NIM: 11191120000006
A. Pengertian Syura
Syura secara etimologis berasal dari bahasa Arab, dari kata syura yang berarti sesuatu
yang tampak jelas. Syura memiliki asal kata kerja syawara-yusyawiru-musyawaratan, yang
berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan, dan mengambil sesuatu (Abdul, 1996:
1263). Sedangkan bentuk lainnya tasyawara berarti berunding atau saling bertukar pendapat
(Kafrawi, 1987: 18). Lalu menurut Quraish Shihab (1996: 469) Syura ini diambil dari akar
kata syawara yang bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang sehingga mengandung arti mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain termasuk pendapat dan pemikiran, hal ini karena musytasyir atau
orang yang mengajak bermusyawarah seakan-akan mengambil pendapat dari orang lain.
Menurut Louis Ma’luf, syura ini berarti nasehat, konsultasi, perundingan, pikiran atau
konsideran permufakatan. Secara terminologi berarti majelis yang dibentuk untuk
mendengarkan saran dan ide sebagaimana mestinya dan terorganisir dalam masalah-masalah
kenegaraan. Termasuk juga saran-saran yang diajukan untuk memecahkan suatu masalah
sebelum sampai kepada konklusi bagi keputusan-keputusan konstitusional (Hasbi, 2011: 36).
Syura dapat pula diartikan sebagai forum tukar menukar pikiran, gagasan atau ide, termasuk
saran-saran yang diajukan dalam memecahkan sesuatu masalah sebelum pada suatu
pengambilan keputusan. Dilihat dari sudut kenegaraan, maka musyawarah adalah suatu
prinsip konstitusional dalam demokrasi Islam yang wajib dilaksanakan dalam suatu
pemerintahan dengan tujuan untuk mencegah lahirnya keputusan yang merugikan
kepentingan umum atau rakyat (Tahir, 1992: 83).
Dalam konteks memilih pemimpin, para pemikir islam seperti Al-Baqillani, Ibn
Taimiyyah, dan Ibn Khaldun sepakat bahwa syura digunakan dalam memilih pemimpin.
Karena pemimpin hanya dapat diangkat melalui pemilihan langsung oleh rakyat (Mumtaz,
1993: 78). Pendapat ini dipertegas oleh pemikir lain yaitu Mawardi dimana ia berpendapat
untuk melaksanakan musyawarah dalam memilih pemimpin diperlukan dua hal, Pertama, Ahl
al-Ikhtiar untuk sebutan mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat (legislatif),
dan Kedua, Ahl al-Imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam (eksekutif)
(Munawir, 2008: 63). Dari berbagai definisi mengenai syura dapat disimpulkan syura ialah
suatu musyawarah atau forum yang berisi suatu diskusi antara anggota musyawarah tersebut
untuk mencari solusi atas permasalahan.
B. Konsep Syura
Dalam melaksanakan syura, terdapat empat unsur yang harus diperhatikan dan dijadikan
sebagai penentu yang tidak boleh ditinggalkan, yaitu:
1. Mustasyir, yaitu orang yang menghendaki adanya musyawarah dan menginginkan suatu
pendapat yang benar atau mendekati kebenaran.
3. Mustasyar fih, yaitu permasalahan yang akan dikaji atau dijadikan objek bermusyawarah.
4. Ra’yu, yaitu pendapat bebas yang argumentatif mencermati esensi syariat dan terlepas dari
perasaan nafsu (Artani, 2001: 21-22).
Dalam kitab suci Al-Qur’an terdapat tiga ayat yang akar katanya menunjukkan
mengenai musyawarah dan hanya mengandung kaidah-kaidah umum. Yaitu pada surat Al-
Baqarah 2:233, Ali Imran 3:159, dan Al-Syura 42:38. Menurut Taufiq al-Syawi (1997: 201)
bahwa kaidah musyawarah dalam Islam, pertama merupakan kaidah kemanusiaan, kedua,
kaidah sosial dan moral, dan ketiga, kaidah konstitusional bagi sistem pemerintahan.
Pada lingkup keluarga, Quraish Shihab (2002:242) menjelaskan bahwa dalam Al-
Baqarah: 233 berisikan rangkaian pembicaraan tentang keluarga. Setelah berbicara tentang
suami isteri, maka pembiracaan pada ayat ini adalah tentang anak yang lahir dari hubungan
suami isteri itu. Di sisi lain, ia masih berbicara tentang wanita-wanita yang ditalak, yakni
mereka yang memiliki bayi. Dengan begitu, ayat ini memerintahkan kepada para ibu agar
menyusukan anak-anaknya, dan persoalan rumah tangganya dimusyawarahkan antara suami
isteri.
Pada lingkup sosial, Al-Imron: 159 ditujukan kepada Nabi Muhammad untuk
bermusyawarah dengan para sahabat serta dengan para ummah. Ayat ini turun berkaitan
dengan Perang Uhud. Nabi menjelaskan mengenai hubungan manusia dengan dunia dan
akhirat, dalam persoalan dunia Nabi mencontohkan dengan peperangan, ekonomi
perdagangan dan peternakan, konsep ini dikenal dengan hablum min al-nas. Lalu dalam
urusan akhirat Nabi mencontohkan dengan persoalan agama seperti ibadah atau hukum Allah
SWT.
Lalu syura dalam lingkup pemerintahan, dalam Al-Syura: 38 ayat ini menguraikan
syura pada periode Makkah, menunjukkan adanya perintah untuk bermusyawarah adalah
anjuran Al-quran dalam segala waktu dan berbagai persoalan yang belum ditemukan
petunjuk Allah di dalamnya. Ini berarti bahwa Nabi Muhammad dan para sahabatnya
seringkali melakukan musyawarah, jauh sebelum hijrah ke Madinah. Di Makkah memang
telah ada lembaga musyawarah, misalnya yang diselenggarakan di rumah Qusay ibn Kilāb,
yang disebut Dār al-Nadwah, beranggotkan para pemuka yang disebut Malā’. Kegiatan
musyawarah ini biasa juga dilakukan di antara orang-orang yang berpengaruh, termasuk
orang-orang kaya dan yang dipandang cendekia atau bijak (Quraish, 2002: 512).
C. Etika Musyawarah
Etika bermusyawarah dimaksudkan agar dapat memberi acuan, petunjuk agar bermusyawarah
sesuai dengan norma Al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Artani Hasbi (2011: 60-74)
menjelaskan setidaknya ada lima ketentuan dalam bermsuyawarah yaitu:
1. Disiplin
2. Pengambilan Keputusan
Jika dalam pengambilan keputusan melalui jalur kekeluargaan atau dengan musyawarah tidak
ditemui solusi maka metode yang diambil adalah dengan mengambil suara terbanyak atau
suara mayoritas. Namun kembali lagi lebih diutamakan menggunakan musyawarah metode
suara terbanyak apabila tidak ditemukan solusi atau terjadi perbedaan pandangan.
3. Objektif
4. Adab
Dalam musyawarah tentu perbedaan pandangan adalah hal yang biasa, maka dari itu kita
harus menyikapinya dengan baik dan menghormati pendapat tersebut.
Lalu contoh lain penerapan syura pada masa Nabi ialah ketika perang Uhud, dimana
beliau meminta pandangan para sahabat mengenai apakah akan tetap di Madinah dan
menunggu musuh atau mendatangi musuh di luar Madinah. Dan pada akhirnya para sahabat
berpandangan untuk mendatangi dan menyerang musuh di luar Madinah. Dalam perang
Badar beliau juga meminta pendapat serta bermsuyawarah mengenai lokasi berkemah dan
diambilah keputusan untuk berkemah di depan musuh.
Sementara itu, pada masa khulafa rasyidin umat mempunyai hak dalam meluruskan
penguasa dengan suatu ketetapan yang dikeluarkan dengan syura. Hal tersebut dibuktikan
dnegan ucapan Abu Bakar ketika berpidato didepan umatnya : “taatlah kalian kepadaku ,
selagi aku masih taat kepada Allah, dan jika aku telah membangkang kepadanya maka tidak
ada kewajiban taat atas kalian padaku” dan Umar dalam pidatonya menyampaikan : “ jika
aku benar, bantulah aku, dan jika aku keliru, luruskanlah aku”. Adapun yang mempunyai
wewenang mewakili rakyat dalam meluruskan dan mengontrol ialah para ahli syura yang
telah memilih mereka. Dan ketika mereka mengeluarkan ketetapan mereka dengan syura
bebas, maka ketetapan tersebut menjadi ketetapan yang mulzim (menentukan). Semua itu
dilakukan demi menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (Taufik, 1997: 398)
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M. Hasbi. 2011. Republik Umar Bin Khattab. Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Asy-Syawi, Taufiq Muhammad. 1997. Syura Bukan Demokrasi. Jakarta: Gema Insani Press.
Azhary, M. Tahir. 1992. Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya di Lihat
dari Segi Hukum Islam Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa
Kini. Jakarta: Bulan Bintang.
Dahlan, Abdul Aziz . 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Hasbi, Artani. 2001. Musyawarah dan Demokrasi: Analisa Konseptual Aplikatif dalam
Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan.
Shihab, Quraish. 2002. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati
Sjadzali, Munawir. 2008. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta:
UI Press