Anda di halaman 1dari 8

Mata kuliah : Budidaya Biota Laut (3 SKS)

Aspek budidaya terdiri dari :

1. sistem budidaya

2. produksi

3. komoditas budidaya

4. permasalahan

5. sarana/prasarana pendukung budidaya.

Sistem budidaya yang diterapkan, terdiri dari pola sederhana, semi intensif dan
intensif.

Sejak Indonesia mengalami krisis moneter yang selanjutnya diikuti dengan


krisis ekonomi maka tampak bahwa hampir sebagian besar kegiatan ekonomi
dalam kondisi yang sangat rapuh. Krisis tersebut, banyak sektor yang
menghentikan proses produksinya dan mengalami kebangkrutan karena bahan
bakunya tergantung kepada impor. Salah satu kegiatan ekonomi yang masih
menunjukan resistensi yang tinggi adalah perikanan termasuk pembudidayaan
ikan. Namun demikian, tidak lepas dari itu semua, berbagai permasalahan masih
terjadi dalam pembangunan perikanan budidaya yang berasal dari internal
maupun eksternal.

A. Permasalahan atau hambatan secara internal adalah sebagai berikut :

1. Teknologi pembenihan dan pembesaran untuk beberapa komoditas belum


sepenuhnya dikuasai.

2. Mutu sarana produksi dan produktivitas usaha budidaya masih relatif


rendah.

3. Pengelolaan lingkungan belum terintegrasi dengan baik.

4. Lemahnya kelembagaan kelompok pembudidaya.

B. Permasalahan eksternal yaitu sebagai berikut :

1. Belum mantapnya tata ruang penggunaan lahan perairan.

2. Lemahnya dukungan perbankan bagi usaha budidaya kerang mutiara.


3. Infrastruktur pendukung seperti telekomunikasi, listrik dll belum memadai.

4. Keamanan yang belum memadai, terutama pada kawasan budidaya


mutiara.

5. Belum mantapnya tata ruang lahan untuk perikanan budidaya.

Adapun peluang dalam pengembangan budidaya biota laut adalah masih


luasnya lahan serta permintaan pasar dunia terhadap prodak masih tinggi.
Peningkatan permintaan akan produksi dari hasil laut untuk dunia pada dasarnya
sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dunia.

Dilandasi pada pemahaman dan penelaahann secara mendalam tentang


tantangan, permasalahan dan prioritas pengembangan perikanan budidaya dan
strategi pengembangan perikanan budidaya dengan mengenali areal strategis
dan merumuskan rencana kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
dan merealisasikan sasaran yang telah ditetapkan.

Pembangunan perikanan budidaya secara konsisten perlu diarahkan untuk


mewujudkan PERIKANAN BUDIDAYA SEBAGAI SALAH SATU SUMBER
PERTUMBUHAN EKONOMI ANDALAN YANG DIWUJUDKAN MELALUI SISTEM
USAHA BUDIDAYA YANG BERDAYA SAING, BERKELENJUTAN, DAN
BERKEADILAN sebagai visi pembangunan perikanan budidaya di Indonesia.

Melalui SISTEM USAHA PERIKANAN BUDIDAYA YANG BERDAYA SAING,


ingin diwujudkan usaha perikanan budidaya dalam suatu sistem kemitraan dan
berkelanjutan dengan masyarakat, dimana masing-masing kelompok masyarakat
secara konsisten menerapkan sistem kemitraan, sehingga mampu menghasilkan
produk bibit dan mutiara yang berkualitas tinggi dan memiliki daya saing dalam
kerangka menghadapi era perdagangan bebas.

Kemampuan daya saing produk (bibit dan mutiara) untuk menembus pasar
pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
serta dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah.

Melalui program ini SISTEM kemitraan yang dikembangkan memiliki komitmen


yang kuat untuk memperhatikan daya dukung lahan dan kelestarian sumberdaya
serta lingkungan hidup, sehingga usaha budidaya dapat dikembangkan secara
berkesinambungan.
Melalui program kemitraan ini, ingin diwujudkan sistem usaha budidaya yang
mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara adil, baik dalam
kepemilikan sumberdaya, manfaat usaha, dan pengembangan ekonomi wilayah.

Untuk mewujudkan pembangunan ekonomi local diharapkan dapat


membangun proses peningkatan ekonomi lokal yang bertanggungjawab dan
ramah lingkungan serta berorientasi pada pembangunan yang berbasis : IPTEK
tepat guna untuk menyediakan bahan baku industri dan meningkatkan eskpor,
menciptakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia, menciptakan iklim usaha yang kondusif, mengembangkan
kelembagaan dan mengembangkan pemulihan serta perlindungan sumberdaya
perikanan budidaya dan lingkungannya dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat,

Tujuan pembangunan perikanan budidaya dalam periode lima tahun ke depan


adalah

1. meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pembudidaya ikan

2. meningkatan mutu produksi dan produktivitas usaha perikanan budidaya untuk


penyediaan bahan baku industri perikanan dalam negeri, meningkatkan ekspor
hasil perikanan budidaya, dan memenuhi kebutuhan konsumsi ikan
masyarakat.

3. meningkatkan upaya perlindungan dan rehabilitasi sumberdaya perikanan


budidaya.

Strategi dasar yang ditetapkan untuk setiap kebijakan yang diambil dalam
mewujudkan visi dan misi serta pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan
perikanan budidaya, adalah :

1. menggerakan seluruh komponen yang ada di setiap daerah untuk dapat


memanfaatkan potensi sumberdaya perikanan budidaya, sehingga mampu
menjadi kekuatan ekonomi yang riil melalui pengembangan kawasan-kawasan
budidaya yang memiliki keunggulan kompetitif.

2. membudayakan cara kerja profesional yang efektif, efisien dan berkualitas bagi
setiap insan perikanan budidaya.
3. membudayakan ikan hasil budidaya sebagai sumber pangan unggulan bagi
masyarakat Indonesia dalam rangka mencapai keamanan dan ketahanan
pangan.

Untuk mencapai sasaran tersebut maka langkah kebijakan yang harus


ditempuh adalah mengembangkan kawasan budidaya laut, payau, dan air tawar
yang menerapkan sistem usaha yang berdaya saing, berkelanjutan dan
berkeadilan.

Kawasan budidaya tersebut dibangun dalam rangka mendorong penerapan


manajemen profesional untuk meningkatkan ekonomi, mencegah penyebaran
penyakit dan efisiensi dalam penggunaan air, melalui penerapan azas ekonomi
kebersamaan antar pembudidaya ikan dengan koperasi dalam suatu kawasan
untuk mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan sarana produksi, pelaksanaan
proses produksi, pengolahan dan pemasaran hasil, serta pengelolaan lingkungan
dalam suatu ekosistem yang mapan, sehingga diperoleh nilai tambah dan efisiensi
dalam proses produksi, pengelolaan dan pemasaran hasil serta dalam menjaga
kelestarian sumberdaya dan lingkungan guna mewujudkan sistem usaha yang
berdaya saing, berkelanjutan, dan berkeadilan.

Lima dasar pertimbangan dalam pengembangan kawasan budidaya, yaitu :

1. market driven oriented (orientasi dorongan permintaan pasar), yaitu pemilihan


komoditas hendaknya berpijak pada keunggulan komparatif dari potensi
sumberdaya masing-masing daerah, serta berorientasi pada permintaan pasar
dan memperhatikan aspek-aspek pemasaran lainnya.

2. managable (berkelanjutan) dikelola secara ekonomis, yaitu : besarnya skala


usaha kawasan budidaya diarahkan untuk secara ekonomis yang mampu
mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan sarana produksi, pelaksanaan
proses produksi, pengolahan, pemasaran hasil dan pengelolaan lingkungan
dalam suatu sistem yang mapan, sehingga menghasilkan sistem usaha yang
berdaya saing dan berkelanjutan.

3. Participatory (partisipasi) masyarakat, yaitu kawasan budidaya harus


dibangun atas dasar kebersamaan ekonomi/kerjasama antar pembudidaya
dalam kelompok/koperasi yang dikelola secara transparan, dapat
dipertanggungjawabkan sehingga menghasilkan sistem usaha budidaya yang
berkeadilan.

4. integrated culture system (keterpaduan sistem usaha budidaya), yaitu :


pengembangan kawasan budidaya pada dasarnya dibangun melalui
pendekatan aquabisnis yang utuh, terpadu dan berkelanjutan, baik pada intra
maupun inter sub sistem dalam sistem budidaya,

5. infrastructure capacity (kelengkapan sarana dan prasarana), yaitu:


ketersediaan sarana prasarana pendukung seperti jalan penghubung,
pelabuhan ekspor/pasar, listrik, telepon, dan fasilitas air bersih sangat
mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektifitas kawasan usaha budidaya.

Implementasi kebijakan pembangunan perikanan budidaya dilaksanakan


melalui 5 program utama yakni :

1. Program pengembangan intensifikasi pembudidayaan ikan (INBUDKAN)

2. Pengembngan kawasan budidaya terintegrasi dengan sector lain

3. Pengembangan budidaya di pedesaan

4. Pengembangan perikanan berbasis budidaya

5. Program peningkatan produktifitas berwawasan lingkungan

Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data, dan setelah disusun rencana
pengembangan budidaya air payau, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut.

1. Potensi lahan budidaya air payau di Indonesia secara keseluruhan sebesar


1.224.076,32 ha, yang terdiri dari lahan eksisting 450.333,12 ha, dan yang
masih potensial untuk dikembangkan seluas 773.743,20 ha, dengan demikian
tingkat pemanfaatan lahan secara keseluruhan mencapai 36.79%.

2. Berdasarkan penilaian dan analisis daya dukung lahan, maka beberapa


wilayah yang mempunyai daya dukung lahan tinggi (> 90%) meliputi Lampung
pantai Timur/Utara, Jawa Barat pantai Selatan, Banten pantai Selatan, Jawa
Tengah pantai Selatan, Jawa Timur pantai Selatan dan Timur/Utara, Bali
pantai Utara, Nusa Tenggara Barat Pulau Lombok pantai Utara/Timur, Pulau
Sumbawa pantai Utara dan Selatan, Sulawesi Utara pantai Selatan/Timur.
Sedangkan kawasan yang memilki nilai daya dukungnya rendah meliputi
Jambi, Sumatera Selatan pantai Timur/Utara, Lampung pantai Timur/Selatan,
Jawa Barat pantai Utara, Banten pantai Utara.

3. Pembagian luas lahan pada tahap penataan untuk budidaya udang seluas
164.418,29 ha, budidaya bandeng seluas 155.600,66 ha, budidaya rumput laut
seluas 38.037,07 ha dan untuk konservasi seluas 89.514 ha. Pada tahap
pengembangan lahan potensial untuk budidaya udang seluas 260.946,81 ha,
budidaya bandeng seluas 205.828,64 ha, budidaya rumput laut seluas
39.010,65 ha dan untuk konservasi seluas 224.373,90 ha.

4. Pembagian luas lahan untuk budidaya udang berdasarkan tingkat teknologi


pada tahap penataan yaitu, teknologi sederhana seluas 83.540,10 ha,
teknologi semi intensif seluas 42.304,80 ha, teknologi intensif 38.573,39 ha.
Pada tahap pengembangan lahan potensial yaitu, teknologi sederhana seluas
136.263,13 ha, teknologi semi intensif seluas 82.223,10 ha, teknologi intensif
42.460,57 ha.

5. Pembagian luas lahan pada tahap penataan lahan pertahun untuk budidaya
udang dengan ketiga teknologi yaitu, 38.282,22 ha (2005), 79.333,38 ha
(2006), 134.799,39 ha (2007), 149.083,14 ha (2008), 163.336,89 ha (2009).
Pada tahap pengembangan pertahun yaitu, 19.972,52 ha (2005), 67.645,17 ha
(2006), 111.367,06 ha (2007), 138.692,74 ha (2008), 140.989,84 ha (2009).

6. Proyeksi produksi (ton) udang pada tahap penataan dan pengembangan lahan
potensial secara monokultur yaitu, 184.108,17 ton (2005), 441.044,91 ton
(2006), 695.547,57 ton (2007), 808.372,55 ton (2008), 857.626,38 ton (2009).
Nilai produksi ini belum termasuk produksi udang yang dibudidayakan secara
polikultur (udang – bandeng dan udang rumput laut).

7. Pembagian luas budidaya bandeng pada tahap penataan yaitu, 31.658,65 ha


(2005), 54.081,70 ha (2006), 85.298,37 ha (2007), 104.552,53 ha (2008),
132.424,68 ha (2009). Pada tahap pengembangan lahan potensial yaitu,
38.387,07 ha (2005), 66.533,70 ha (2006), 109.195,48 ha (2007), 128.929,79
ha (2008), 140.246,81 ha (2009).

8. Proyeksi produksi bandeng (ton) pada tahap penataan dan pengembangan


yaitu 20.494,19 ton (2005), 40.461,23 ton (2006), 68.503,77 ton (2007),
85.811,43 ton (2008), 101.293,40 ton (2009).
9. Pembagian lahan budidaya rumput laut yang dikembangkan pada tahap
penataan yaitu, 9.429,56 ha (2005), 16.028,70 ha (2006), 26.356,66 ha (2007),
32.233,27 ha (2008), 33.542,77 ha (2009).

10. Proyeksi produksi (ton) rumput laut yaitu, 47.147,81 ton (2005), 80.143,52 ton
(2006), 131.783,29 ton (2007), 161.166,37 ton (2008), 167.713,84 ton (2009).

11. Pembagian luas lahan untuk silvofishery pada tahap penataan yaitu, 7.374,94
ha (2005), 13.731,63 ha (2006), 22.725,01 ha (2007), 26.854,20 ha (2008),
26.854,20 ha (2009). Pada tahap pengembangan yaitu, 11.945,91 ha (2005),
26.092,88 ha (2006), 48.211,90 ha (2007), 60.806,50 ha (2008), 67.312,17 ha
(2009).

12. Dengan demikian total produksi udang berdasarkan kegiatan monokultur dan
polikultur dengan bandeng dan rumput laut yaitu, 192.990,41 ton (2005),
458.321,65 ton (2006), 724.821,13 ton (2007), 844.949,53 ton (2008),
900.163,64 ton (2009).

13. Pembagian luas lahan untuk budidaya udang vannamei pada tahap penataan
4.491,59 ha, dan pada tahp pengembangan lahan potensial 7.840,44 ha.

14. Proyeksi total produksi (ton) budidaya vannamei pada tahap penataan dan
pengembangan yaitu, 59.688,48 ton (2005), 161.634,58 ton (2006),
242.797,68 ton (2007), 270.510,67 ton (2008), 274.660,97 ton (2009).

15. Proyeksi kebutuhan benur pertahun secara keseluruhan yaitu, 13.069.332


ekor (2005), 31.328.148 ekor (2006), 47.903.089 ekor (2007), 56.315.342 ekor
(2008), 60.614.896 ekor (2009).

16. Proyeksi kebutuhan pakan udang pertahun secara keseluruhan yaitu,


337.760,74 ton (2005), 792.740,63 ton (2006), 1.212.690,58 ton (2007),
1.406.065,23 ton (2008), 1.494.888,04 ton (2009).

17. Tataruang wilayah belum ditetapkan secara baik dan benar serta sering kali
realisasinya merugikan kegiatan usaha budidaya pertambakan. Dalam hal ini,
perlu dilakukan koordinasi lintas sektoral dengan inisiatif dari Perikanan
(Perikanan Pusat dan Daerah).

18. Pertambakan di Indonesia pada umumnya masih belum mengikuti kaidah


budidaya udang yang benar sesuai dengan tingkat daya dukung dan teknologi
(konstruksi dan operasional). Kondisi tersebut mengakibatkan beberapa
dampak yang merugikan yaitu gagal panen, penurunan kualitas lingkungan,
serangan penyakit dan produktivitas rendah.

19. Pemerintah perlu bergerak lebih cepat untuk memberikan dan atau
mensosialisasikan standar budidaya air payau (desain tataletak dan konstruksi
serta operasional pembudidayaan), sesuai dengan tingkat teknologi budidaya
yang diterapkan berdasarkan daya dukung lingkungan pada tiap-tiap kawasan.

20. Rehabilitasi dan konservasi lingkungan pesisir perlu diprioritaskan dan


mendesak untuk dilaksanakan untuk mempertahankan dan meningkatkan
fungsi ekologi yang mengarah pada penyelamatan keberlanjutan usaha
budidaya tambak secara nasional.

21. Untuk mencapai sasaran yang ditargetkan perlu dukungan peningkatan


prasarana dan sarana baik fisik maupun SDM.

22. Tambak percontohan perlu dibangun dan dioperasikan secara mantap dan
konsisten di setiap kabupaten.

23. Program pengembangan udang Vannamei juga memberikan prospek yang


cerah dalam peningkatan volume produksi udang nasional.

Anda mungkin juga menyukai