Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Puasa ramadhan adalah puasa yang wajib dilakukan oleh kaum muslim.
siapa yang menjalaankannya akan mendapat pahala dan bagi yang
meninggalkannya akan mendapat dosa. Dengan berpuasa Allah juga akan
memberi pahala yang berlipat ganda bagia hambanya yang melaksanakannya.
Namun bagaimana jika terdapat halangan-halangan yang menyebabkan
tidak dapat terlaksananya puasa ramadhan? Padahal seperti yang disebutkan
bahwa puasa ramadhan wajib hukumnya.
Bagaimana orangorang yang terdapat uzur, seperti wanita yang haid dan
nifas, orang yang sudah tua renta, orang yang berjimak dengan sengaja?
Untuk mengganti puasa tersebut ada tiga cara yaitu Qadha, Kafarat dan
Fidyah. Lantas apa pengertian dari masing-masing tersebut? Bagaimana
hukumnya dan siapa saja yang wajib mengqadha. Kafarat dan fidyah?
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Qadha puasa dan bagaimana tata cara serta
hukumnya?
2. Apa pengertian Kafarat dan bagaimana pelaksanaannya?
3. Apa pengertian Fidyah dan bhal-hal yang berkaitan dengan fidyah?
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk mengetahuio pengertian Qadha puasa dan tata cara serta
hukumnya.
2. Untuk mengetahui kafarat dan pelaksanannya.
3. Utnuk mengetahui pengertian fidyah dan hal-hal yang berkaitan
dengan fidyah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. QADHA PUASA
1. Pengertian dan Hukumnya Qadha

Yang dimaksud dengan qadha adalah mengerjakan suatu ibadah yang


memiliki batasan waktu di luar waktunya.1

Menurut bahasa qadha berarti membayar, sedangkam menurut istilah


qadha berarti membayar hutang puasa atau membatalkan puasa ramadhan selama
sehari atau lebih karena ada uzur.

2. Hukum Qadha Puasa

Hukum meng-qadha puasa ramadhan adalah fardlu, sedangkan hukum


puasa sunnah tentulah sunnah. Karena itu, terkait denga pelaksanaan adha puasa
ramadhan dan puasa sunnah, apapun alasanya harus didahulukan meng-qadha
puasa ramadhan pada kesempatan dan kemungkinan pertama. Hutang puasa
apapun harus segera dibayar manakala sudah memungkinkan, apalagi utang puasa
yang masa pembayaranya cukup panjang (hampir 11 bulan), sehingga pada bulan
ramadhan berikutnya sudah tidah punya tanggungan lagi.

3. Orang yang wajib Meng-Qadha puasa


a) Orang yang sedang sakit.
b) Orang yang sedang perjalanan jauh.
c) Orang yang sedang haid.
d) Wanita yang sedang hamil atau menyusui dan lain-lain.

Tentang orang sakit dan musafir, qadhanya ditegaskan dalam Al-Qur’an :

“Maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya


itu pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah:185)

1
Muhammad Abduh Tuasikal, Qadha Puasa dan Fidyah, http://rumaysho.com/7867-qadha-puasa-
dan-fidyah.html, diakses pada 30 Oktober 2016 pukul 08.39 WIB
“...maka barang siapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain...”(QS.2:184)

Sedangkan bagi perempuan yang haid dan nifas, qadhanya didasarkan


pada hadits Nabi riwayat Aisyah r.a., yang berkata :
“Kami haid di masa Nabi SAW, maka kami diperintahkan untuk
mengqadha puasa, teteapi tidak diperintah mengqadha’ shalat.” (HR.
Muslim dan Abu Daud)

Menurut para fuqada’ (ulama ahli fiqih) sepakat, bahwa wanita yang
sedang hamil atau menyusui boleh tidak berpuasa. Hal ini didasarkan pada hadist
shahih, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Allah SWT telah memberikan keringanan puasa dan mengqasar shalat


bagi musyafir, demikian juga Allah SWT memberikan keringanan (untuk
berbuka) bagi wanita yang hamil dan yang sedang menyusui anaknya”
(HR. Ahmad, Abu Dawud)

4. Waktu Qadha Puasa

Waktu pengqadhaan puasa ramadhan adalah semenjak bulan ramadhan


berakhir sampai bulan ramadhan selanjutnya. Seseorang disunnahkan
menyegerakan pengqadhaan puasa karena agar tanggung jawabnya segara bebas
dan kewajubannya segera gugur. Orang yang belum bisa melakukan qadha untuk
ibadah apapun dalam waktu yang segera, wajib bertekad meng-qadhanya.2

Mazhab Syafi’i berprndapat bahwa mengqadha puasa dalam waktu yang


segera mungkin, hukumnya wajib bagi orang yang membatalkan puasanya tanpa
ada uzur yang diakui kebenaranya. Orang yang belum mengqadha puasa ramadhn,
di makruhkan melakukan puas tathawwu’.

Mengeni orang yang mengukuhkan pengqadhaan puasanya sampai bulan


ramadhan berikutnya tiba, ada dua pendapat.

2
Wahbah AL-Zuhayly, Puasa dan I’tikaf, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal 270.
Pertama, pendapat jumhur menyatakan bahwa setelah bulan ramadhan
yang kedua itu berakhir maka wajib melakukan qadha dan kafarat sughra (fidyah).
Kedua, pendapat menurut mazhab hanafi adalah orang yang tadi tidak
berkewajiban mengeluarkan fidyah baik penangguhan itu dilakukan karena ada
uzur maupun tidak ada uzur. Jumlah fidyah , menurut mazhab syafi’i yaitu
disesuaikan dengan jumlah tahun (maksudnya, jika penangguhan qadha itu
melewati satu tahun, maka fidyah yang dikeluarkan adala satu kali dan seterusnya
juga begitu).

Mengqadha puasa pada hari yang dilarang, seperti hari raya, tidak sah
hukumnya. Begitu juga pengqadhaan puasa tidak sah dilakukan pada hari-hari
yang di dalamnya suatu jenis puasa yang dinazari. Misalnya hari-hari pertama
bulan Dzulhijjah. Demikian pula, pengqadhaan puasa tidak sah dilakukan pada
bulan Ramadhan berikutnya. Karena waktu tersebut telah ditetapkan sebagai hari
H pelaksanaan bulan Ramadhan. 3

Dalam perspektif ushul fiqih, siapapyun yang masih mempunyai hutang


puasa ramadhan, maka harung meng-qadha (mengganti) hutangnya terlebih
dahulu baru kemudian berpuasa sunnah. Hal ini karena komposisi dan hirarki
hukum islam (fiqih) adalah, bahwa yang fardlu / wajib itu pasti lebih urgen dan
harus didahulukan dibanding yang sunnah / anjuran.

5. Mengqadha secara beruntut (tatabu’)

Para ulama sepakata bahwa mengqadha puasa secara beruntun,


hukumnya mustahabb. Akan tetapai, tidak disyaratkan mengqadha puasa secara
tatabu’ atau dengan segera. Dengan demikian, mengqadha puasa ramadhan
diserahkan kepada kehendak masing-masing. Sebab, as Al Qur’an yang
mewajibkan pengqadhaan puasa juga tidak mengikat. Jika bulan syakban
berikutnya hanya tersisa beberapa hari yang cukup untuk mengqadha puasa, maka
tatabu’ dalam mengqadha puasa adalah wajib. Karena waktu telah sempit.
perwajiban tatabu’ dalam mengqadha puasa pada saat seperti ini sama dengan

3
Wahbah AL-Zuhayly, Puasa dan I’tikaf, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal 271.
kewajiban melaksanakan puasa ramadhan secara ada’ bagi orang yang tiak
memiliki uzur.4

Dalil kewajiban mengqadha puasa secara tatabu’ adalah :

“...maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan


itu pada hari-hari yang lain...” (QS 2 : 184)

Ayat ini hanya mewajibkan jumlah pengqadhaan. Tidak mewajibkan


pengqadhaan secara tatabu’.

B. KAFARAT
1. Pengertian
Kafarat, berarti : Menutup atau menghapus. Maksudnya, suatu perbuatan
yang dapat menutup atau menghapus dosa yang telah diperbuatnya, sehingga tidak
ada lagi akibat dari perbuatan yang telah dilakukannya baik di dunia maupun di
akhirat nanti.5

Kafarat menurut bahasa berarti membayar hutang puasa, sedangkan


menurut istilah kafarat adalah membayar hutang dengan cara puasa atau
membayar denda yang telah di tentukan.

2. Hal-hal yang mewajibkan kafarat

Hal yang memwajibkan kafarat ialah pembatalan puasa ramadhan secara


khusus, yaitu dilakukan secara sengaja atas kehendak sendiri. hal yang
mewajibkan kafarat adalah karena tindakan tersebut merusak kesucian puasa
tanpa ada uzur yang membolehkan pembatalan puasa. Menurut Jumhur, atas dasar
inilah kafarat tidak wajib bagi orang yang membatalkan puasa qadha romadhon.
Kafarat tidak diwajibkan atas orang yang mencium istrinya, wanita yang sedang
haid, wanita yang sedang nifas, orang gila atau orang pingsan. Karena hal
tersebut bukan terjadi atas kehendak mereka. Demikian juga, kafarat tidak
diwajibkan atas orang sakit, musafir, orang yang merasaa lapar dan haus, serta
wanita yang sedang hamil sebab mereka memiliki udzur. Kafarat tidak diwajibkan
4
Wahbah AL-Zuhayly, Puasa dan I’tikaf, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal 272.
5
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2008), hal
246.
atas orang murtad. Alasannnya, karena telah merusak kesucian islam, bukan
kesucian puasa secara khusus.

Menurut jumhur, yang membatalkan puasa dan mengharuskan kafarat


hanyalah jimak, tidak ada yang lainnya.6 Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari
Abu Hurairah, ia berkata,

Seseorang datang kepada Nabi SAW lalu berkata, “Saya telah binasa
wahai Rasulullah.” “Apa yang membinasakanmu?” tanya beliau. Ia
menjawab, “Saya menjimak istri saya di siang Ramadhan.” Beliau
bertanya , “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk memerdekakan
budak?” “Tidak,” jawabnya. Sabda Nabi, “Apakah kamu mampu
berpuasa dua bulan berturut-turut?” “Tidak” jawabnya. Sabda nabi,
“Apakah engkau memiliki sesuatu untuk memberi makan enam puluh
orang miskin?” “Tidak” jawabnya. Kemudian ia duduk, lantas Nabi
SAW mendapatkan sewadah kurma. “Sedekahlah dengan ini!” perintah
rasul. Ia pun berkata, “Kepada yang lebih miskin daripada kami? Tidak
ada di antara dua tembok Madinah keluarga yang lebih
membutuhkannya lebih dari kami.” Maka Nabi SAW pun tertawa hingga
kelihatan gigi taringnya,kemudian bersabda, “Pergi dan berikanlah
kepada keluargamu!”

Menurut Jumhur, perempuan dan laki-laki sama saja dalam hal wajibnya
membayar kafarat, selama mereka berdua sama-sama sengaja dan sadar ketika
melakukan jimak di siang bulan Ramadhan. Oleh karena itu, jika jimak dilakukan
karena lupa atau bukan pilihan mereka (karena dipaksa), atau mereka tidak berniat
puasa, maka tidak ada kafarat bagi mereka.

Contoh lain jika perempuan dipaksa suaminya, yang berarti ia melayani


karena uzur, maka kafarat hanya dibebankankepada si lelaki. Menurut Mazhab
Syafi’i perempuan tidak diharuskan membayar kafarat sama sekali, baik karena
kesadaran ketika berbuat maupun karena dipaksa. Ia hanya mewajibkan
membayar qadha.
6
Cahyadi Takariawan, Panduan Ibadah Ramadhan, (Solo : Era Adicitra Intermedia, 2013), hal
104.
Imam Nawai berkata, “Secara umum, yang benar adalah keharusan
kafarat hanya bagi laki-laki, sedangkan perempuan tidak terbebani dan tidak ada
kewajiban baginya. Hal itu disebabkan hak nafkah bagi laki-laki, bukan
perempuan, sebagaimana mahar.”

Abu Daud berkata, “Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang


menjimak istrinya di siang Ramadahan, wjibkah bagi istri kafarat? Ia menjawab,
“Saya tidak mendengar bahwa perempuan harus membayar kafarat.”

Dalam Al-Mughni, Ahmad berkata, “Alasannya, Nabi SAW menyuruh


laki-laki yang melakukan jimak di Ramadhan untuk memerdekakan budak, tidak
memerintahkan kepada istrinya seseuatupun, meskipun beliau tahu bahwa itu
melibatkan istri.”

Apabila seseorang memasuki waktu shubuh dalam keadaan masih


berjunub, maka diantara ulama ada yang mengatakan tak sah puasa, mereka
mewajibkan mandi sebelum fajar.7

Tetapi Jumhur tidak mewajibkan mandi sebelum fajar dan puasanya sah.
Diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah :
“Bahwasanya seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW : “Bahwasanya
aku memasuki shubuh dalam keadaan berjunub sedang aku hendak berpuasa.
Maka bersabdalah Rasulullah : “Dan sayapun memasuki waktu shubuh dalam
keadaan masih junub dan sayapun hendak berpuasa.”
Apabila seseorang bersetubuh karena menyangka belum fajar, atau
menyangka matahari sudah terbenam, dan ternyata keliru, maka tak ada kafarat
atasnya. Demikianlah ditegaskan oleh Asy Syafi’i.8
Apabila seorang mukmin yang sehat dalam keadaan berbuka di hari itu.
maka jika dia bersetubuh, tiadalah dikenakan kafarat atasnya.
Berzina, persetubuhan syubhat, atau dalam nikah fasid, bersetubuh
dengan ibu, anak perempuan, wanita kafir dan siapa saja sama hukumnya, yakni
wajib wadha dan kaffarat dan imsak di sisa hari.

7
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Puasa, (Semarang : Pustaka Rizki
Saputra, 1996), hal 153.
8
Ibid, hal 157
Merusakkan puasa dengan selain jima’ seperti makan, tidak mewajibkan
kaffarat.
Mengeluarkan mani dengan tangan (onani), membatalkan pusa tapi tidak
kafarat. ,menggaruk-garuk zakar karena gatal dan lalu keluar mani tidak
membatalkan puasa dan tidak dikenakan kaffarat.
Memeluk isteri atau merangkulnya lalu keluar mani, tidak mewajjibkan
kafarat, walaupun puasanya batal kalau inzal.
3. Jenis Kafarat

Jenis kafarat itu ada tiga,yaitu:

a. memerdekakan hamba sahaya,


b. berpuasa selama dua bulan berturut-turut,
c. memberi makan enem puluh orang miskin.

Menurut Jumhur Ulama, kafarat karena jimak harus dibayarkan secara


berurutan. Pertama, memerdekakan budak. Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan
berturut-turut. Jika inipun tidak mampu, memberi makan 60 orang miskin. Alasan
mereka, kebanyakan riwayat dari Abu Hurairah menunjukkan bahwa Rasulullah
SAW selalu meminta untuk memerdekakan budak. Jika tidak mampu, maka
berpuasa dua bulan berturut-turut. Kalau inipun tidak mampu, Nabi SAW
bersabda, berilah makan 60 orang miskin. Ini jelas menunjukkan adanya urutan.

Imam Malik berpendapat dan riwayat dari Imam Ahmad- bahwa antara
memerdekakan budak, pusa dua bulan dan memberi makan, bersifat pilihan. Mana
saja yang dikerjakan, cukuplah sudah. Dalilnya adalah hadits Imam Malik dalam
Al Muwatha’ dan diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Az Zuhri, dari
Humaid bin Abdurrahman, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa seseorang
berbuka suatu hari di bulan ramadhan. Kemudian Nabi Saw memerintahkannya
untuk membayar kafarat dengan memerdekakan seorang budak , atau berpuasa
dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 oarng miskin.

4. Kafarat yang berlipat ganda


Apabila persetubuhan atau-menurut mazhab Hanafi dan Maliki-
pembatalan puasa yang dilakukan dengan makan atau sejenisnya terjadi berulang
(lebih dari satu kali). Padahal kafarat yang pertama belum di lakukan, pelakunya
dihadapkan dua pilihan.

a) Jika berulangnya pembatalan itu terjadi dalam satu hari, menurut


kesepakatan ulama, satu kafarat sudah dipandang cukup.
b) Jika berulangnya pembatalan itu terjadi dalam dua hari atau lebih dari
bulan Ramadhan, menurut jumhur ulama, kafaratnya harus dua atau
lebih-sesuai dengan banyak hari yang puasa dibatalkan. Karena setiap
hari merupakan ibadah yang berdiri sendiri. dengan demikian, apabila
sauatu kafarat diwajibkan untuk suatu puasa, ia tidak bisa mencakup
puasa yang lain. Dua buah puasa, kedudukannya sama dengan dua
puasa Ramadhan dan dua haji.9

C. FIDYAH
1. Pengertian
Fidyah atau fidaa atau fida’ adalah satu makna. Yang artinya, apabila dia
memberikan tebusan kepada seseorang, maka orang tersebut akan
menyelamatkannya. Di dalam kitab-kitab fiqh, fidyah dikenal dengan istilah
“ith’am, yang artinya memberi makan. Jadi fidyah disini adalah sesuatu yang
harus diberikan kepada orang miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena
dia meninggalkan puasa.

2. Hukum Fidyah

9
Wahbah AL-Zuhayly, Puasa dan I’tikaf, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005), hal 280.
Hukum Fidyah adalah wajib.Hal ini berdasarkan ayat Al-Qur’an berikut :

....Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka


tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan satu orang
miskin....(Q.S. 2:184)

Fidyah menurut mazhab Hanafi, sebanyak setengah sha’ biji gandum,


atau uang senilai itu. Fidyah diberikan dalam bentuk makanan pokok setempat
dengan kadar satu sha’ atau 2,5 kg beras untuk satu hari puasa yang ditinggalkan.
Fidyah, baru boleh dilakukan jika orang yang bersangkutan tidak mampu
berpuasa sepanjang hidupnya. Adapun menurut Jumhur, fidyah boleh berupa satu
mud makanan yang mengenyangkan untuk setiap hari. (Banyaknya Fidyah)
disesuaikan dengan jumlah puasa yang tidak dilakukan.10

3. Penyebab Fidyah
a. Tidak mampu berpuasa.
Menurut kesepakatan para ulama , orang yang tidak mampu berpuasa
wajib mengeluarkan fidyah. Seperti orang tua renta yang merasa berat
puasa atau puasa akan menderita kesulitan yang sangat berat. Orang tua
renta yang tidak mampu berpuasa ini boleh berbuka, dan sebagai
tebusannya, dia harus memberi makan seorang miskin untuk setiap hari.
Orang tua renta (hamm) menanggung bebannya sendiri. jika ia tidak
mampu memberi makan orang miskin, dia tidak berkewajiban apapun.
pendapat ini berdasarkan Q.S. 2 : 286,
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya.”

Adapun orang sakit yang mati tidak berkewajiban memberi makan.


Karena, jika pemberian makan itu diwajibkan kepadanya, berarti
membebani orang lain dengan kewajiban. Lain halnya, jika orang tersebut
sebelum kematiannya memiliki kemampuan untuk berpuasa tetapi tidak
melakukannya sampai akhir khayatnya. Kewajiban memberi makan ini
disandarkan kepadanya ketika dia masih hidup.

10
Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005) hal 282.
b. Menurut kesepakatan ulama, fidyah diwajibkan pula atas orang sakit yang
kesembuhannya tidak bisa diharapkan. Sebab, orang sakit seperti ini
sudah tidak berkewajiban berpuasa lagi; yakni, berdasarkan ayat berikut :
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesulitan. (Q.S. 22:78)

c. Menurut Jumhur selain Hanafi, fidyah juga diwajibkan bersamaan dengan


qadha kepada perempuan hamil atau perempuan menyusui yang
mengkhawatirkan dirinya (tanpa anaknya). Keduanya boleh berbuka
puasa, dan hanya berkewajiban mengqadha puasa. Alasannya, karena
mereka membatalkan puasanya demi seseorang yang lemah yang masih
dalam proses pembentukan. Oleh karena itu keduanya wajib membayar
fidyah, seperti halnya orang tua yang sudah renta.

d. Menurut Jumhur selain mazhab Hanafi, fidyah-bersama qadha-juga


diwajibkan kepada orang yang meremehkan pengqadhaan puasa
Ramadhan. Misalnya, orang yang menangguhkan pengqadhaan puasanya
sampai ramadhan berikutnya tiba. Jumlah fidyah ini disesuaikan dengan
jumlah puasa yang ditinggalkan. Pewajiban fidyah kepada orang seperti
ini, berdasarkan pengiasan orang yang membatalkan puasa secara sengaja.
Keduanya meremehkan kesucian puasa.11

3. Pelipatgandaan Fidyah

Menurut mazhab Maliki dan Hanbali, fidyah yang ditangguhkan sampai


bulan Ramadhan berikutnya tiba tidak melahirkan pelipatgandaan sesuai dengan
jumlah penundaan tahunnya. Fidyah- seperti halnya hudud- bisa dilakukan kapan
saja. Sedangkan, menurut pendapat yang paling shahih dalam mahzab Syafi’i,
fidyah yang ditangguhkan sampai bulan Ramadhan berikutnya tiba akan
melahirkan kewajiban fidyah baru. Karena hak-hak material tidak bisa dilakukan
pada sembarang waktu.

11
Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2005) hal 283.
Sebaliknya mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang
menangguhkan sampai bulan Ramadhan berikutnya tidak harus membayar
fidyah yang kedua(maksudnya, penangguhan fidyah itu tidak melahirkan
kewajiban fidyah yang baru.). Karena bnas “..maka barang siapa diantara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka(wajiblah bagnya
berpuasa) sebanyak hari yang telah ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain...
(Q.S. 2:184) bersifat mutlak.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Qadha puasa adalah membayar hutang puasa atau membatalkan puasa
ramadhan selama sehari atau lebih karena ada uzur. Waktu pelaksanaannya adalah
semenjak berakhirnya bulan ramadhan sampai dengan bulan ramadhan
berikutnya. Kafarat adalah membayar hutang dengan cara puasa atau membayar
denda yang telah di tentukan. Hal yang mewajibkan kafarat ialah pembatalan
puasa ramadhan secara khusus, yaitu dilakukan secara sengaja atas kehendak
sendiri. Hal yang mewajibkan kafarat adalah karena tindakan tersebut merusak
kesucian puasa tanpa ada uzur yang membolehkan pembatalan puasa.

Sementara Fidyah adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang


miskin, berupa makanan, sebagai pengganti karena dia meninggalkan puasa.
Hukum Fidyah adalah wajib. Fidyah diberikan dalam bentuk makanan pokok
setempat dengan kadar satu sha’ atau 2,5 kg beras untuk satu hari puasa yang
ditinggalkan. Fidyah, baru boleh dilakukan jika orang yang bersangkutan tidak
mampu berpuasa sepanjang hidupnya.
B. SARAN

Kami sadar dalam membuat makalah ini, banyak terjadi kesalahan.


Untuk itu kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Adapun kita, sebagai umat muslim yang baik sudah sewajibnya kita
,emahami tentang qadha, kafarat dan fidyah. Hal ini penting mengingat dalam
kehidupan banyak ditemui akan adanya uzur. Dengan memahami qadha puasa,
kafarat dan fidyah semoga bisa membantu dalam beribadah kepada Allah SWT.
Amin.

DAFTAR PUSTAKA

AL-Zuhayly,Wahbah. 2005. Puasa dan I’tikaf. Bandung : Remaja Rosdakarya


Muhammad, Teungku Hasbi Ash Shiddiqy. 1996. Pedoman Puasa. Semarang :
Pustaka Rizki Putra

Saleh, Hasan. 2008. Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer. Jakarta : rajawali Pers.

Takariyawan, Cahyadi. 2013. Panduan Ibadah Ramadhan. Solo : Era Adicitra


Intermedia.

Abduh, Muhammad Tuasikal. Qadha Puasa dan Fidyah,


http://rumaysho.com/7867-qadha-puasa-dan-fidyah.html, diakses pada 30
Oktober 2016 pukul 08.39 WIB

Anda mungkin juga menyukai