah untuk menghadapi birokrasi kampus yang otoriter, yang mengekang kebebasan indiviudal mereka. Mereka berusaha
mengubah tatanan kampus agar bisa lebih “memanusiakan”. Ernest Mandels menyatakan dalam tulisanya:

Mereka (mahasiswa-pen) pertama-tama berhadapan dengan wewenang para dosen dan lembaga-lembaga universitas yang paling
tidak dalam bidang ilmu sosialnya tidak berhubungan dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisa
ilmiah yang obyektif tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara barat lainya. Tantangan terhadap wewenang
akademis dari lembaga inilah yang kemudian cepat bergeser menjadi tantangan terhadap isi pendidikan. 13

Hal ini kemudian diperparah oleh situasi kehidupan mahasiswa yang makin memburuk, baik akibat dikuranginya subsidi pendidikan,
dikuranginya beasiswa, ataupun akibat orang tua mereka yang semakin melemah ekonominya akibat krisis yang ada. Banyaknya subsidi
bagi sektor pendidikan dianggap tidak efisien. Banyak anggaran negara yang harus dikuluarkan untuk kebutuhan ini, itulah alasannya.
Pendidikan kemudian dikomersialkan, mahasiswa harus memenuhi kebutuhannya sendiri – baik untuk pemenuhan literatur-literatur,
penelitian ilmiah – dengan membayar mahal biaya pendidikan. Akibatnya banyak mahasiswa yang harus berhenti kuliah, hanya
mahasiswa kaya yang mampu melanjutkan kuliah. Ada baiknya kita melihat keadaan mahasiswa di Rusia awal abad 20:

Pada tahun ajaran 1899/1900, 5,3% dari mahasiswa di universitas Moskow nyaris tidak dapat melanjutkan kuliahnya. Pada tahun
1901 jumlah siswa yang sangat membutuhkan bantuan keuangan melonjak di Universitas Moskow; 62,27% di Jurusan Filologi,
5
Gerakan Indonesia di Hindia Belanda, laporan oleh kawan Semaoen.
6
Untuk mengganti kata kapitalisme.
7
Yang dimaksud sebenarnya adalah berorganisasi.
8
Yang dimaksud adalah rakyat jelata.
9
Tan Malaka, SI Semarang Dan Onderwijs (Drukk Minahasa, Semarang, 1921 dikeluarkan oleh School)
10
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
11
Makna proletariat disini bukan makna sesungguhnya. Makna proletariat sesuguhnya adalah suatu kelas yang tidak memiliki alat produksi,
menghasilkan nilai lebih dan tidak bisa mengakumulasi modal. Proletariat yang dimaksud disini adalah keterasingan mahasiswa dengan apa
yang ada di universitas, seperti halnya kaum buruh yang “terasing” dengan proses produksi yang ada di pabrik
12
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
13
Ibid
2
50,21% di Jurusan Matematika, dan 60,73% di Jurusan Kedokteran. Jumlah siswa yang butuh bantuan keuwangan sangat
melonjak di kedokteran hewan, institut pertanian, sekolah guru dan sekolah asisten dosen….

…. Sementara pemerintah secara reguler selalu menaikkan bayaran sekolah. Cara ini telah membuat terdepaknya para mahasiswa
yang tidak kaya dari universitas. Dari periode 1887 hingga 1898 uang bayaran meningkat dari 10 rubel menjadi 50 rubel. Pada
masa revolusi (gagal-pen) 1905 uang bayaran telah mencapai 100 rubel pertahun.

Setiap tahun uang dana beasiswa terus dikurangi. Pada tahun 1899 hanya 6,1% siswa di Universitas Kazan menerima beasiswa.
Pada tahun 1904 jumlahnya semakin menurun mencapai 4,3%. Seringkali dalam mendistribusikan beasiswa para birokrat
pendidikan tinggi lebih menekankan pada loyalitas politik ketimbang kondisi material .14

Dari gambaran-gambaran diatas, jelaslah kapitalisme telah melahirkan “anak” yang salah urus sehingga melawan “orang tuanya sendiri”.
Sistem pendidikan kapitalisme ternyata telah memelihara “harimau” yang akan menerkam dan membinasakan sistem yang telah
membesarkan.
II. Perlawanan Mahasiswa : Dari Kampus Menuju “Jalan Raya”;
Antara Gerakan Moral dan Gerakan Politik
Apa bila kita telusuri, perlawanan-perlawanan memang berasal dari dalam kampus, dari persoalan-persoalan interen kampus. Segala
kebijaksanaan yang mencoba mengekang aktivitas mahasiswa, terus menerus didobrak oleh mahasiswa sendiri. Kondisi pendidikan yang
tidak memadai, profesor-profesor yang “kolot”, kurikulum-kurikulum yang tidak memenuhi harapan mahasiswa – kondisi inilah yang
pada mulanya mendorong perlawanan mahasiswa. Kita dapat melihat fakta-fakta yang ada selama ini tentang “tahap awal” perlawanan
mahasiswa yang dimulai dari dalam kampus. Kejadian ini dapat dilihat ketika perlawanan mahasiswa di Rusia tanggal 8 Februari 1889 di
Univeristas Petersburg ketika mahasiswa mengejek rektor mereka yang reaksioner 15.

Apa yang terjadi di Universitas yang ada di Italia, “pemberontakan” mahasiswa sebetulnya hanya berasal dari persoalan yang “sepele”.
Berawal dari tradisi staf pengajar yang otoriter, para profesor hanya memberikan pelajaran sesuai yang ada dalam diktat, begitu juga
materi ujian juga hanya diambil dalam diktat 16. Kurikulum yang adapun juga tidak memadai lagi, sudah ketinggalan jaman. Kondisi inilah
yang kemudian mendorong mahasiswa untuk mengadakan perlawanan. Tuntutan mahasiswa yang pada awalnya hanya tuntutan di satu
universitas menjadi meluas ke seluruh universitas yang ada di Italia.

Kondisi Spayol dibawah pemerintahan Franco yang fasis seddang mengalami krisis – baik politik maupun ekonomi – membawa akibat
langsung pada bidang pendidikan. Biaya pendidikan yang mahal dan minimnya subsidi mengakibatkan banyak mahasiswa yang harus
droup out, 40 sampai 50 persen mahasiswa mengundurkan diri sebelum ujian akhir 17. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya
kebebasan dari mahasiswa untuk berorganisasi, hanya ada satu organ mahasiswa yang diakui oleh pemerintah. Kondisi inilah yang
kemudian memacu mahasiswa untuk mengadakan perlawanan. Mereka mengorganisir diri, membentuk wadah perlawanan, dimana
perlawanan kemudian meluas, tidak hanya menentang kondisi dan sistem pendidikan, tapi juga melawan rejim Franco yang fasis.

Kita beralih ke Prancis. Setelah gerakan mahasiswa mencapai puncaknya ketika memprotes invansi imperialis ke Aljasair (1961), dapat
dikatakan gerakan melemah. Ini disebabkan oleh persoalan subyektif dari serikat mahasiswa waktu itu, UNEF (Union Nation des
Etudiants de France). Hampir 7 tahun dapat dikatakan gerakan mahasiswa di Prancis mengalami titik jenuh, baru memasuki tahun 1968
gerakan menguat, bukan karena situasi politik tapi karena situasi lingkungan mahasiswa sendiri. Selama ini mahasiswa harus melawan
disiplin asrama yang kolot, mahasiswa laki-laki dilarang datang ke asrama perempuan, propaganda politik dilarang, dapat dikatakan
asrama seperti halnya penjara. Inilah gambaranya:

… Di tahun 1968, 72% mahasiswi dan 58% mahasiswa tinggal di asrama. Peraturan disiplin di Asrama sangat represif dan
kuno;pertemuan dan propaganda politik dilarang dan mahasiswa tidak diijinkan masuk ke asrama mahasiswi. Mereka dilarang
mendekorasi kamar dan menancapkan apapun di dinding; dibanyak asrama mereka hanya boleh menerima tamu diruang tamu…18

Kondisi seperti diatas yang kemudian memancing mahasiswa yang sebelumnya “tertidur” untuk bangkit kembali. Kampaye anti peraturan
yang kolot kemudian dilancarkan oleh mahasiswa di beberapa universitas. Aksi-aksi mahasiswa mulai bermunculan lagi, kondisi ini kian
memanas dengan adanya kondisi universitas yang makin tidak memadai; beasiswa yang tidak mencukupi, fasilitas pendidikan yang
minim, tidak ada café, bioskop, diskotik.

Begitu juga dengan perlawanan mahasiswa di Korea Selatan. Awalnya perlawanan mahasiswa di Korea Selatan adalah adanya
pengekangan terhadap kehidupan mahasiswa di universitas mereka berada. Gerakan ini dimulai dengan adanya, pertama kebijaksanaan
otonomi kampus dalam artian kampus adalah lembaga akademis yang harus terbebaskan dari kepentingan politik diluar dunia akademis
seperti politik praktis, organisasi massa, parpol, juga organisasi buruh dan tani. Kedua, adanya kebijaksanaan wajib militer.
Kebijaksanaan ini bertujuan sebagai alat cuci ideologi bagi negara dan menanamkan nasionalisme sempit.

Ketiga, tidak diakuinya organisasi kampus selain Dewan Perwakilan Mahasiswa yang dibentuk oleh universitas. Di dalam suatu
universitas hanya ada satu organ mahasiswa yang diakui yang tentu saja telah dikooptasi peran dan keberadaannya. Keempat, dibentuknya
Komite Disiplin Akademis. Komite ini dibuat dengan kuasa penuh untuk memberikan sanksi-sanksi disiplin pada mahasiswa, dosen dan
profesor yang memberikan dukungan terhadap gerakan demokratis. Aktivis mahasiswa diancam dengan droup out dan skorsing. Akibat
adanya komite ini, sekitar 1.600 mahasiswa dipecat dari universitas, puluhan lainya dipenjara dengan masa hukuman 1-10 tahun.

Hal serupa juga terjadi di Indonesia awal-awal tahun 90-an. Kebijaksanaan NKK/BKK --yang diterapkan pada akhir tahun 78-an untuk
“mematikan perlawanan” mahasiswa --mulai dipertayakan. Mahasiswa mulai menuntut otonomi kampus, dihapuskanya depolitasasi
kampus, diberikanya kebebasan untuk mendirikan lembaga-lembaga mahasiswa alternatif. Memang berbeda strategi yang diterapkan
gerakan mahasiswa Indonesia dengan strategi gerakan di negara-negara lain. Gerakan mahasiswa Indonesia mengambil strategi
“melingkar” ,untuk membuka ruang yang tertutup rapat di universitas, mahasiswa melakukan aksi-aksi advokasi. Maka kasus-kasus
Kedung Ombo, Kaca Piring, Belanguan, diangkat oleh gerakan mahasiswa.

Memang dalam satu sisi strategi “melingkar” ini menguntungkan karena langsung menohok isyu-isyu politik, akan tetapi juga membawa
akibat lain. Aktivis-aktivis yang mempunyai kesadaran politis ini tetap minoritas jumlahnya, sementara mayoritas mahasiswa di dalam
14

15
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs With the
Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
16
Lihat Mahasiswa Bergerak, Alex Supartono, hal 23, YLBHI, 1999
17
Ibid, hal 28
18
Mahasiswa Bergerak, Alex Supartono, hal 42, YLBHI, 1999
3
“penjara” universitas tidak mempunyai kesadaran politis, kesadaran ‘ekonomispun” jumlahnya masih amat terbatas jumlahnya.
“Liberalisasi” universitas yang seperti di Barat tidak terjadi di Indonesia, sehingga persoalan ini – dimana mahasiswa apolitis, terbelakang
dalam tradisi ilmiah -- sampai saat masih menjadi masalah yang harus dipecahkan oleh gerakan mahasiswa dewasa ini.

Marilah kita melangkah lebih jauh. Gerakan mahasiswa yang berawal dari kampus tersebut bersamaan dengan proses dialektika yang
terjadi, kemudian merambah ke “jalan raya”, mengugat sistem negara yang otoriter. Gerakan mahasiswa sadar bahwa sistem otoriter di
kampus adalah akibat langsung dari sistem negara yang juga otoriter. “Slogan” perjuangan gerakan mahasiswa harus menjadi bagian dari
gerakan demokratik yang menyeluruh melawan rejim otoriter. “Tidak mungkin ada demokrasi di kampus sebelum masyarakat menjadi
demokratis”. Ernest Mandels menuliskan:

Dalam garis besar, gerakan mahasiswa dimulai dari isyu-isyu kampus dan dengan cepat mulai bergerak keluar batas-batas
universitas. Gerakan ini mulai menanggapi masalah-masalah sosial dan politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang
terjadi di dalam universitas.19

Selanjutnya kita ambil contoh lagi apa yang terjadi di Rusia akhir abad 19 untuk memperkuat fakta-fakta diatas, memperlihatkan
perlawanan mahasiswa yang awalnya bersifat “ekonomis” menjadi gerakan yang politis, menentang kekuasaan yang ada. Sebagai mana
digambarkan oleh N Olesich dan V Privalov:

Peristiwa dapat dimulai pada tanggal 8 Februari 1899. Pada sebuah perayaan di Universitas Petersburg para mahasiswa mengejeki
rektornya, yang selalu reaksioner, dan aksi berkembang lebih jauh menjadi kebencian terhadap Tsar. Lalu mahasiswa memutuskan
untuk mengadakan gerak jalan menuju Nevsky Prospekt. Pemerintah memutuskan untuk menghukum mereka. Polisi secara brutal
membubarkan barisan. Beberapa hari kemudian peristiwa tersebut menjadi perhatian umum di St Petersburg dan keseluruh negeri.
Semua lembaga pendidikan di Rusia menyatakan mogok dibawah slogan kebebasan individu dan kenbebasan bicara didalam
lingkungan ilmu pengetahuan.20

Lebih lanjut digambarkan bahwa tuntutan tersebut tidak mungkin bisa tercapai dalam sistem pemerintahan Tsar yang otoriter:

Sementara itu pada tahun 1899, para mahasiswa tetap melangkah jauh dengan tuntutan abstrak kebebasan individu dan hak-hak
perseorangan, yang tidak mungkin di bawah otokrasi Tsar. Pada tahun 1901-1902, slogan para mahasiswa menjadi lebih politik
kongkrit dan mendalam, seperti misalnya, “gulingkan otokrasi !” dan “kami menginginkan kebebasan bicara, dewan mahasiswa
dan pers!”. Leaflet para mahasiswa menekankan lebih jauh lagi dari tuntutan akademik pada tuntutan politik, dan pentingnya aksi
mahasiswa dengan kelas pekerja.

Meskipun dalam tujuan gerakan secara keseluruhan masih akademis dalam tahun 1901-1902, tapi gerakan ini sudah siap
mengadopsi alat-alat politik. Para mahasiswa meninggalkan rumus-rumus universitas dan turun ke jalan, melakukan demostrasi,
sebuah perjuangan politik. Dengan bekerja sama dengan kelas pekerja dalam demostrasi, para mahasiswa, semakin sadar, dan
membawanya menuju revolusi.21

Gerakan politik mahasiswa Korea Selatan berawal dari tuntutan kebebasan berorganisasi, kebebasan demonstrasi, mogok dan kebebasan
pers, yang merupakan tuntutan demokratik gerakan di negeri itu melawan rejim militer. Kemudian tuntutan ini berkembang menjadi
tuntutan anti AS (anti imperialisme). Gerakan mahasiswa ini semakin membesar ketika bulan juli 1989, Rim Sun Gyong ditangkap karena
menghadari Festival Pemuda dan Mahasiswa Dunia ke 13 di Pyongyang, Korea Utara, dia kemudian dihukum 10 tahun.

Peristiwa ini telah menyulut aksi mahasiswa di seluruh Korea Selatan dan menyeret seluruh sektor rakyat. Aksi-aksi mahasiswa kemudian
berkembang lebih jauh menjadi aksi anti kekerasan militer. Tragedi Kwangju 1980, dimana tentara membunuh para demostran, sekitar
1000 orang mahasiswa mati. Tahun 1982 tiga mahasiswa diculik oleh Dinas Intelejen Korea, ketiganya disiksa dan dibunuh oleh dinas
intelejen tersebut. Peristiwa-peristiwa ini mulai mengubah strategi perjuangan mahasiswa, dari aksi “damai” menuju taktik “kekerasan”.
Mulai digunakan bambu, tongkat, pipa besi dan bom molotov untuk melawan tentara.

Ternyata gerakan mahasiswa tidak hanya menggugat sistem kapitalis di negara mereka sendiri, tapi juga menggugat sistem yang sama di
negara-negara lain. Beberapa aksi dari imperialis untuk mengkolonialisasi negara-negara lain. Ernet Mandels memberikan contoh-contoh
gerakan mahasiswa yang terjadi Kolumbia, dan negara-negara Eropa Barat,:

Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah penindasan komunitas kulit hitam diangkat oleh sejumlah mahasiswa pemberontak
mirip dengan apa yang terjadi dalam gerakan mahasiswa Eropa Barat, paling tidak dielemen paling maju, yang paling peka
terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang paling tertindas dalam sistem kapitalis dunia.

Mereka terlibat dalam berbagai aksi solidaritas dengan perjuangan pembebasan revolusioner di negara-negara berkembang seperti
Kuba, Vietnam dan bagian-bagian tertindas lainya dunia ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar dalam gerakan
mahasiswa Prancis dengan revolusi Aljasair, dan perjuangan Aljasair dari imperialisme….. Kalangan mahasiswa yang sama
kemudian akan mengambil tempat di depan dalam perjuangan mempertahankan revolusi Vietnam melawan perang agresi
imperialisme Amerika.22
Pergeseran perlawanan mahasiswa -- dari isyu-isyu kampus ke isyu-isyu politik -- ini tidak terjadi begitu saja. Perkembangan sistem
kapitalisme baik di negara maju atau di negara dunia ketiga secara langsung mempengaruhi hal ini. Seperti yang sudah dijelaskan diatas,
alienasi mahasiswa terhadap lingkungannya menyebabkan mahasiswa kritis terhadap sistem yang ada. Selama sistem kapitalisme masih
ada, berarti masih ada tenga kerja yang terasing, baik itu kerja manual maupun kerja intelektual. Dan karena itu akan tetap ada mahasiswa
yang terasing, berarti perlawanan mahasiswa akan tetap ada.

Setidaknya ada dua ciri pokok perlawanan mahasiswa – dari pergeseran isyu-isyu kampus ke isyu politik – sebagai pelajaran bagi gerkan
mahasiswa. Pertama, dari “menyerang” sistem otoriterian di dalam kampus, gerakan bergeser dengan menyerang sistem kapitalisme. Ini
tentunya merupakan kesadaran maju, bahwa sistem di kampus yang “mempenjarakan” tidak akan berubah tanpa merubah sistem negara
yang menindas. Tumbuhnya kesadaran ideologis ini merupakan “kunci” bagi gerakan mahasiswa untuk “membuka” ruang yang telah
mengukung mahasiswa selama ini, “ruang” yang menyebabkan mahasiswa terasing baik dengan lingkungan atau dirinya sendiri.

19
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
20
Membangun Kontak Mahasiswa Dengan Kelas Pekerja, diterjemahkan dari teks aslinya yang berjudul “ Establising Contacs With the
Working Class” dalam Lenin Student in Revolution, Moscow ;1982
21
Ibid
22
Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Pratek, Ernest Mandels
4
Kedua, tumbuhnya kesadaran internasionalis. Apabila kita saksikan, gerakan mahasiswa tidak hanya memperhatikan kepentingan mereka
sindiri, tapi juga memperhatikan nasib rakyat dibelahan bumi lain yang ditindas sistem yang sama. Dapat kita saksikan aksi mahasiswa
yang mendukung perjungan rakyat Aljasair, Vietnam, mendukung perjungan kaum kulit hitam di Afrika. Ini menunjukkan kesadaran yang
lebih maju lagi, dimana gerakan mahasiswa mulai sadar bahwa perjungan mereka tidak cukup di perjuangkan di negara dimana mereka
berada, tapi harus dilakukan diseluruh dunia. Hal ini didasari kesadaran, bahwa ternyata terjadi di dalam kampus mereka, juga terjadi di
kampus-kampus lain di negara lain, dan berarti sistem kapitalis yang menindas tidak hanya terjadi di satu negara tapi telah meluas ke
negara-negara lain. Bahwa ternyata “racun’ kapitalis telah disebarakan ke seluruh penjuru dunia, maka “penawarnyapun” harus diberikan
ke seluruh penjuru dunia pula.

Pergeseran dari isyu lokal di dalam kampus menjadi isyu politik yang kemudian menyerang sistem kapitalis, sekaligus untuk membahas
apakah gerakan mahasiswa tetap berkutat pada gerakan moral atau melangkah ke gerakan politik. Perdebatan ini sampai saat ini tetap
menghangat, baik di negara-negara kapitalis maju maupun negara dunia ketiga seperti Indonesia.

III. Gerakan Moral VS Gerakan Politik


Ada sebagian pendukung gerakan morol garakan mahasiswa yang berperdapat, bahwa peran mahasiswa cukup mengkrititsi dan maksimal
mempelopori perubahan tapi tidak akan pernah menuntaskan perubahan itu sendiri. Menurut pendapat ini, pada tahap “penyelesaian”,
kekuatan sosial dan politik non mahasiswa yang akan mengambil alihnya. Setelah serah tugas berlangsung, mahasiswa kembali ke
kampus untuk “belajar” kembali. Atau dalam bahasa Soe Hok Gie, mahasiswa berperan seperti halnya “cow boy”, datang pada saat ada
penjahat, setelah penjahat berhasil ditumpas sang cow boy kembali ke tempatnya. Argumen seperti ini dapat kita lihat dalam tulisan Arbi
Sanit tentang gerakan mahasiswa:

Perlu dicatat bahwa mahasiswa memang tidak menuntaskan koreksi dan perubahan sosial itu sendiri. Juga perlu diingat bahwa
cetusan koreksi serta perubahan, dimasyarakatkan oleh mahasiswa bersama kekuatan masyarakat lainya. Terdapat kerjasama di
antara mahasiswa dan kekuatan sosial lainnya, sejak awal mahasiswa menerima peranannya dalam suatu masalah, sampai pada
penyelesainnya. Justru pada tahap penyelesaiannya, kekuatan sosial dan politik non mahasiswa beserta lembaga-lembaga
masyarakat yang ada, mengambil alih dan menyelesaikan kegitan yang dirintis oleh mahasiswa tersebut.

Dalam hal proses serah tugas seperti itu telah berlangsung, mahasiswa kembali ketugas utamanya yaitu studi dan mempersiapkan
diri untuk memasuki berbagai bidang profesi. Dan berkenaan dengan posisi serta perannya sebagai bagian kaum intelektual,
mahasiswa kembali kekegiatan analisa dalam rangka memahami kelanjutan proses kehidupan dan menentukan sikap terhadap
proses tersebut.23

Sementara pendapat yang menyatakan bahwa gerakan mahasiswa tidak cukup hanya dengan gerakan “moral fosce” harus menjadi
gerakan “political fosce”, beragumentasi bahwa mahasiswa tidak hanya cukup mengkritisi dan mempelopori perubahan, tapi juga harus
bereperan aktif untuk menuntaskanya. Tujuan apa? Dengan berperan aktif dalam penuntasan perubahan akan dapat “mengawal”
perubahan itu sendiri, sehinga segala idelaisme yang ada dapat diwujudkan. Karena bagaimanapun antara kesadaran mahasiswa dan massa
rakyat tetaplah berbeda, harus diakui bahwa kesadaran mahasiswa lebih maju sehingga inisiatif-inisiatif bagi perubahan dan kemenangan
yang telah direbut tetaplah diperlukan. Dan bahkan mahasiswa perlu “mencerdaskan” sektor rakyat lainya dengan memberikan
pendidikan ideologi, politik, organisasi, taktik dan strategi perjuangan.

Sebetulnya perdebatan ini akan berakhir ketika kita berangkat dari analisa apa itu negara dimana kita berada saat ini? Negara inilah yang
nota bene membentuk satu sistem yang ada saat ini. Dengan analisa ini diharapkan kita tahu apa yang harus kita kerjakan, apakah
perjuangan cukup dengan perjuangan moral atau harus dengan perjuangan politik?!

Negara memang telah berkembang dari bentuk yang paling sederhana sampai yang modern sampai saat ini, dan perkembangan ini akan
terus berlanjut. Pada tahap awal perkembangan manusia, negara tidaklah dikenal. Segala fungsi kerja dalam kehidupan sosial dijalankan
secara kolektif oleh seluruh anggota masyarakat. Tentang hal ini kita bisa mengambil contoh yang terjadi pada suku Bushmen (suku
Afrika yang tinggal dibelukar):

Sehubungan dengan Bushmen (suku Afrika yang tinggal di belukar, pentj.), Pastur Viktor Ellenberger menuliskan suku ini tidak
mengenal kepemilikan pribadi ataupun pengadilan-pengadilan, ataupun otoritas sentral dan lembaga khusus seperti itu. (La fin
tragique des Bushmen, hal 70-73; Paris, Amiot-Dumont,1953). Pengarang lain menulis tentang suku yang sama: “Gerombolan,
bukan sukunya, adalah lembaga politik yang sebenarnya pada suku Bushmen. Setiap gerombolan memiliki otonomi, menjalankan
hidupnya mandiri dari yang lain. Segala urusannya adalah hukum yang diatur oleh pemburu terlatih dan orang tua, orang yang
lebih berpengalaman secara umum.” (I. Shapera, The Khoisan Peoples of South Africa, hal 76, George Routledge and Sons, Ltd.,
1930.).24

Hal serupa juga kita lihat dalam masyarakat Mesopotamia kuno, dimana fungsi aktif dan pasif dijalankan secara kolektif rejim klan totem:

Hal yang sama juga terjadi pada rakyat Mesir dan Mesopotamia kuno: “Saat itu keluarga patriarkis dengan otoritas paternal tidak
lebih matang daripada pengelompokkan politik tersentral… Kewajiban aktif dan pasif dilakukan secara kolektif dalam rejim klan
totem. Kekuasaan dan tanggung jawab dalam masyarakat ini masih memiliki ciri yang tak dapat dipisahkan. Di sini kita melihat
masyarakat komunal dan egaliter, partisipasi dalam totem yang sama, esensi utama dan dasar dari setiap individu untuk
menyatukan semuanya, menempatkan semua anggota klan pada dasar yang sama.” (A. Moret dan G. Davy, Des Clans aux
Empires, hal 17, La Renaissance du Livre, 1923.).25

Kemudian dalam perkembanganya, kerja sosial berkembang dan masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas. Saat itulah negara pertama kali
muncul, ketika terjadi pembagian kerja dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan terbentuknya negara, sejumlah kecil minoritas dari
masyarakat mengambil alih peran sosial yang ada. Perkembangan ini makin lama makin rumit sejalan dengan corak perkembangan
masyarakat. Dalam sistem kapitalisme seperti saat ini, negara tidak lebih adalah alat kontrol dari pemilik modal (borjuasi) terhadap kelas-
kelas lain. Karena merupakan alat kontrol, maka dibentuklah intitusi-intusi seperti birokrasi, tentara, parlemen, lembaga peradilan, yang
semuaanya dipilih dari kelas mereka, dapat dikatakan semua lembaga yang ada sudah dikuasai kaum borjuasi.

Jika kita sedikit memikirkan masalah itu tersebut, kita lihat semua orang yang menjalankan peran negara, semua orang yang
menjadi bagian aparatur negara, adalah – bagaimanapun juga – anjing penjaga. Polisi khusus dan polisi biasa adalah anjing
penjaga, tetapi begitu juga dengan pengumpul pajak, hakim, pesuruh dalam kantor pemerintahan, kernet bus kota, dan lain-lain.

23
Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Arbi Sanit, Lingkaran Studi Indonesia, hal. 9
24
Teori Negara Marxis, Ernest Mandels, diterjemahkan dari tulisan asli berbahasa Inggris
25
Ibid
5
Secara garis besar, semua peran dari negara dapat disimpulkan menjadi: pengawasan dan pengontrolan kehidupan masyarakat
demi kepentingan kelas penguasa.26

Dengan kondisi seperti ini, apa bila kita hubungan dengan perjuangan mahasiswa, dengan perjuangan yang bersifat “moralis”,
menyerukan kepada borjuasi yang telah mendominasi segala sektor yang ada akan menjadi absurd belaka. Karena apa? Secara “naluriah”
borjuasi akan tetap mempertahankan keistimewaan yang telah mereka peroleh, mereka akan tetap mempertahankan posisi kelas mereka
agar tetap bisa mengontrol semua sendi-sendi kehidupan dalam masyarakat.

Kalaupun para borjuasi terdesak misalnya dengan tuntutan-tuntutan mahasiswa, perubahan yang ada akan hanya bersifat reformis belaka.
Bagaimanapun juga hanya perubahan sistem yang akan dapat mengubah “wajah” negara yang menindas saat ini. Dan ini tentunya harus
diperjuangkan secara politik, tidak cukup dengan tuntutan politis tapi diperjuangkan secara moral.

Tujuan gerakan politik adalah jelas, mengganti sistem yang terbukti menindas untuk kemudian digantikan sistem lain. Target perjuangan
politik adalah kekuasaan, mengambil alih kontrol negara yang selama ini dipegang penindas. Sedangkan perjungan moral hanyalah
meminta “belas kasihan” dari kekuasaan yang menindas agar sadar dengan apa yang dilakukan.

IV
Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia:
Gerakan Mahasiswa, Kelahirannya Di Tengah Sistem Kapitalisme Yang Cacat
I.1. Tumbuhnya Organisasi-organisasi Modern di Indonesia.
Setelah patahnya dominasi VOC27 yang datang ke Nusantara dibawah pimpinan Jan P. Coen, kekuasaan kolonial Belanda
diambil alih oleh pemerintah Belanda. Adalah Deandels--seorang penggagum Nopeloen yang menjajah negerinya—kemudian diangkat
menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda, dan kemudian membuat terpaan pertama dengan membangun “Jalan Raya Pos” dari Anyer
–di ujung Barat pulau Jawa—sampai Panarukan—di ujung Timur P. Jawa—dengan tumbal tetetasan darah rakyat Nusantara yang
membasuhi setiap incin jalan tersebut. Sejak “Jalan Raya Pos” membentang dengan kokoh laksana ular yang menjulur, P. Jawa telah
disatukan dalam kekuasaan ekonomi-politik pemerintah Belanda. Sejak saat inilah, berbarengan dengan kemenangan kaum borjuasi di
Prancis, corak produksi kapitalisme mulai dirintis, KAPITALISME CANGKOKAN ! BUKAN KAPITALISME YANG DILAHIRKAN
OLEH BORJUASI NUSANTARA SENDIRI, TETAPI KAPITALISME YANG DIHASILKAN DARI PERSETUBUAN
KOLONIALISME YANG MENGHISAP DENGAN FEODALISME YANG TELAH MEMBUSUK, SEHINGGA LAHIR MENJADI
KAPITALISME YANG CACAT, BAHKAN SUDAH CACAT SEJAK DALAM KANDUNGANNYA.
Kapitalisme ini membutuhkan selain tenaga-tenaga rakyat yang dihisap, juga tenega-tenaga ahli untuk memaksimalkan
penindasan mereka agar mereka bisa meneguk kekayaan alam sampai dasar-dasarnya. Maka kemudian dibangunlah sekolah-sekolah yang
akan menjadi sekrup-sekrup dari sistem kapitalisme. Sekolah Militer yang mereka bangun di Semarang pada tahun 1819—Belanda
membutuhkan militer untuk alat meninadas—baru kemudian dibuka sekolah-sekolah umum seperti Sekolah Tinggi Leiden (1826), Institut
Bahasa Jawa Surakarta (1832), Sekolah Pegawai Hindia-Belanda di Delft (1842), Sekolah Guru Bumiputra di Surakarta (1852). 28Sekolah-
sekolah ini jelas-jelas dibuka untuk tangan-tangan pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, dan sekolah-sekolah ini tentu saja
hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda dan pegawai Tinggi Pribumi. Selain membuka sekolah-sekolah tinggi, di Hindia mulai
dibangun sekolah dasar—tetapi sekali lagi khusus untuk golongan Belanda—dengan membuka sekolah dasar yang sekuler di
Weltervreden pada 24 Februari 1817.29 Dan baru 1871—bersamaan dengan liberalisme di Hindia Belanda—dikeluarkan UU Pendidikan
pertama, pendidikan dan pengajaran semakin diarahkan bagi kepentingan Bumiputra. 30
Seiring dengan pekembangan liberalisme di Hindia Belanda—yang ditandai dengan disahkan UU Pokok Agraria yang
memberikan keleluasaan kepada modal swasta Belanda masuk ke Hindia Belanda—mau tidak mau pendidikan menjadi salah satu factor
penting dalam pembangunan sistem kapitalisme. Dengan kedok Politik Etis, dibukalah sekolah-sekolah dasar sampai sekolah tinggi bagi
pribumi yang tujuan pokoknya adalah sebagai tenaga-tenaga bagi industrailisasi modal-modal swasta Belanda di tanah jajahan. Ini seiring
dengan prinsip liberalisme dimana koloni bukan hanya sebagai penghasil produk-produk yang menguntungkan seperti kopi, teh, gula,
tembakau, tetapi juga sumber suplai bahan mentah seperi baja, minyak, batu bara, dll bagi industrialisasi di Belanda. 31 Sumber-sumber
bahan mentah tersebut sebagian besar ada diluar Jawa sehingga banyak membutuhkan tenaga-tenaga kerja baru, maka bergandenganlah
program politik etis—edukasi, irigrasi dan emigrasi—untuk mengekploitasi sumber bahan mentah tersebut.
Dibuknya sekolah-sekolah tersebut memberikan pengaruh bagai kesadaran kebangsaan bangsa Indonesia. Ilmu pengetahuan dari
Utara yang rasional berpadu dengan pengalaman-pengalaman bangsa lain yang sedang bergolak di Selatan dalam memperjungkan
demokratisasi—khususnya di Tiongkok—telah membuka sel-sel otak bangsa pribumi tentang arti nasionalisme. Ditengah situasi seperti
inilah, gerakan mahasiswa di Indonesia mulai tumbuh. Adalah Tirto Adisuryo Sang Pemula itu, setelah jebol dari Stovia—sekolah
kedokteran pada masa Belanda—merintis organisasi modern pertama bagi pribumi yaitu Sarekat Prijaji (1905). Organisasi ini memang
didasari semangat kebangsaan, tetapi salah menentukan materi sebagai unsur perubahannya yaitu kaum priyanyi. Golongan priyanyi ini
merupakan golongan yang beku, yang hanya mengharapkan kedudukan dari gubermen, impian-impian mereka hanya sebatas pada
kenaikan gaji dan kenaikan pangkat 32, yang dunia pikirannya berlindung di bawah kewibawaan gubermen 33, tanpa kewibawan, mereka
tidak ada artinya34. Sehingga ketika mereka diharapkan sebagai pelopran perubahan dalam melawan kolonialisme, kegagalanlah yang
terjadi karena kebekuan mereka35. Sedangkan sifatnya yang paling progresif adalah gonta-ganti istri, sebelum kawin ‘sesungguhnya’,
sebagai latihan, para priyanyi-prinyanyi ini melakukan ‘gladi bersih’ dengan menikahi perempuan dari keturunan orang kebanyakan. 36
Kegagalan ini kemudian diulangi oleh Boedi Oetomo (1908)—yang dalam sejarah resmi dianggap sebagai organisasi modern yang
pertama-- yang juga didirikan oleh mahasisa-masiswa Stovia—dipelopori oleh Soetomo. Boedi Oetomo juga mendasarkan materi yang
membangunnya kaum prinyayi, walaupun dapat bertahan hidup sampai tahun 1920 tetapi tumbuh menjadi organisasi yang lumpuh dan
kerdil dalam cita-cita nasionalisme.
Setelah dua organisasi di atas, mulai menjamurlah organisasi-organisasi modern di Indonesia. Serekat Prijaji setelah bubar
berubah menjadi Serikat Dagang Islamiah (SDI) dengan basis utamnya kaum pedagang—yang kemudian berkembang menjadi SI dan
dalam perkembangan selanjutnya sebagai embrio dari PKI. Sementara itu, di Bandung pada 6 September 1912 dua mahasiswa lulusan
Stovia, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat serta seorang Indo, E.F.E. Douwes Dekker, mendirikan Partai Hindia atau
Indishe Partij (IP).37 Maka semakin maraklah organisasi-organisasi kebangsaan yang dipelopori oleh mahasiswa. Tidak ketinggal,
26
Teori Negara Marxis, Ernest Mandels, diterjemahkan dari tulisan asli berbahasa Inggris
27
VOC merupakan persekutuan antara pedangan-pedang Belanda yang berasal dari 17 Propinsi yang ada di Belanda.
28
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, Hal.185.
29
ibid.hal.188
30
ibid.hal.186.
31
W.F Wertheim, Masyarakat Indonesia Dalam Transisi Studi Perubahan Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm.71.
32
Pramodya Ananta Toer, Rumah Kaca, Hasta Mitra, Jakarta, hal.264
33
ibid, hal.300
34
Pramodya Ananta Toer, Nyayi Sunyi Seorang Bisu, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 169
35
op.cit.hal. 274
36
Pramodya Ananta Toer, Gadis Pantai, Hasta Mitra, Jakarta, hal.62.
37
Parakitri T Simbolon, Menjadi Indonesia, Penerbit Kompas, Jakarta, hal 246-7.
6
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di negeri Belanda antara bulan Januari-Pebruari 1925 didirikan organisasi yaitu Perhimpunan Indonesia
(PI)—oragnisasi ini merupakan kelanjutan dari Indsche Vereeniging 38. PI sangat dipengaruhi oleh ideologi marxisme yang sedang naik
daun di Eropa dan juga banyak melakukan diskusi-diskusi dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia seperti Semaun. 39 Dalam program
perjuangannya, PI menyatakan:
1. Hanya suatu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-perbedaan sempit dapat
menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang merdeka
menuntut pembinaan tasa kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi-massa yang sadar dan percaya diri.
2. Syarat mutlak untuk mencapai tujuan itu ialah adanya partisipasi seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam
suatu perjuangan yang terpadu untuk mencapai kemerdekaan.
3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik dan penjajahan ialah konflik kepentingan
antara penguasa dan yang dijajah. Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan menutupi masalah
ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas konflik kepentingan tersebut.
4. melihat adanya dislokasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh pemerintah kolonial terhadap kesehatan
fisis dan psikologis dari kehidupan orang Indonesia, diperlukan sujumplah besar usaha untuk memulihkan
kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal.40
Selain organisasi-organisasi ini, di Indonesia juga berkembang study-study club misalnya yang terdapat di Surabaya dan di
Bandung. Study Club yang ada di Bandung kemudian berkembang menjadi Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin oleh
Soekarno.
Apabila kita amati, oraganisasi-organisasi yang dipelopori oleh mahasiswa di atas condong kepada ideology kebangsaan.
Kerangka organisasi yang dibuat oleh gerakan mahasiswa ketika itu tidak semata-mata hanya melibatkan mahasiswa, tetapi berusaha
melibatkan massa rakyat secara luas untuk kepentingan kemerdekaan, bahkan sudah sampai pada pendirian partai politik. Dalam kerangka
gerakan, konsep yang dibangun oleh mahasiswa-masiswa ketika itu untuk membangun format gerakan adalah tepat, bahwa tulang
punggung dari gerakan adalah massa rakyat yang terlibat aktif dalam organisasi modern. Sikap sektarian, dalam artian hanya melibatkan
mahasiswa dalam gerakan pembebasan nasional tidak terjadi, tetapi yang tumbuh adalah sikap kebangsaan untuk mencapai Indonesia
Merdeka.
Kemudian tentang metode, gerakan yang dipelopori oleh mahasiswa yang muncul sebelum revolusi nasional adalah melalui
rapat-rapat akbar (vergadering) yang dilakukan dipangan terbuka. Metode ini melibatkan mobilisasi rakyat yang besar untuk kemudian
mendengarkan pidato-pidato politik. Rakyat dari seluruh penjuru yang masih bisa terjangkau dalam vergadering dimobilisasi, sehingga
acara-acara seperti ini selalu ramai dikunjungi oleh banyak orang. Veragadering ternyata sangat efektif bagi pendidikan politik kepada
rakyat, karena dalam setiap pidato-pidatonya, orator-orator selalu menjelaskan kepada Indonesia terjajah. Selain itu, rakayat dari berbagai
golongan—petani, buruh, pegawai rendahan, dll—bisa berbaur sehingga mereka menyadari bahwa penindasan yang dilakukan oleh
penjajah menimpa banyak golongan sehingga hal ini akan menumbuhkan semangat keberanian dan kebersamaan—embrio dari semangat
persatuan.

I.2. Pers Sebagai Alat Perjuangan


Setiap perjuangan tentu membutuhkan senjata politiknya. Apa senjata itu? Dalam gelombang nasionalisme abad ke 19, senjata
politik dari gerakan kebangsaan adalah Surat Kabar. Bahasa yang digunakan dalam surat kabar pribuni adalah bahasa Melayu Rendah.
Bahasai ini, apabila kita telusuri pada awalnya merupakan bahasa penghubung, baik antara golongan Tionghoa dengan masyarakat luas
maupun dengan sesama golongan Tionghoa sendiri—ini terjadi karena golongan Tionghoa yang ada di Indonesia berasal dari macam-
macam suku Tiongkok, antara satu dengan lainya mempunyai bahasa yang berbeda41 (Pramoedya.1999:202)
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bahasa Melayu Tionghoa – pemerintah kolonial Belanda sering menyebutnya
bahasa Melayu Rendah—kemudian banyak digunakan wartawan dan pemgarang pribumi. Banyak penulis yang nasionalis dan beridologi
kiri menggunakan bahasa Melayau Tionghoa—Pram menyebutnya bahasa kerja –antara lain Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, Mas Marco,
Semaun, yang mana buah karya mereka ini tidak disenangi oleh pemerinatah kolonial Belanda yang mengunakan bahasa Melayu Tinggi. 42
Surat kabar pribumi yang pertama kali mengunakan bahasa Melayu Rendah adalah Medan Prijaji (1907) yang dirintis oleh
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo. Surat kabar ini pada awalnya mingguan dan kemudian berkembang menjadi surat kabar harian dengan
berita-berita utama menyangkut persoalan rakyat yang ditindas oleh penguasa kolonial. Dalam perkembangan selanjutnya, masing-
masing organisasi politik yang berkembang ketika itu mempunyai surat kabar sendiri-sendiri. Partai Komunis Indonesia mempunyai
jumlah surat kabar terbanyak, baik di Jawa, Semarang, Surabaya, Surakarta, Batavia, Pekalongan maupun yang terbit di luar Jawa seperti
di Padang Panjang, Bukit Tinggi, Medan, Makasar, Pontianak dan Ternate. Organisasi lain seperti Perhimpunan Indonesia juga
mempunyai surat kabar sendiri yaitu Indonesia Merdeka, sedangkan Serikat Islam dengan surat kabarnya Sinar Djawa, Indische Partij
dengan terbitannya De Express dan Het Tijdscrift.
Bagaimana bahasa mereka dalam mengugah semangat kebangsaan dapat kita lihat sebagai berikut. Dalam memberikan semangat
kepada rakyat Indonesia, Marco menulis dalam Sinar Djawa edisi Kamis, 11 April 1918 No. 82, dengan judul Djangan Takoet sebagi
berikut:

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sekarang kami hendak membitjarakan tentang peperangan soeara ditanah kita Hindia jang seperti djemeroetini.
Apakah peperangan mentjari makan di Hindia sini achirnja djoega seperti peperangan mentjari makan di Zuid
Afrika? Inilah misih djadi pertanjaan jang tidak moedah didjawab! Kami tahoe ada djoega bangsa kita anak Hindia
jang lebih soeka memehak kaoem oeang dari pada memehak bangsanja jang soedah tertindas setengah mati, maar …
djangan poetoes pengharapan pembatja! Disini ada banjak sekali anak-anak moeda jang berani membela kepada
rajat, dan kalau perloe sampe berbatas jang penghabisan. Dari itoe kita orang tidak oesah takoet dengan bangsa kita
makhloek jang lidahnja pandjang, lidah mana jang hanja, perloe diboeat mendjilat makanan jang tidak banjak, dan
dia bekerdja diboeat masin melawan bangsanja sensiri jang ini waktoe masih djadi indjak-indjakan. Bangsa apakah
orang sematjam ini?! Itoelah toean pembatja bisa kasih nama sendiri! Sekarang ada lagi pertanjaan, jaitoe tidak saban
orang bisa mendjawab itoe pertanjaan: Apakah di Hindia sini ada soerat kabar jang dibantoe oleh kaoem oeang,
soepaja itoe soerat kabar bisa melawan soerat kabarnja rajat? Ada! Tetapi nama soerat kabar itoe pembatja bisa
mentjari sendiri.

38
John Ingleson, Jalan Ke Pengasingan, Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1938, LP3S, Jalarta, hal. 2.
39
Harry A. Poeze, Tan Malaka, Pergulatan Menuju Republik, Grafiti, Jakarta. Hal. 368.
40
Op.cit, hal.6-7.
41
Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta, hal. 202
42
Leo Suryadinata, Prisma, hal. 48
7
Dari itoe saudara-saudara dan sekalian pembatja, soenggoehpoen berat sekali kita bertandingan boeat menghela
bangsa kita jang amat tertindas, sebab ketjoeali kita mesti berani bertanding dengan kaoem oeang, dengan bangsa
kita sendiri jang lidahnja pandjang. Djadi sesoenggoehnja pada ini waktoe kita orang tidak bisa tjoema memegangi
kebangsa'an (nationalisme sadja, sebab bangsa kita masih ada jang djadi berkakas, melawan kepad kita sendiri. Djadi
seharoesnja kita djoega mesti mempoenjai hati kemanoesia'an (socialisme). Ingatlah siapa jang menindas kita?
…………….. tetapi ………………

Lain dari itoe, kita memberi ingat kepada saudara-saudara, djanganlah soeka membatja sembarang soerat kabar,
pilihlah soerat kabar jang betoel-betoel memihak kepada kamoeorang, tetapi jang tidak memihak kepada kaoem
oeang Sebab kalau tidak begitoe, soedah boleh ditentoekan, achirnja kita orang Hindia tentoe akan terdjeroemoes di
dalam lobang kesengsara'an jang amat hina sekali.

Achir kalam, kami berkata; NGANDEL, KENDEL, BANDEL, itoelah gambar hatinja manoesia jang tidak
memandjangkan lidahnja, tetapi menoendjoekkan giginja jang amat tadjam, dan kalau perloe ………43

Selain untuk membangkitkan semangat, surat kabar pergerakan juga berusaha meblejeti sistem kapitalisme yang ada di Indonesia. Sebagai
contoh dapat kita lihat isi surat kabar berikut ini:

-------------------------------

Tjaranja pabrik goela hendak menjewa sawah orang-orang desa itoe jang soedah kedjadian lantaran dari politie desa:
Loerah, Tjarik enz, enz, djadi pabrik tidak oesah rewel-rewel masoek keloear di romah-romah orang desa jang
sawahnja hendak disewa pabrik. Apakah perkara ini soedah mestinja penggawai desa atau Goepermen: Asistent
Wedono Wedono dan Regent mesti menoeloeng kaperloean pabrik boeat mentjari tanah jang akan ditanami teboe?
Kaloek menoeroet adilnja, seharoesnja pabrik mesti datang di romah masing-masing orang desa dan lain-lainnja
sama sekali tidak boleh toeroet tjampoer tentang perkara sewa menjewa itoe soedah kedjadian dan hendak teeken
perdjandjian. Banjak orang-orang desa bilangan pabrik Tjepiring dan Gemoeh afdeling Kendal, Semarang, bahwa
marika itoe merasa terlaloe menesal sekali, karena sawahnja disewa oleh pabrik, sebab oeang sewaan tanahnja dari
pabrik, itoe lebih sedikit dari pada hasil kalau itoe tanahnja dikerdjakan sendiri. Apakah sebabnja itoe pabrik bisa
menjewa tanah orang desa dengan harga moerah sekali? Tida lalu tentoe dari roepa-roepa akal jang tidak baik boeat
orang desa itoe, tetapi baik boeat loerahnja enz enz. Begitoe orang memberi kabar kepada kami. Kalau kabar itoe
njata, kami berseroe kepada pemerentah haroes menjelidiki, apakah prijaji-prijaji dan loerah jang memegang
peperentahan dipabrik sitoe tidak terima presen dari pabrik, soedah tentoe akalnja pabrik menjewa tanah orang-orang
desa dengan lakoe jang tidak baik. Hal ini kami telah mendapat keterangan dari beberapa orang desa jang sawahnja
disewa pabrik. Dibawah ini kami bisa kasih keterangan dengan pendek, soepaja djadi timbangan sekalian orang jang
sehat pikirannja: "Sebahoe sawah oleh pabrik tidak lebih f66,- (enam poeloeh enam roepiah) didalam 18 boelan,
jaitoe seoemoernja teboe; sawah sebahoe kalau ditanami padi bisa tiga dalam 18 boelan, dan itoe padi kalau didjoeal
tidak koerang dari f300 (tiga ratoes roepiah), djadi tiap-tiap sebahoe sawah jang disewa pabrik, orang desa roegi
f234,- (doea ratoes tiga poeloeh empat roepiah). Tjobalah pembatja pikir sendiri boekankah soedah terang sekali
kalau menoeroet keterangan di atas itoe, semoea orang desa jang sawahnja disewakan pabrik tjoema f66,- (enam
poeloeh enam roepiah) sebahoe dalam 18 boelan lamanja, dia orang mendapat keroegian f234,- (doea ratoes tiga
poeloeh empat roepiah). Lagi poela semoea sawah jang loeas ditanami teboe itoe tidak bisa baik lagi ditanami padi.
Kalau menilik hal itoe terang sekali orang-orang desa jang sawahnja disewakan pabrik itoe tentoe dengan akalan
jang tidak baik, sebab kalau tidak begitoe, kami berani berkata, tentoe orang desa tidak nanti sawahnja boleh disewa
pabrik teboe.

Apakah tidak lebih baik pemerentah menentoekan harga tanah jang sama disewa pabrik teboe, misalnja: pabrik tidak
bolih menjewa tanah orang desa korang dari f.200,- sebahoe didalam 18 boelan. Kalau hal ini dilakoekan, tentoe
bangsa kita orang desa tida bakal sengsara lantaran adanja pabrik-pabrik goela.

Keterangan-keterangan ini misih pendek sekali, sebab hanja kami ambil jang perloe sadja, tetapi kalau ini oesikan
tidak bergoena, jaitoe tidak bisa merobah haloean pabrik tentang sewa menjewa tanah kepada orang-orang desa,
dibelakang hari henda kami terangkan dengan pandjang lebar, djoega semoea perkara jang gelap gelap, soepaja
bangsa kita orang desa tidak menderita kesoesahan. Ingatlah ini waktoe mahal makanan, seharoesnja pemerentah
berdaja oepaja soepaja semoea sawah ditanami padi, tetapi tidak ditanami teboe seperti sekarang. 44

Dalam kesempatan lain, surat kabar pergerakan juga memberikan advokasi kepada pemimpin-pemimpin pergerakan yang
ditangkap. Sebagai contohnya dapat kita lihat dibawah ini:

Seperti jang telah kita kabarkan kemaren, bahwa saudara Sneevliet betoel djadi di boeang.

Sesoenggoehnja tidak nama djarang kalau saja mesti memberhentikan diri tidak toeroet di dalam pergerakan Hindia,
teroetama Sarekat Islam. Sebab kalau saja hitoeng, adalah 8 tahoen lamanja saja bergerak dilapangan Journalistiek,
jaitoe moelai tahoen 1914 nama saja soedah tertjitak dihalaman soerat kabar Medan Prijaji di Bandoeng, soerat kabar
mana jang saja djadi Mede Redacteurnja. Waktoe Sarekat Islam beloem lahir didoenia saja soedah bertereak ada di
Medan Prijaji tentang tidak adilnja Pemerintah di Hindia sini dan rendahnja bangsa kita. Tereakan tereakan itoe
sekarang soedah mendjadi oemoem, dan asal orang jang mempoenjai kemanoesia'an dan tidak djilat-djilat kepada
orang jang koeat tentoe berani bertereak!

Waktoe djaman De Indische Party dan orang-orang jang memimpin sama di boeang, hanja seorang doea orang sadja
jang berani membela kepada Douwes Dekker, Tjipto dan Soewardi, tetapi sebagian besar dari bangsa kita sama
takoet tjampoer hal itoe, karena mareka itoe dikatakan oleh fehaknja pemerentah orang jang meroesak keamanan

43
Marco, Djangan Takoet, Sinar Djawa, Kamis, 11 April 1918 No. 82
44
Marco, Apakah Pabrik Goela Itoe Ratjoen Boeat Bangsa Kita?!, Sinar Djawa, Hari Selasa 26 Maart 1918, no.71, tahoen ke-19.

8
negeri! Tiga orang itoe jang doeloe dikatakan berbahaja oleh pemerintah sekarang soedah tidak dipandang begitoe
lagi, tandanja soedah sama diidinkan poelang kembali ditanah airnja, Hindia.

Sekarang djaman I.S.D.V., djaman mana jang kita haroes berkata teroes terang kepada publiek, mengertinja: bangsa
bangsat haroes kita katakan bangsat djoega, dan bangsa baik poen kita katakan baik. Tetapi! ... ja pembatja, selaloe
ada tetapinja sadja, tetapi berapa orang bangsa kitakah jang berani membela kepada bangsa kita seperti Sneevliet
jang diboeang lantaran membela kita orang itoe? Ja! Tidak! Boeat saja sendiri, hati saja tidak berobah lantaran
Sneevliet diboeang itoe, mengertinja tidak senang dan tidak soesah, tjoema sadja kita mesti memikirkan
kesoesahannja Sneevliet. Lantaran Sneevliet diboeang itoe ... barangkali semoea pemerentahan ... ada didalam
perentahnja kapitalisme. Sneevliet berani sampai diboeang! Apakah pemimpin pergerakan kita djoega berani
diboeang djoega berani diboeang di Ambon atau Menado atau kalu perloe djoega dipoelau jang tidak ada orangnja
sama sekali? Bangsa apakah jang tertindas di Hindia sini? Jaitoe bangsa kita. Mengapakah seorang Belanda seperti
Sneevliet jang mesti membela tindasan tindasan itoe, dan sampai dia berani diboeang, sedang bangsa kita jang
mengakoe djadi pemimpin roepa-roepanja djarang jang berani bergerak seperti Sneevliet. Apakah orang Hindia
boekan manoesia seperti Sneevliet. Sesoenggoehnja keadaan itoe, keadaan jang terbaik! Kalau menilik
kasoesahannja bangsa kita pada ini waktoe, seharoesnja kita sendiri mesti bergerak doea kali lebih keras dari pada
pergerakannja Sneevliet dan kontjo kontjonja. Orang tidak oesah takoet apa jang akan menjerang badan kita ....
Ingat! Kita tidak bisa hidoep lebih dari seratoes tahoen! Apakah mengertinja pemboeangan dan pemboealan jang
diadakan oleh peperentahan seperti sekarang ini? Kalau saja ada kekoeatan dan ada bekakas boeat memboenoeh
manoesia, soedah tentoe saja bisa mengadakan pemboealan dan pemboeangan. Siapa orang jang tidak menoeroet
kehendaknja tentoe saja masoekan boei dan kalau perloe saja boeang. Walaupoen semoea kelakoean saja itoe
meroegikan orang orang itoe. Pendeknja kalau saja koeat, saja bisa merampok memboenoeh sesoeka saja, dan orang
banjak djoega tidak mengatakan perboeatan saja itoe: rampok rampokan, grajak grajakan dan boenoeh boenoehan.
Sebab .... ja! Sebab saja poenja kekoeatan! Tetapi apakah perboeatan saja sematjam itoe tida dikatakan
BADJINGAN oleh orang jang poenja pikiran waras? Tida taoe!

Pembatja tentoe soedah tahoe, bahwa ini waktoe di Europa tengah banjak radja jang sama NGRONTOKK, radja
radja mana jang doeloe amat mashoer namanja itoe radja radja sebabnja NGRONTOKK! Tidak lain dari sebab
lakoenja jang sawenang wenang dan tidak mengerti permintaannja orang banjak. Pendeknja perkara orang boleh
melakoekan sesoekanja asal sadja berani, tetapi keberanian jang dilakoekan dengan tipoean jang digoenakan
menjenangkan diri sendiri, itoe kelakoean djahanam!!

Apakah kalau Sneevliet diboeang lantas pergerakan Hindia mendjadi padam? Sabeloemnja Sneevliet datang ditanah
Djawa sini, saja soedah menerbitkan soerat kabar DOENIA BERGERAK, soerat kabar mana jang haloeannja tida
beda dengan Het Vreij Woord. Djadi sebeloemnja Sneevliet ada ditanah Djawa, di Hindia bidji revollutionnair
soedah mengembang di mana mana!

Djadi iktiar pemerentah jang lantaran kemaoean kapitalisten menjoeroeh memboeang Sneevliet dari tanah Djawa itoe
malah membikin kerasnja pergerakan Hindia. Bagoes45

Surat Kabar pergerakan juga dijadikan ajang perdebatan diantara tokoh-tokoh pergerakan sendiri dalam menentukan format
gerakan yang tepat:

------------------------------------------------------------------------------------------------------

SIKAPNJA D.D

Sebagai telah dikabarkan, koetika hari Minggoe jang telah laloe di stadtuin di Samarang telah dibikin satoe
vergadering oleh perhimpoenan Insulinde, dalam mana toean Dr. E.F.E. Douwes Dekeker telah berpidato, njatanja ia
poenja sikap dalam pergerakan di Hindia ini.

Di sini kita tiada toetoerkan fatsal sikapnja Insulinde pada Semarangsche lesvereeniging, karena ada tiada begitoe
perloe lagi dikata di sini, jaitoe fatsal empat dalam Gemeente jang di boeat reboetan oleh antara kaoem kapitalist dan
kaoem miskin, jang mana pembatja soedah mengetahoei.

Tapi jang kita toelis di sini jalah sikapnja D.D. pada perhimpoenan-perhimpoenan di Hindia, sebab cita rasa ada
perloe djoega dikatahoei oleh pembatja kita. Fatsal-fatsal jang tiada perloe poen kita boeang, kata Pew Soer

Sikapnja pada orang Tionghoa:

Ia bilang, bahwa Tiong Hoa Hwee Koanschool vereeniging tiada mempoenjai dasar politiek, tapi ia kasih tahoe,
bahwa orang Tionghoa tiada betjidra pada Indische Partij Maksoednja persama'an dari kaperloeannja pekerdja'an
djoega. Spreker tahoe betoel bahwa orang Tionghoa bisa ditarik ke perhimpoenan Insulinde dan marilah kita moesti
adjak marika, meskipoen kita ditoedoeh bahwa kita tjoema pemboeroe oeangnja orang Tionghoa sadja, tapi
keperloeannjaa tiada diperhatikan.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sikapnja pada Sarekat Islam:

Spreker bilang, Sarekat Islam adalah perhimpoenan jang paling penting dan Insulinde moesti bekerdja bersama-
sama. Ini perhimpoenan berhaloean democraat djoega, tapi dengan dasar Igama. Meskipoen di negeri Olanda toch
ada gerakan kaoem democraat dengan beralasan igama.

45
Marco, Sneevliet Diboeang, Sinar Hindia, 10 Desember 1918.
9
Atas parlement spreker njatakan, bahwa ia poenja advies telah di minta oleh minister oeroesan djadjahan, jaitoe
ketika maoe diadakan Volksraad. Ia tiada kira, jang Volksraad ada seperti sekarang dimana fihak jang lemah kalah
soearanja. Tetapi kita moesti berdjalan teroes dan tiada akan merasa tjapai, kalau maksoed kita beloem kesampaian. 46

Surat kabar sebagai alat perjuangan ini ternyata cukup efektif dalam menumbuhkan semangat perlawanan dan
kebangsaan bangsa Indonesia yang ketika masih terpecah-pecah.

V
Gerakan Mahasiswa Setelah Revolusi Nasional 17 Agustus 1945 Yang Kandas sampai Tahun 1965

Proklamasi kemerdekaan telah berkumandang dimana-mana sejak 17 Agustus 1945. Selamat datang kemerdekaan!!! Tetapi
bukan kemerdekaan yang utuh karena hanya merdeka secara politik tetapi belum merdeka secara ekonomi. Sitauasi setelah kemerdekaan
semakin menunjukkan kemunduran. Perjalan Revolusi Indonesia menunjukkan bahwa para ideolog, para brahmana pemimpin revolusi
tidak serevolusioner ajaranya sendiri, mereka tertinggal jauh dari krisis revolusioner yang terjadi. Revolusi ternyata tidak menghasilkan
apa-apa selain kondisi lama dalam situasi baru, kaum priyanyi yang kembali mengambil alih kendali. 47 Akibatnya:
“Para satria lunturan, kaum priyanyi ini, yang sejak bayi tidak dalam tradisi bekerja produktif atau kreatif, cita-
citanya sebelum bisa baca tulis sudah digadaikan pada kekuasaan yang berlaku, begitu mendapat tempat dalam
sistem kekuasaan bukan saja telah jadi arrivee, dengan sedikit kekuasaan yang dipercayakan oleh sisitem padanya,
mulai ia mengunakannya untuk menghisap keuntungan pribadi. Dalam dinas apa saja, ditempat geografis mana
pun”48.

Setelah mengangkangi kekuasaan politik dan ekonomi, saudaranya sendiri kemudian dibantai. Senjata-senjata pasukan sudra
dilucuti oleh golongan satria, alasan mereka senjata tidak boleh ditangan rakyat. akibatnya, banyak korban yang bergelimpangan, bukan
demi kemerdekaan tapi demi kemapanan golongan satria.49 Sebagai puncaknya adalah pembantaian terhadap kaum komunis di Madiun.
Revolusi semakin mundur, para pemimpin tumbuh sebagai koruptor-koruptor yang meredupkan api revolusi, sebelum terjadi
apa-apa telah mengkibarkan kain kafan tanda menyerah . 50 Para pemimpin-pimpin revolusi telah menjurumuskan revolusi, hanya besar
dalam omongan.51 Akibatnya, satu demi satu kota-kota yang dikuasai oleh Republik runtuh, sampai Yogya sebagai pusat kekuasaan juga
runtuh52, para pemimpin revolusi semakin tidak percaya diri sehingga menyandarkan revolusi pada loby dan Coctail . 53 Hasilnya pun serba
setengah-setengah, termasuk demokrasinya dipungut dari barat, juga setengah-setengah yang, demokrasi untuk kaum yang mempunyai
uang saja:
“ Demokrasi sunguh suatu sisitim yang indah. Engkau boleh menjadi presiden. Engkau boleh memilih pekerjaan
yang engkau sukai. Engkau mempunyai hak sama dengan orang-orang lainya. Dan demokrasi itu membuat aku tak
perlu menyembah dan menundukkan kepala pada presiden atau menteri atau paduka-paduka lainya. Sunguh—ini
suatu kemenangan demokrasi. Dan engkau boleh berbuat sekehendak hatimu bisa saja masih berada dalam
lingkungan batas hukum. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau akan lumpuh tak bisa bergerak. Di negara
demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau sukai. Tapi kalau engkau tak punya uang, engkau hanya boleh
menonton barang yang engkau ingini itu. Ini juga semacam kemenangan demokrasi”.54

Dalam situasi seperti inilah gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Gerakan mahasiswa yang timbul paska revolusi didasari
pada ideologi yang berbeda-beda. Pada tanggal 5 februari 1947 diresmikan terbentuknya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), kemudian
diikuti berdirinya Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) pada tanggal 25 Maret 1947 dan kemudian disusul dengan
pendirian Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). 55 Oragnisasi-organisasi mahasiswa ini mengunakan ideologi
agama—Islam atau Katolik/Kristen. Kemunculan organisasi-organisasi yang berideologi agama ini sebetulnya mengikuti kemunculan
partai politik yang seideologi yaitu Masyumi ( 7 Nopember 1945)—yang berideologi Islam dan Partai Katolik ( 8 Desember 1945)—yang
berideologi Katolik.56 Sementara itu partai besar lainya yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI) mempunyai ormas mahasiswa Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri pada tanggal 23 Maret 1954, sedngkan Partai Komunis Indonesia (PKI) membangun
ormas mahasiswa yaitu Central Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI). 57
Selaian organisasi yang didasarkan pada ideologi tertentu, juga banyak bermunculan organisasi mahasiswa yang berdasarkan
profesi dan komunitas. Dalam katagori ini, kita dapat mengambil contoh Perhimpunan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH) di Bogor,
Perhimpunan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpunan Mahasiswa Jogyakarta (PMJ), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM). 58
Kemudian di UGM pada tanggal 11 Januari 1950 terbentuk Dewan Mahasiswa (DM) yang merupalan lembaga mahasiswa tingkat
universitas, dan kemudian diikuti dengan berdirinya Dewan Mahasiswa di UI pada 20 Nopember 1955.59
Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada masa demokrasi terpimpin, organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan partai
politiklah yang banyak meramaikan panggung perpolitikan. Mereka salaing berlomba-lomba, adu program untuk mendapatkan masa yang
besar. Pertarungan semakin ramai ketika Soekarno lebih dekat pada organisasi-organisasi yang berideologi komunis dan nasionalis
radikal. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berbasiskan agama—HMI, PMKRI—semakin terpinggirkan. Pada tahun 1963, ketegangan
politik di dalam kampus semakin memanas setelah GMNI, CGMI, Germindo, Permi semakin mendominasi senat fakultas dan dewan
mahsiswa universitas di perguruan-pergurun tinggi yang ada. 60Konflik yang terjadi misalnya ketika kongres nasional keempat Majelis
Mahasiswa Indonesia (MMI) pada bulan April 1964 di Malino, dalam kongres ini GMMI memenangkan 18 dari 24 kursi esekutif.
Sementara itu, kelompaok mahasiswa dari UI dan ITB yang non-GMNI tidak mendapatkan posisi yang menyebabkan mereka menolak
hasil kongres, dan akibatnya dewan mahasiswa dari kedua universitas ini dikeluarkan dari MMI. 61 Pertentangan-pertentangan terus terjadi

46
Marco, Douwes Dekker Tidak Berobah Haloeannja, Sinar Hindia, 17 Agustus 1918, tahoen ke 19.
47
Pramodya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Hasta Mitra, Jakarta, hal.178
48
ibid, hal.178-9
49
Ibid, hal.178
50
Pramodya Ananta Toer, Larasati, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 131
51
ibid, hal. 132
52
ibid, hal. 135
53
Op.cit, hal. 182
54
Pramoedya Ananta Toer, Bukan Pasar Malam, Bara Budaya, Yogyakarta, hal.5
55
Arbi Sanit, Mahasiswa, Kekuasaan dan Bangsa, Lingkar Studi Indonesia, hal.84.
56
ibid, hal.84
57
ibid, hal. 85
58
ibid, hal.84
59
ibid, hal.85
60
John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Grafiti, Jakarta, hal. 140.
61
Ibid, hal.143.
10
sampai tahun 1965. Sebuah pertarungan di tingkat fakultas misalnya terjadi di fakultas sastra UI ketika GMNI dan sekutu-sekutunya
menuntut agar senat yang baru terbentuk dibubarkan karena terdapat unsur-unsur kontra-revolusioner seperti HMI.62
Mahasiswa yang semakin tersingkir semakin membenci konsepsi Soekarno sendiri tentang demokrasi terpimpin, yang mereka
anggap sebagai biang keladi semakin tersingkirnya posisi mereka. Mahasiswa-mahasiswa ini, yang telah mendapatkan pendidikan tentang
demokrasi liberal, yang sayup-sayup mereka peroleh dari barat, merasakan bahwa demokrasi tepimpin sangat merantai kebebasan mereka,
tidak sesuai dengan teori yang pernah mereka dapatkan. Apalagi kedekatan pemerintahan Soekarno dengan Soviet maupun Cina Komunis
yang membuat gerah banyak kalangan—termasuk mahasiswa. Ruang-ruang bagi golongan non komunis dan non nasionalisme radikal
seakan-akan telah tertutup. Golongan-golongan mahasiswa yang merasa senasib sepenanggungan ini kemudian bersatu,
mengorganisasikan di dalam kesatuan-kesatuan aksi.
Sementara itu, situasi tahun 1960-an semakin memanas dengan adanya konfontrasi dengan Malaysia yang menyebabkan
hubungan dengan negara-negara barat—khusunya Amerika dan Inggris—semakin memburuk. Amerika yang melihat Indonesia sebagai
tempat yang strategis karena letaknya pada jalur perdagangan internasional dan mempunyai jumlah penduduk yang besar sangat potensial
bagi pasar produk-produk Amerika. Namun, situasi yang semakin berkembang semakin menunjukkan Indonesia semakin jatuh dalam
genggaman komunis yang selalu mengusung isu-isu anti imperialisme. Dan apabila Indonesia sampai jatuh ke tangan kaum komunis,
maka semakin sulitlah bagi bangsa-bangsa barat untuk mendominasi ekonomi di negara-negara Asia Tenggara.
Kekuatan lain yang merasa terdesak pada masa demokrasi terpimpin ini adalah tentara. Mereka yang sejak demokrasi
parlementer merasa disingkirkan, dalam beberapa hal memang mendukung demokrasi terpimpin yang menguntungkan mereka. Namun,
karena kedekatan Soelatno dengan kelompok komunis, menyebabkan tentara semakin gerah karena secara ideologi mereka sangat
berseberangan dengan ideologi komunis, apalagi setelah kaum komunis mengusulakan dibentuknya angkatan kelima dengan
mempersenjatai kaum tani.
Akhirnya, ketiga kekuatan di atas—mahasiswa yang berideologi liberal, Amerika dan tentara—bersatu ketika pecah peristiwa 30
September 1965—yang dianggap sebagai pemberontakan PKI. Histeria anti komunis kemudian ditiupkan keseluruh pelosok negeri,
dibentuklah Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu (KAP-Gestapu). Badan ini dipimpin oleh politikus NU Subchan dan aktivis katolik
Harry Tjan dengan dukungan penuh dari tentara. 63Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pertemuan terakhir dirumah Menteri
Pendidikan Tinggi, Brigjen. Syarief Thayep, tepatnya pada tanggal 25 Oktober 1965 dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI). Organisasi ini didominasi oleh organisasi seperti PMKRI, SOMAL, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan
Mahasiswa Pancasila (Mapancas)—organisasi ini dekat dengan tentara, ketuanya David Napitupulu dekat dengan Brigjen Sukendro dan
Jendral Nasution.64 Maka, sejak saan ini, pemburuan terhadap orang-orang komunis atau simpatisanya dimulai. Inilah prestasi dari
Gerakan Mahasiswa 1966, bersama tentara dan Amarika, berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno dan menaikkan Soeharto dengan
tumbal jutaan rakyat yang tidak berdosa. Salah satu pimpinan GM ’66, Soe Hok-Gie merasa ngeri sendiri setelah melihat dari demostrasi-
demontrasi pengganyangan terhadap komunis selama delapan belas bulan:
“Tetapi bagi yang ikut-ikutan PKI karena pertimbangan-pertimbangan ekonomi keadaan ini sangat sulit. Banyak ex-
SOBSI tidak tahu-menahu tentang komunisme. Mereka masuk SOBSI karena kalau tidak masuk mandor mereka
(yang komunis) akan mempersulitnya. Demikian pula BTI-nya. Pernah seorang petani hampir dibunuh di Bali minta-
minta ampun dan bersumpah bahwa ia bukan PKI. “Organisasi saya adalah BTI,” katanya dengan berlinang air mata.

Mereka tidak bisa mengerti mengapa tiba-tiba mereka dipecat, dibunuh, diasingkan masyarakat dan diusir dari
pergaulan. Dan hampir tak ada yang mau memberikan kerja baru untuk mereka karena mereka ex SOBSI. Lowongan
yang tersedia untuk mereka adalah (yang tak perlu tanda tidak terlibat Gestapu) tukang beca, kuli harian, pedagang
kecil (tukang loak) dan untuk wanita babu atau pelacur (bagi yang masih muda dan lumayan wajahnya).

Di desa di aman kesempatan kerja lebih sulit biasanya mereka menjadi pedagang kecil atau lari ke kota. Saya pernah
menjumpai di sebuah desa di Jawa tengah seorang istri “Gestapu” yang membuka warung kopi mulai jam 3 pagi
untuk memberikan makan 9 orang anaknya. Kehidupan mereka sangat berat. Anak-anaknya juga “punya inferiority
complex” karena ayahnya ada di penajara. Kesembilan anak ini tidak berani bermain-main disawah atau jalan-jalan
karena “malu” diejek oleh kawan-awan sebayanya. Mereka bermain-main sesama saudara di rumah mereka sendiri.
Anak-anak kecil ini telah belajar betap “pahitnya” politik.

Bagi yang keluarganya yang dibunuh keadaanya lebih parah. Mereka diam dan tak banyak berkata. Tetapi dalam hati
kecilnya tumbuh dendam kebencian terhadap golongan yang telah membunuh sanak mereka. Dan saat kebencian ini
kebencian akan mengambil bentuknya. Kita tidak tahu berapa jumlah mereka. Tetapi kalau kita ambil angka 300 ribu
orang mati terbunuh selama masa-masa tersebut dan pembunuhan ini menimbulkan bekas pada 3 atau 4 orang
sanaknya yang terdekat (istri-anak-saudara kandung, ayah) maka dewasa ini terdapat kira-kira satu juta orang yang
hidup menyimpan dendam untuk masa kemudian”.65

Tragis, itulah kata yang tepat, sebuah rejim baru didirikan di atas bangkai jutaan rakyatnya sendiri. INILAH AKIBAT FATAL
DARI SEBUAH GERAKAN TANPA KONSEP YANG JELAS, YANG AKHIRNYA HANYA MENGHASILKAN SEBUAH
KEDIKTORAN BARU. Inilah akhir, bangsa yang lunak ini menurut orang-orang barat, mampu melakukan pembunuhan yang korbanya
dalam beberapa bulan melebihi korban dari seluruh perang vietnam. 66 Akhirnya, golongan satria—Soeharto cs—yang naik kepanggung
kekuasaan dan keadaannya menjadi seperti saat ini.
VI.
GM Dari 1966 sampai 1978—Ingin Perubahan Tanpa Merubah Sistem

III.1. Setelah ’65 Sampai NKK/BKK


Peristiwa G 30 S menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa memang berperan dalam kejatuhan Soekarno dan sekaligus berperan
melahirkan rejim Soeharto yang kelak digulingkan oleh gerakan mahasiswa periode lain. Dan dengan demikian gerakan mahasiwa juga
berperan dalam pembantaian terhadap 3,5 juta rakyat Indonesia setelah meletusnya peristiwa September 1965. Kemudian, setelah periode
ini konsep gerakan mahasiswa ditetapkan sebagai gerakan moral (moral force), seperti yang dilontarkan oleh Soe Hok Gie. Konsep moral
force inilah kemudian mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa selanjutnya 67. Dalam konsepnsi ini, bahwa mahasiswa seharusnya
lebih bertindak sebagai kekuatan moral ketimbang sebagai kekuatan politik, dengan artian mahasiswa muncul sebagai aktor politik ketika
situasi bangsa sedang krisis, setelah krisis berlalu kembali ke kampus dengan tugas utamanya adalah belajar. 68
Baiklah, kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Setelah menikmati kemenangan bersama naiknya rejim
Orde Baru – dimana banyak tokoh-tokoh gerakan duduk didalam birokrasi Orba, bisa kita sebut nama-nama Sarwono, Siswono, Akbar
62
ibid, hal.147.
63
ibid, hal.154.
64
ibid, hal 159.
65
Ibid, hal.273.
66
Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 184
67
Lihat tulisan Edwad Aspinal ,The Indonesia Student Uprising of 1998
68
John Maxwell, Soe Hok-Gie, Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani, Grafiti, Jakarta, hal. 298-9
11
Tanjung, Marie Muhammad – banyak ttokoh-tokoh KAMI yang muncul dalam foto-foto media massa memakai jas dan dasi sedang
bercakap-cakap dengan penjabat-pejabat negara ketika sedang tur ke lauar negeri 69. Masa-masa antara 1966-1971 merupakan masa-masa
“bulan madu” gerakan mahasiswa dengan Orba. Dilain pihak, pada periode ini sebetulnya sudah banyak muncul keraguan dari tokoh
gerakan ’66 terhadap kemampuan rejim baru (baca:Orde Baru) dalam mengubah situasi yang ada. Banyaknya pelanggaran ham yang
terjadi diberbagi tempat, usaha dari rejim baru untuk membangun aliansi dengan tokoh politik dan pengusaha besar yang mempunyai
koneksi pada era Soekarno, serta munculnya kembali slogan-slogan politik yang kosong dalam kehidupan masyarakat, merupakan bukti-
bukti bahwa rejim baru ini tidak ada bedanya dengan rejim sebelumnya dan mungkin lebih buruk. 70 Nasib 80.000 tahanan yang belum
diputuskan, pembantaian massal setelah peristiwa ’65 71, penangkapan-penangkapan terhadap aktivis demokrasi yang konsisten terjadi
kembali yaitu penangkapan terhadap Yap Thiam Hien –seorang pembela Dr. Subandrio. Ia ditangkap dengan tuduhan palsu bahwa telah
menyuap seorang komandan polisi senior dan jaksa penuntut ini. Penangkapan terhadap Yap ini kemudian menimbulkan reaksi dari
berbagai pihak baik itu rekan sesama pengacara, intelektual, editor surat kabar, dll. 72lewat Harian KAMI dan Mahasiswa Indonesia, Soe
Hok Gie menggambarkan keadaan paska runtuhnya Soekarno sebagai berikut:
“ Dewasa ini Pj. Presiden Soeharto masih tetap meruapakan tokoh yang popular di kampus-kampus, baik dikalangan
mahasiswa maupun dalam kalangan sarjana.

Tetapi frustasi sudah mulai tampak menyelimuti kampus-kampus. Terutama melihat pembantu-pembantu dan
menteri-menteri kabinet Ampera.

Cerita-cerita tentang menteri-menteri kabinet Ampera yang menambah koleksi istrinya mulai muncul. Tokoh-tokoh
Ibnu Sutowo, Alamsjah (yang sedang diserang oleh majalah mahasiswa Mimbar Demokrasi dan ditempel di kampus
UI), suhardiman, B.M. Diah. Achmad Tirtosudiro dengan BUL-nya dan tokoh-tokoh kecil-kecilan lain menambah
frustasi yang ada. “Apakah Pak Harto tidak tahu? Dan jika beliau telah tahu mengapa dibiarkan terus?” 73

Melihat perkembangan di atas, seklompok mahasiswa kembali bergerak untuk mengkritisi situasi yang ada. Masa “bulan madu”
ini mulai retak ketika Arief Budiman—kakak Soe Hok-Gie, dkk, mulai memprotes kebijaksanaan Orde Baru, misalnya dalam kasus
pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1973. Pembangunan ini menurut kelompok Arief Budiman tidak sesuai dengan
situasi Indonesia. Bagi mereka ini hanya merupakan proyek ambisius belaka. Akibat “pembangkangan” ini, Arief Budiman dijebloskan
ke dalam bui oleh rejim Orba. Sebelumnya Arief Budiman terkenal sebagai tokoh yang memproklamasikan “golongan putih”. Kemudian,
pada bulan Oktober 1973 para mahasiswa mengadakan aksi ke gedung DPR/MPR menyampaikan “Petisi 24 Oktober” 74. Isi petisi ini
mengkritisi kebijaksanaan pembangunan yang dianggap tidak populis, kebijaksaan pembangunan yang dijalankan pemerintah hanya
menguntungkan yang kaya. Perlawanan gerakan mahasiswa periode ini memang tidak meluas seperti halnya gerakan penumbangan
Soekarno, perlawanan hanya berpusat di Jakarta dan tidak didukung dengan aksi masa yang massif. Konsepsi gerakan Moral masih
dipakai dalam periode ini dimana kekuatan mahasiswa hanya terbatas memberikan kritik yang loyal kepada pemerintahan yang ada 75.
Setelah peristiwa diatas, gerakan mahasiswa baru bangkit kembali awal tahun 1974. Ketika itu mahasiswa memprotes masuknya
modal Jepang ke Indonesia. Kunjungan PM Jepang, Tanaka, di boikot dengan melakukan aksi massa besar-besaran di Jakarta. Hal inilah
yang mengakibatkan ibu kota lumpuh total. Saat itu gerakan mahasiswa melakukan rally dari kampus UI Salemba menuju kampus
Trisakti. Sementara rakyat “asyik” dengan aksinya sendiri, melakukan pembakaran terhadap mobil-mobil produk Jepang. Peristiwa ini
yang kemudian terkenal dengan Malapetaka 15 Januari “Malari”, kemudian muncullah nama-nama Hariman Siregar, Sjahrir, dll. Dari
data sejarah yang ada, gerakan mahasiswa yang membesar ini tidak lepas dari konflik elit waktu itu, ketika faksi jendral Soemitro dan Ali
Moertopo saling berebut kekuasaan.
Ada tiga pelajaran yang dapat kita ambil dari gerakan mahasiswa periode 1974. Pertama, gerakan ini kelihatan jelas melakukan
kolaborasi dengan militer, paling tidak pada detik-detik akhir menjelang meletusnya Malari. Soemitro, seorang jendral yang saat itu
menjabat Pangkokamtib, terlihat jelas aktif dalam aksi-aksi tersebut. Akibat peristiwa ini, gerakan mengalami kehancuran bersamaan
dengan hancurnya militer yang diajak berkolaborasi.
Kedua, gerakan mahasiswa masih elitis. Mahasiswa tidak mau bergabung bersama rakyat. Akibat gerakan yang elitis ini gerakan
tidak bisa memimpin massa-rakyat yang terlibat dalam gerakan tersebut, rakyat akhirnya melakukan kerusuhan. Ini selanjutnya yang
dijadikan legitimasi bagi rejim untuk menghentikan aksi-aksi mahsiswa dengan alasan telah mengganggu ketertiban umum, menciptakan
kekacauan.
Ketiga, secara geografis gerakan tidak meluas. Gerakan yang hanya membesar disatu titik mengakibatkan gerakan mudah untuk
dipatahkan. Kita lihat sendiri, ketika gerakan di Jakarta “dilumpuhkan”, perlawanan terhenti karena daerah-daerah lain tidak melakukan
perlawanan sama sekali.
Setelah 4 tahun peristiwa Malari, baru gerakan mahasiswa “bangun” kembali dari masa istirahat. Pada tahun 1978 ini aksi-aksi
mahasiswa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogya dan Surabaya. Aksi-aksi ini menolak pencalonan Soeharto menjadi
presiden kembali. Karena aksi-aksi semakin membesar dan mengancam kekuasan Soeharto, maka militer diperintahkan untuk
menghentikan aksi-aksi mahasiswa.
Kampus Istitut Teknologi Bandung (ITB) di kepung panser, mahasiswa membuat barikade dengan melakukan tidur di sepanjang
jalan Ganesa, aksi ini mampu bertahan beberapa minggu sebelum berhasil dibubarkan militer. Sementara di Yogyakarta, militer
menembaki aksi mahasiswa di Universitas Gajah Mada, mahasiswa di kejar-kejar sampai ke dalam kampus, peristiwa ini kemudian
terulang 20 tahun kemudian.
Memang akhirnya perlawanan mahasiswa dapat dilumpuhkan oleh rejim Orba, namun perlawanan ini setidaknya telah
memberikan pelajaran berharga bagi sejarah perlawanan di Indonesia. Apabila kita simak ada dua hal penting dalam gerakan mahasiswa
periode ini. Pertama, Gerakan periode ini setidaknya lebih maju dalam tuntutan politik – menolak pencalonan Soeharto – walaupun
belum sampai ke tahap mengkritisi sistem yang ada. Para mahasiswa saat itu melihat bahwa sosok Soehartolah yang menyebabkan
Indonesia kacau balau, maka solusinya Soeharto harus ditolak menjadi presiden.
….."hingga hanya 4 tahun kemudian, 1978, ada gerakan yang bisa dikatakan lebih maju programnya ketimbang
sebelumnya: gerakan mahasiswa yang tak mengerti sistim, namun cukup mengerti makna menolak kekuasaan
Suharto"…76
Gerakan waktu itu belum sadar, bahwa Soeharto telah membangun sistem birokrasi yang didukung oleh militer, sehingga ketika
posisi dia (Soeharto) terancam, Soeharto dapat mengerahkan orang-orang yang mengelilingnya. Dan ini benar terjadi. Secara birokrasi,
Soeharto menghancurkan kehidupan mahasiswa di kampus. Dia juga membuat peraturan yang mengekang kehidupan mahasiswa di
kampus. Soeharto juga mengerahkan militer untuk merepresi gerakan mahasiswa.

69
ibid, hal. 301
70
ibid, hal. 283
71
ibid, hal.339
72
ibid, hal.309-10.
73
Ibid, hal. 313.
74
Lihat Bonar Tigor N, Prisma, Juli 1996.
75
Op.cit
76
Wawancara Marlin, Link
12
Kedua, gerakan ’78 memang membesar di kota-kota seperti Bandung, Yogyakarta, tapi lemah di pusat ekonomi politik, Jakarta.
Hal ini memang berbeda dengan gerakan mahasiswa ’74 – di mana gerakan membesar di Jakarta tapi lemah di daerah-daerah – tapi yang
terjadi kemudian sama dengan gerakan ’74, gerakan tetap mudah dipatahkan.
Setelah “kemenangan tertunda” dari gerakan mahasiswa ‘78, pemerintahan Soeharto mengambil pelajaran dari peristiwa ini.
Rejim Soeharto berusaha “memenjarakan” mahasiswa agar tidak keluar dari kampus. Ketika Mendikbud dijabat oleh Doed Joesoef
dikeluarkan kebijaksanaan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kampus (BKK). Organisasi mahasiswa semacam
Dewan Mahasiswa dibubarkan, seluruh kegiatan mahasiswa dilarang berhubungan dengan kehidupan politik praktis.

VII
GM Dari Tahun 1978 Sampai Tahun 1997: Mencari Format Ideologi Baru.

Praktis sejak diberlakukan NKK/BKK, gerakan mahasiswa “tertidur”. Kebijaksanaan NKK/BKK ini kemudian lebih diperketat
lagi. Ketika Mendikbud dijabat oleh Nugroho Notosusanto, pemerintah memberlakukan transpolitisasi yaitu ketika mahasiswa ingin
berpolitik, mahasiswa harus disalurkan melalui organisasi politik resmi macam Senat, BEM, dll, diluar itu dianggap ilegal. Dalam kurun
waktu ini juga diberlakukan Sistem Kredit Semester (SKS), sehingga aktivitas mahasiswa dipacu hanya untuk cepat selesai studi/kuliah
dan meraih IP yang tinggi. Inilah hal-hal yang membuat mahasiswa semakin mengalami depolitisasi dan semakin terasing dari
lingkungannya.
Demoralisasi. Bisa dikatakan demikian. Kembali ke dunia akademik --mengajar, berbangku kuliah lagi,
belajar ke luar negeri, -- membentuk NGOs (perlu diketahui saja pada tahun 1982 sudah ada ribuan NGO), berbisnis,
berkolaborasi dengan rejim dan sebagainya. Lahirlah bayi-bayi kiri yang dicampakkan ibunya pada usia muda: NGO
menjajakan kemanusiaan borjuis-kecil --mengemis reformasi ekonomi-politik pada rejim diktator/korup, bahkan ada
yang masih bermimpi membangun pulau impian di tengah modal raksasa-- kaum sekolahan yang baru pulang belajar
dari luar negeri mengajarkan --di tengah kemampuan bahasa Inggris kaum muda yang menyedihkan-- teori-teori
baru sosial-demokrasi, neo-marxis, new-left….77

Ada dua kecenderungan yang muncul kemudian. Pertama, kembali kepada gerakan awal 1900: munculnya kembali kelompok-
kelopok diskusi. Kehadiran kelompok-kelompok diskusi inipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, karena apabila diketahui oleh
rejim bisa berakibat fatal. Kita dapat melihat nasib yang menimpa Bonar Tigor Naipospos, Bambang Isti Nugroho 78 dari kelompok diskusi
Palagan yang dipenjara hanya karena memperjualbelikan buku Pramoedya Ananta Toer. Rejim memang tidak ambil peduli kepada
siapapun yang akan kembali mengusik ketenangannya. Marlin menggambarkan sebagai berikut:
…. (kebanyakan mahasiswa) mencerahkan sel-sel otaknya dalam kelompok-kelompok studi untuk menemukan
makna demokrasi (walau sering tak bisa menerima sifat blak-blakannya), makna egalitarian (walau tak bisa
menerima radikalisme dalam mewujudkannya). Semua nilai-nilai budaya baru itu diserap dan dimuntahkan dalam
dunia bacaan --betapa militannya mereka (yang bisa berbahasa Ingris) mencari buku-buku langka yang baru…..79

Kedua, mereka yang “melarikan” ke luar negeri setelah represi 1978 membawa ide-ide kiri baru (New Left). Teori-teori yang
sebetulnya sudah usang ini diterapkan dengan apa adanya, “seperti halnya anak kecil yang baru melihat hal yang baru, ditiru begitu saja”.
Ditengah rasa demoralisasi, mereka mengatakan metode perjuangan harus diubah, perjungan harus melalui “pemberdayaan” rakyat. Maka
dalam kurun waktu itu beratus-ratus LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) didirikan. Tapi dalam kenyataanya, LSM ini hanya dijadikan
kedok untuk memperoleh kekayaan pribadi dengan membuat proposal dengan kata-kata indah, “memperjuangkan” rakyat miskin.
Ada baiknya kita bahas secara singkat kemunculan organisasi LSM karena bagaimanapun berpengaruh kepada gerakan
mahasiswa sampai saat ini. Berbarengan dengan terjadinya represi terhadap gerakan mahasiswa 1978, Barat yang merupakan pusat dari
kapitalisme mulai menyadari bahwa kebijaksanaan mereka mulai menimbulkan keresahan sosial. Keadaan ini tentunya tidak dapat
dibiarkan karena apabila dibiarkan bisa menjadi picu ledak bagi perlawanan rakyat. Maka mulailah disiapkan dana untuk membangun
organisasi-organisasi yang seolah-olah anti negara, berasal dari arus bawah, 80. Organisasi inilah yang dipakai untuk masuk ke daerah-
daerah “api” dan kemudian digunakan untuk menjaga “api” tersebut supaya tidak membesar. Organisasi ini juga digunakan untuk
mendemoralisasi perlawanan rakyat. Lembaga-Lembaga Swadaya Masyarakat ini mempunyai hubungan simbiosis mutualisme dengan
kapitalis internasional. Kapitalis butuh LSM untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sedangkan LSM butuh dana kapitalis untuk
memperbesar “perut” mereka. Sampai saat ini menjadi anggota LSM adalah kecenderungan mantan aktivis mahasiswa yang sudah selesai
kuliah. Ini terjadi karena perspektif ideologi mereka lemah – setelah selesai studi di universitas berarti sudah tidak pantas lagi terlibat aktif
dalam gerakan mahasiswa – padahal apabila mereka mempunyai kesadaran ideologis, tentu akan bergabung dengan organisasi
revolusioner.
Baiklah kita lanjutkan perjalanan gerakan mahasiswa periode ini. Walau bagaimanapun ketatnya rejim berusaha “memagari”
gerak mahasiswa, lambat laun mahasiswa bisa lepas juga dari kungkungan yang ada. Perlahan namun pasti, mahasiswa yang mempunyai
kesadaran politis, keluar dari “ruang-ruang” diskusi dan kembali mulai turun ke jalan. Seperti yang dijelaskan diatas, gerakan mahasiswa
mengambil strategi “melingkar”, melakukan aksi-aksi advoksi terhadap kasus-kasus rakyat, hal ini mengingat depolitisasi kampus yang
amat kronis. Gerakan mahasiswa mencoba menyadarkan mayoritas mahasiswa yang terkena trauma dan mengalami depolitisasi dengan
menunjukkan realitas-realitas yang ada di masyarakat, bahwa penindasan, pelanggaran HAM, kesewenang-wenangan dilakukan oleh
penguasa. Memang dalam kurun waktu ini banyak kasus-kasus seperti penghapusan becak dan angling darmo, pengusuran tanah, masalah
perburuhan, pem-PHK-an yang kesemuanya tanpa perlawanan pihak yang ditindas.
Strategi “melingkar” ini memang berhasil – walupun tidak maksimal, seperti yang dijelaskan diatas, kampus tidak mampu untuk
diliberalisasikan -- mengusik hati para mahasiswa yang masih ada di dalam kampus untuk kembali terlibat dalam gerakan-gerakan
mengkritisi, menentang kebijaksanaan penguasa. Awal-awal 1990 mulai muncullah organisasi mahasiswa “ilegal” bagi rejim. Ini
merupakan perkembangan dari organisasi-organisasi bentukan gerakan mahasiswa akhir 1986–1990, yang berupa komite-komite aksi.
Gerakan mahasiswa mencoba melakukan konsolidasi ditingkat nasional dan mulai mempermanenkan organ yang ada. Di Yogyakarta
muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY), di Surabaya muncul Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya (FKMS), di
Manado lahir Forum Komunikasi Mahasiswa Manado (FKMM), dan organ-organ lain di Jakarta, Bandung, Solo, Semarang.
Dalam priode di atasi, pers mahasiswa juga memberikan sumbangan yang cukup besar dalam menumbuhkan semangat
demokratisasi. Ditengah membeonya pers-pers umum, pers mahasiswa berani muncul sebagai pers alternatif dalam melihat kondisi yang
terjadi di Indonesia. Kritik-kritik pedas dan bahkan dilakukan secara terus terang terhadap rejim Soeharto seringkali membuat gerah
pengguasa, sehingga banyak pers-pers mahasiswa yang ditutup oleh penguasa lewat tangan rektorat.
Sejak munculnya organisasi-organisasi diatas, gerakan mahasiswa semakin menguat. Aksi-aksi mahasiswa mulai membesar
kembali, energi perlawanan mahasiswa timbul kembali. Di Yogyakarta pertengahan tahun 1992, 12 ribu mahasiswa Universitas Gajah
Mada dan universitas lain di Yogya didampingi rektor UGM -- Prof. Koesnadi Harjosoemantri -- melakukan rally dari kampus UGM
menuju DPRD I Yogyakarta, memprotes diberlakukanya Undang-undang Lalu Lintas No. 14/1992. Tahun 1993 ribuan mahasiswa –
77
ibid
78
Bambang Isti Nugroho, seorang droup-out kelas 3 SMA, yang kemudian bekerja di fakultas MIPA UGM. Dia diadili karena memperdagangkan buku-
buku Pramoedya Ananta Toer dan menyimpan buku-buku Pram, Marxim Gorky, Frans Magnis Suseno.
79
Wawancara Marlin, LINK
80
Lihat James Petras, Kritik Terhadap Kaum Post Marxis, LINK.
13
mayoritas mahasiswa Islam – menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut SDSB dihapuskan. Menteri Sosial waktu itu, Inten Soeweno,
dengan menitikkan air mata mencabut pemberlakuan SDSB di depan anggota DPR sementara diluar gedung, ribuan mahasiswa terus
menjalankan aksinya.
Satu tahun kemudian, mahasiswa diberbagai daerah memprotes dibredelnya Tempo, Detik, dan Editor. Beberapa aksi direpresif
oleh militer, seperti yang terjadi di Jakarta. Namun demikian aksi-aksi mahasiswa terus berlanjut. Tahun 1996, tepatnya bulan April, di
Ujung Pandang, mahasiswa yang memprotes kebijaksanaan kenaikan tarif transportasi ditembaki oleh militer, sekitar 7 mahasiswa tewas
dalam insiden tersebut. Aksi ini telah menimbulkan solidaritas di kalangan mahasiswa lain di berbagai daerah, seperti Jakarta, Surabaya,
Lampung, Yogyakarta, Solo, Semarang, bahkan di Yogyakarta sempat terjadi bentrokan dengan militer.
Secara organisasi, gerakan mahasiswa juga mengalami proses kemajuan, konsolidasi didalam dan diluar kampus mulai dilakukan
dan dibentuk organ mahasiswa nasional. Pada bulan Agustus 1994, dideklarasikan organ mahasiswa nasional, Solidaritas Mahasiswa
Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Sejak berdirinya, organ ini merupakan momentum bagi gerakan mahasiswa Indonesia untuk
kembali menjadi gerakan politik. Ini dapat kita lihat dari program-program SMID seperti menuntut di cabutnya Dwi Fungsi ABRI dan
paket 5 UU Politik 1985, yang merupakan pondasi dari rejim Soeharto 81. Dan sejak saat ini aksi massa “dikukuhkan” menjadi metode
perjuangan gerakan mahasiswa. Dalam perkembanganya SMID kemudian berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Periode
1994 dapat dikatakan merupakan masa keterbukaan politik dan merupakan kemajuan penting dalam gerakan perlawanan rakyat.
Kemajuan-kemajuan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Sentimen anti kediktoran rejim Orde Baru Soeharto mulai meluas.


2. Keberanian rakyat untuk mempertahankan hak-haknya semakin tumbuh.
3. Jaringan dan wadah-wadah perlawanan mulai dibentuk diberbagai tempat dan sektor masyarakat.
4. Watak kerakyatan dalam perlawanan demokratik mulai muncul sebagai pendorong utama untuk memaksakan
keterbukaan dengan mulai terangkatnya isu perburuhan dan tani (pertanahan).
5. Unsur-unsur demokratik dan kerakyatan dalam perlawanan telah mampu berkembang dan berdiri di garda
depan, baik dalam skala sektoral maupun wilayah tertentu.82
Sementara di dalam kampus mulai dibentuk organ mahasiswa sektor kampus. Sebelumnya selama kurun waktu 1979-1995
hanya ada lembaga mahasiswa formal yang diakui oleh pemerintah, yaitu Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Tahun 1995 mulai
dirintis berdirnya kembali Dewan Mahasiswa (Dema), yang sejak diberlakukannya NKK/BKK dimatikan keberadaannya. Maka
muncullah Dema UGM, Dema UI, Dema USD. Namun sebelum konsolidasi ini selesai, meletuslah peristiwa 27 Juli 1996. Setelah
“Peristiwa Sabtu Kelabu”, rejim Soeharto memburu-buru aktivis mahasiswa radikal dan aktivis PRD yang difitnah sebagai dalang
peristiwa tersebut. Dalam kurun waktu 1996-akhir 1997, dapat dikatakan gerakan mahasiswa tiarap. Kalaupun ada aksi, hanya sebatas
dilakukan oleh kelompok-kelompok mahasiswa radikal dengan kembali memakai komite aksi yang bersifat “musiman” untuk terus
melakukan perlawanan.

VIII
Gerakan Mahasiswa 1998—Mereka yang Merobohkan Simbol Kediktatoran

V.1. Keberhasilan Menggulingkan Simbol Keditatoran


Sejak September 1997 krisis ekonomi global ikut menyapu Indonesia, nilai rupiah melemah terhadap dolar AS, harga-harga
barang kebutuhan pokok mulai merangkak naik, banyak perusahaan yang gulung tikar akibatnya banyak buruh yang ter-PHK. Dampak ini
secara langsung juga menimpa mahasiswa, terutama mahasiswa perantauan, harga makanan melonjak, kertas naik, belum lagi orang
tuanya yang di PHK atau perusahaan mereka yang bangkrut.
Dari kondisi seperti ini, aksi-aksi mahasiswa mulai marak kembali, dengan tuntutan-tuntutan ekonomis, seperti turunkan harga.
Akan tetapi kelompok mahasiswa radikal yang masih minoritas secara kuantitatif tetap melancarkan tuntutan politik, seperti suksesi
kepemimpinan nasional, pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Secara perlahan, bersamaan dengan krisis ekonomi yang semakin memuncak,
usaha-usaha kelompok radikal untuk menarik dari kesadaran “ekonomis” menjadi kesadaran politik mulai berhasil. Aksi-aksi mahasiswa
yang semakin membesar mulai meneriakkan tuntutan politik, meminta Soeharto turun. Ini merupakan sejarah maju dalam gerakan
mahasiswa di Indonesia. Tuntutan yang selama ini “diharamkan” tidak ditabukan lagi. Seperti halnya dalam tulisan Aspinal tentang
tuntutan mahasiswa yang semakin politis:
Tipe demostrasi mahasiswa merupakan reduksi dari naiknya harga barang, menuntut dihapuskannya korupsi, kolusi dan
nepostisme, dan menuntut reformasi. Dari awal kebanyakan protes secara ekplisit menuntut Soeharto turun dari jabatan
sebagai presiden ( sebuah ekpresi dari sentimen ini dapat dilihat pembakaran gambar Soeharto pada sebuah aksi di
Universitas Gadjah Mada pada tanggal 11 Maret).83

Dalam kurun waktu awal Februari sampai Mei 1998, secara kuantitatif dan kualitatif gerakan mahasiswa naik secara dratis,
dengan tuntutan yang sudah politis. Di kampus UI, Depok, dari tanggal 19-26 Maret terjadi aksi besar yang hampir menyamai aksi di
tahun 1966 84. Pada hari terakhir Sidang Umum MPR 1998, di Yogyakarta, sebuah patung raksasa berwajah Soeharto dibakar oleh para
demonstran, sekitar 50 ribu mahasiswa memenuhi Balairung UGM dalam aksi tersebut. Pada hari yang sama juga terjadi aksi-aksi di Solo,
Surabaya, Malang, Manado, Ujung Pandang, Denpasar, Padang, Purwokerto, Kudus 85.
Dalam perkembangannya aksi-aksi mahasiswa semakin radikal. Diberbagai wilayah terjadi bentrokan antara demostran dengan
militer. Di Universitas Sebelas Maret Surakarta dan di kampus Universitas Lampung, pada tanggal 17 Maret 1998 terjadi bentrokan antara
mahasiswa-- yang ingin melanjutkan rally keluar kampus-- dengan militer. Sementara di Yogyakarta, tanggal 2 - 3 April bentrokan terjadi
di Boulevard UGM dan bentrokan berulang pada tanggal 13 April ketika demonstran dikejar-kejar dan ditembaki oleh militer sampai ke
dalam kampus. Hampir 8 jam kampus UGM dikusai oleh militer. Di Medan juga terjadi bentrokan serupa, dalam aksi tanggal 24 April
demosntran melempari militer dengan molotov, akibatnya kampus Universitas Sumatera Utara (USU) diliburkan beberapa hari. Pada
bulan Mei aksi-aksi mahsiswa semakin bertambah banyak, kampus-kampus yang selama ini apolitis ikut terlibat dalam aksi-aksi.
Peristiwa paling tragis terjadi tanggal 12 Mei ketika terjadi aksi di Universitas Trisakti, Jakarta, 6 mahasiswa gugur diterjang peluru
militer. Peristiwa ini kemudian menyulut perlawanan dari sektor rakyat lain, tanggal 13-14 Mei Jakarta lumpuh total dengan adanya
kerusuhan masal. Sementara pada peringatan Hari Pendidikan Nasional, tanggal 2 Mei, terjadi bentrokan di Jakarta, Medan, Yogyakarta,
Jember, Malang dan beberapa kota lain86. Antara tanggal 1 Maret sampai 2 Mei tercatat 14 bentrokan antara mahasiswa dan militer yang
terjadi di Jawa, Sumatera, Bali dan Lombok 87. Ketika hari-hari terakhir Soeharto akan “lengser”, gedung DPR/MPR dikuasai mahasiswa,
ratusan ribu mahasiswa menggelar mimbar bebas di gedung tersebut. Sementara di Yogyakarta, sehari sebelum Soeharto turun, sekitar
satu juta rakyat – yang dipelopori mahasiswa Yogyakarta -- memenuhi alun-alun Utara, menuntut Soeharto mundur.

81
Demi Demokrasi, Partai Rakyat Demokratik Menolak Takluk, PRD, 1999.
82
Ibid
83
The Indonesia Student Uprising of 1998, Edwad Aspinal .
84
Ibid
85
Ibid
86
Ibid
87
Ibid
14
Masa-masa ini merupakan masa-masa yang revolusioner bagi gerakan mahasiswa. Aksi-aksi mahasiswa dibeberapa tempat
bahkan sudah menguasai RRI seperti yang terjadi di Surabaya, Semarang, Padang. Sementara di Medan, mahasiswa menguasai bandar
udara. Dapat dikatakan aktivitas penerbangan, terutama penerbangan internasional, lumpuh total. Dalam kurun waktu ini juga
bermunculan beratus-ratus komite mahasiswa, besar maupun kecil. Namun sayangnya gerakan yang sudah membesar ini hanya mampu
menghasilkan pengalihan jabatan presiden dari Soeharto ke Habibie. Kelemahan-kelemahan apa yang menyebabkan gerakan mahasiswa
gagal melakukan perubahan total, nanti akan kita bahas lebih lanjut.
Kita lanjutkan proses sejarah gerakan mahasiswa ’98. Setelah berhasil “melengserkan” Soeharto, secara kualitatif dan kuantitatif
gerakan mahasiswa menurun, hampir 6 bulan gerakan seperti tenggelam tertelan tanah. Gerakan kembali bangkit mendekati Sidang
Istimewa MPR, pertengahan Nopember. Pada tanggal 13-14 Nopember 1998 aksi besar-besaran terjadi di Jakarta. Sekitar satu juta
mahasiswa dan rakyat berkumpul didepan kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Mereka akan melakukan rally ke gedung DPR/MPR.
Kemudian meletuslah insiden Semanggi, ketika mahasiswa yang akan meninggalkan Universitas Atma Jaya ditembaki oleh militer,
korban kembali berjatuhan. Gerakan kali ini disokong penuh oleh rakyat – disamping rakyat terlibat aktif dalam aksi-aksi, ikut membuat
barikade, mengejar pamswakarsa, juga memberikan bantuan logistik --, kerusuhan seperti Mei tidak terjadi karena mahasiswa berhasil
memimpin. Gerakan tidak hanya terjadi di Jakarta, dibeberapa daerah seperti Yogyakarta, markas militer seperti Korem sempat dikuasai
mahasiswa selama beberapa jam, sementara di tempat lain mahasiswa berhasil memaksa RRI menyiarkan tuntutan-tuntutan mereka.
Represi memang hanya terjadi di Jakarta, sedangkan gerakan di daerah tidak mengalami represi, secara kualitatif dan kuantitatif gerakan
di daerah juga tidak membesar seperti di bulan Mei ’98. Kembali tuntutan mahasiswa seperti cabut Dwi Fungsi ABRI, Tolak SI dan
pemerintahan transisi belum berhasil digolkan.

V.2. Massa Habibie


2.1. Menguatnya Kesadaran Anti Militerisme
Sejak Nopember 1998 sampai Juli 1999 praktis gerakan mahasiswa mati, bahkan momentum pemilu dilewatkan dengan “manis”.
Memasuki akhir Juli, tepatnya ketika peringatan 27 Juli, gerakan mahasiswa mulai bangkit kembali. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya,
Solo, Yogyakarta, Bandung, Tasik, Purwokerto juga melakukan aksi, dan di beberapa daerah bisa membangun front yang luas. Aksi besar
kembali muncul ketika peringatan 17 Agustus. Aksi-aksi kembali terjadi diberbagai kota.
Aksi ini semakin membesar ketika militer kembali ingin menancapkan kekuasaannya dengan mengajukan RUU PKB. RUU
yang jelas antidemokratis ini disambut dengan aksi-aksi penolakan yang hebat. Aksi-aksi ini dilakukan bukan hanya oleh mahasiswa dan
LSM-LSM, tapi juga rakyat . Terbukti aksi tanggal 23 September berhasil menggerakkan kaum miskin kota untuk melawan militerisme
dengan melakukan aksi penyerangan terhadap tentara yang sedang menghadang aksi mahasiswa. Mereka melempari tentara dengan
molotov dan membuat barikade-barikade. Mahasiswa , disisi lain, hanya dapat bertahan di kampus Atma Jaya dan tidak dapat memimpin
massa. Sementara aksi penolakan terhadap RUU PKB tidak hanya berlangsung di Jakarta, takpi juga di daerah-daerah. Bahkan di
Palembang dan Lampung, aksi ini meminta korban nyawa 3 mahasiswa. Aksi anti militerisme ini diikuti aksi-aksi yang lebih hebat
seiring diadakannya Sidang Umum MPR pada bulan Oktober ini. Aksi-aksi mahasiswa dan rakyat membawa isu penolakan
pertanggungjawaban Habibie dan pencabutan Dwi Fungsi TNI. Kembali terjadi bentrokan dengan militer pada hari Jumat, 15 Oktober.
Ada pelajaran yang dapat diambil dari gerakan mahasiswa 1998 sehingga gagal menuntaskan revolusi demokratik. Pertama,
lemah dalam ideologi. Dari basis historis, gerakan mahasiswa ’98 muncul karena adanya krisis ekonomi. Mahasiswa bergerak karena
harga kebutuhan pokok naik, kost-kostsan menjadi mahal, orang tua mereka terkena PHK. Keadaan ini secara langsung berdampak bagi
mahasiswa. Maka tidak heran kalau sebagian besar mahasiswa “baik-baik”, mahasiswa generasi “dingdong” ini ikut turun kejalan.
Kesadaran “ekonomis” ini kemudian berhasil dibawa ke kesadaran politik. Injeksi kesadaran ini dilakukan oleh beberapa kelompok
radikal – kelompok ini sejak tragedi 27 Juli 1996 tetap melakukan perlawanan dan mengangkat isyu-isyu politik – tapi injeksi inipun tidak
tuntas. Karena tidak didukung oleh kesadaran ideologis. Ketika “trend” gerakan menurun maka aktivitas gerakanpun juga menurun. Hal
ini terjadi seiring dengan menurunnya kuantitas mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi .
Ini berbeda dengan gerakan ‘90-an, dimana gerakan berawal dari kelompok-kelompok diskusi. Dari diskusi-diskusi yang mereka
lakukan, mahasiswa menjadi sadar tentang apa yang harus dilakukan, bahwa sistem korup inilah yang menyebabkan negara berada dalam
puncak krisis. Karena didukung kesadaran ideologis maka kontinuitas gerakan lebih bisa terjaga. Disamping itu perdebatan-perdebatan
teoritikpun terjadi secara dinamis, sehingga selalu timbul perspektif-perspektif dan inisiatif-inisiatif baru.
Kedua, akibat kelemahan ideologi-teori juga berakibat kelemahan strategi taktik. Gerakan menjadi kaku dalam
menghadapi gerak sejarah, tidak luwes dalam menghadapi perubahan situasi nasional. Akibatnya banyak momentum-
momentum yang seharusnya dimanfaatkan dilewatkan begitu saja. Momentum pemilu yang seharusnya merupakan kesempatan
“berbicara kepada rakyat”, kesempatan untuk menyadarkan rakyat yang terilusi, terlewat begitu saja.. Akibat kekakuan dalam
menerapkan stratag dan “ketidakcerdasan” dalam memanfaatkan setiap celah yang ada, lama kelaman gerakan menjadi mati,
aksi-aksi tidak ada lagi dengan begitu konsolidasi menjadi lemah.
Ketiga, sektarianisme gerakan. Dapat kita lihat sendiri gerakan masih terpecah-pecah sampai saat ini. Walupun gerakan bisa
membesar, hal ini lebih disebabkan oleh momentum dan isu yang sama. Ini akan jelas apabila kita melihat data aksi mahasiswa 28
Oktober 1998 berikut ini.

Daerah Jumlah Tuntutan


Jakarta 14.000 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan
transisi
 Adili Soeharto
Bandung 3.500 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan
transisi
 Adili Soeharto
Yogyakarta 1.300 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Ganti Habibie dengan presidium pemerintahan
transisi
 Adili Soeharto
Semarang 2.000 orang  Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Percepat Pemilu
 Adili Soeharto c.s
 Cabut Tap. Soeharto/Habibie sebagai presiden
dan wapres
Surabaya 1.100 orang  Tolak SI
15
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Pertagungjawaban Soeharto
Bandar Lampung 300 orang  Tolak SI
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s
Palembang 700 orang  SI untuk ganti Habibie dengan presidium
pemerintahan transisi
 Percepat Pemilu
 Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s
Manado 500 orang  Cabut Dwi Fungsi ABRI
 Adili Soeharto c.s
Tabel : Jumlah mahasiswa yang berlawan

Dari data diatas jelas adanya tuntutan yang sama – tolak SI, cabut Dwi Fungsi ABRI, adili Soeharto – dan adanya satu momentum
– hari Sumpah Pemuda, 28 Okotober –yang menyebabkan gerakan membesar dan meluas. Bukan pula karena adanya front diantara
organisasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tetaplah terpecah-pecah. Memang telah dilakukan usaha untuk membangun front,
misalnya Rembuk Mahasiswa Nasional Indonesia (RMNI) di Bali dan Surabaya, tapi ini tidak lebih sebagai ajang romantisme dan saling
mengklaim bahwa kelompok merekalah yang paling berjasa. Mungkin kelahiran Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMND)
dapat menghilangkan watak sektarianisme dan bisa membangun front yang sesungguhnya.
Sektarianisme juga menyebabkan gerakan menjadi elitis, tidak mau bergabung dengan sektor rakyat lainya. Akibatnya, pertama,
rakyat yang berperan aktif dalam demonstrasi-demonstrasi tidak terpimpin, tidak heran kalau massa-rakyat melakukan pengrusakan toko-
toko etnis minoritas, jalan tol dan fasilitas umum lainya. Kedua, kekuatan mahasiswa dan massa rakyat yang seharusnya bersatu menjadi
terpecah belah. Banyak diantara organisasi mahasiswa yang masih termakan propaganda militer, apabila aksi mahasiswa bergabung
dengan sektor rakyat lainnya akan menimbulkan kerusuhan. Kesalahan-kesalahan seperti ini tetap terulang dan terjadi juga pada gerakan-
gerakan mahasiswa sebelumnya.
Keempat, tidak adanya organ nasional. Apa yang ada saat ini, semisal FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia) atau LMND
(Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) 88, hanyalah sebatas jaringan antar organ-organ mahasiswa di kota-kota atau sebatas front.
Dapat dikatakan setelah SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) “dihancurkan” setelah peristiwa 27 Juli 1999, belum
ada organ nasional yang terbentuk.
Akibat tidak adanya organ nasional ini, berdampak pada tidak adanya kesatuan aksi diantara gerakan mahasiswa yang ada.
Masing-masing gerakan berjalan sendiri-sendiri – baik tuntutan maupun strategi taktik. Tidak adanya kesatuan aksi, jelas sekali
mengakibatkan gerakan menjadi terfragmentasi, tidak jelas apa yang sebenarnya akan dituju. Akibat selanjutnya, disamping gerakan
menjadi lemah juga membingungkan massa rakyat sendiri. Kita ambil contoh sikap gerakan mahasiswa yang terpecah-pecah dalam
menghadapi momentum pemilu 1999.
Dalam menghadapi pemilu ini, gerakan mahasiswa terbagi menjadi dua kelompok yang kesemuanya mempunyai argumen
masing-masing. Kelompok pertama menerima pemilu. Pemilu, menurut mereka, merupakan jalan terbaik untuk memperbaiki situasi
yang telah ada. Kelompok mahasiswa ini kemudian bergabung dengan pemantau pemilu yang menjamur menjelang Pemilu bulan Juni
1999, seperti Unfrel, Forum Rektor, KIPP. Kelompok kedua, tidak setuju dengan proses pemilu. Pemilu tidak akan menyelesaikan
masalah dan pasti tidak berjalan dengan jurdil karena masih dilaksanakan oleh sisa-sisa rejim Orba. Maka pemilu harus ditolak.
Kelompok ini kemudian terbelah menjadi dua, membiarkan momentum pemilu berjalan begitu saja, karena apabila terlibat dalam
momentum pemilu dianggap ikut melegitimasi pelaksanaannya. Sementara kelompok lain yang tidak percaya pemilu, melakukan aksi-
aksi massa untuk menolak pemilu yang diselenggarakan rejim Habibie. Rakyat sendiri menghendaki mahasiswa paling tidak menfokuskan
tuntutannya. Berdasarkan “jajak pendapat” yang dilakukan majalah Tempo, 65% menghendaki hal itu dan 60% menghendaki mahasiswa
berkoalisi dengan kelompok lain .
Kelima, lemah dalam basis massa. Seperti yang sudah dibahas diatas, sebagian besar mahasiswa yang bergabung dalam
gerakan mahasiswa ’98 adalah akibat “trend” yang ada. Tidak heran kalau massa yang ada bukanlah massa yang terorganisir
melainkan massa yang termobilisasi. Hal ini berakibat melemahnya basis massa sejalan dengan dengan melemahnya trend
gerakan. Sementara itu organ-organ mahasiswa yang ada tidak mengantisipasi hal ini, tidak cepat melakukan konsolidasi
terhadap massa yang masih cair, dan tidak segara mengadakan pendidikan-pendidikan ideologi teori. Aktivitas aktivis
mahasiswa hanya berkutat di sekitar aksi dan pergi ke kota satu ke kota lain dengan alasan konsolidasi. Sementara kampus
yang “melahirkan” mereka dan disanalah sebetulnya basis mereka, ditinggal begitu saja. Akibatnya, gerakan menjadi tidak
populis diantara mahasiswa sendiri. Tidak heran kalau sampai saat ini banyak sekali organisasi mahasiswa yang hanya papan
nama belaka.
Keenam, ini sebetulnya bukan kesalahan gerakan mahasiswa semata, tapi kesalahan kekuatan radikal secara umum, yaitu tidak
adanya partai pelopor yang sanggup memimpin. Situasi periode Februari sampai Mei adalah situasi yang “revolusioner”, keadaan ini bisa
berubah setiap detik – orang sebelumnya apolitik saat itu berbicara politik, ratusan komite-komite perlawanan terbangun. Tapi karena
tidak ada satu kekuatanpun yang mampu memimpin, situasi ini dapat dikatakan tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat-saat seperti ini
dibutuhkan satu peranan dari partai pelopor untuk memimpin pengambilalihan kekuasaan. Ini sekali lagi hanya bisa dilakukan oleh partai
pelopor, tidak oleh komite-komite aksi.
Kita dapat melihat kelemahan ini dalam peristiwa Mei ’68 di Prancis. Situasi Mei ’98 di Indonesia mirip dengan situasi di
Prancis pada bulan yang sama tahun 1968. Ketika itu di Prancis ratusan mahasiswa turun ke jalan-jalan dan gerakan ini kemudian mampu

88
Sejarah kelahiran LMND, dimabil dari pamflet yang dikeluarkan organisasi ini:
“Sejak jatuhnya suharto, beberapa komite aksi menyadari kebutuhan sebuah organisasi perjuangan yang bergerak secara nasional
menyatukan perlawanan mahasiswa bersama rakyat secara sistematis dan terprogram. Komite-komite aksi tersebut, terdiri dari 11
buah termasuk dari Timor Leste, kemudian mendirikan Front Nasional untuk Reformasi Total (FNRT) di pertengahan Mei 1998.
Namun usia Front tidaklah panjang. Dii pertengahan 1998 FNRT bubar ditengah Kelesuan dan kebimbangan gerakan, meski
komite-komite yang bergabung didalamnya mencoba membentuk lagi sebuah organisasi nasional bernama Alansi Demokratik
(ALDEM) pada Agustus 1998. Mereka juga telah berhasil menerbitkan sebuah majalah “ALDEM”satu kali dan menggalang
sebuah aksi nasional pada tanggal 14 September 1998 dengan isu Cabut Dwi Fungsi ABRI. Namun nasibnya tak jauh berbeda
dengan FNRT, tenggelam di tengah hiruk pikuk gerakan menjelang Sidang Istimewa MPR 1998.
Upaya berikutnya adalah pembentukan Front Nasional untuk Demokrasi (FONDASI) pada pertengahan Februari1999.
Buntunya RMNI II di Surabaya dalam persoalan pengambilan momentum Pemilu Juni 1999, memaksa Fondasi untuk
mengundang berbagai komirte aksi untuk hadir dalam Konggres Mahasiswa di Bogor pada 9-12 Juli 1999.Dari 20 komite aksi
yang berasal dari berbagai kota di Indonesia, 19 diantaranya sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi nasional demi
terwujudnya kesatuan perjuangan gerakan secara nasional. Organisasi tersebut bernama Liga Mahasiswa Nasional Untuk
Demokrasi disingkat LMND. Kongres I tersebut juga menyatakan bahwa Perjuangan LMND adalah bagian dari Perjuangan
rakyat Indonesia dalam rangka menghancurkan sistem yang anti demokrasi dan mewujudkan masyarakat yang demokratis dan
berkeadilan sosial. Tujuan itu juga dinyatakan dalam ideologi organisasi yang disebut demokrasi kerakyatan, yang secara teori
dan praktek berpihak kepada mayoritas raakyat, yaitu kaum buruh ,tani dan kaum miskin kota”.

16
memobilisasi kelas pekerja untuk melakukan pemogokan, bahkan sekitar 15 pabrik sudah berhasil direbut. Puncak dari “revolusi” ini:
kampus-kampus bisa dikuasai mahasiswa, sekitar 10 juta buruh melancarkan aksi pemogokan nasional. Presiden De Gaulle sudah
melarikan diri ke Jerman Barat. Kesempatan ini ternyata disia-siakan oleh kekuatan radikal. Bedanya kalau di Indonesia belum ada partai
pelopor – kalaupun ada belum bisa bergerak bebas -- akan tetapi di Prancis partai pelopor itu sudah ada, tapi mereka malah
“bersembunyi” ketika situasi sedang revolusioner.
Disamping kelemahan-kelemahan diatas, ada juga kelebihan-kelebihan gerakan mahasiswa ’98 dibanding gerakan mahasiswa
sebelumnya. Pertama, sikap tegas terhadap militerisme. Sikap gerakan mahasiswa '98 terhadap militer tidak ada kompromi, sejak awal
mahasiswa menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI. Sikap tegas ini membawa gerakan mengambil sikap tegas dan tidak melakukan
kolaborasi dengan militer. Ini tentunya berbeda dengan gerakan mahasiswa sebelumnya. Gerakan mahasiswa ’66 jelas melakukan
kerjasama dengan militer, begitu juga gerakan mahasiswa ’74. Gerakan mahasiswa ’78 walaupun tidak melakukan kolaborasi dengan
militer tapi mengambil sikap tidak tegas terhadap militerisme. Rupanya gerakan mahasiswa ’98 telah belajar dari kesalahan para
pendahulu mereka. Ini tidak lepas dari pengaruh gerakan anti militerisme yang sudah dilontarkan kelompok-kelompok radikal sejak ‘90-
an.
Kedua, gerakan mahasiswa ’98 – pada tahap awalnya -- bisa menyebar hampir ke seluruh kota-kota di Indonesia. Dapat
dikatakan, gerakan ’98 merupakan gerakan terbesar setelah gerakan mahasiswa ’66. Adanya perlawanan yang meluas ini bisa membuat
penguasa kalang kabut, daya resitensipun menjadi semakin kuat dan akhirnya tuntutan mereka untuk memaksa Soeharto lengserpun bisa
berhasil. Ini merupakan pengalaman berharga untuk gerakan mahasiswa ke depan. Dua momentum gerakan mahasiswa membuktikan
bahwa hanya dengan gerakan yang meluas, gerakan mahasiswa dapat berhasil memperjuangkan tuntutan-tuntutan. Adanya gerakan yang
membesar disemua kota juga akan menaikkan moral perlawanan mahasiswa sendiri dan bisa memobilisasi rakyat dalam jumlah yang
lebih besar
Secara garis besar, dalam periode ini juga dapat disimpulkan dua konsepsi ideologis dari GM. Pertama, yaitu pandangan yang
menyatakan bahwa gerakan mahasiswa diarahkan pada pengkritisan sistem yang dibangun Soeharto. Dalam pandangan ini, GM harus
mengkritisi siapa saja yang memerintah paska Soeharto, sedangkan sistem yang dibangun Soeharto sendiri tidaklah bermasalah. Kedua,
yaitu pandangan yang menyatakan GM harus diarahkan pada pengantian sistem yang dibangun oleh Soeharto. Dalam pandangan
kelompok GM ini, bahwa sistem yang dibangun Soeharto sudah bobrok dan harus diganti oleh sistem yang baru.

V.3. Massa Gus Dur89


3.1. Tumbuhnya Kesadaran Menghancurkan Sisa-sisa Orde Baru Yang Setengah Hati
Polari gerakan pada masa Abdulrahman Wahid terus terjadi. Dapat dikatakan pada masa Ini gerakan mahasiswa sudah menjadi
bagian dari gerakan politik yang berkembang ketika itu. Gerakan mahasiswa—walau dengan malu-malu—mendukung Gus Dur atau
berhadapan denganya.
Gerakan yang mendukung Gus Dur memakai bungkus penghancuran sisa-sisa Orde Baru. Ini bukan kesadaran yang mereka
miliki, tapi dipasokkan oleh gerakan kiri (PRD). Pemahaman yang setengah-tengah dari program penghancuran sisa-sisa OrBa ini dapat
dilihat dari sikap politik yang berkembang. Mereka bisa menerima pengadilan GOLKAR dan Pembubaran Parlemen, tetapi sangat sulit
menerima Perceptan Pemilu—alasan mereka guna melihat watak indepensi. Akibatnya, dalam startegi taktik penghancuran sisa-sisa Orba
juga tanggung.

Bulan/Th.2000 Jumlah
Aksi
Januari 4
Februari 9
Maret 7
April 6
Mei 6
Juni 1
Juli 12
Agustus 6
September 10
Oktober 24
Nopember 14
Desember -
Tabel 17 : Aksi Mahasiswa Di Jakarta

Sedangkan yang berhadapan dengan Gus Dur banyak dimotori oleh sayap politik dari Partai Keadilan—KAMMI—dan Golkar—
BEM. Tuntutan mereka menuntut Gus Dur mundur karena telah melakukan KKN. Dalam jumlah massa karena didukung logistik yang
banyak, mereka bisa memobilisasi massa dalam jumlah yang besar. Bahkan pada tahap walnya mereka bisa mendominasi opini yang
muncul dimedia massa. Namun, ketiak Gus Dur semakin mendekati kejatuhannya—ketika massa NU bergerak—mereka tidak lagi
mengelar aksi-aksi massa lagi.

IX
GM Masa Mega-Hamzah:
Bersama Massa Rakyat Membangun Pemerintahan Rakyat Miskin

Naiknya Megawati ke singgasana kekuasaan merupakan hasil dari alinsi jahat antara PDIP, Golkar, Reformis Gadungan, militer
dan kapitalis internasional. akibatnya, ruang demokrasi kembali ditarik mundur oleh megawati dengan mengunakan tentara sebagai
penopang kekuasaannya. Kasus-kasus pelanggarahan HAM berat yang terjadi selama ini tidak ada satupun yang diungkap secara tuntas,
yang terjadi malah memperluas keterlibatan tentara dalam setiap penyelesaian konflik—misalnya di Aceh, Papua, Maluku, dll. Dan yang
terakhir, setelah medaknya Bom dibali kemudian ditetepkan Perpu Anti Teroris yang pada intinya sama dengan UU Suversib. Situasi ini
terjadi karena dua hal:
“Pertama, Megawati naik ke kekuasaan menggantikan Gus Dur adalah hasil dari aliansi reaksioner antara
PDIP-Golkar-TNI/Polri-Poros Tengah di parlemen. Tentu saja Mega harus membayar harga itu semua. Dan bayaran
tersebut antara lain, tidak mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM, memberikan porsi kekuasaan yang lebih
besar kepada sisa Orde Baru, tidak mengusut tuntas korupsi Akbar Tanjung dan Partai Golkar dalam kasus Bulogate
II dan korupsi pejabat serta konglomerat Orde baru lainnya. Sejak awal Megawati telah diberi pilihan, apakah ia mau
bersama rakyat menghancurkan sisa-sisa Orde Baru; atau menindas rakyat sebagai konsekwensi bersekutu dengan
mereka. Dan Mega telah mengambil pilihan: bersekutu dengan sisa-sisa Orde Baru.
Kedua, situasi krisis ekonomi yang semakin parah itu tak mungkin sanggup diatasi dengan memberikan
konsesi (sogokan) ekonomi maupun sogokan politik kepada rakyat. Tekanan krisis dan watak politik Mega yang
89
Diambil dari tulisan penulis, Jalan Kemenangan, Dokumen Kongres Ke IV PRD, tidak dipublikasikan
17
konservatif tak memungkinkan konsesi ekonomi maupun demokrasi. Megawati lebih menyukai memangkas subsidi
rakyat yang telah mendorong kenaikkan harga TDL, BBM, tarif transportasi, tarif telpon dan lain sebagainya;
menambah Kodam, serta meningkatkan represi untuk meredam protes-protes rakyat. Seperti biasanya, dalam krisis
kapitalisme, bagi negara yang tidak sanggup memberikan sogokan ekonomi (karena krisis yang sangat dalam) akan
cenderung memilih merepresi perlawanan rakyat dan merampas hak-hak demokrasi rakyat”. 90

Sementara dalam kebijaksanaan ekonomi, pemerintahan Mega-Hamzah sangat pro kapitalis internasional sehingga mengeluarkan
kebijaksanaan ekonomi yang banyak merugikan rakyat—seperti pemotongan subsidi pendidikan, kenaikan harga BBM. Kebijakan
ekonomi pemerinatahan Mega-Hamzah saat ini yang panyak sekali dilakukan adalah memangkas subsisi, menjual aset-aset rakyat tingkat
kesejahteraan rakyat yang makin merosot (lihat, idem). Sementara itu tak ada satupun fakta yang bisa ditemukan bahwa indikator-
indikator perekonomian makro bergerak ke arah positif. Penguatan rupiah belakangan ini semata-mata karena faktor psikologis pasar
(suksesnya beberapa privatisasi BUMN, kucuran hutang dari IMF, penjadwalan pembayaran hutang). Jadi tak ada satupun fakta bahwa
penguatan rupiah itu terjadi karena fundamental perekonomian secara makro semakin membaik: misalnya dilihat dari kinerja ekspor,
investasi produksi yang baru, beban hutang, tingkat pengangguran dll Mengenai indikator-indikator akumulasi krisis dan merosotnya
kesejahteraan rakyat.
Gelombang represifitas dan penyempitan ruang demokrasi dapat kita lihat dari table dibawah ini—DAN BAHKAN, KETUA
BIRO PERS MAHASISWA FILSAFAT UGM “PIJAR”, IGNAS KLERUK MAU JUGA DIPENJARAKAN OLEH REJIM
MEGAWATI-HAMZAH HAZ.

Tabel Repersifitas Rejim Megawati Tahun 200191

Situasi di atas masih ditambah adanya krisis kapitalisme, seperti kata Marx: KAPITALISME SEDANG MENGGALI LIANG
KUBURNYA SENDIRI. Kebobrokan dalam sistem kapitalisme tidak dapat ditutup-tutpi lagi, dimana perekonomian terus bergerak kerah
krisi yang semakin mendalam. Badai yang menerjang sistem kapitalisme ditandai dengan keruntuhan lembaga-lembaga kapital finans
yang mengelola pasar modal-pasar modal (yang tumbuh marak sejak boom ekonomi tahun 90-an) semacam Nasdaq, Atriax (pasar modal
milik Citybank), JP Morgan-Chase, Deutchse Bank yang mengarah kepada kebangkrutan –sebelumnya Bondbook telah ditutup. Situasi
ini terus berlanjut dengan meningkatnya naiknya hutang rumah tangga meningkat hingga 107% di Amerika, 115% di Jerman, 132% di
Jepang dan 118% di Inggris –dibandingkan pendapatan disposabel (setelah dipotong pajak). Menurut Boris Kagarlitsky, ekonom kiri dari
Rusia, pertumbuhan hutang ini bisa dilihat, misalnya di Amerika saja hutang beragunan di tahun 2000 telah mencapai US$ 6,8 triliun,
hutang negara sebesar US$ 6,6 triliun, dan total utang negera dan swasta sebesar US$ 13,5 triliun.92
Jadi sebetulnya krisis sudah terjadi sebelum serangan teroris terhadap WTC terjadi, dunia dalam keadaan sedang dilanda krisis—
juga melanda AS. Kepada Federal Bank Sentral AS, Alan Greenspon dalam setahun harus menurunkan suku bunga sanpai tujuh kali.
Kalau sektor perbangkan dilanda kepanikan, maka kejadian ini akan mengulang tragedi depresi besar (The Great Depression) tahun 1930-
an.93. Sementara itu, menurut laporan majalah ekonomi Economist bursa-bursa saham efek AS, Jepang dan Eropa dicekap rasa nervous
yang luar biasa. Di bursa New York, Down Jones Industrial Averege (DJIA) runtuh 14,3%--kejadian terburuk yang pernah terjadi sejak
resisi 193394
Guna mengatasi krisi ini salah satunya adalah dengan perang. Serangan Amerika terhadap Afganistan ini dapat dipahami dalam
kerangka mengatsi krisi kapitalisme, selain bahwa ciri pemerintahan Partai Republik Presiden Bush ini merupakan koalisi dari para
pengusaha minyak (seperti Bush dan Wapres Dick Cheney) dan senjata, serta masyarakat defence yang terdiri dari penjabat dan ilmuwan
seperti Wolfowitz95. Bagi Gedung Putih, runtuhnya pemerintahan Taliban akan membuka kembali peluang untuk membangun pipa migas
yang selama ini diinginkan 96. Masih pendapat serupa, Direktur Eksekutif Cebtre for Islamic Reseach and Studies (CIRES), Muhammad
Niam, memandang perang AS-Afganistan lebih bermotif ekonomis daripada ideologi. Dalam ksus ini Osama hanya dijadikan sasaran
antara untuk menguasai ekonomi dikawasan Asia Selatan dan tengah, dengan cara mengulingkan Taliban yang berkuasa di Afganistan.
Niam menunjuk pengalaman buruk AS pada tahun 1990-an , ketika pembangunan pipa minyak yang direncanakan melalui Asia Tengah,
Asia Selatan (Afganistan) hingga Karachi (Pakistan) gagal, padahal membutuhkan dana yang besar 97.
Kekacauan-kekacauan ekonomi di negeri-negeri imperialis utama membawa konsekwensi-konsekwensi ekonomi dan politik, tak
hanya bagi situasi domestik masing-masing negeri imperialis utama, namun juga bagi kondisi stabilitas ekonomi politik global dan bagi
negeri-negeri terbelakang. Dampak tersebut:
“Pertama, kemerosotan ekonomi domestik diatasi dengan pemotongan kapasitas produksi yang mendorong
PHK-PHK; juga privatisasi di negeri imperialis utama telah membawa kekacauan energi listrik di California,
meningkatnya kecelakaan kereta api di Inggris, dan penurunan subsidi pendidikan dan kesehatan diberbagai negeri
imperialis utama.
Kedua, untuk meredam keresahan rakyat pekerja, para politisi borjuis mendorong mood politik massa ke
arah kanan. Misalnya kampanye anti imigran sebagai biang kesulitan mendapatkan lapangan pekerjaan, ditambah
sentimen anti Islam/Asia dsb adalah latarbelakang ideologis berkembangnya kekuatan-kekuatan fasis di Eropa,
Amerika dan Australia. Pembunuhan Pim Fortuyn di Belanda mengangkat solidaritas kanan, demikian juga
meningkatnya popolaritas Le Penn dijadikan pembenaran kebijakan neoliberalisme-nya Chiraq.
Ketiga, walaupun belum dalam tingkat yang berbahaya persaingan antar negeri-negeri imperialis utama
terus meningkat. Hal ini bisa dilihat dalam kejadian-kejadian seperti perang tarif baja, tekstil, hasil pertanian, kayu
dll antar negeri-negeri imperialis utama.
Keempat, melalui lembaga-lembaga keuangan internasional mendorong percepatan implementasi
kebijakan-kebijakan neoliberalisme di negeri-negeri berkembang dan terbelakang, untuk mendapatkan pasar-pasar
baru (tak terkecuali di Indonesia), walau tanpa demokrasi sekalipun –agak berbeda dengan kampanye liberalisasi
modal di awal tahun 1980-an yang sedikit banyak masih membawa isu demokratisasi, penegakan HAM dsb dengan
cara yang moderat. Pergeseran ini nampak jelas dalam kasus naiknya Musharaf di Pakistan, dukungan AS atas
kudeta di Venezuela dsb—dalam kasus Indonesia misalnya tekanan imperilaisme untuk menyikat Islam
fundamentalis seperti penangkapan Jakfar Umar Thalib, penghentian embargo senjata dan normalisasi hubungan
dengan TNI/Polri. Bahkan untuk mengantisipasi gerakan perlawanan terhadap imperialisme, dengan
neoliberalismenya, sejak setengah tahun yang lalu telah diperhebat kampanye anti terorisme. Tak lain dan tak bukan
“Perang Melawan Terorisme” ditujukan untuk menghantam negeri-negeri yang tak mau patuh dengan dominasi AS
(termasuk dengan skenario neoliberalismenya) seperti Kuba, Irak, Korea Utara, Libia, Venezuela dsb”. 98
90
Pembebasan, Edisi III September-Oktober 2002
91
“Tugas Kita” Harian Perjuangan Rakyat, terbitan PRD, edisi 2 Agustus 2001
92
Op.cit.
93
A. Tony Prasetiantono, Kompas 17 September 2001
94
A. Tony Prasentiantono, Kompas 16 Oktober 2001
95
Budiarto Shambuzy, Kompas, 16 September 2001
96
Maruli Tobing, Kompas 10 Nopember 2001
97
Kompas, 26 Oktober 2001
98
Pembebasan, Edisi III Agustus-September 2002
18
Maka, situasi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
“Dengan meningkatnya intensitas kebijakan ekonomi anti rakyat miskin, cenderung pula meningkat
perampasan hak-hak demokrasi. Dengan latar belakang borjuasi kecil konservatif, Mega—bersama Hamzah Haz,
Amien Rais, Yusril Ihza Mahendra, dan reformis gadungan lainnya, termasuk orang-orang yang menanti-nantikan
kesempatan untuk berkuasa —sejak Suharto dijatuhkan, cenderung memajukan kepentingan faksi borjuasi
terdekatnya. Padahal, dalam perjuangan menumbangkan kediktatoran Orde Baru, gerombolan burjuis tersebut adalah
orang-orang yang paling pengecut. Sekarang Megawati telah merepresentasikan kepentingan kaum borjuasi yang
sesungguhnya. Dan penerapan kebijakan-kebijakan yang diarahkan oleh IMF menemui kegagalan. Megawati telah
gagal, hasil-hasil yang bisa dilihat hanya lah bertambahnya kemiskinan, pengangguran, angka putus sekolah, banjir
dan dampak-dampaknya, serta represi. Entah harus berapa lama lagi rakyat Indonesia berada dalam horor
kemiskinan jika pemerintahan Megawati tetap dipertahankan. Tak benar alasan bahwa pemerintahan Mega masih
belum diberikan cukup waktu karena, seberapa pun ia diberi waktu, konsep-konsep pembangunannya memang anti
rakyat dan tak bisa dipertanggungjawabkan secara teoritik. Jadi, tak ada jalan lain kecuali PEMERINTAHAN
MEGAWATI HARUS DIGANTI!!”99

Melihat perkembangan situasi nasional di atas, maka fokus gerakan mahasiswa adalah MENGULINGKAN REJIM MEGA-
HAMZAH dan menggantinya dengan pemerintahan yang memihak rakyat miskin. Dengan kata lain, bahwa program
perjuangan yang harsu dilakukan adalah merebut kekuasaan negara.

Konsepsi-konsepsi di atas, maka kemudian menghasilkan program-program kongkrit menuju pembentukan pemerintahan rakyat
miskin. Program-program ini dapat kita lihat dari program salah satu organ mahasiswa yang dapat mewakili—dapat mewakili karena
organisasi ini mempunyai jaringan nasional dan internasional-- yaitu program LMND yang dapat kita lihat sebagai berikut:
“Buruh: Naikan upah,Stop sistem buruh kontrak,Tolak buruh anak, Perlindungan buruh migran, 32 jam kerja,Tolak
PHK sewenang-wenang,Tolak politik perburuhan ORBA. Kaum Miskin Kota:Tolak penggusuran,Lapangan
pekerjaan bagi KMK,Kebutuhan pokok gratis bagi rakyat,Tolak kebijakan City Without Slum (Kota Tanpa
Kekumuhan). Tani: Tanah , modal , teknologi murah untuk pertanian kolektif,Perlindungan harga komoditas
pertanian nasional. Perempuan: Tolak diskriminasi terhadap perempuan,Tolak ekploitasi perempuan, Legalkan
aborsi, Penyediaan fasilitas reproduksi gratis, Penyediaan fasilitas pengasuhan anak gratis. Pendidikan:Pendidikan
gratis , ilmiah , dan demokratis,Tolak privatisasi dunia pendidikan, Lawan premanisme kampus,Tolak DO dan
skorsing,Bentuk Dewan Mahasiswa, Sejahterakan tenaga pengajar dan karyawan, Cabut sistem SKS.
EKONOMI:Tolak pasar bebas.Tolak privatisasi, Hapus hutang dan tolak hutang luar negeri,Tolak pencabutan
subsidi, Tolak kenaikan BBM, Turunkan harga. INTERNASIONAL: Tolak RUU anti teroris,Tolak invasi Israel ke
Palestina,Hapus hutang dunia ketiga,Tolak kebijakan rasisme internasional,Kemerdekaan Palestina, Bangun front
solidaritas anti imperialisme, Tolak perang, Tolak semua bentuk terorisme, Bubarkan lembaga keuangan dan
moneter. POLITIK: Adili pelanggar HAM di Mahkamah Internasional,Hancurkan sisa-sisa ORBA dan reformis
gadungan,Cabut dwi fungsi TNI\POLRI,Adili dan sita kekayaan harta koruptor,Adili suharto, Gulingkan Rejim
Mega-Hamzah, Bubarkan parlemen dan bentuk Dewan Rakyat. RESOLUSI ACEH: Referendum,kemerdekaan,Tarik
Militer non Organik. RESOLUSI PAPUA: Hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua.Program:Tarik Militer
non Organik,Hentikan eksploitasi alam di Papua,Kesejahteraan bagi bangsa Papua.”100

Akhirnya, hanya dengan program perjuangan yang jelas, program ideologi yang tepat, program ekonomi-politik yang dapat
menjawab persoalan rakyat dan program organisasi yang dapat mewadahi gerak kondisi obyektif-LAH, yang akan mampu mengarahkan
sebuah gerakan dalamt memimpin perubahan.***

99
Ibid.
100
Pamflet LMND.
19

Anda mungkin juga menyukai