Anda di halaman 1dari 67

TANGGUNG GUGAT NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA

PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DAN KUASA JUAL


BERDASARKAN KETERANGAN PALSU
(STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 89/Pid.B/2020/PN Dps)

TESIS

Oleh :

TETHA AQUILINA DYAH AYU HABEL

NRP: 124218500

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SURABAYA
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL............................................................................................

i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................5
1.4.1 Manfaat Teoritis......................................................................5
1.4.2 Manfaat Praktis........................................................................5
1.5 Kerangka Teori dan Konseptual.......................................................6
1.5.1 Kerangka Teori........................................................................6
1.5.2 Kerangka Konseptual............................................................11
1.6 Metode Penelitian...........................................................................11
1.6.1 Pendekatan Masalah..............................................................11
1.6.2 Bahan Hukum........................................................................12
1.6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum....................................12
BAB II BENTUK TANGGUNG GUGAT TERHADAP AKTA
PENGIKATAN JUAL BELI DAN AKTA KUASA MENJUAL YANG
DIDASARKAN KETERANGAN PALSU...........................................13
2.1 Pengertian Notaris..........................................................................
13
2.2 Kewenangan Notaris.......................................................................
19
2.3 Pertanggungjawaban Notaris..........................................................
26
2.4 Tanggung Gugat Notaris.................................................................
32
BAB III AKTA PENGIKATAN JUAL BELI DAN AKTA KUASA MENJUAL
BERDASARKAN KETERANGAN PALSU.......................................36
3.1 Pengertian Akta..............................................................................36

ii
3.2 Akibat Hukum Terhadap Akta Didasarkan Keterangan Palsu.......47
3.2.1 Akta Notaris dapat Dibatalkan..............................................49
3.2.2 Akta Notaris Batal Demi Hukum..........................................50
3.2.3 Akta Notaris Mempunyai Kekuatan Pembuktian Sebagai
Akta di Bawah
Tangan.................................................................. 51
3.2.4 Akta Notaris Dibatalkan Berdasarkan Kesepakatan Para
Pihak..................................................................................... 53
3.2.5 Akta Notaris Dibatalkan Berdasarkan Putusan Pengadilan
yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap karena
Penerapan Asas Praduga Sah...............................................54
3.3 Upaya Hukum Para Pihak Atas Akta Yang Dibatalkan.................56
BAB IV PENUTUP.............................................................................................59
4.1 Kesimpulan.....................................................................................59
4.2 Saran...............................................................................................60
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................62

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

“Indonesia merupakan negara hukum yang memiliki hakekat kebenaran

dan keadilan sehingga dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi

masyarakat. Dalam sistem perekonomian, hukum merupakan salah satu alat yang

diperlukan masyarakat. Alat tersebut berupa Undang-undang, peraturan

perundang-undangan yang jelas dengan kepastian hukum, dan tindakan penegakan

hukum oleh aparat hukum (Andi Prajitno, 2018:2). Salah satu aparat penegakan

hukum di bidang keperdataan dalam kaitan memberikan kepastian, ketertiban,

perlindungan hukum ialah Notaris.”

“Menurut Salim HS (2015:33) Notaris disebut notary dalam bahasa

Inggris dan disebut van notaris dalam istilah Belanda yang memiliki peran

penting dalam melakukan transaksi di bidang keperdataan dan juga merupakan

pejabat publik yang berhak membuat suatu akta autentik dan kewenangan-

kewenangan lain. Hal ini juga sebagaimana diatur dalam Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris melalui

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 (untuk selanjutnya disebut UUJN). UUJN

menyatakan bahwa tata cara dan bentuk akta harus sesuai dengan yang telah

ditentukan uujn dan pembuatan akta tersebut harus dibuat dihadapan notaris

selaku pejabat yang berwenang. Wewenang notaris menyusun akta autentik sesuai

ditentukan uujn dan peraturan perundang-undangan lain, maka dapat dikatakan

1
notaris ialah profesi yang memiliki kewajiban melayani kepentingan umum

dengan memberikan pelayanan kepada para pihak yang meminta untuk dibuatkan

suatu akta autentik yang didalamnya berisikan kehendak para pihak perihal

peristiwa dan kesepakat hukum.”

“Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPdt)

sebagaimana diatur dalam Pasal 1868 menjelaskan mengenai pengertian akta

otentik. Akta merupakan surat bertandatangan yang dibuat dari awal untuk

pembuktian yang berisikan perbuatan-perbuatan sehingga dijadikan dasar suatu

hak atau perikatan (Sudikno Mertokusumo, 1998:142). Akta otentik berisikan

pernyataan atau kehendak, kebenaran formal, kebenaran materiil serta tanda

tangan pihak-pihak yang hendak melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan

demikian guna perlindungan hukum bagi para pihak maka notaris menuangkan

dalam suatu akta otentik dan nantinya akan dibacakan dihadapan para pihak dan

saksi yang sehingga para pihak dapat memahami isi akta tersebut.”

“Akta dapat dikatakan sebagai salah satu alat pembuktian dalam suatu

peristiwa hukum. Alat pembuktian sebagaimana diatur pada pasal 1866 KUHPdt

yang menyebutkan alat pembuktian meliputi bukti tertulis, bukti saksi,

persangkaan, pengakuan, sumpah. Salah satu alat pembuktian yaitu bukti tulisan

dimana pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik maupun

dengan tulisan dibawah tangan sebagaimana dalam Pasal 1867 KUHPdt. Suatu

akta dibuat dalam bentuk yang tidak sesuai dengan yang telah ditentukan oleh

peraturan perundang-undangan maka akta tersebut disebut dengan tulisan di

2
bawah tangan atau akta di bawah tangan hal ini tercantum pada pasal 1874

KUHPdt.”

“Notaris memiliki kewajiban dalam menjalankan jabatannya harus jujur,

mandiri, bertindak amanah, saksama, jujur, tidak berpihak, mandiri, dan menjaga

kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Kewajiban mengenai

notaris yang diatur pada Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN sebagai upaya agar

pembuatan akta yang dilakukan notaris nantinya tidak merugikan bagi pihak-

pihak dalam akta, namun justru kedudukan notaris terkait produk akta notaris

yang dibuatnya seringkali juga menempatkan notaris selaku saksi, tersangka,

terdakwa maupun pihak tergugat ataupun turut tergugat.”

“Salah satu persoalan hukum yang menempatkan notaris sebagai terdakwa

memalsukan akta autentik dalam Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor :

89/Pid.B/2020/Pn.Dps. Permasalahan terjadi ketika pihak pembeli datang

menemui notaris dengan membawa fotocopy sertifikat hak milik atas nama

penjual untuk minta dibuatkan akta karena hendak melakukan transaksi jual beli

sebidang tanah dengan pihak penjual. Selanjutnya notaris pergi ke jakarta untuk

mendapatkan tanda tangan pihak penjual dan kemudian harinya notaris melakukan

penandatangan dengan pihak pembeli di Denpasar. Notaris dalam Akta PPJB

menuliskan tanah yang hendak dijual adalah milik pihak penjual sendiri dan tidak

sedang sengketa, namun kenyataannya pihak penjual tidak pernah menyatakan hal

tersebut dan notaris juga tidak pernah bertemu dengan pihak penjual karena yang

datang menemui notaris hanya pihak pembeli. Selanjutnya pada pembukaan akta

dan bagian penutup akta, notaris menuliskan bahwa akta tersebut dihadiri dan

3
dibacakan dihadapan para penghadap dan saksi-saksi yang namanya tercantum

pada akta namun para saksi tidak mengenal, tidak pernah bertemu dengan pihak

penjual, dan tidak pernah menyaksikan pembacaan akta-akta yang dilakukan oleh

notaris dikarenakan pada saat dilaksanakan penandatangan dan pembacaan pihak

penjual sebenernya tidak pernah datang ke kantor notaris. Selanjutnya oleh pihak

pembeli akta tersebut digunakan untuk melakukan permohonan penerbitan

sertifikat hak milik pengganti sehingga Badan Pertanahan Nasional menerbitkan

sertifikat hak milik pengganti. Akibatnya sertifikat hak milik yang asli sudah tidak

berlaku, membuat pemegang serftifikat hak milik asli/pertama mengalami

kerugian.”

“Pencantuman nama Notaris pada suatu akta notaris menurut (Habib

Adjie, (2011:4) tidak berarti pihak dalam akta tersebut ikut serta atau menyuruh

atau melakukan suatu tindakan hukum yang dilakukan para pihak atau penghadap,

tetapi pencantuman itu merupakan aspek formal akta notaris yang sesuai

ketentuan UUJN. Sehingga dapat dikatakan notaris tidak berkaitan dengan isi akta

notaris maka apabila para pihak atau pihak yang berkepentingan ingin

mempermasalahkan akta tersebut harus ada bukti yang kuat untuk dilakukan

pembatalan terhadap akta tersebut.”

1.2 Rumusan Masalah

“Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah

penulisan tesis ini adalah sebagai berikut” :

1. Apa bentuk tanggung gugat Notaris terhadap akta pengikatan jual beli dan

akta kuasa menjual yang didasarkan keterangan palsu?

4
2. Apa akibat hukum terhadap akta pengikatan jual beli dan akta kuasa menjual

yang dibuat berdasarkan keterangan palsu?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk tanggung gugat Notaris terhadap akta

pengikatan jual beli dan akta kuasa menjual yang didasarkan keterangan

palsu.

2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap akta pengikatan jual beli dan

akta kuasa menjual yang dibuat berdasarkan keterangan palsu.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis.

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan

pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya berkaitan dengan

kebenaran formal akta notaris yang dibuat oleh Notaris.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi bahan

masukan dan informasi bahwa notaris mempunyai tanggung jawab dalam

membuat akta autentik. Sehingga akta yang dibuat dihadapan notaris

tersebut dapat menjamin hak dan kewajiban, kepastian hukum bagi para

pihak dan dijadikan alat bukti yang sah dalam melakukan suatu perbuatan

hukum.

5
1.5 Kerangka Teori dan Konseptual

1.5.1 Kerangka Teori

a. Tanggung Jawab Notaris

“Notaris dalam menjalankan tugasnya harus jujur, bertindak tepat,

menjunjung tinggi tugas sesuai sumpah jabatannya. Dalam menjalankan tugas

membuat akta notaris memiliki beban dan tanggungjawab karena akta tersebut

harus memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak dalam

melaksanakan perbuatan hukum. Oleh karena itu diperlukan tanggungjawab

notaris untuk mematuhi norma hukum positif serta ketaatan dan kesediaan untuk

tunduk terhadap kode etik profesi, maka tanggung jawab terhadap notaris

bersumber dari kesalahan dalam menjalankan fungsi notaris yang mengakibatkan

kerugian bagi pihak yang meminta bantuan jasa notaris.”

“Busyra Azheri (2011:54) menyatakan bahwa teori tanggung jawab lebih

menekankan pada makna tanggung jawab yang lahir dari ketentuan Peraturan

Perundang-Undangan sehingga teori tanggung jawab dimaknai dalam arti liabilty.

Maka dapat dikatakan bahwa tanggungjawab hukum dimana seseorang

bertanggung jawab secara hukum dimana apabila seseorang tersebut melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan apa yang sudah ditentukan maka terhadap

perbuatan tersebut dapat dijatuhkan sanksi.”

“Menurut Salim dan Erlies (2015:207) menjelaskan teori tanggung jawab

hukum adalah teori yang menjabarkan mengenai tanggung jawab subyek atau

pelaku hukum yang melakukan perbuatan melawan hukum atau perbuatan pidana

yang akibat perbuatan tersebut menimbulkan kerugian atau cacat atau matinya

6
seseorang. Subjek hukum yang dimaksud adalah manusia, badan hukum maupun

jabatan. Maka teori tersebut menjelaskan bahwa subyek hukum yang

menimbulkan kerugian kepada seseorang lainnya akibat perbuatan melawan

hukum maka subyek hukum tersebut harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya kepada pihak yang dirugikan. Tanggung jawab hukum dapat

dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu secara perdata, pidanan dan administrasi.”

“Seseorang dapat dikatakan bertanggungjawab dalam bidang keperdataan

apabila adanya kerugian bagi orang lain akibat tidak terlaksananya kesepakatan

atas suatu prestasi dan peristiwa hukum oleh subyek hukum, sehingga subyek

hukum tersebut dapat digugat untuk membayarkan ganti rugi terhadap orang yang

dirugikan. Tanggung jawab dalam bidang pidana, subjek hukum yang melakukan

perbuatan pidana dapat dibebankan penjatuhan sanksi pidana. Subjek hukum

dikategorikan bertanggung jawab secara administrasi maka terhadap subjek

hukum diberikan kewajiban untuk bertanggung jawab atas kesalahan administratif

yang dilakukan.”

“Menurut Shidarta (2006:73-79), “Hans Kelsen membagi


pertanggungjawaban menjadi 4 (empat) macam yaitu:”
1. Pertanggungjawaban individu yaitu pertanggungjawaban yang harus
dilakukan terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri
2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu
bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain
3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbukan kerugian.

7
4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan.”

“Notaris harus profesional dan bertanggungjawab dalam memberikan

pelayanan dikarenakan notaris bertanggungjawab untuk diri sendiri dan

masyarakat. Notaris bertanggungjawab terhadap diri sendiri dengan menjaga

martabat luhur cita-cita profesi notaris secara profesional dan melaksanakan

tuntutan kewajiban sesuai dengan hati nurani, sedangkan bertanggungjawab

kepada masyarakat berarti notaris bersedia melakukan pelayanan yang berkualitas

tanpa memilah pelayanan cuma-cuma dan pelayanan bayaran sehingga hasil

pelayanan tersebut nantinya akan memberikan dampak positif bagi masyarakat.”

“Notaris memiliki tanggung jawab moral dan tanggung jawab khusus

dalam menjalankan profesinya. Tanggung jawab moral berarti profesi merupakan

suatu kumpulan masyarakat yang memiliki moral sehingga mempunyai cita-cita

dan nilai-nilai moral bersama sedangkan tanggung jawab khusus dimana profesi

ini memiliki kekuasaan tersendiri. Notaris sebagai profesi dalam menjalankan

tugasnya mengacu pada Kode Etik Profesi.”

“Notaris dalam melakukan perbuatan hukum dibebani tanggung gugat atau

tanggung jawab akan tetapi tidak semua kerugian yang dialami oleh pihak ketiga

menjadi tanggungjawab notaris.”

b. Kewenangan Notaris

“Teori kewenangan dalam bahasa inggris diterjemahkan sebagai authority

of theory, yang berarti kekuasaan. Kekuasaan adalah keahlian suatu golongan atau

orang tertentu yang dikarenakan kewenangan dan kewibawaannya dapat

8
menguasai suatu golongan atau orang lain tertentu. Dalam hal ini teori

kewenangan berasal dari kata teori dan kewenangan. Kewenangan berarti suatu

kekuasaan yang diberikan kepada seseorang atau suatu golongan tertentu melalui

Undang-Undang dalam melaksanakan tugasnya, sedangkan wewenang termasuk

dalam bagian dalam suatu kewenangan. Untuk mendapatkan wewenang ada 2

(dua) cara yaitu melalui atribusi dan delegasi.Wewenang atribusi berkaitan

dengan perolehan wewenang melalui suatu penyerahan wewenang yang baru

kepada suatu lemabaga atau orang sedangkan wewenang delegasi terkait

pemberian wewenang kepada lembaga yang lama oleh lembaga yang telah

mendapat wewenang atributif. Sehingga untuk wewenang delegasi harus terlebih

dahulu melakukan wewenang atribusi. Dalam hal ini Notaris memiliki

kewenangan dan kedudukan yang penting dalam membuat suatu akta dikarenakan

akta yang dibuatnya tersebut didalamnya akan memuat kewajiban dan hak dalam

hubungan hukum publik.”

c. Teori Kepastian Hukum

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana

tercantum dalam Pasal 28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Kepastian hukum yang dimaksud adalah sesuatu hal yang

dapat dijelaskan secara normatif sesuai ketentuan yang berlaku. Kepastian hukum

secara normatif merupakan suatu peraturan yang mengatur jelas dan pasti

mengenai sistem norma yang satu dengan norma yang lain pada saat peraturan itu

dibuat sehingga pada saat diundangkan peraturan tersebut tidak menyebabkan

9
multitafsir. Dengan adanya kepastian tersebut diharapkan mampu mencegah

ketidakpastian akibat terjadinya konflik antara norma satu dengan norma yang

lain.”

“Utrecht menjelaskan bahwa kepastian hukum mempunyai 2 (dua)

pengertian yakni adanya aturan yang bersifat umum sehingga menyebabkan setiap

individu memahami tindakan-tindakan apa yang diperbolehkan atau tidak

diperbolehkan untuk dilakukan, kemudian berupa keamanan hukum untuk

individu terhadap kewenangan pemerintah dikarenakan akibat ada aturan yang

bersifat umum tersebut maka setiap individu bisa memahami apa yang boleh

dilakukan atau dibebankan oleh negara terhadap individu.”

“Tujuan hukum adalah berorientasi terhadap kepastian hukum, keadilan

dan kemanfaatan (Notohamidjojo,2011:3), dengan demikian asas kepastian

hukum dijadikan landasan terhadap perilaku individu dan landasan tindakan yang

dapat dilakukan pemerintah kepada individu. Selanjutnya dalam kepastian hukum

bukan hanya berisikan pasal-pasal tetapi ada juga konsistensi putusan hakim

terhadap putusan hakim satu dengan putusan hakim yang lain bagi kasus sama

yang telah mendapatkan putusan. Dengan adanya kepastian hukum ini maka

masyarakat akan memahami dengan baik dan jelas mengenai kewajiban dan hak

sesuai ketentuan hukum, sedangkan apabila masyarakat tidak mengetahui

mengenai kepastian hukum ini maka masyarakat tidak akan paham apakah

perbuatan yang dilakukan tersebut benar atau salah bahkan melanggar ketentuan

hukum.”

10
“Notaris berkewajiban membuat akta autentik berdasarkan ketentuan yang

ditetapkan peraturan perundang-undangan sehingga dapat dijadikan suatu alat

bukti, dengan demikian dalam akta harus memuat kepastian hukum terkait

kebenaran identitas dan mengenai kehendak atau keinginan para pihak. Sehingga

terjaminnya kebenaran dan kepastian hukum terkait akta tersebut akan juga

memberikan perlindungan hukum bagi Notaris maupun bagi masing-masing pihak

yang tercantum didalam akta tersebut.”

1.5.2 Kerangka Konseptual

“Kerangka konsep merupakan suatu hubungan yang mengaitkan konsep-

konsep hukum yang hendak diteliti. Penulis dalam penelitian ini menjelaskan

beberapa konsep, yaitu:”

1. Notaris merupakan pejabat berwenang yang membuat akta autentik

berisikan perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang ditentukan dalam

undang-undang.

2. Akta Notaris merupakan suatu tulisan yang dibuat dengan sengaja dan

ditandatangani oleh para pihak guna bukti dalam melakukan perbuatan

hukum.

3. Keterangan Palsu atau Pemalsuan adalah keterangan yang tidak sesuai

atau berlawanan dengan keterangan yang sebenarnya.

11
1.6 Metode Penelitian

1.6.1. Pendekatan Masalah

“Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif dan menggunakan

pendekatan perundang-undangan (Statute Approach). Pendekatan ini dilakukan

dengan mengamati undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan persoalan

hukum yang sedang diteliti. Selain itu, penelitian juga menggunakan pendekatan

konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan konseptual merujuk pada prinsip-

prinsip hukum, selain itu penelitian juga menggunakan pendekatan kasus (case

approach).”

1.6.2 Bahan Hukum

Bahan hukum adalah suatu pedoman yang nantinya dijadikan rujukan

dalam penelitian. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian, sebagai

berikut:

- Bahan hukum primer, yaitu bahan yang bersifat mengikat, berupa

peraturan perundang-undangan sesuai dengan persoalan yang dibahas.

- Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang terkait dan dapat digunakan

untuk membantu menganalisa serta memahami bahan hukum primer

seperti literatur maupun karya ilmiah para sarjana yang berhubungan

dengan persoalan yang dibahas.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

“Teknik yang digunakan dalam pengumpulan bahan hukum dalam tesis

ini yaitu teknik tertulis atau penelitian pustaka. Pengumpulan bahan dilakukan

dengan menelaah dan membaca buku-buku, peraturan perundang-undangan

12
terkait persoalan hukum penelitian ini. Selanjutnya bahan hukum yang sudah

terkumpul diuraikan, dianalisa dan akan disusun secara sistematis dalam suatu

rumusan untuk nantinya ditentukan apa pokok permasalahan dari persoalan

penelitian.”

BAB II

BENTUK TANGGUNG GUGAT TERHADAP AKTA PENGIKATAN

JUAL BELI DAN AKTA KUASA MENJUAL YANG DIDASARKAN

KETERANGAN PALSU

2.1 Pengertian Notaris

Notaris menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan seseorang

yang diangkat sumpah berdasarkan penunjukkan dan pemberian kekuasaan oleh

Kementrian untuk melaksanakan tugas yang berkaitan dengan pengesahan surat-

surat autentik. Notaris merupakan pejabat umum harus mandiri (independen) dan

berhak mengatur segala keperluan yang terkait dengan keperluan kantor bahkan

menentukan gedung, jumlah dan gaji karyawan berbeda dengan pejabat lainnya.

Istilah pejabat umum (dalam Ghansam Anand, 2018:14) merupakan

terjemahan dari Openbare Ambtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Reglement op

het Notaris Ambt in Indonesia (Ord, van Jan 18.60) Staatsblad 1860 Nomor 3,

yang didalamnya menyebutkan bahwa kedudukannya merupakan pejabat umum

yangg memiliki jabatan dalam negurus keperluan banyak orang dan

13
kewenangannya membuat akta-akta yang diinginkan atau sesuai kebutuhan

masing-masing orang.

Notaris memiliki fungsi dalam menjamin keotentikan tulisan-tulisan dalam

akta, oleh karena itu secara khusus notaris diberi kekuasaan dan kepercayaan serta

pengakuan oleh Kementrian dalam melayani kepentingan masyarakat. (A.Kohar,

2004:203). Pengertian pejabat umum merupakan pejabat yang berada dalam suatu

lingkungan pekerjaan tetap dengan mempunyai keterangan tertentu dan diangkat

oleh pemerintah serta dengan adanya jabatan tersebut maka notaris memiliki

kewajiban untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Satu-satunya

pejabat yang mempunyai keistimewaan membuat akta autentik ialah notaris,

dalam hal ini notaris menuangkan kehendak para pihak ke dalam suatu akta yang

nantinya akta tersebut berisikan perbuatan hukum para pihak.

Notaris mengemban jabatan untuk memberikan jasa kepada masyarakat

dengan tidak memihak dan harus secara mandiri berdasarkan pada nilai moral dan

nilai etika notaris, sehingga dalam dunia kenotariatan notaris akan memiliki

semangat untuk mengabdi bagi kepentingan umum dan memiliki rasa hormat

kepada martabat manusia dam martabat notaris. Keberadaan notaris sangat

penting berkaitan pembuatan suatu akta autentik, nantinya akta tersebut akan

dimanfaatkan masyarakat untuk melakukan peristiwa hukum.

Pengertian pejabat umum adalah penguasa yang diberikan tugas melayani

kepentingan publik untuk pembuatan akta otentik ialah orang yang mendapatkan

keterangan oleh negara menurut atribusi melalui syarat tertentu yaitu dengan

14
penyerahan keterangan baru terhadap jabatan didasarkan suatu aturan hukum.

(S.F.Marbun, 2001:35)

Selanjutnya menurut Abdul Ghofur (2009 : 15) :

“Selain akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris, bukan saja
karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan
hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan
perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi
masyarakat secara keseluruhan”.

Menurut UUJN dalam Pasal 1 angka 1 menjelaskan definisi notaris,

berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan notaris ialah (1) Pejabat

umum, (2) Memiliki kewenangan membuat akta, (3) Autentik, (4) yang

ditentukan oleh UU. Istilah pejabat umum di dalam bahasa belanda disebut

dengan OpenbareAmtbtenaren, artinya sebagai pejabat umum (Khairulnas & Leny

Agustan, 2018:7), notaris memiliki peran dan wewenang yang ditentukan oleh

undang-undang dengan melayani masyarakat yang memerlukan jasa membuat

perjanjian, penetapan dan perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam akta.

(Khairulnas & Leny Agustan, 2018:7)

Kewenangan notaris selaku pejabat umum juga tercantum di dalam

KUHPerdata bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai

umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Notaris

merupakan salah satu pegawai-pegawai umum sepanjang pembuatan akta tersebut

pembuatannya tidak menjadi tugas pejabat yang lain seperti yang diharuskan oleh

15
ketentuan perundang-undangan sehingga kepastian, perlindungan dan ketertiban

dapat terwujud.

Kedudukan notaris sebagai pejabat publik mengakibatkan notaris tidak

hanya memiliki kewenangan membuat akta namun juga memiliki kewenangan

lainnya. Apabila terdapat istilah publik dalam jabatan Notaris maka istilah publik

dalam hal ini memiliki arti pelayanan masyarakat umum dalam membuat akta

yang berkaitan dengan bidang keperdataan dan wewenang ini tidak menjadi

kewenangan pejabat lainnya. Akta yang dibuat nantinya oleh notaris tersebut

berdasarkan kebutuhan dan kepentingan masyarakat umum sehingga apa yang

tertuang dalam akta tersebut isinya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Notaris berbeda dengan pejabat publik yang berkaitan dengan hukum

pidana atau hukum tata usaha negara, dimana pejabat publik yang dimaksud

dalamm hal ini ialah pejabat pemerintah yang melayani kepentingan publik,

negara dan masyarakat umum dengan cara mengeluarkan suatu surat penetapan

atau surat keputusan (besluit) maupun sertifikasi yang merupakan kewenangan,

kewajiban dan tugas dari pejabat publik tersebut baik diminta maupun tidak

diminta oleh masyarakat umum dikarenakan masih lingkup hukum publik yang

mencakup hukum pidana dan hukum tata usaha negara, yang bersifat

administrastif.

Pejabat menurut Kamus Hukum dikenal dengan istilah Ambtenaren.

Dengan demikian Openbare Ambtenaren (dalam Habib Adjie, 2008 : 27) adalah

pejabat yang mempunyai tugas yang bertalian dengan kepentingan publik,

sehingga tepat jika diartikan sebagai Pejabat Publik. Habib Adjie (2008:31)

16
menyatakan bahwa produk akhir notaris selaku pejabat publik adalah akta otentik

yang didalamnya terikat dalam ketentuan hukum perdata khususnya dalam hal

hukum pembuktian.. Habib Adjie (2008:163) menyatakan mengenai notaris

selaku pejabat publik yaitu sebagai berikut :

a. bahwa pejabat umum merupakan terjemahan dari istilah Openbare

Ambtenaren maka dalam konteks ini Openbaar tidak memiliki makna

umum namun bermakna publik dan pada dasarnya Ambt merupakan

jabatan publik. Maka istilah pejabat umum dalam uujn seharusnya

diartikan sebagai pejabat publik dimana notaris memiliki kewenangan

dan kewenangan lainnya dalam pasal 15 UUJN salah satunya yaitu

membuat akta otentik.

b. Di dalam menggolongkan notaris selaku pejabat publik, publik disini

memiliki makna hukum bukan khalayak umum, sehingga notaris pejabat

publik berbeda dengan pejabat publik di bidang pemerintah hal ini dapat

berdasarkan perbedaan produk yang dihasilkan. Suatu akta dikatakan

tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang

bersifat konkret, individual, dan final dan tidak menimbulkan akibat

hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata dikarenakan

akta tersebut merupakan perumusan keinginan atau kehendak para pihak

yang kemudian dituangkan dalam suatu akta Notaris dan dalam

pembuatan akta tersebut dilakukan dihadapan Notaris dan bukan

merupakan keinginan Notaris. Sengketa dalam bidang perdata diperiksa

dipengadilan umum.

17
Notaris dalam pelaksanaan tugas dan jabatan notaris harus tunduk dan taat

kepada UUJN dan Kode Etik Notaris selain itu juga harus mengikuti beberapa

asas yang ada sehingga nantinya asas tersebut dapat berguna sebagai pedoman

atau dasar yang baik dan benar bagi Notaris dalam memberikan pelayanan

dibidang hukum kepada masyarakat yang memerlukan bantuan. Menurut

Sudarsono dalam Kamus Hukumya menjelaskan pengertian bahwa asas memiliki

arti sebagai dasar hukum, dalam hal ini dasar dimaksudkan sebagai sesuatu yang

digunakan sebagai tumpuan berpikir atau sebagai dasar cita-cita suatu

perkumpulan atau organisasi. Asas yang berkaitan dengan tugas dan jabatan

notaris dalam hal pembuatan akta otentik adalah asas yang bersifat formil dan asas

yang bersifat materiil. Asas yang bersifat formal lebih berkaitan dengan tata cara

atau prosedur notaris dalam melaksankan tugas dan jabatannya yang harus

terpenuhi dalam setiap keputusan atau ketetapan dalam membuat akta otentik.

Terdapat beberapa asas formil ini yaitu meliputi:

1. Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa jabatan

notaris pada dasarnya dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara notaris

dan para pihak (klien). Alasan masyarakat membuat akta otentik pada

notaris didasarkan adanya kepercayaan, atas dasar kepercayaan ini notaris

mendapatkan honorarium dari masyarakat yang menggunakan jasanya

sehingga notaris harus bisa bertindak amanah dengan menjaga

kepercayaan masyarakat. Asas kepercayaan juga dikenal sebagai “legal

expectation” berupa harapan-harapan yang timbul dari adanya janji-janji

sehingga harus bisa dipenuhi.

18
2. Asas kehati-hatian merupakan asas yang bertujuan agar Notaris selalu

berhati-hati sehingga dalam melaksanakan tugas jabatannya tetap

berpedoman pada rambu-rambu yang ada. Adanya asas ini agar notaris

dalam melakukan suatu tindakan hukum terkait pengambilan keputusan,

meneliti dengan seksama fakta kelengkapan alat bukti yang

diperlihatakan, keterangan-keterangan dari pihak-pihak yang nantinya

akan dituangkan ke dalam akta lebih berhati-hati. Apabila notaris tidak

berhati-hati dalam memeriksa segala hal yang berkaitan dengan

pembuatan akta maka akan menimbulkan kesalahan yang akan berakibat

hilangnya kepercayaan masyarakat yang akan menggunakan jasa notaris

tersebut.

3. Asas pemberi alasan sangat erat kaitannya dengan asas kehati-hatian,

dalam setiap akta yang dibuat harus memiliki alasan dan fakta yang

mendukung terhadap akta yang bersangkutan atau pertimbangan hukum

yang wajib dijelaskan kepada para pihak atau penghadap.

4. Asas proporsionalitas artinya antara hak dan kewajiban setiap orang harus

sama dan seimbang.

5. Asas kepastian hukum merupakan asas dalam negara hukum yang

mengutamakan peraturan perundang-undangan dan keadilan sehingga

wajib dipatuhi notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya terkait

segala tindakan dalam pembuatan akta. Berdasarkan asas ini maka

nantinya dalam akta yang telah dibuat harus memberikan kepastian

hukum sesuai hak dan kewajiban para pihak. Asas ini juga menekankan

19
pemberian hak kepada pihak yang berkepentingan untuk dapat

mengetahui apa yang harus dilakukan darinya seperti apa yang telah

disebutkan dalam akta, misalnya pemberian kuasa secara tepat dan tidak

mungkin digunakan pihak lain.

2.2 Kewenangan Notaris

KBBI menyatakan bahwa kewenangan diartikan sebagai wewenang yaitu

berupa hak dan kekuasaan dalam melakukan suatu hal tertentu, dalam hal ini

wewenang (authorithy) dapat digunakan seseorang ataupun lembaga yang

berdasarkan hak atau kekuasaan tersebut untuk bertindak maupun memberikan

perintah kepada tindakan seseorang yang lain untuk melakukan sesuatu sesuai

dengan yang diperintahkan. Notaris mempunyai peran sangat penting dalam

kehidupan masyarakat, dikarenakan kedudukan tersebut maka notaris memiliki

suatu wewenang atau kewenangan yang telah ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan.

The notary of authority merupakan kewenangan notaris dalam istilah

bahasa Inggris, sedangkan de notaris autoriteit sebutan kewenangan notaris dalam

istilah Belanda yang terkait dengan kekuasaan yang menempel atas diri seorang

notaris (H. Salim HS, 2016:47). Menurut Lutfi (2004:77),”Kewenangan yang sah

merupakan atribut bagi setiap pejabat ataupun bagi setiap badan”. Oleh sebab itu,

dalam melakukan suatu tindakan terkait pemerintahan diisyaratkan dan harus

beripjak kepada suatu kewenangan sah, sehingga pejabat maupun Badan Tata

Usaha Negara tidak bisa melakukan suatu tindakan pemerintahan tanpa ada suatu

kewenangan. Habib Adjie (2008:77) menyatakan bahwa wewenang atau yang

20
sering dikenal dengan kewenangan adalah suatu tindakan hukum yang ditata dan

diserahkan terhadap jabatan tertentu yang tugas jabatannya diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Suatu pejabat harus mengetahui

bahwa wewenang yang dimiliki juga mempunyai batasan diatur dalam peraturan

yang mengatur jabatan tersebut. Hukum administrasi menyebutkan bahwa

terhadap suatu jabatan mempunyai 3 (tiga) sumber wewenang yaitu wewenang

secara atribusi ialah dimana suatu jabatan memperoleh wewenang baru yang

didasarkan oleh peraturan perundang-undangan atau aturan hukum, wewenang

secara delegasi ialah pelimpahan wewenang yang sudah ada didasari oleh

peraturan perundang-undangan atau aturan hukum dan mandat lebih kepada

pelimpahan wewenang akibat yang berpengalaman tidak dapat menerima

wewenang tersebut. (Habib Adjie, 2008:77)

Apabila dikaitkan dengan kedudukan dan kewenangan notaris dalam

melaksanakan jabatannya membuat akta otentik maka notaris mnerima wewenang

dengan cara atribusi normatif yaitu menerima suatu kewenangan yang baru dan

kewenangan tersebut memiliki batas sesuai yang diatur dalam suatu peraturan

perundang-undangan yaitu UUJN. Jadi notaris notaris mendapatkan

wewenangnya tersebut secara atribus dikarenakan wewenang tersebut dibentuk

dan diserahkan oleh UUJN sendiri bukan dari lembaga lain misalnya Departemen

Hukum dan Hak Asasi Manusia. (Habib Adjie, 2008:78)

Kewenangan menurut H.D Stoud (dalam Ridwan HR, 2008:110)

merupakan seluruh aturan yang terkait mengenai tata cara dan aturan-aturan

pelaksanaan dan perolehan wewenang bagi subjek hukum publik dalam

21
melaksanakan hubungan publik. Sehingga sebelum pemberian kewenangan

kepada institusi yang berhak menjalankan kewenangannya maka terlebih dahulu

kewenangan-kewenangannya ditetapkan dalam suatu peraturan perundang-

undangan. Notaris yang ditunjuk oleh undang-undang memiliki kekuasaan dan

kemampuan untuk melaksanakan jabatannya guna pembuatan suatu akta dan

melayani kepentingan masyarakat. Notaris sebagai pejabat publik berdasarkan

kewenangan UUJN tersebut menimbulkan akibat hukum terhadap akta notaris

sehingga akta tersebut mendapatkan memiliki kekuatan yang otentik dan bersifat

eksekutorial.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1868 KUHPdt menyatakan bahwa

“suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang

untuk itu dimana tempat akta itu diperbuat.” Maka kekuatan akta otentik dan akta

notaris berdasarkan uraian pasal tersebut bukan dikarenakan proses pembuatannya

tetapi terdapat pada isi dan bentuk akta yang sudah ditetapkan serta pembuatannya

harus dihadapan pihak yang berwenang yang ditetapkan Undang-Undang.

Notaris merupakan suatu jabatan bukan suatu profesi atau profesional

sehingga setiap jabatan memiliki wewenang tersendiri. Wewenang tersendiri yang

dimilikinya ini memiliki landasan hukum seperi halnya notaris yang diatur dalam

UUJN. Oleh sebab itu apabila ada pelanggaran hukum yang dilakukan pejabat

diluar kewenangan ia dapat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. G.H.S

Lumban Tobing (1999:49) menyatakan bahwa notaris mempunyai 4 (empat) hal

wewenang selaku pejabat umum yaitu :

22
a) Notaris harus berwenang sepanjang menyangkut akta yang dibuat itu;
b) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk
kepentingan siapa akta tersebut dibuat;
c) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana kata
tersebut dibuat;
d) Notaris harus berwenang sepanjang waktu pembuatan akta itu.

Pengaturan mengenai kewenangan notaris juga terdapat dalam pasal 15 UUJN

yang menyebutkan bahwa kewenangannya meliputi :

(1) membuat akta mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan

yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang

dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta

Autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan

Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu

sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan

kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-

undang;

(2) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membukukan

surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membuat

kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian

sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan,

melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya,

memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta,

membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau membuat Akta

risalah lelang;

23
(3) Serta kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan.

Berdasarkan uraian tersebut maka ada 3 (tiga) macam kewenangan notaris

yaitu kewenangan umum, kewenangan khusus, dan kewenangan yang akan

ditentukan kemudian. Habib Adjie (2011:78) menyatakan bahwa kewenangan

notaris utama atau umum ialah (1) menyangkut perbuatan membuat suatu akta

otentik, dalam hal ini perbuatan disini diartikan sebagai perbuatan hukum yang

perbuatan tersebut dilakukan dengan maksud sebagai penjelasan dan keinginan

yang tercantum didalamnya mewujudkan, merubah, mengakhiri sesuatu hak yang

ada.; (2) Perjanjian, menurut Herlien Budiono (2014:3) perjanjian ialah

“perbuatan hukum yang menimbulkan, berubahnya, hapusnya hak, atau

menimbulkan suatu hubungan hukum dan dengan cara demikian, perjanjian

menimbulkan akibat hukum yang merupakan tujuan para pihak”; (3) suatu

ketetapan yang diwajibkan peraturan perundang-undangan dan/atau yang

diinginkan oleh pihak berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik dan (4)

memberikan kepastian tentang semuanya terkait pembuatan akta-akta seperti

tanggal pembuatan akta, penyimpanan akta, memberikan salinan, grosse, serta

kutipan akta, hal tersebut sepanjang pembuatan akta tidak menjadi tugas pejabat

lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Kewenangan khusus notaris seperti yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2)

adalah mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membukukan surat di bawah

tangan dengan mendaftar dalam buku khusus, membuat kopi dari asli surat di

24
bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan

digambarkan dalam surat yang bersangkutan, melakukan pengesahan kecocokan

fotokopi dengan surat aslinya, memberikan penyuluhan hukum sehubungan

dengan pembuatan Akta, membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan,

membuat Akta risalah lelang.

Kewenangan khusus lainnya yang dapat dikategorikan sebagai kewajiban

notaris yaitu membuat akta dengan bentuk in Origanali yang terhadap akta ini

dapat diperbolehkan dibuat satu rangkap dan terhadap waktu, bentuk, dan isi

harus ditanda tangani pada saat sama serta ketentuan pada setiap akta tertulis

kata-kata berlaku sebagai satu dan satu untuk semua hal ini sebagaimana diatur

Pasal 16 ayat (3). Berdasarkan penjelasan pasal tersebut akta yang termasuk

dalam kewenangan lainnya sebagai berikut :

a) Pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

b) Penawaran pembayaran tunai;

c) Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

d) Akta kuasa;

e) Keterangan kepemilikan; atau

f) Akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. (Habib Adjie,

2008:82)

Notaris dalam pasal 51 UUJN mjuga mempunyai kewenangan lainnya meliputi

memperbaiki apabila terjadi kesalahan dalam penulisan atau pengetikan terhadap

minuta yang sudah di tanda tangani oleh para pihak yaitu dengan dibuatkan berita

25
acara pembetulan dan salinannya kemudian berita acara tersebut harus

disampaikan kepada pihak dalam akta tersebut.

Luthfan Hadi (2017:26) menyatakan bahwa wewenang notaris yang akan

ditentukan kemudian adalah wewenang yang muncul dan digunakan sebagai dasar

oleh notaris apabila nantinya lahir suatu aturan yang di dalamnya tercantum

klausula mewajibkan penggunaan akta otentik.

Kekuatan pembuktian dari akta notaris dan dikaitkan dengan wewenang

dalam Pasal 15 UUJN maka dapat dikatakan bahwa :

a. Tugas suatu jabatan Notaris ialah merumuskan kehendak para pihak ke

dalam suatu akta otentik dengan menyesuaikan aturan-aturan hukum yang

berlaku.

b. Akta notaris yang telah dibuat akan memiliki pembuktian yang sempurna

sehingga tidak diperlukan alat bukti yang lain. Apabila nantinya ada yang

merasa akta tersebut salah maka pihak tersebut harus bisa membuktikan

bahwa akta tersebut tidak benar karena tidak sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

2.3 Pertanggungjawaban Notaris

Pada dasarnya dalam suatu pekerjaan yang dilakukan oleh baik sengaja

maupun tidak sengaja oleh seseorang nantinya harus bisa dimintai

pertanggungjawaban ini juga terkait suatu profesi hukum salah satunya notaris

terhadap tugas dan kewajiban profesinya. Seorang notaris didalam menjalankan

jabatannya mempunyai suatu tanggungjawab moral terhadap profesinya. Profesi

mengandung makna sebagai suatu masyarakat moral yang memiliki nilai-nilai dan

26
cita-cita bersama sehingga nantinya menjadi suatu kelompok yang memiliki

kekuasaan sendiri dan tanggungjawab khusus. Salah satu yang dijadikan ajuan

dalam menjalankan profesinya tersebut adalah kode etik profesi, selain itu juga

disebutkan dalam UUJN yang mengatur apabila dalam menjalankan jabatannya

notaris terbukti melanggar ketentuan maka notaris wajib bertanggungjawab

dengan cara dikenakan sanksi berupa sanksi perdata, pidana, administrasi.

Pertanggungjawaban merupakan keadaan wajib menanggung segala

sesuatu apabila terdapat hal yang bisa dituntut, dipermasalahkan dan lainnya.

Berkaitan dengan pertangungjawaban, Titik Triwulan dan Shinta Febrian

(2010:48) berpendapat bahwa pertangungjawaban harus memiliki dasar yang

nantinya menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seseorang untuk menuntut

kepada orang lain sekaligus berupa hal yang dapat melahirkan kewajiban hukum

orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya. Maka yang menjadi dasar

untuk memenuhi suatu pertanggungjawaban harus dengan adanya perbuatan

kesalahan yang dilakukan orang lain sehingga pertanggungjawaban tidak akan

terjadi tanpa diikuti perbuatan.

Menurut Fockema Andrea (2011:15), frase bertanggung jawab berarti

terikat maka dalam hukum tanggung jawab dapat diartikan sebagai keterikatan.

Sebagaimana hal tersebut maka pertanggungjawaban atau mampu bertanggung

jawab harus disyaratkan dimana ada perbuatan melawan hukum pelaku yang

menyebabkan adanya kerugian. Sementara itu Simorangkir (1998:102)

menjelaskan bahwa tanggung jawab ialah keadaan yang mewajibkan untuk

menanggung segala hal yang menjadi tugasnya dengan melihat sisi baik dan

27
buruk dari perbuatan tersebut. Dalam hal ini perbuatan yang baik berarti tidak

perlu menanggung akibat apapun namun sebaliknya apabila melakukan perbuatan

yang buruk berarti harus menanggung akibat yang timbul dari perbuatan buruk

tersebut.

Tanggung jawab berarti setiap orang harus memikul untuk memenuhi atas

segala perbuatannya beserta yang menjadi kewajibannya dan dibawah

pengawasannya juga akibatnya. Berkaitan dengan UUJN terhadap pelaksanaan

tugas dan kewajiban notaris memiliki keterikatan terhadap aturan-aturan hukum,

sehingga terhadap segala perbuatan notaris yang terbukti melakukan pelanggaran

maka notaris harus bisa mempertanggungjawabkan secara hukum dengan cara

pemberian sanksi atau penjatuhan sanksi.

Bentuk-bentuk tanggung jawab Notaris menurut Abdulkadir Muhammad

(2001:93-94) dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Notaris dituntut menyusun akta dengan benar dan akurat. Dengan kata

lain, akta yang dibuat sebagai tanggapan atas keinginan para pihak

yang yang karena jabatannya sehingga meniliki kepentingan dan

memenuhi persyaratan hukum dari sudut pandang pihak yang

berkepentingan.

2. Notaris dituntut menerbitkan akta bermutu. Dengan kata lain notaris


berkewajiban menjelaskan bahwa kebeneran isi dan tata cara
pembuatan akta tersebut sudah memenuhi semua aturan hukum dan
sesuai keinginan pihak berkepentingan sehingga akta yang dihasilkan
tidak mengada-ngada.

28
3. Memiliki dampak positif bagi siapapun yang nantinya akan

menggunakan dan mengakui suatu akta dikarenakan akta ini memiliki

kekuatan bukti yang sempurna.

Sehubungan dengan produk notaris yang nanti dihasilkan berupa akta

otentik maka notaris harus berfungsi dengan baik dan profesional didalam

melaksanakan tugas dan jabatannya sehingga produk tersebut dapat memberikan

kepastian dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan dengan akta

tersebut sehingga akta otentik yag dibuatnya tersebut tidak akan menimbulkan

masalah bagi Notaris dan pihak-pihak lain. Apabila timbul masalah dalam akta

otentik tersebut pihak yang merasa dirugikan sering merasa bahwa peristiwa

hukum dalam akta termasuk sebagai tindakan atau perbuatan hukum notaris

maupun bersama-sama dengan pihak lainnya yang namanya disebutkan dalam

akta sehingga notaris juga didudukkan sebagai tergugat atau turut tergugat dalam

suatu gugatan. Berdasarkan hal ini, maka UUJN juga telah diatur apabila notaris

dalam melaksanakan jabatan terbukti melakukan pelanggaran hukum maka notaris

wajib dapat dikenakan pertanggungjawaban berupa sanksi administrasi, pidana,

perdata.

Tanggungjawab notaris secara adminitrasi dapat dilihat dalam uujn yang

sangat erat kaitannya dengan tugas dan pekerjaan notaris yaitu selain untuk

membuat akta otentik nitaris juga diberi tugas dan bertanggungjawab dalam

melakukan pendaftaran dan pengesah surat-surat atau akta-akta yang dibuat

dibawah tangan. Pertanggungjawaban notaris secara Administrasi dapat

dimintakan melalui lembaga atau organisasi notaris, seorang notaris yang telah

29
terbukti melakukan kesalahan dengan adanya putusan pengadilan yang

menyatakan bahwa notaris telah bersalah maka melalui putusan tersebut dapat

dijadikan dasar oleh organisasi notaris untuk bertanggungjawab walaupun notaris

tersebut sebelumnya juga sudah dimintai pertanggungjawaban secara pidana atau

perdata.

Ruang lingkup tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum yang

berkaitan dengan kebenaran materiil menurut Nico (2013:21) terdapat 4 (empat)

macam yaitu :

1. Tanggungjawab secara perdata, maka notaris bertanggung jawab


terhadap kebenaran materil terhadap akta yang dibuatnya;
2. Tanggungjawab secara pidana, maka notaris bertanggung jawab
terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya;
3. Tanggungjawab berdasarkan PJN (UUJN), maka notaris bertanggung
jawab terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya;
4. Tanggungjawab dalam menjalankan tugas jabatannya harus sesuai

dengan apa yang diatur dalam kode etik notaris.

Untuk menentukan adanya pertanggungjawaban secara administrasi

terhadap notaris harus dibuktikan bahwa perbuatan notaris itu telah melanggar dan

dapat dihukum sesuai uujn, terhadap akta otentik dapat dikategorikan telah

melanggar syarat administrasi apabila dalam pembuatannya telah melanggar pasal

38, 39, dan 40 UUJN. Jenis sanksi administrasi menurut Philipus M.Hadjon dapat

berupa :

a. Paksaan pemerintahan atau bestuurdwang;

b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan;

c. Pengenaan denda administratif;

30
d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

Penjatuhan sanksi dilakukan apabila notaris telah terbukti melanggar ketentuan

uujn dan didalam penjatuhan sanksi dilakukan secara bertahap dimulai dari

teguran lisan, tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat

hingga pemberhentian tidak hormat.

Apabila nantinya terbukti notaris melakukan kesalahan dalam pembuatan

akta maka maka pihak-pihak yang merasa dirugikan bisa menuntut secara perdata,

namun jika akta notaris mengandung cacat hukum akibat kesalahan-kesalahan dari

pihak lain atau didasarkan keterangan palsu dan bukti palsu yang disampaikan

pihak-pihak tersebut maka notaris tidak dapat dimintakan tanggung gugat.

Terhadap notaris juga dapat dikenakan sanksi pidana sebagai bentuk

pertanggungjawaban notaris apabila akta yang dibuatnya terbukti mengandung

cacat hukum sehingga menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Pada

dasarnya sanksi merupakan suatu paksaan hukum dan menyadarkan pihak yang

telah melakukan pelanggaran bahwa perbuatan yang dilakukannya telah

melanggar aturan hukum yang ditentukan.

Pertanggungjawaban pidana terhadap notaris dapat dikenakan apabila ada

tindakan hukum dari notaris yang sengaja, penuh kesadaran serta direncanakan

terhadap aspek lahiriah, formal dan materil bahwa nantinya akta yang akan dibuat

dihadapan atau oleh notaris sepakat untuk dijadikan dasar melakukan suatu tindak

pidana dan ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta tidak sesuai

dengan yang ditentukan UUJN. Secara umum beberapa tindakan hukum yang

dilakukan notaris dalam menjalankan jabatannya adalah tindak pidana tentang

31
pemalsuan surat (Pasal 263 ayat (1), (2), dan Pasal 264, 266 KUHP), tindak

pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP) dan tindak pidana penipuan (Pasal 378

KUHP). Terkait akta yang sudah dibuat oleh notaris dan ternyata didalamnya

terdapat unsur tindak pidana sehingga menimbulkan kerugian bagi para pihak

maupun pihak lainnya dan juga berdasarkan bukti-bukti yang ada maka terhadap

notaris patut diduga telah melakukan atau turut serta dalam membantu melakukan

suatu tindak pidana. Apabila tindakan notaris memenuhi rumusan suatu tindak

pidana namun menurut uujn dan menurut penilaian dari majelis pengawas notaris

bukan suatu pelanggaran maka notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi

hukuman pidana dikarenakan untuk menilai suatu akta harus berdasarkan uujn dan

kode etik jabatan notaris. Dan jika ternyata akta yang dibuat oleh notaris terbukti

melanggar batasan-batasan tersebut dalam uujn maka notaris diwajibkan

melakukan pemberian ganti rugi, biaya dan bunga kepada pihak yang dirugikan.

Istilah tanggung gugat sering disamakan dengan tanggung jawab, tetapi

berdasarkan sifat antara tanggung jawab yang bersifat responsibility dan tanggung

jawab hukum liability dapat dibedakan. Menurut M.A Moegi Djojodirdjo

(2011:14) tanggung gugat memiliki arti sama dengan pertanggungan jawab atau

pertanggungan gugat sedangkan Rutten (2011:14) menyatakan bahwa tanggung

gugat adalah kewajiban hukum yang berkaitan dengan ganti kerugian, sedangkan

pertanggungan jawab merupakan syarat untuk tanggung gugat yang harus sudah

ada sebelumnya. Sebagaimana pengertian tersebut maka antara tangung gugat dan

pertanggungan jawab berbeda. Pertanggungjawaban perdata sangat erat kaitannya

dengan perbuatan melawan hukum dan pengganti kerugian akibat perbuatan yang

32
telah dilakukan seseorang. Notaris berakitan dengan kewenangannya membuat

akta otentik melakukan tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan uujn

maka akta yang dibuatnya tersebut tidak mengikat secara hukum atau tidak dapat

dilaksanakan sehingga pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan notaris dapat

menggugat notaris secara perdata ke pengadilan negeri.

2.4 Tanggung Gugat Notaris

Tanggung gugat menurut Rescoe Pound (dalam Sjaifurrachman & Habib

Adjie, 2011:16) berkaitan pada kewajiban seseorang yang telah ditindaklanjuti

sesuai dengan kewajibannya untuk meminta ganti rugi dari orang yang

menyebabkan kerugian, baik orang pertama sendiri sekalipun oleh sesuatu

dibawah kekuasaanya, sedangkan tanggung gugat aansprakelijkheid menurut M.A

Moegni Djojodirdjo (dalam Sjaifurrachman & Habib Adjie, 2011:16) ialah

mengutamakan adanya tanggung gugat terhadap seseorang pelaku perbuatan

melawan hukum atas tindakannya serta akibatnya maka pelaku tersebut wajib

mempertanggungjawabkan tindakan yang diajukan di hadapan pengadilan melalui

gugatan oleh pihak yang dirugikan.

Tanggung gugat terhadap notaris timbul dikarenakan adanya kesalahan

yang dilakukan notaris ketika melaksanakan tugas jabatannya sehingga masalah

tersebut menimbulkan kerugian bagi pihak yang menggunakan jasanya. Tanggung

gugat notaris ini berkaitan dengan akta yang dibuatnya apabila didalam proses

pembuatannya dikemudian hari ternyata akta otentik tersebut terjadi cacat hukum

yang disebabkan oleh kesalahan notaris sehingga akta tersebut oleh pengadilan

dinyatakan tidak otentik atau tidak sah atau terdegradasi menjadi akta dibawah

33
tangan maka notaris yang bersangkutan harus bertanggugat gugat atas

kesalahannya.

Dalam ruang lingkup tugas pelakasanaan notaris hanya memformulasikan

keinginan atau tindakan para pihak dengan memasukkan atau mencantumkan

keterangan yang disampaikan atau diminta untuk dimuatnya ke dalam akta otentik

karena tanpa adanya permintaan dari para pihak maka Notaris tidak akan

membuat akta otentik apapun. Dalam hal pembuatan akta Notaris fungsinya hanya

mencatat atau menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para

pihak yang menghadap notaris tersebut, tidak ada kewajiban bagi notaris untuk

menyelidiki secara materil apa-apa atau hal-hal yang dikemukakan oleh

penghadap di hadapan notaris tersebut. ruang lingkup pelaksanaan tugas jabatan

notaris, sehingga Notaris seharusnya dinilai apa adanya dan setiap orang harus

dinilai dengan benar setiap perkatannya seperti yang telah disampaikan dan

dituangkan dalam akta dikarenakan oleh undang-undang notaris juga tidak

dibebani kewajiban hukum untuk meminta para pihak membuktikan kebenaran

tentang keterangan yang disampaikan pihak yang menghadap.

Ketentuan Pasal 84 UUJN terkait tanggungjawab notaris secara perdata

yang menyebutkan :

“Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap ketentuan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat huruf
(k), Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52
yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian
sebagai akta dibawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum
dapat menajdi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut
penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris”.

34
Pendekatan hukum dikaitkan dengan perbuatan melawan hukum mengenai

kerugian dan ganti rugi. Ganti rugi terdapat 2 (dua) macam yaitu ganti rugi umu

dan ganti rugi khusus. Menurut Munir Fuady (2010:136), pengertian “ganti rugi

adalah ganti rugi yang berlaku untuk semua kasus, baik untuk kasus-kasus

wanprestasi kontrak, maupun kasus-kasus yang berkaitan dengan perikatan

lainnya, termasuk karena perbuatan melawan hukum.” Dalam hukum perdata,

pertanggung jawaban sangat berkiatan dengan perbuatan melawan hukum

sehingga adanya penggantian kerugian yang timbul akibat tindakan yang telah

dilakukan orang tersebut, sebagaimana ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata “tiap

perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian

tersebut”. Berdasarkan pasal diatas maka dapat disimpulkan beberapa unsur-unsur

terkait perbuatan melawan hukum sebagai berikut :

a. Ada suatu perbuatan;


b. Perbuatan yang melawan hukum;
c. Ada kesalahan oleh pihak lain;
d. Menimbulkan kerugian bagi pihak lain;
e. Ada hubungan klausul antara perbuatan dengan kerugian.

Notaris memiliki hubungan hukum dengan penghadap sehingga akibat

hubungan tersebut menjadi dasar notaris dapat dimintakan tanggung gugat berupa

penggantian-penggantian biaya. Notaris apabila terbukti melakukan pelanggaran

maka dapat di gugat di pengadilan, akan tetapi ada batasan untuk menjadikan

notaris selaku tergugat artinya jika pihak-pihak yang namanya tercantum dalam

35
akta dengan penghadap notaris hendak melakukan pengingkaran mengenai

beberapa hal meliputi :

1. Hari, tanggal, bulan dan tahun menghadap;


2. Waktu atau pukul menghadap;
3. Tanda tangan yang tercantum dalam minuta akta;
4. Merasa tidak pernah menghadap;
5. Akta tidak ditandatangani dihadapan notaris;
6. Salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;
7. Alasan lain berdasarkan formalitas pembuatan akta sebagaimana yang

terdapat dalam UUJN. (M. Luthfan Hadi Darus, 2017:74)

Dalam hal notaris melakukan kesalahan maka para pihak diharuskan

membuktikan dimana letak ketidaksesuaian dalil-dalil hukumnya jika ingin

mengajukan gugatan agar akta tersebut dapat dibatalkan, namun selama proses

pembuktian tersebut maka akta akan tetap berlaku mengikat bagi pihak yang

berkepentingan dalam akta hingga adanya putusan pengadilan atau dibatalkan

oleh para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Apabila dapat dibuktikan

bahwa benar notaris melakukan perbuatan melawan hukum maka notaris dapat

dikenakan sanski perdata berupa penggantian biaya dan ganti rugi.

BAB III

AKTA PENGIKATAN JUAL BELI DAN AKTA KUASA MENJUAL

BERDASARKAN KETERANGAN PALSU

3.1 Pengertian Akta

“Akta adalah surat perjanjian yang dibuat dengan kesepakatan tanpa ada

paksaan oleh pihak-pihak sehingga mengikat dan memiliki akibat bagi mereka

36
yang membuatnya. Dalam hukum keperdataan di Indonesia, pasal 1868 KUHPdt

menjelaskan mengenai alat bukti yang sah atau yang diakui yaitu:”

““Alat-alat bukti terdiri atas :


bukti tulisan; bukti dengan saksi-saksi; persangkaan-persangkaan; pengakuan;
sumpah. Segala sesuatunya dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan
dalam bab-bab yang berikut.” (R. Subekti & R. Tjitrosudibio, 2017: 521)”

“Pasal 1867 KUHPerdata menjelaskan juga mengenai “pembuktian

dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-

tulisan di bawah tangan”. Alat pembuktian tertulis adalah suatu bentuk rangkaian

kata maupun huruf yang menjadi sebuah kalimat sehingga memiliki makna. Alat

pembuktian tertulis tersebut dikenal dengan kata “acte” atau sering ditulis Akta.”

“Menurut Fockema Andreae (dalam M.Luthfan Hadi Darus, 2017:26),

“kata akta itu berasal dari bahasa Latin acta yang berarti geschrift atau surat”.

Sedangkan menurut Subekti (1980:29), “kata akta bukan berarti surat melainkan

harus diartikan dengan perbuatan hukum, berasal dari acte yang dalam bahasa

Perancis berarti perbuatan”.”

“Akta menurut Sudikno Mertokusumo (1979:106) merupakan surat yang

diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari

suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk

pembuktian. Sedangkan akta menurut A. Pitlo (dalam Sjaifurrachman & Habib

Adjie, 2011:99), merupakan ”surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai

sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu

diperbuat.” Dengan demikian akta merupakan suatu surat yang ditandatangani

oleh orang atau pihak yang didalamnya termuat peristiwa yang dijadikan dasar

37
oleh para pihak untuk melakukan suatu perikatan dan pada saat akta itu dibuat

mempunyai maksud dengan sengaja guna pembuktian apabila terjadi suatu

permasalahan hukum.”

“Akta ialah suatu surat perjanjian atau persetujuan dibuat dengan mufakat

dan sukarela tanpa ada paksaan serta mengikat pihak-pihaknya dan mempunyai

akibat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatanya (Andi Prajitno,

2018:1), selanjutnya fungsi akta sendiri bagi masing-masing pihak yang

membuatnya yaitu sebagai satu-satunya alat pembuktian guna syarat untuk

menyatakan suatu perbuatan hukum.”

“Macam akta dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu akta dibawah tangan

dan akta autentik. Akta dibawah tangan menurut Salim HS (2016:24) dalam

istilah inggris sering dikenal dengan sebutan “deed under the hand”, sedangkan

dalam istilah Belanda dikenal dengan sebutan “akte onder de hand” yang artinya

akta yang pembuatanya oleh para pihak sendiri tanpa bantuan seorang notaris.

Akta dibawah tangan ada 3 (tiga) jenis meliputi :”

a. Akta dibawah tangan yang mana dalam menandatangani kontrak itu

di para pihak melakukannya di atas materai tanpa adanya perantara

pejabat umum;

b. Akta dibawah tangan yang didaftarkan (waarmerken) dalam buku

khusus oleh notaris atau pejabat yang berwenang yang sebelumnya

sudah terlebih dahulu ditanda tangani oleh para pihak;

c. Akta dibawah tangan yang dibuat dan kemudian dilegalisasi oleh

notaris atau pejabat yang berwenang.

38
“Terhadap akta dibawah tangan diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan

b UUJN bahwa untuk akta dibawah tangan yang dilegalisasi merupakan akta

dibawah tangan yang disahkan artinya akta tersebut harus ditandatangani dan

disahkan dihadapan notaris atau pejabat yang memiliki wewenang untuk

mengesahkannya, sedangkan akta dibawah tangan yang didaftarkan (warmerken)

merupakan akta yang dibukukan (gewarmeken) dalam suatu buku khusus yang

dalam melakukan penandatanganannya harus pada hari dan tanggal yang

disebutkan dalam akta oleh pihak tersebut serta harus dilakukan dihadapan notaris

atau pejabat yang memiliki wewenang.”

“Kedudukan notaris dalam kaitannya kewenangannya yang ditentukan

UUJN yaitu membuat akta autentik. Akta autentik terdapat 2 (dua) jenis, yaitu

akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta yang

dibuat oleh pejabat artinya akta autentik tersebut dibuat oleh pejabat yang

mempunyai jabatan untuk membuat akta dengan melihat, mendengar dan

menyaksikannya. Dengan demikan maka akta pejabat ini tidak termasuk kedalam

pengertian kontrak dikarenakan akta ini hanyalah pernyataan sepihak dari satu

pejabat misalnya akta perkawinan. Sedangkan akta autentik yang dibuat para

pihak ialah akta dibuat oleh para pihak-pihak yang berkepentingan sehingga

nantinya akta tersebut akan dinyatakan di hadapan pejabat yang berwenang untuk

membuat akta tersebut misalnya notaris.”

“Menurut H. Salim HS (2016:50), “Akta Autentik adalah akta yang dibuat

oleh atau dihadapan notaris”. Salim HS (2016:51) menjelaskan bahwa akta

autentik yang dibuat oleh notaris melingkupi :”

39
1. Segala perbuatan yang ada kaitannya dengan apa yang hendak

diperbuat oleh subyek hukum atau penghadap kepada notaris.

Sehingga perbuatan hukum ini akan mengakibatkan adanya hak dan

kewajiban bagi para pihak.

2. Perjanjian, akta-akta perjanjian merupakan surat tanda bukti yang

berisikan mengenai hubungan hukum antara subyek satu dengan

subyek hukum yang lain bahwa subyek hukum satu memiliki hak

terhadap prestasi, sedangkan pihak lain tersebut memiliki kewajiban

melaksanakan prestasi tersebut.

3. Pengesahan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan

dan/atau yang diinginkan oleh para pihak yang berkepentingan untuk

dimuatkan dalam suatu akta autentik.

“Berkaitan dengan akta autentik, G.H.S Lumban Tobing menyatakan

bahwa akta autentik juga terdapat dalam Pasal 165 HIR yang bersamaan dengan

Pasal 285 Rbg yaitu “akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau

dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti lengkap

antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari

padanya tentang yang tercantum didalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan

belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan

langsung dengan perihal pada akta itu.” Sebagaimana pada ketentuan yang

mengatur mengenai akta notaris sebagai akta otentik dikarenakan akta otentik juga

alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh, sehingga segala sesuatu yang dinyatakan

ke dalam suatu akta notaris tersebut wajib diterima oleh para pihak kecuali ada

40
pihak yang merasa dapat membuktikan sebaliknya di hadapan pengadilan.

(Luthfan Hadi Darus, 2017:28)”

“Selanjutnya tidak hanya memiliki kekuatan pembuktian penuh dan

sempurna, suatu akta otentik juga memiliki nilai pembuktian lahiriah, pembuktian

formal dan pembuktian materil. Ketiga nilai pembuktian tersebut memiliki ciri

dan sifat sebagai berikut :”

a. Kekuatan pembuktian lahiriah maka akta itu sendiri yang memiliki

kekuatan untuk membuktikan bahwa dirinya sebagai akta otentik.

b. Kekuatan pembuktian formil bahwa melalui akta autentik maka

dapat dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan tercantum didalam

akta tersebut adalah benar.

c. Kekuatan pembuktian materil bahwa menurut yuridis melalui isi

akta tersebut dapat dibuktikan mengenai kebenaran atas pernyataan

yang diberikan oleh para pihak yang meminta untuk dibuatkan suatu

akta untuk bukti atas dirinya. (M.Luthfan Hadi Darus, 2017:33)

“Akta Otentik dalam bahsa Inggris disebut dengan authenticdeed,

sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan authentieke akte van. Pengertian

akta autentik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nul) adalah “akta yang dibuat oleh atau di

hadapan pegawai umum yang berwenang membuat akta ke dalam bentuk yang

ditentukan undang-undang.” Sedangkan akta autentik menurut Salim HS

(2016:20) merupakan “surat tanda bukti yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat

yang berwenang untuk itu menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam

41
peraturan perundang-undangan.” Sebagaimana definisi tersebut, maka ada

beberapa unsur-unsur yang tercantum meliputi :”

1. Surat tanda bukti berupa suatu tulisan yang dengan sengaja dibuat agar

dapat membuktikan benar atau tidaknya suatu peristiwa hukum.

2. Terdapat pejabat yang berwenang dimaksudkan bahwa seseorang

tersebut telah ditunjuk dan diberi kewenangan oleh undang-undang

untuk proses pembuatan akta misalnya Notaris dan PPAT.

3. Memiliki bentuk tertentu ini artinya struktur akta harus dibuat sesuai

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

4. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu tidak

diperbolehkan berlainan dengan undang-undang yang sudah berlaku

yaitu UUJN maupun peraturan perundang-undangan lainnya.

“Ciri-ciri Akta Otentik menurut C.A. Kraan (dalam Habib Adjie,

2018:127) meliputi :”

1. Suatu tulisan yang sengaja dibuat semata-mata untuk digunakan


sebagai bukti atau tulisam atas kondisi sebagaimana yang diuraikan di
dalam tulisan yang dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang
berwenang.
2. Suatu tulisan hingga ada bukti sebaliknya maka dianggap bersumber
dari pejabat yang berwenang.
3. Ketetapan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
tata cara pembuatan akta yang harus dipeuhi.
4. Apabila pejabat yang telah diangkat oleh negara dan memiliki
pekerjaan maka dalam melaksanakan tugasnya harus bersifat mandiri
dan tidak boleh memihak.

42
5. Hubungan hukum di dalam bidang hukum privat merupakan
pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat.

“Sedangkan menurut Irawan Soerodjo (2003:148) untuk syarat formal suatu akta

otentik ada 3 (tiga) unsur esenselia yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut :”

a. Didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang;

b. Di buat oleh atau dihadapan pejabat umum;

c. Akta yang dibuat atau di hadapan Pejabat Umum yang berwenang

untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.

“Menurut Andi Prajitno (2018:2), Akta Notaris ialah akta yang diterbitkan

atau di buat oleh notaris sesuai permintaan para pihak yang berkepentingan

dan/atau undang-undang mengharuskan itu. Selanjutnya notaris dalam

melaksanakannya dengan cara menuangkan ke dalam tulisan kehendak para pihak

dengan dibuatkan akta sesuai bentuk atau format yang telah disesuaikan dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.”

“Pengertian akta notaris tercantum di dalam Pasal 1 angka (7) UUJN

adalah “akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan

tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” Berdasarkan penjelasan

diatas maka terdapat 2 (dua) bentuk akta yaitu akta relaas (akta berita acara)

artinya akta yang dibuat oleh Notaris dan akta partij (akta pihak) artinya akta yang

dibuat di hadapan Notaris. Herlien Budiono (2014:8) menyatakan bahwa akta

relaas adalah susunan akta yang dibuat untuk dijadikan bukti oleh para penghadap

dimana didalam akta tersebut dijabarkan peristiwa-peristiwa secara otentik yang

disaksikan dan dilihat oleh notaris sendiri sehingga akta ini hanya sebagai bukti

terhadap tindakan dan kebenaran yang disaksikan notaris dalam melaksanakan

43
jabatannya sebagai notaris, tidak untuk memberikan bukti terkait keterangan yang

diberikan oleh para penghadap dengan menadatangani akta tersebut. Kata

“membuat” pada akta relaas menurut Rudi Indrajaya (2020:56) dijelaskan seperti

pengamatan yang dilakukan notaris terhadap perbuatan atau fakta hukum,

membuat berita acara, membacakan dan menadatangani akta tersebut bersama

para penghadap dan saksi, beserta keterangan para penghadap yang tidak

menandatangani akta.”

“Akta partij menurut Herlien Budiono (2014:8) merupakan suatu akta

yang didalamnya berisikan keterangan para penghadap mengenai peristiwa apa

yang terjadi, sehingga didasarkan keterangan oleh para penghadap kepada notaris

berarti para penghadap menceritakan atau menerangkan kepada notaris untuk

nantinya keterangan atau tindakan tersebut dinyatakan oleh notaris ke dalam suatu

akta notaris serta para penghadap juga menandatangani akta itu. Membuat akta

pada akta partij terdiri dari penyusunan, pembacaan serta penandatanganan akta

oleh para penghadap, para saksi dan notaris. (Rudi Indrajaya dkk, 2020:56)”

“Berkaitan dengan kegunaan atau keuntungan suatu akta otentik memiliki

manfaat, dalam bahasa Inggris manfaat akta autentik dikenal dengan istilah “the

benefits of deed authentic”, sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan

“wet uitkeringen authentiek”. Menurut H. Salim HS (2016:27), manfaat akta

autentik sebagai berikut :”

1. Menentukan secara jelas hak dan kewajiban;

2. Menjamin kepastian hukum;

3. Terhindar dari terjadinya sengketa;

44
4. Sebagai suatu alat bukti tertulis yang kuat dan penuh; dan

5. Memiliki hakikat yang berisikan kebenaran formal seperti dengan apa

yang diberitahukan para pihak kepada notaris.

“Sedangkan manfaat akta notariil atau akta autentik menurut Habib Adjie ada 3

(tiga) yaitu sebagai berikut :”

1. Para pihak yang membuat perjanjian secara notariil adalah untuk

mendapatkan kepastian hukum yang pasti dari apa yang dituliskan

dalam akta notariil;

2. Dapat memberikan rasa aman bagi para pihak yang membuat

perjanjian dikarenakan apabila ada satu pihak yang merasa telah

dirugikan oleh pihak yang lain maka pihak yang dirugikan itu dapat

menuntut berdasarkan akta notariil tersebut; dan

3. Dalam hal pembuktian, akta notariil memiliki pembuktian sempurna

dimana kesempurnaan sebagai alat bukti tersebut harus dilihat apa

adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain selain apa yang tertulis

dalam akta.

“Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

kegunaan suatu akta notariil adalah memberikan kepastian hukum dan rasa aman

bagi para pihak serta dapat digunakan sebagai alat bukti. Akta autentik dikatakan

memiliki kekuatan pembuktian sempurna dikarenakan dikarenakan proses

pembuatan akta tersebut dilakukan oleh pejabat berwenang.”

“Abdullah (2006:5-6) menyatakan terdapat 3 (tiga) kekuatan pembuktian

terhadap akta autentik yaitu kekuatan pembuktian lahir, formal dan materiil.”

45
a. Kekuatan Pembuktian Lahiriah (uitwendige bewijskracht)

“Menurut Habib Adjie (2011:18) merupakan kemampuan akta itu sendiri

untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik (acta publica

probant sese ipsa). Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah harus

dilihat apa adanya bukan dilihat ada apa. Kekuatan pembuktian lahir

sehingga akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk membuktikan

dirinya sebagai akta autentik sebagaimana diatur dalam Pasal 1875

KUHPerdata. Kemampuan ini tidak dapat diberikan kepada akta yang

dibawah tangan, karena akta dibawah tangan baru berlaku sah apabila

semua pihak yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda

tangan itu atau apabila dengan cara yang sah menurut hukum sehingga

dinyatakan sebagai telah diakui oleh para pihak yang bersangkutan. (H

Salim HS, 2016:30)”

“Dalam pembuktian lahiriah maka pembuktiannya harus dilakukan

melalui upaya ke pengadilan dan penggugat harus dapat membuktikan

bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta notaris.

(Habib Adjie 2011:19)”

b. Kekuatan Pembuktian Formal (formele bewijskracht)

“Dalam kekuatan pembuktian formal, suatu akta notaris harus dapat

memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam

akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak

yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan

prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. (Habib Adjie,

46
2011:19) Secara formal maka akta itu untuk membuktikan kebenaran dari

apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan juga yang dilakukan

oleh notaris sebagai pejabat umum didalam menjalankan jabatannya, maka

dalam arti formal dapat terjamin mengenai kebenaran tanggal akta itu;

kebenaran yang terdapat dalam akta itu; kebenaran identitas dari orang-

orang yang hadir; dan kebenaran tempat dimana akta dibuat. (H Salim HS,

2016:30)”

“Dalam pembuktian formal maka pihak yang mempermasalahkan akta

tersebut yang harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal

aspek formal dari akta notaris jika tidak mampu membuktikan

ketidakbenaran tersebut maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.

(Habib Adjie 2011:19)”

c. Kekuatan Pembuktian Materiil (materiele bewijskracht)

“Menurut Habib Adjie (2011:20) kekuatan pembuktian materil merupakan

kepastian tentang materi suatu akta bahwa apa yang tersebut dalam akta

merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta

atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum kecuali ada

pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Apbila akta tersebut dipergunakan

di muka pengadilan maka sudah dianggap cukup bagi hakim tanpa harus

meminta alat bukti lainnya lagi karena akta itu dibuat secara tertulis,

lengkap para pihaknya, objeknya jelas, serta tanggal dibuatnya. Dalam

pembuktian materiil maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan

47
bahwa notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya

dalam akta atau para pihak yang telah benar berkata (dihadapan notaris)

menjadi tidak benar berkata sehingga harus dilakukan pembuktian terbalik

untuk dapat menyangkal aspek materiil dari akta notaris. (Habib Adjie

2011:21)”

3.2 Akibat Hukum Terhadap Akta Didasarkan Keterangan Palsu

“Akta yang didalam pembuatannya melanggar ketentuan hukum yang

berlaku maka akan menimbulkan akibat hukum terhadap akta tersebut yaitu

terhadap akta tersbut dapat diajukan pembatalan dikarenakan dianggap sebagai

tindakan yang didalamnya mengandung unsur cacat hukum. Hal ini diakibatkan

dalam pembuatan akta tidak sesuai prosedur seperti halnya notaris tidak

berwenang dalam membuat akta secara lahiriah, formil dan materil, serta notaris

membuat akta notaris tidak sesuai UUJN mengenai tata cara pembuatan akta

notaris. Dengan alasan-alasan tersebut diatas, maka akta otentik memiliki

konsekuensi hukum dapat dibatalkan (verniegbaar), batal demi hukum (nietigheid

van rechtwege), mempunyai kekuatan pembuktian menjadi akta dibawah tangan,

dibatalkan oleh para pihak sendiri, dan dibatalkan oleh putusan pengadilan yang

telah berkekuatan hukum tetap. (Habib Adjie, 2009:81)”

“Pembatalan terhadap kedudukan akta notaris hanya dapat diajukan oleh

pihak yang berkepentingan dan namanya tercantum dalam akta tersebut dengan

cara mengajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Umum agar dapat dinilai dan

dinyatakan kebenaran mengenai isi akta tersebut. Setelah dilakukan pengajuan ke

Pengadilan, terhadap akta tersebut sepanjang gugatan tersebut masih berlangsung

48
hingga adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka akta

notaris tersebut tetap dinyatakan berlaku dan mengikat pihak-pihak dalam akta

tersebut.”

“Keabsahan suatu akta notaris dapat dilakukan penyangkal oleh para pihak

namun para pihak yang ingin melakukan penyangkalan harus dapat membuktikan

melalui 3 (tiga) aspek yaitu aspek lahiriah, formal dan materiil akta notaris.

Dengan demikian apabila nantinya terbukti bahwa didalam akta tidak terpenuhi

ketiga aspek tersebut maka melalui pertimbangan pengadilan akta tersebut dapat

dibatalkan dan menjadi akta notaris yang tidak sah. Namun sebaliknya apabila

pihak tersebut tidak dapat membuktikan bahwa didalam akta notaris tersebut tidak

memenuhi atau melanggar ketiga aspek tersebut maka akta notaris tersebut

memiliki kekuatan pembuktian yang sah sehingga bisa digunakan sebagai alat

bukti yang sempurna.”

“Sebagaimana diatur dalam Pasal 84 UUJN bahwa apabila seorang notaris

terbukti telah melakukan pelanggaran atau tidak melakukan ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44,

Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52 maka akta tersebut hanya memiliki

kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta batal demi hukum.

(Habib Adjie, 2011:66)”

3.2.1 Akta Notaris dapat Dibatalkan

“Suatu akta yang telah dibuat oleh atau dihadapan notaris dapat dibatalkan

oleh pihak-pihak yang namanya tercantum dikarenakan akta yang dibuat tidak

memenuhi unsur subjektif para penghadap yaitu kesepakatan untuk mengikatkan

49
diri dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Habib Adjie (2008:123)

menjelaskan bahwa akta notaris adalah suatu perjanjian yang perjanjian dilakukan

oleh para pihak sehingga melalui perjanjian akan mengikat para pihak yang

membuatnya, sehingga dalam membuat perjanjian tersebut agar sah harus

memenuhi syarat-syarat perjanjian. Ada 4 (empat) syarat suatu perjanjian

dianggap sah menurut ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata meliputi:”

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

“Berdasarkan ketentuan tersebut untuk mengatur mengenai sahnya perjanjian ada

2 (dua) syarat adalah tedapat 2 (dua) syarat yang mengatur mengenai sahnya

perjanjian yaitu syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan dengan subjek yang

mengadakan atau membuat perjanjian yang terdiri dari kata sepakat dan cakap

bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, sedangkan syarat objektif

adalah syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan

objek yang dijadikan perbuatan hukum oleh para pihak yang terdiri dari suatu hal

tertentu dan sebab yang tidak dilarang. (Habib Adjie, 2008:123)”

“Apabila dalam hukum perjanjian syarat subjektif dan syarat objektif tidak

dipenuhi maka akan menimbulkan akibat hukum, jika syarat subjektif tidak

terpenuhi maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan sepanjang ada permintaan

oleh orang-orang tertentu atau yang berkepentingan sedangkan apabila syarat

objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum tanpa perlu adanya

50
permintaan dari pihak sehingga perjanjian yang dibuat dianggap tidak pernah ada

dan tidak mengikat siapapun. Syarat sahnya suatu perjanjian harus diwujudkan

dalam akta Notaris, syarat subjektif terdapat dalam Awal akta dan syarat objektif

terdapat dalam badan akta sebagai isi akta. (Habib Adjie, 2018:123-124)”

3.2.2 Akta Notaris Batal Demi Hukum

“Akta notaris batal demi hukum berbeda dengan akta yang dibatalkan

dikarenakan unsur subjektif dalam proses pembuatan akta tidak terpenuhi

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1320 ayat 1 dan ayat 2 KUHPdt.

Selanjutnya untuk suatu akta notaris yang batal demi hukum dapat dipengaruhi

oleh beberapa faktor hal ini dikarenakan akta yang dibuat tersebut melanggar dan

tidak terpenuhinya unsur lahiriah akta otentik, unsur formal akta otentik, unsur

materil, unsur Pasal 1320 ayat 3 KUHpdt tentang suatu hal tertentu, dan unsur

Pasal 1320 ayat 4 KUHpdt tentang sebab atau kausa yang diperbolehkan. Dengan

melihat pelanggaran mekanisme pembuatan akta otentik yang dilakukan oleh

notaris itu artinya terhadap hak dan kewajiban pelaksanaan dalam akta tersebut

tidak boleh dilaksanakan dikarenakan bertentangan dengan hukum.”

“Muhammad Syaifuddin (2012:142) juga berpendapat bahwa suatu akta

dikatakan batal demi hukum apabila di dalam isi akta notaris tersebut tidak

memenuhi unsur syarat objektif sehingga akibat hukum dari batalnya akta itu

adalah akta tersebut dianggap tidak pernah dibuat atau ada (inexistence), sehingga

dimulai pada saat akta itu ditandatangani dan perbuatan hukum yang diperjanjikan

tidak pernah dianggap terjadi. Pembuatan akta notaris wajib sesuai yang telah

ditentukan dalam uujn yang merupakan karakter dari suatu akta notaris, walaupun

51
di dalam Pasal 38 ayat (3) huruf a dimana uujn telah mendudukkan bahwa dalam

kerangka akta notaris terdapat adanya syarat subjektif dan syarat objektif yang

juga merupakan bagian dari badan akta yang sesuai dengan maksud dari suatu

perjanjian batal demi hukum dan dapat dibatalkan.”

3.2.3 Akta Notaris Mempunyai Kekuatan Pembuktian Sebagai Akta di

Bawah Tangan

Menurut Habib Adjie (2018:126), Akta Notaris memiliki pembuktian

sempurna oleh sebab itu dijadikan sebagai alat bukti sehingga tata cara atau

prosedur pembuatan akta harus dipenuhi apabila terdapat tata cara yang tidak

dipenuhi dan jika prosedur tersebut dapat dibuktikan maka akta tersebut dapat

dikatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di

bawah tangan dengan melalui proses pengadilan. Apabila nantinya kadar

pembuktian dari akta autentik terdegradasi menjadi akta di bawah tangan maka

nilai pembuktian tersebut diserahkan kepada majelis hakim guna menilai

kebenaran atas akta tersebut. (M. Luthfan Hadi Darus, 2017:109)

Menurut Pasal 1869 KUHPdt dijelaskan uraian mengenai akta notaris yang

dapat memiliki kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila tidak

dipenuhinya ketentuan diakibatkan :

a. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan; atau

b. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan; atau

c. Cacat dalam bentuknya, meskipun demikian akta seperti itu tetap

mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan

52
jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak. (Habib Adjie,

2011:81)

Ketentuan dalam UUJN juga secara tegas dicantumkan mengenai

pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris sehingga menyebabkan suatu akta

notaris terdegradasi nilai pembuktiannya menjadi akta di bawah tangan, meliputi :

1. Apabila tidak membacakan akta di hadapan pengahadap dengan


dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani
pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris maka
melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf i;
2. Apabila notaris pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat
bahwa para penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan
karena penghadap membaca sendiri, mengetahui, dan memahami
isi akta maka melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8);
3. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan menunjuk kepada Pasal 39
dan Pasal 40 yaitu tidak dipenuhi ketentuan-ketentuan :
a. Pasal 39 menjelaskan bahwa penghadap paling sedikit berumur
18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan
hukum dan penghadap harus dikenal oleh Notaris atau
diperkenalkan kepadanya 2 (dua) orang saksi pengenal yang
berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap
melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua)
orang penghadap lainnya.
b. Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh
Notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi
paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap
melakukan perbuatan hukum dan dapat membubuhkan tanda
tangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan perkawinan
atau hubungan darah dalam garis lurus keatas atau kebawah
tanpa derajat pembatasan derajat dan garis kesamping sampai
dengan derajat ketiga dengan Notaris atai para pihak.
4. Membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang
mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris, baik karena
perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lusur
kebawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis
ke samping sampai derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri
sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataipun dengan perantaraan
kausa maka melanggar ketentuan Pasal 52.

Akta otentik yang telah melanggar ketentuan tersebut diatas maka akan

mengakibatkan turunnya kekuatan pembuktian yang semula akta otentik

53
terdegradasi menjadi akta dibawah tangan, terhadap akta tersebut tetap mengikat

selama belum ada keputusan dari pengadilan yang berkekuatann hukum tetap

yang harus dalam amar putusan menyatakan bahwa akta notaris telah melanggar

salah satu unsur yang diatur dalam UUJN. Sejak ada putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap maka akta baru akan menjadi tidak mengikat.

3.2.4 Akta Notaris Dibatalkan Berdasarkan Kesepakatan Para Pihak

Dibatalkannya suatu akta atas keinginan atau kehendak para pihak sendiri

dapat dilakukan dengan cara kesepakatan para pihak untuk bersama-sama datang

menghadap notaris tempat dimana akta itu dibuat dan pada saat menghadap

notaris para pihak sendiri yang kemudian menyampaikan bahwa bersepakat untuk

membatalkan akta yang dibuat tersebut. Sebagaimana juga yang dijelaskan Habib

Adjie (2011:84), dimana apabila para pihak merasakan akta notaris yang

bersangkutan tidak sesuai tujuan yang dikehendaki atau isi akta harus dirubah

sesuai dengan situasi dan kesepakatan para pihak maka para pihak yang

bersangkutan dapat secara bersama-sama menghadap notaris untuk membatalkan

isi akta yang bersangkutan. Dalam pembatalan akta otentik ini maka harus

dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan langsung terhadap akta yang

dibuat sebelumnya dengan mempertimbangkan untung rugi atau akibat hukum

dari pembatalan akta.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan akta pembatalan adalah

pernyataan pihak pertama dan pihak kedua bahwa mereka telah setuju dan sepakat

untuk melakukan pembatalan perbuatan hukum yang nantinya akan dinyatakan ke

dalam akta sebelumnya, maka selanjutnya pembatalan akta tersebut akan

54
menjelaskan perjanjian dan perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap

tidak pernah terjadi sehingga akta tersebut nantinya dianggap tidak pernah dibuat.

Salah satu kehendak atau keinginan pembatalan akta notaris oleh para

pihak dikarenakan tidak terpenuhinya syarat-syarat dalam pelaksanaan pembuatan

perjanjian serta para pihak tidak menjalankan isi yang telah disepakati dalam

perjanjian yang sudah dijelaskan dalam akta notaris. Habib Adjie menjelaskan

bahwa yang dimaksud dengan dibatalkan akta oleh para pihak baik karena

kesepakatan maupun melalui putusan pengadilan ialah isi dari akta sendiri

dikarenakan isi akta adalah keinginan para pihak-pihak sendiri, terhadap aspek

formal akta notaris adalah tanggung jawab notaris sendiri sehingga juga dapat

dibatalkan juga melalui putusan pengadilan.

3.2.5 Akta Notaris Dibatalkan Berdasarkan Putusan Pengadilan yang Telah

Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap karena Penerapan Asas Praduga Sah

Akta notaris merupakan produk pejabat publik sehingga dalam penilaian

terhadap akta tersebut harus dilakukan menurut Philipus M. Hadjon (dalam M.

Luthfan Hadi Darus, 2017:112) dengan asas praduga sah (Vermoeden van

Rechtmatigheid), maka setiap tindakan pemerintah atau pejabat publik dianggap

rechmatig hingga adanya pembatalan atau dikenal dengan istilah Presumtio Iustae

Causa menurut Paulus Efendi Lotulung (dalam M. Luthfan Hadi Darus,

2017:112) yang artinya suatu keputusan tata negara harus dianggap sah selama

belum dibuktikan sebaliknya sehingga pada prinsipnya harus selalu dapat segera

dilaksanakan.

55
Apabila terdapat gugatan yang menyatakan bahwa suatu akta notaris yang

dibuat oleh notaris tidak sah, maka harus dapat dibuktikan ketidakabsahan akta

tersebut dari aspek lahiriah, aspek formal, dan aspek materil. Apabila tidak bisa

dibuktikan ketidakabasahan akta tersebut maka akta yang bersangkutan dianggap

tetap sah dan mengikat pihak-pihak yang berkaitan dengan akta tersebut, hal ini

sesuai dengan penerapan asas praduga sah. Sebagaimana tercantum dalam pasal

84 UUJN yang mengatur mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh notaris,

dalam pasal tersebut dijelaskan apabila notaris melanggar atau tidak melakukan

ketentuan sesuai peraturan yang sudah ditentukan maka akta yang bersangkutan

akan mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dan

kebatalan akta notaris berupa dapat dibatalkan atau batal demi hukum.

Habib Adjie (2011:86) menjelaskan bahwa asas praduga sah berkaitan

dengan akta yang dapat dibatalkan merupakan suatu tindakan mengandung cacat

ialah seorang notaris tidak memiliki kewenangan untuk membuat akta secara

lahiriah, formal, materiil sehingga tidak sesuai dengan ketentuan mengenai tata

cara prosedur pembuatan akta notaris. dan juga asas ini tidak bisa digunakan guna

penilaian suatu akta batal demi hukum dikarenakan suatu akta batal demi hukum

sehingga dianggap tidak pernah dibuat.

Kelima kedudukan akta Notaris hanya bisa berlaku salah satu sehingga tidak

dapat dilakukan secara bersamaan, apabila akta notaris diajukan pembatalan oleh

pihak-pihak yang berkepentingan dalam akta kepada pengadilan dan kemudain

telah mendapat putusan pengadilan dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap

atau akta notaris tersbeut memiliki kedudukan pembuktian dibawah tangan atau

56
akta notaris batal demi hukum atau akta notaris dibatalkan oleh para pihak sendiri

dengan akta notaris lagi maka pembatalan akta notaris yang lainnya tidak berlaku

lagi dan ini juga berlaku terhadap asas praduga sah.

3.3 Upaya Hukum Para Pihak Atas Akta Yang Dibatalkan

Upaya hukum merupakan salah satu upaya yang dilakukan seseorang

untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum sesuai ketentuan yang

berlaku. Biasanya upaya hukum dilakukan apabila terjadi permasalahan terhadap

kepentingan antar subjek hukum sehingga diperlukan penyelesaian agar

mendapatkan kepastian hukum. Upaya hukum dapat dilakukan oleh para pihak

apabila merasa dirugikan terkait akta yang dibatalkan sehingga kehilangan

keotentikannya. Jika dalam prosedur pembuatan akta para pihak atau penghadap

merasa akta yang dibuat tidak sesuai aturan hukum maka para pihak atau

penghadap yang memberikan penilaian tersebut harus dapat membuktikannya

melalui proses peradilan berupa pengajuan gugatan dan meminta untuk diberikan

penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga.

Dalam kaitannya dengan jabatan notaris apabila seorang Notaris

melakukan pelanggaran atau kesalahan dalam melaksanakan jabatan sehingga

menimbulkan kerugian kepada orang lain maka notaris bertanggung gugat secara

perdata untuk membayar kerugian yang diderita oleh orang lain tersebut. Apabila

akibat kesalahan, kelalaian atau pelanggaran suatu akta yang dibuat oleh Notaris

membuat akta tersebut kehilangan keotentikannya atau akta tersebut menimbulkan

kerugian kepada orang lain maka orang yang dirugikan dapat mengajukan

tuntutan kerugian kepada Notaris yang mebuat akta tersebut. Terhadap akta

57
Notaris tidak dapat dinilai atau dikatakan secara langsung secara sepihak bahwa

akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagai batal demi hukum oleh

para pihak yang namanya tercantum didalam akta tersebut atau oleh orang yang

berkepentingan dengan akta tersebut. Akta Notaris memiliki kekuatan pembuktian

sebagai batal demi hukum apabila terbukti melanggar ketentuan-ketentuan yang

ditentukan dalam Pasal 84 UUJN.

Apabila ingin membuktikan bahwa Notaris melanggar ketentuan-ketentuan

tersebut, maka harus melalui prosedur gugatan ke pengadilan umum sehingga

pengadilan dapat melakukan penilaian terhadap akta yang di buat oleh Notaris

tersebut. Penilaian terhadap suatu akta tidak dapat dilakukan oleh Majelis

Pengawas, Notaris, ataupun para pihak yang namanya tercantum dalam akta atau

pihak lain. Untuk mengajukan gugatan kepada Notaris maka para pihak yang

menuntut harus bisa menemukan fakta-fakta bahwa notaris sudah melakukan

perbuatan melanggar hukum atau wanprestasi sehingga menimbulkan kesalahan

dan menyebabkan kerugian. Pengajuan dapat berupa pengajuan gugatan karena

wanprestasi akibat adanya salah satu yang tidak memenuhi isi perjanjian,

perjanjian ini timbul akibat adanya hubungan hukum antara para pihak sehingga

akibat hubungan tersebut para pihak mempunyai kewajiban masing-masing yang

harus dipenuhi atau tuntutan terhadap Notaris yang dianggap sebagai perbuatan

melawan hukum didasarkan dengan adanya hubungan hukum yang khas antara

Notaris dengan penghadap. Dalam proses pembuktian akta para pihak atau

penghadap harus menunjukkan ketentuan-ketentuan mana yang dilanggar oleh

58
Notaris, sebagaimana menurut Liliana Tedjosaputro bahwa dalam gugatan

penggugat harus membuktikan yaitu :

a. Adanya derita kerugian;

b. Adanya hubungan kausal antara kerugian yang diderita dan

pelanggaran atau kelalaian Notaris;

c. Bahwa pelanggaran atau kelalaian tersebut disebabkan kesalahan yang

dapat dipertanggungjawabkan kepada Notaris yang bersangkutan.

Apabila nantinya gugatan tersebut dikabulkan oleh Pengadilan sehingga

akta menjadi batal demi hukum dan terbukti telah mengakibatkan kerugian bagi

para pihak atau penghadap yang bersangkutan maka Notaris dapat dimintakan

penggantian biaya, ganti rugi dan bunga akibat dari dibatalkannya suatu akta hal

ini. Pengertian penggantian biaya (cost reimbursement) adalah notaris memberi

ganti rugi kepada pihak ketiga berupa ongkos-ongkos yang telaj dikeluarkan

akibat adanya akta yang dibatlkan demi hukum.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. “Tanggung gugat terhadap Notaris timbul dikarenakan salah satu pihak

merasa telah dirugikan akibat akta autentik yang dibuat oleh Notaris.

Notaris dalam membuat akta autentik hanya mendasarkan pada kebenaran

dokumen-dokumen saja atau kebenaran formal sedangkan kebenaran

59
materil sepenuhnya menjadi tanggung jawab para pihak yang

berkepentingan. Dalam hal ini terhadap akta pengikatan jual beli dan kuasa

menjual yang didalamnya mengandung cacat hukum yang disebabkan oleh

salah satu pihak memberikan keterangan palsu atau bukti palsu tidak dapat

langsung dimintakan pertanggungjawaban maupun tanggung gugat

terhadap Notaris namun harus dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya.

Jika ternyata dapat dibuktikan dan terbukti bahwa Notaris sudah

mengetahui adanya keterangan palsu yang disampaikan salah satu pihak

namun secara sengaja dan lalai tetap memasukkan keterangan tersebut

dalam akta sehingga menimbulkan kerugian salah satu pihak maka notaris

dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana maupun tanggung gugat.

Namun sebaliknya apabila terbukti dalam membuat akta autentik Notaris

tidak mengetahui bahwa keterangan salah satu pihak palsu dan secara

tidak sengaja keterangan tersebut dimasukkan ke dalam akta autentik maka

notaris tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban maupun tanggung

gugat atas kerugian akibat keterangan palsu tersebut. Notaris dalam

membuat suatu akta autentik sesuai keterangan dari para pihak yang

berkepentingan karena tanpa adanya keterangan para pihak maka Notaris

tidak akan membuatkan akta. Dengan demikian keterangan para pihak

yang disampaikan kepada Notaris harus sesuai fakta, jika apa yang

disampaikan kepada Notaris tersebut mengandung kepalsuan sehingga

membuat kerugian bagi pihak lain maka seluruhnya menjadi

60
tanggungjawab pihak yang memberikan keterangan palsu tersebut bukan

tanggung jawab Notaris.”

2. “Akta pengikatan jual beli dan akta kuasa menjual yang mengandung cacat

hukum maka akta tersebut akan terdegradasi kekuatan pembuktiannya dari

akta autentik menjadi akta dibawah tangan atau akta tersebut menjadi batal

demi hukum. Apabila ada para pihak yang dirugikan dengan adanya akta

yang dibuat tersebut maka dapat mengajukan gugatan perdata ke

pengadilan. Adanya putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap maka akta yang terdegradasi kekuatan pembuktiannya

menjadi akta dibawah tangan atau batal demi hukum mulai berlaku,

artinya selama belum adanya putusan Pengadilan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap akta tersebut tetap sah dan mengikat bagi para

pihak. Apabila terbukti maka Notaris wajib membayar penggantian biaya,

ganti rugi kepada para pihak.”

4.2 Saran

1. “Notaris didalam melaksanakan tugas jabatan harus lebih hati-hati dan

harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan sehingga akta yang

nantinya digunakan sebagai alat bukti tersebut dapat melindungi hak dan

kewajiban, memberikan kepastian serta perlindungan hukum para pihak

yang berkepentingan.”

2. “Notaris selaku pejabat umum yang memiliki kewenangan khusus

membuat akta autentik harus menjunjung tinggi nilai etika profesi,

61
menjaga harkat dan martabat serta kehormatan profesi jabatan notaris.

Sehingga nantinya dalam menjalankan tugas jabatannya tidak

menimbulkan kerugian bagi para pihak.”

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Adami, Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001.

62
Adjie, Habib, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama,
Bandung, 2011.
---, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
Refika Aditama, Bandung, 2008.
---, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung, 2008.
Agustan, Leny dan Khairulnas, Panduan Notaris/PPAT Dalam Menghadapi
Gugatan Perdata, UUI Press, Yogyakarta,2018.
Anand, Ghansham, Karakteristik Jabatan Notaris Di Indonesia, Prenadamedia
Group, Jakarta, 2018
Budiono Herlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011.
Darus, Luthfan Hadi, Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris, UII
Press Yogyakarta, Yogyakarta, 2017.
Nurbani, Erlies Septiani dan Salim HS, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Disertasi dan Tesis, Raja Grafindo, Depok, 2015.
HS, Salim, Peraturan Jabatan Notaris, Sinar Grafika, Jakarta, 2018.
---, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoretis, Kewenangan Notaris, Bentuk
dan Minuta Akta), Rajawali Press, 2016
Indrajaya, Rudi dkk, Notaris dan PPAT Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,
2020
Kohar, Abdul, Notaris Dalam Praktek Hukum, Alumni Bandung, Bandung, 1983.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2011
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke-6, Liberty,
Yogyakarta, 1998
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2010
Munir, Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.
Nico, Tanggung Jawab Notaris selaku Pejabat Umum, Center for Documentation
and studies of Business Law, Citra Aditya Bakti, Bandung 2003.

63
Prajitno, Andi, Apa dan Siapa Notaris Di Indonesia?, Putra Media Nusantara
(PMN), Surabaya, 2018
----, Akta Otentik Notaris, Putra Media Nusantara (PMN), Surabaya, 2018
----, Kewenangan Notaris dan Contoh Bentuk Akta, Putra Media Nusantara
(PMN), Surabaya, 2018
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press Yogyakarta, Yogyakarta,
2006.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam
Pembuatan Akta, Mandar Maju Mundur, Bandung, 2011
Subekti, R, dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata), Pradnya Paramita, Jakarta, 2006.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002
---, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2010

INTERNET
Akta Autentik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses
melalui (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nul), 28 Febuari 2021
Notaris dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses
https://kbbi.web.id/notaris, 28 Febuari 2021
Wewenang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online. Diakses
https://kbbi.web.id/wewenang, 28 Febuari 2021

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung No. 702
K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973)
PUTUSAN PENGADILAN
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 89/Pid.B/2020/PN Dps.

64

Anda mungkin juga menyukai