1. sistem budidaya
2. produksi
3. komoditas budidaya
4. permasalahan
Sistem budidaya yang diterapkan, terdiri dari pola sederhana, semi intensif dan
intensif.
Kemampuan daya saing produk (bibit dan mutiara) untuk menembus pasar
pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat
serta dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Strategi dasar yang ditetapkan untuk setiap kebijakan yang diambil dalam
mewujudkan visi dan misi serta pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan
perikanan budidaya, adalah :
2. membudayakan cara kerja profesional yang efektif, efisien dan berkualitas bagi
setiap insan perikanan budidaya.
3. membudayakan ikan hasil budidaya sebagai sumber pangan unggulan bagi
masyarakat Indonesia dalam rangka mencapai keamanan dan ketahanan
pangan.
Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data, dan setelah disusun rencana
pengembangan budidaya air payau, maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut.
3. Pembagian luas lahan pada tahap penataan untuk budidaya udang seluas
164.418,29 ha, budidaya bandeng seluas 155.600,66 ha, budidaya rumput laut
seluas 38.037,07 ha dan untuk konservasi seluas 89.514 ha. Pada tahap
pengembangan lahan potensial untuk budidaya udang seluas 260.946,81 ha,
budidaya bandeng seluas 205.828,64 ha, budidaya rumput laut seluas
39.010,65 ha dan untuk konservasi seluas 224.373,90 ha.
5. Pembagian luas lahan pada tahap penataan lahan pertahun untuk budidaya
udang dengan ketiga teknologi yaitu, 38.282,22 ha (2005), 79.333,38 ha
(2006), 134.799,39 ha (2007), 149.083,14 ha (2008), 163.336,89 ha (2009).
Pada tahap pengembangan pertahun yaitu, 19.972,52 ha (2005), 67.645,17 ha
(2006), 111.367,06 ha (2007), 138.692,74 ha (2008), 140.989,84 ha (2009).
6. Proyeksi produksi (ton) udang pada tahap penataan dan pengembangan lahan
potensial secara monokultur yaitu, 184.108,17 ton (2005), 441.044,91 ton
(2006), 695.547,57 ton (2007), 808.372,55 ton (2008), 857.626,38 ton (2009).
Nilai produksi ini belum termasuk produksi udang yang dibudidayakan secara
polikultur (udang – bandeng dan udang rumput laut).
10. Proyeksi produksi (ton) rumput laut yaitu, 47.147,81 ton (2005), 80.143,52 ton
(2006), 131.783,29 ton (2007), 161.166,37 ton (2008), 167.713,84 ton (2009).
11. Pembagian luas lahan untuk silvofishery pada tahap penataan yaitu, 7.374,94
ha (2005), 13.731,63 ha (2006), 22.725,01 ha (2007), 26.854,20 ha (2008),
26.854,20 ha (2009). Pada tahap pengembangan yaitu, 11.945,91 ha (2005),
26.092,88 ha (2006), 48.211,90 ha (2007), 60.806,50 ha (2008), 67.312,17 ha
(2009).
12. Dengan demikian total produksi udang berdasarkan kegiatan monokultur dan
polikultur dengan bandeng dan rumput laut yaitu, 192.990,41 ton (2005),
458.321,65 ton (2006), 724.821,13 ton (2007), 844.949,53 ton (2008),
900.163,64 ton (2009).
13. Pembagian luas lahan untuk budidaya udang vannamei pada tahap penataan
4.491,59 ha, dan pada tahp pengembangan lahan potensial 7.840,44 ha.
14. Proyeksi total produksi (ton) budidaya vannamei pada tahap penataan dan
pengembangan yaitu, 59.688,48 ton (2005), 161.634,58 ton (2006),
242.797,68 ton (2007), 270.510,67 ton (2008), 274.660,97 ton (2009).
17. Tataruang wilayah belum ditetapkan secara baik dan benar serta sering kali
realisasinya merugikan kegiatan usaha budidaya pertambakan. Dalam hal ini,
perlu dilakukan koordinasi lintas sektoral dengan inisiatif dari Perikanan
(Perikanan Pusat dan Daerah).
19. Pemerintah perlu bergerak lebih cepat untuk memberikan dan atau
mensosialisasikan standar budidaya air payau (desain tataletak dan konstruksi
serta operasional pembudidayaan), sesuai dengan tingkat teknologi budidaya
yang diterapkan berdasarkan daya dukung lingkungan pada tiap-tiap kawasan.
22. Tambak percontohan perlu dibangun dan dioperasikan secara mantap dan
konsisten di setiap kabupaten.